Title : Run, Ino! Run!
Author : Kazuki Fernandes
Genre : Sci-fi, Crime
Main charas : Ino. Y, Shion
Rating : T+
Summary : Keluarga Yamanaka dibantai seseorang tak dikenal saat tengah malam. Ino yang mendengar suara teriakan dari bawah segera membawa adiknya pergi. Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Disclaimer :- Naruto belong to Masashi Kishimoto
- Run, Ino! Run! belong to Kazuki Fernandes
Warning : Typo, OOC, AU, Gore and many more..
Chapter 1-Midnight Kill
Rumah bergaya minimalis dengan dua lantai itu terlihat tenang. Tentu saja, karena mengingat ini tengah malam dan semua telah tertidur. Atau mungkin hampir semua. Karena jika kalian memasuki sebuah kamar bernuansa ungu dilantai kedua, kalian bisa melihat cahaya remang berpendar dari bawah sebuah selimut tebal bermotif bunga. Ada juga gundukan yang terus bergerak-gerak seolah mencari posisi yang nyaman ditempat tidur mungil namun empuk tersebut. Gundukan tersebut manusia, tentu saja. Dia Yamanaka Ino, sang pemilik kamar yang ternyata masih sibuk membaca novel detektif kesukaannya.
Duk!
Ino berjenggit saat mendengar sesuatu dari lantai bawah, pintu samping lebih tepatnya. Namun ia hanya mengedikkan bahu sekilas, berpikir bahwa itu hanya suara kucing kesayangannya yang berusaha masuk kedalam rumah. Yah.. tentu saja itu sebelum ia keluar dari gulungan selimutnya dan mendapati sang kucing tengah tertidur lelap diatas meja belajarnya.
'Eh? Lalu tadi suara apa?' batinnya mulai waspada.
Dengan cepat ia mengenakan jaket dan sandal kelincinya untuk memastikan penyebab bunyi tadi.
Brakk!
"Kyaa..akh!"
"SIAPA KALIAN?! APA YANG KALIAN- ARGHH!"
Gadis beriris aquamarine itu terbelalak, tubuhnya bergetar dengan wajah yang pucat. Teriakan tadi… suara ibu dan ayahnya!
Tap! Tap! Tap!
Suara langkah pelan terdengar menaiki tangga. Ada dua kamar lagi diatas sini. Kamar Ino, dan adiknya, Shion. Tanpa berpikir panjang lagi, Ino berlari menuju kamar Shion dan membangunkannya. Shion baru saja ingin memarahi Ino sebelum mulutnya dibekap. Gadis berusia 16 tahun itu sedikit terbelalak saat melihat raut wajah kakaknya yang pucat dan tegang.
"Ada apa?" bisik Shion setelah Ino melepaskan bekapan mulutnya.
"Pakai jaket dan bawa dua pasang sepatumu! Kita harus pergi sekarang!"
"Ta-tapi.."
"Cepat!" desis Ino seraya melempar jaket, ponsel dan sebuah ransel kecil kearah adiknya.
Tap!
Sial! Suara langkah kaki itu kini telah sampai dikamarnya –tepat disebelah kamar Shion. Terdengar suara barang dibanting dan beberapa umpatan dari mulut orang itu sebelum keluar dan kembali melangkah kearah kamar Shion.
Cklek!
Mata kelam itu menyapu seluruh ruangan sebelum menyalakan lampu dan mendapati tak ada seorangpun didalam sana. "Sial!" ia kembali mengumpat kesal.
….
Ditempat lain, tak jauh dari rumah tadi, dua orang gadis pirang dengan usia terpaut dua tahun masih terengah-engah. Mereka hanya membawa barang dan uang seadanya, uang yang tersisa didompet Ino dalam jaketnya serta simpanan sang adik didalam tasnya. Ino memandangi adiknya, tubuh Shion bergetar hebat. Ino yakin, adiknya pasti ketakutan saat ini. Ia juga ketakutan sebenarnya, hanya saja.. ia tak boleh terlihat lemah didepan adiknya, ia harus bisa menjaga adik satu-satunya itu. Setidaknya sampai ia bisa menghubungi Deidara, kakak tertua mereka.
"Shion.." panggil Ino lirih. Gadis yang dipanggil hanya menoleh sekilas, seolah bertanya 'apa?' pada sang kakak,"Kau baik-baik saja?"
Kali ini Shion terdiam, bingung harus menjawab apa. Ia memang takut, takut jika orang asing itu masih mengejar –dan menemukan mereka. Tapi.. ia juga tak ingin membuat kakak perempuannya itu khawatir. "Shion?" panggil Ino lagi.
"A-aku baik, kakak." jawabnya dengan senyum yang jelas dipaksakan.
-K-A-Y-
Pagi menjelang siang di kota kecil bernama Konoha, sepasang kakak-beradik berjalan cepat menuju stasiun kereta. Disela-sela perjalanan masih banyak saja orang yang tersenyum serta menyapa mereka dan bertanya kabar, rupanya kejadian tadi malam belum tersebar ke seantero Konoha. Tapi.. bagaimana bisa? Warga Konoha –terutama para wanita biasanya tak akan pernah ketinggalan kabar apapun yang berhubungan dengan kota mereka. Tapi kenapa bisa-
"Selamat, Ino-chan, Shion-chan. Kalian mau kemana?" tanya seorang pria paruh baya yang Ino kenali sebagai atasan sang ayah dikantor.
Gadis pirang itu berusaha tersenyum lembut sebelum menjawab,"Pergi kerumah kakek-nenek di desa. Ada urusan keluarga disana."
"Hanya kalian berdua?" tanya orang tersebut lagi.
"Ya, Paman." kali ini Shion yang menjawab. Rupanya gadis remaja itu sudah mulai bersikap normal kembali.
"Ohh.. baiklah kalau begitu." Orang itu baru saja beranjak pergi andai ia mengingat sesuatu,"Ah, Ino-chan, Shion-chan, boleh paman tanya dimana ayah kalian? Apa ayah kalian sakit? Rasanya aku tak melihatnya sejak pagi."
"Aa.. Ayah~"
"Ah! Kami hampir ketinggalan kereta!" seru Ino tiba-tiba, memotong perkataan Shion. "Kami permisi, Paman." Ino menunduk kemudian menarik Shion bersamanya.
"Kenapa kakak berbohong?" bisik Shion.
"Kau tahu apa yang terjadi pada orangtua kita dan hampir mencelakai kita semalam, bukan? Kita belum tahu siapa pelakunya ataupun motif kejadian ini. Jadi untuk sementara, jangan percaya pada siapapun! Kau dengar aku, Shion?" ucap Ino dengan raut wajah serius. "Hanya ada kau dan aku untuk saat ini. Kita juga harus memberitahu kakak mengenai hal ini. Jadi jangan katakan hal yang tidak perlu pada orang lain lagi. Aku tak ingin ambil resiko!"
"A-aku mengerti.."
….
Kereta melaju dengan cepat, membawa sepasang kakak-beradik menjauh dari kota asal mereka, meninggalkan tempat dimana orangtua mereka direnggut dari mereka. Meninggalkan semua kenangan, kerabat, maupun sahabat. Ino tahu siapapun yang membunuh orangtuanya akan mencari mereka berdua, karena itu ia harus pergi, membawa Shion sejauh mungkin dari tempat berbahaya ini. Ia menatap nanar ke luar jendela, entah kenapa perasaannya tak enak. Apa yang terjadi sebenarnya?
'Kak Dei…'
-K-A-Y-
Stasiun Iwa
Dua pasang mata berbeda warna menatap sekeliling dengan waspada, dengan cepat mereka melangkah turun dari kereta dan menjauh dari stasiun secepatnya. Dengan bermodal sebuah alamat yang ada diponselnya, Ino membawa adiknya menelusuri jalanan, berjalan cepat menuju sebuah gedung apartemen dipinggir kota.
"Apa kak Dei akan ada diapartemennya?" tanya Shion seraya menatap sang kakak dengan khawatir.
"Entahlah, mari berharap saja."
Menggunakan kunci cadangan yang pernah diberikan Deidara padanya, Ino dan Shion dapat dengan mudah membuka pintu apartemen minimalis milik sang kakak tertua. "Dei-nii?" dengan hati-hati Ino mengintip situasi didalam. Gelap. Melangkah perlahan memasuki ruangan, kedua tangannya meraba dinding mencari saklar lampu, namun nihil. Kini beralih ketengah ruangan, dan terus menuju jendela. Beberapa kali ia tersandung karena benda-benda yang berserakan dilantai, rupanya Deidara masih saja ceroboh.
'Jendela, dimana jendelanya?'
Srek!
Ia menemukan sebuah tirai dan menariknya kesamping hingga sebagian cahaya matahari senja menyeruak memasuki ruangan yang tadinya gelap gulita.
Srekk!
Ditariknya lagi tirai yang lain hingga ruangan sedikit lebih terang, dengan begini ia bisa mencari saklar lampu lebih leluasa. Tapi.. apa-apaan ini? Ruangan ini benar-benar seperti kapal pecah! Kaleng soda, mangkuk ramen, dan pakaian berhamburan disekitar lantai. Beberapa kursi patah dan beberapa barang pecah. Entah kenapa ini terasa janggal bagi Ino, ruangan ini tampak seperti bekas medan pertarungan. Deidara! Dimana-
"Dei! Dimana kau?!" teriak Ino panik. Shion yang sedari tadi hanya menunggu didepan pintu pun akhirnya menyusul sang kakak dengan raut wajah khawatir.
"Apa? Apa yang terjadi? Dimana Kak Dei?"
"Dei! Jangan bercanda! Dimana kau?!" mengabaikan Shion, ia membuka setiap pintu diruangan tersebut untuk mencari keberadaan sang kakak. Firasatnya tak enak, ia ketakutan! Benar-benar ketakutan. Mungkinkah…
"Kak Deidara!" pekik Ino saat menemukan sang kakak tertelungkup bersimbah darah disamping tempat tidur dengan tangan seolah hendak menjangkau sesuatu dari laci-laci didepannya.
"Kakak, ada ap-"
"Berhenti disana! Kau… kau tak boleh melihat ini! Kunci pintu depan lalu berdirilah ditengah ruang tamu, beritahu jika ada yang datang!" perintah Ino dengan tegas.
Setelah memastikan sang adik menurutinya, dengan cepat gadis pirang itu mendekati kakaknya. Dengan sedikit takut, ia membalik tubuh sang kakak setelah sebelumnya menutupi telapak tangannya dengan saputangan. Teringat novel yang dibacanya, ia meletakkan dua jarinya sekitar leher sang kakak untuk memastikan. Ia tak bernafas. Kini tangannya beralih ke pergelangan tangan sang kakak dan kembali menekan jarinya disana untuk memastikan. Tidak ada denyut sedikitpun. Kakaknya, Yamanaka Deidara sudah meninggal!
'Siapa yang melakukan ini sebenarnya?'
Ino mati-matian berusaha untuk tak menangis, ia harus tetap kuat. Sekarang, hanya ia yang bisa menjaga adiknya, satu-satunya keluarga yang masih tersisa.
"Kenapa kalian meninggalkanku tanggungjawab sebesar ini?" beberapa tetes cairan bening meluncur bebas melalui pipi tanpa sempat ia cegah. Kenapa orang-orang jahat itu harus membunuh keluarganya?
Sekilas iris itu menangkap ada yang aneh pada posisi mayat sang kakak, tatapannya menelusuri arah tangan Deidara. 'Apa ada sesuatu didalam salah satu laci itu?' tanpa berpikir panjang lagi Ino mulai membuka satu per satu laci, namun tak ada hal penting. Hingga laci ketiga tak bisa dibuka. Ia mulai mencari disekitar tempat tidur, laci lain, bahkan dipakaian Deidara untuk menemukan kuncinya, namun nihil. Tapi bukan berarti ia akan menyerah begitu saja. Diambilnya dua buah penjepit kecil dari rambutnya dan mulai membuka laci itu.
Klik!
Berhasil. Dengan gugup ia menarik laci tersebut dan… tak ada apapun didalam sana.
"Untuk apa Kak Dei mengunci laci kos-" klak! Bagian bawah laci tersebut sedikit tergeser kala lutut Ino tak sengaja menabraknya saat ia berdiri. Ditatapnya papan tipis tersebut, rupanya laci tersebut memiliki ruang rahasia lagi dibagian bawahnya. Dengan hati-hati ia mengangkat papan tersebut dan menemukan beberapa sebuah kotak kecil, tanda pengenal, beberapa paspor, amplop tebal berisi uang dan sebuah kartu bertuliskan 'Akatsuki'.
'Apa maksud semua ini, Kakak?'
"Kak Ino! Ada yang datang!" teriak Shion panik seraya berlari mendekati sang kakak, namun langkahnya terhenti saat melihat tubuh siapa yang berada didekat Ino. Itu Deidara!
"K-kak Dei …" Shion menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Shion?" Ino yang baru menyadari keberadaan adiknya lantas saja panik dan berniat menjelaskan apa yang terjadi, namun terhenti saat mendengar beberapa langkah kaki mencapai pintu. Diambilnya semua benda yang tadi ia temukan dan memasukkannya kedalam tas lalu menarik Shion menuju tangga darurat, "Ayo pergi!"
"T-tapi Kak Dei-"
"Percuma, Shion. Kak Dei sudah mati!" ia kembali menyeret Shion dan memaksanya untuk turun terlebih dahulu.
Duk! Duk!
Seseorang terdengar tengah berusaha mendobrak pintu tersebut, dan..
Brakk!
Mereka berhasil masuk, namun tak ada siapapun diruangan tersebut kecuali mayat sang Yamanaka sulung.
"Sial! Padahal aku yakin sekali mereka akan kemari!" salah seorang dari empat pria disana tampak sangat kesal. Rupanya mereka tengah mengejar Ino dan Shion yang melarikan diri dan ia sangat yakin bahwa mereka akan menemui kakak mereka disini, tapi kenyataannya ia salah.
"Mereka memang pernah berada disini." sahut pria yang lain saat melihat laci-laci yang sebelumnya tertutup kini terbuka dan salah satunya tampak memiliki ruang rahasia didalamnya.
"Panggil bantuan dan sisir seluruh kota! Cari kedua gadis itu sampai dapat, lalu habisi!" teriak pria pertama pada ketiga pria lainnya yang ditanggapi dengan anggukan ketiganya.
-K-A-Y-
Kedua gadis itu kini kembali berada didalam kereta, namun tujuan mereka sendiri masih belum jelas. Bagi Ino, yang terpenting saat ini adalah menghindar sejauh mungkin dari orang-orang yang telah membunuh keluarganya dan dari orang-orang yang mungkin akan mengenali mereka. Dibukanya kotak kecil tadi lalu memandangi isinya dengan seksama. Sebuah kunci yang tampak taka sing. Entah dimana, tapi ia yakin pernah melihat kunci itu sebelumnya. Rasanya Deidara pernah menunjukkannya… tapi kunci apa?
Merasa bingung dengan kunci tersebut, pandangannya beralih pada sekumpulan tanda pengenal dan paspor lainnya. Tiga buah tanda pengenal dan tiga buah paspor, masing-masing berisi foto Deidara, Ino dan Shion. Tapi identitas semuanya berbeda. Apa Deidara berencanya membawanya dan Shion ke luar negeri? Untuk apa? Dan apa pula maksudnya dengan kartu bertuliskan Akatsuki itu? Terlalu banyak pertanyaan, akhirnya Ino mencoba memejamkan matanya sejenak. Ia sangat lelah..
"Kakak, kita akan pergi kemana?"
Kedua mata Ino kembali terbuka dengan malas, "Kita akan turun begitu sampai stasiun selanjutnya."
"Apa kita punya tujuan?"
"Tidak ada. Tapi kita akan mencari penginapan ditempat yang sedikit terpencil untuk beristirahat sejenak sambil memikirkan rencana selanjutnya, kita tak bisa aman jika masih berada di Jepang."
Shion terbelalak, "Maksudmu kita akan ke luar negeri?"
Tak menjawab, Ino hanya mengedikkan bahunya sekilas dan kembali memejamkan mata, "Tolong beritahu jika kita sudah sampai.."
…
Sesuai rencana Ino, keduanya berhenti distasiun selanjutnya dan meneruskan dengan berjalan kaki untuk mencari penginapan murah dan sedikit terpencil yang tak terlalu menarik perhatian. Lalu disinilah mereka sekarang, disebuah kamar kecil dipenginapan kumuh dan sepi. Setidaknya mereka tak akan tinggal lama disini, mereka akan pergi lagi setelah fajar. Untuk sekarang, mereka akan mandi, mengganti pakaian dan beristirahat sejenak. Mereka tak tidur sejak malam sebelumnya dan Ino merasa amat sangat lelah dan mengantuk hingga tak bisa menahan dirinya untuk tak terlelap begitu menyentuh kasur. Shion sendiri tak bisa tidur karena syok dan tekanan yang ia rasakan, yang ia lalukan setelah membersihkan diri hanya melamun, menatap keluar jendela. Gadis dengan iris keunguan itu benar-benar tak pernah menyangka diusianya yang semuda ini, ia harus mengalami masalah seberat ini. Ia beruntung masih memiliki seorang kakak yang akan menjaganya, tapi bagaimanapun juga mereka berdua hanya gadis remaja biasa. Ia sangat tahu jika kakaknya, Ino, memiliki pengetahuan mendalam mengenai dunia semacam ini berkat novel detektif dan buku-buku kriminal favoritnya, seharusnya ia bisa mengatasi ini, bukan? Tapi nyatanya semua itu hanya teori, tak satupun kasus dibuku-buku yang Ino baca pernah ia alami sendiri –sebelum ini tentu saja. Ia jadi ragu, berapa lama mereka bisa bertahan dari kejaran para penjahat itu?
Tok! Tok!
Shion menoleh dengan cepat kearah pintu, "Siapa?" tanya waspada.
"Ini pemilik penginapan..!"
Dengan hati-hati gadis berponi rata itu membuka pintu kamar dan mengintip keluar. Itu memang pemilik penginapan, membawa nampan berisi makanan dan minuman.
"Ini..?"
"Makan malam. Jarang ada yang menginap disini, jadi kami selalu memberikan makan malam gratis pada setiap tamu yang menginap." Ucap sang pemilik penginapan dengan ramah.
"Aa.. begitu.. terimakasih." Shion mengangguk seraya menerima nampan berisi makanan tersebut.
Sang pemilik penginapan balas mengangguk sekilas sebelum berbalik dan pergi. Shion sendiri menunggu hingga wanita paruh baya itu tak terlihat lagi sebelum kembali mengunci pintu kamar mereka dan membangunkan Ino yang masih terlelap.
"Kak Ino.." Ia menepuk pelan bahu sang kakak.
"Ngg~ Shion… ada apa?"
"Ayo makan malam, kita belum makan sejak pagi.."
Ino mengerutkan keningnya kala melihat nampan berisi makanan diatas meja, "Darimana kau mendapatkannya?"
"Dari pemilik penginapan. Katanya, karena jarang ada pengunjung, jadi ia memberikan makan malam gratis para orang-orang yang menginap."
Ino bangun dengan cepat dari tempat tidurnya lalu menghampiri makanan tersebut dan mulai menciumnya satu per satu.
"Apa yang kau lakukan, Kak?"
"Memastikan tak ada racun." Jawab Ino singkat.
"A-apa?! Apa kau berpikir bibi itu akan meracuni kita? Tak ada alasan untuk itu!"
"Sudah kukatakan sebelumnya, kita tak bisa mempercayai siapapun!" kedua matanya menjelajahi ruangan kecil tersebut dan menemukan seekor tikus berlarian dipojok ruangan. Dengan sigap ia menangkap tikus tersebut dan mengambil sedikit dari setiap makanan lalu memberinya pada sang tikus. Seolah tak menyia-nyiakan kesempatan, tikus kecil itu pun memakan semuanya dengan lahap hingga semua yang diberikan Ino habis tak bersisa.
"Lihat? Tak ada racun!" Shion mengambil sumpit dan akan memakan makanan tersebut andai Ino tak berteriak.
"Dia mati!"
Sontak saja sumpit ditangan Shion terlepas, dan saat ia menatap tikus tadi memang benar. Tikus itu mati dengan busa dimulutnya. Ino benar, mereka memang tak bisa mempercayai siapapun! Bahkan wanita paruh baya yang kelihatan ramah pun berniat membunuh mereka. Apa lagi yang harus mereka lakukan setelah ini?
"Kita tak bisa terus berada disini." bisik Ino lirih, "Pakai jaket dan sepatumu, kita pergi sekarang juga!" lanjutnya seraya mengenakan sepatu dan jaketnya sendiri.
Shion hanya mengangguk dan menuruti sang kakak. Setelah siap, keduanya mengintip kearah pintu dan jendela sebelum akhirnya kembali melarikan diri melalui jendela. Mereka beruntung penginapan ini hanya memiliki satu lantai dan jendelanya tak terlalu tinggi sehingga tak sulit untuk pergi dari sana.
Keduanya berjalan menyusuri jalanan yang telah sepi, tujuan kali ini kembali kestasiun lalu menuju bandara. Mereka benar-benar harus meninggalkan Jepang secepatnya!
"Kali ini kita akan kemana lagi, Kak?" tanya Shion sembari terus berjalan.
"Kita harus kebandara. Aku menemukan paspor diapartemen Kak Dei, kurasa ia ingin kita pergi ke luar negeri."
"Tapi… kemana?"
"Jerman."
To be continued…
A/N:
Kay kembali dengan fanfic baru! .V
Maafkan Kay yang selalu muncul dengan ff baru padahal utang masih banyak. Tapi apa daya otak dan hati [?] tak bisa singkron, jadi Kay hanya bisa pasrah dan menuruti [?]
Maaf juga karena Kay buat chapter pertama yang super pendek, anggap saja Kay hanya ingin minta pendapat. Apakah ff ini harus dilanjut atau tidak? Silakan berikan review-nya, ne? ^^/
Kazuki Fernandes
