Malam itu… saat bintang dan bulan bersembunyi di balik kelamnya awan, saat semua menjadi gelap tanpa cahaya, saat angin berhembus begitu kencang—hingga helaian berwarna aneh milikku ini menghalangi pandanganku, saat bunyi melengking terdengar dari kejauhan, saat palang pintu mulai tertutup di depanku.

Aku melihatnya…

Bergerak begitu cepat menerobos gelapnya malam.

Sebuah kereta. Ya, aku mengingatnya sekarang!

Lalu apa?

Semuanya menjadi gelap. Hanya itu.

Fanfiction : Naruto

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Rate : T

Author : TEMEnoAI

Tak!

"Hei, jadi dia orangnya?"

Tak!

"Kudengar, begitu. Dia mencoba melakukannya."

Tak!

"Serius? Kasihan juga. Dia pasti menderita."

Tak!

"Dia memang pantas mendapatkan itu."

Tak!

"Harusnya dia mati saja."

Tak!

Suara langkah sepatu yang sempat menggema di lorong kelas seketika berhenti saat gadis berhelaian merah muda itu menyudahi langkahnya. Gadis itu menundukkan kepalanya, sedangkan kedua tangannya menggenggam erat pegangan tas ranselnya. Wajahnya sudah tak tampak lagi karena seluruh rambutnya berhasil menutupi segala ekspresi yang mungkin dibuatnya sekarang. Beberapa orang masih asik berbisik-bisik di belakangnya.

"Dia, kan? Yang melakukan percobaan bunuh diri tempo hari?" ucap seorang siswi sambil melempar tatapan benci ke arah gadis pink yang malang itu. "Kurasa, dia gagal. Kasihan sekali, pasti rasanya tidak enak." Dengan nada mengejeknya, siswi bersurai merah tua itu melanjutkan kalimatnya.

Bahu si gadis pink itu tampak sedikit menegang bahkan bergetar. Mungkin dia sedang menahan amarahnya?

Suara lorong yang dipenuhi bisik-bisik ria itu kembali sunyi ketika objek yang mereka bicarakan bergerak lagi. Langkah gadis pink itu masih sama seperti sebelumnya—pelan seirama dengan detik jarum jam. Memasuki salah satu ruang kelas, gadis pink itu segera menuju mejanya. Kepala pinknya yang masih tertunduk bisa dengan mudah langsung menatap objek menjijikan yang tersebar hampir diseluruh mejanya.

Sedikit menaikkan dagunya, gadis itu tampak menarik oksigen lebih banyak dari sebelumnya. Dengan tenang ia menarik kursi lalu mendudukinya, sedangkan sampah dan tulisan kotor di atas mejanya tak dipedulikannya.

Kembali suara bisik-bisik memenuhi ruang kelas.

Sampai kapan gadis itu akan bertahan?

Braak!

Suara pintu yang dibuka paksa berhasil menarik seluruh atensi terhadap si pelaku pendobrakan.

Seorang pemuda sedang berdiri di ambang pintu sembari kedua manik birunya beredar mengamati isi ruangan di hadapannya.

"Sakura-chan!" teriakan si pemuda menggema di dalam kelas. Beberapa siswa terlihat risih dan memilih menutup kuping mereka. Sungguh, suara pemuda itu sangatlah cempreng.

Si gadis pink bereaksi saat pemuda itu meneriaki namanya. Poni yang tadi menutupi hampir seluruh wajahnya kini tersingkap. Kedua emerald hijaunya menatap si pemuda itu dengan tatapan, 'mau apa kau ke sini?' namun, hal itu tidak berpengaruh kepada pemuda bersurai pirang yang kini dengan semangatnya menghampiri si gadis pink.

"Sakura-chan! Kau tidak apa-apa?"

Si gadis pink—Haruno Sakura, masih setia dengan tatapan malasnya pun menjawab, "Kau bisa lihat?" Sakura menunjukan perban yang menutupi sebagian jidat lebarnya, "Aku baik-baik saja."

"Hei, itu artinya kau sedang tidak baik-baik saja." Si pemuda pirang itu menarik kursi hingga berhadapan dengan Sakura, kemudian raut wajahnya berubah ketika kedua maniknya menangkap hal-hal menjijikan yang tersaji di atas meja Sakura. " Kau tidak berpikir untuk menyingkirkan ini?"

Sakura mengendihkan bahunya—tampak tak begitu peduli, "Ini buka perbuatanku, jadi aku tidak perlu membersihkannya."jawabnya santai. "Ada perlu apa kau ke sini, Naruto?"

Si pemuda pirang itu sedikit menyunggingkan senyumnya, entah karena apa, dia terlihat senang?

"Aku hanya ingin menyapamu seperti biasa…" sebuah senyum hangat terbit di wajah riang pemuda pirang itu, "Okaeri, Sakura-chan."

Sakura mengalihkan pandangannya ke luar jendela, mengabaikan Naruto yang masih menatapnya dari seberang meja. Sebuah pohon yang mulai kehilangan daun-daunnya begitu menarik atensinya saat ini.

'apa-apaan dia itu?' bisik Sakura pelan, lebih kepada dirinya sendiri.


'Saat aku membuka mata kala itu, warna merah sempat tertangkap oleh pandanganku.

Sesosok manusia tergeletak tak jauh dari tubuhku.

Bau amis menguar hampir ke segala penjuru—mengundang banyak orang yang datang entah dari mana.

Aku melihatnya membuka mata.

Manik kelam dengan surai raven yang indah.

Bibirnya bergerak seperti berusaha mengatakan sesuatu padaku.

Namun, kegelepan kembali menutup segalanya.

Yang terakhir bisa ditangkap indra pendengaranku hanya suara sirine ambulance dari ke jauhan.

Lalu… aku melupakannya lagi.


Matahari mulai terbenam di cakrawala, cahayanya yang lembut berhasil menyadarkan Sakura dari tidur siangnya. Dengan rambut acak-acakan, Sakura menguap lebar. Sebelah tangannya tak sengaja menyentuh perban di jidatnya, dan hal itu berhasil membuatnya merintih kesakitan, "i-itai!"

Buku pelajaran dan alat tulisnya yang masih berserakan di atas meja. Tanpa semangat, gadis itu memasukkan satu persatu buku dan alat tulisnya ke dalam tasnya-tak peduli apa buku itu sudah tertutup rapi atau pulpen yang digunakannya sudah tertutup dengan benar. Sakura tidak peduli. Prioritasnya kini adalah pulang ke rumahnya. Bahkan dirinya sendiri ragu menyebut tempat kumuh itu sebagai rumah.

Masih dengan pandangan mengantuk dan surai yang terbilang berantakan, Sakura bejalan menusuri rel kereta api. Dia tidak perlu repot-repot membeli tiket dan mengunggu kereta datang, karena tempat tinggalnya yang dekat dengan sekolah, hal itu sangat memberinya kemudahan. Ditambah uang saku yang tidak berkurang sedikit pun. Kalau pun dia lapar, pintu rumah Naruto terbuka lebar untuknya dan dia bisa mencuri snack kentang goreng Naruto di sekolah. Masa bodoh dengan teriakan proters pria itu padanya.

Manik emeraldnya menatap cahaya matahari yang mulai menghilang di garis pembatas bumi dan langit. Warnya oranye cerah. Dia jadi ingat dengan pria jambrik yang selalu menjadi 'korbannya' itu. Sakura tertawa akan hal itu.

Kepalanya yang tertunduk akibat tertawa tak sengaja menangkap pemadangan aneh di bawah jembatan rel kereta api. Seorang pemuda dengan kemeja putih dan celana hitamnya terlihat duduk sambil menatap matahari yang mulai terbenam di balik bukit. Surai hitam kelamnya tertiup angin sore dengan pelan. Sakura tidak bisa melihat wajahnya dari kejauhan, yang dia lihat pria itu hanya duduk dengan kaki tertekuk dan tangan yang melingkari kedua lututnya.

"Huh? Mungkin sedang patah hati?" Sakura mengendihkan kedua bahunya acuh. Lalu kembali melajutkan langkahnya menyusuri pinggiran rel kereta api. Baru beberapa langkahnya memasuki perkampungan kumuh di dekat stasuin kereta nonaktif, lalu ponsel di sakunya bergetar. Tanpa perlu melihat nama si penelfon, Sakura sudah tahu siapa orangnya.

Belum sedetik ponselnya menempel di telinga, cepat-cepat dia jauhkan begitu teriakan cempreng terdengar dari seberang.

"Oii! MAU SAMPAI KAPAN KAU MEMBIARKAN AKU DI SINI?!"

Sakura merasa telinga berdengung. Dari pada harus mengorbankan indra pendengarannya, Sakura memencet tombol loudspeaker untuk berbicara pada mahkluk yang terus meneriaki namanya.

"Sebentar lagi. Aku ke sana sekarang!"

'Tut!'

Sakura memutuskan panggilan dengan sepihak. "Dasar!" umpatnya kesal. Sambil memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku, gadis gulali itu bersiul-siul. Helaian pinknya ikut menari seiring suara merdu yang dihasilkan bibir manisnya. Hingga, saat emeradlnya menangkap sesosok…ah tidak seonggok manusia kuning tengah berjongkok di bawah pohon besar dengan hodie oranye cerahnya—sambil memainkan ponsel canggih di tangannya dengan emosi.

"Yak! Serang terus! Yak!"

Sakura bersender di batang pohon—mengabaikan suara Naruto yang terus berteriak menyemangati karakter gamenya yang sedang bertarung. Dia lebih memilih menikmati angin yang terus berhembus menyapa kulit keringnya. Hingga teriakan lebay terdengar tepat dibawahnya—tempat pada seonggok manusia dengan hodie orenyanya. Naruto.

"Sakura!?" Naruto segera mematikan ponsel canggihnya, lalu berdiri dari posisi jongkoknya tadi. "sejak kapan kau di sini?"

"Hm?" Sakura melirik sahabat masa kecilnya itu sebentar, kemudian kembali menutup kedua matanya. Rupanya gadis itu masih ingin menikmati angin sore yang begitu disukainya.

"Ini untukmu!" Naruto menyerahkan sekotak bento yang dibelinya di toko tadi. Sebenarnya dia ragu, apa Sakura mau memakan bento yang dibelinya di supermarket? Karena biasanya dia akan membawakan sekotak bento hasil masakan ibunya dari rumah.

Sakura yang menyadari label dan bungkusan plastik bento di tangan Naruto pun langsung bertanya. "Bibi kemana?"

"Ke desa sebelah." Naruto memasukan satu tangannya ke dalam jaket hodie. "Kau tidak keberatan dengan makanan ini, kan?" manik birunya berusaha mencermati ekspresi yang akan muncul di wajah Sakura. Harusnya dia sudah bisa menebak dengan mudah perasaan gadis itu, namun kali ini kenapa terasa lebih susah? Bahkan ekpresi dingin di wajah cantiknya pun sama sekali tak berubah sejak dirinya mulai memperhatikan gadis itu.

"Baiklah, kau saja yang makan." Sakura menatap Naruto sekilas, lalu pergi meninggalkan pria bersurai pirang itu yang masih menenteng bentonya. "Aku bukan orang yang tidak punya hati. Aku tahu kau sendiri belum makan, kan?" tanpa menoleh Sakura melanjutkan langkahnya meninggalkan Naruto.

"Aku tidak lapar." Naruto berusaha menyamai langkah Sakura yang berjalan di depannya. "Ini adalah kewajibanku membawakan bento untukmu setiap hari."

Tiba-tiba langkah Sakura berhenti. Naruto menggunakan kesempatan itu untuk berdiri di depan Sakura.

"Naruto…" lirih Sakura. Manik emeraldnya pun bisa menangkap sejuta kebingungan di wajah Naruto kini. Teman masa kecilnya ini memang sangat mudah dibaca rupanya.

"Ya?" setelah jeda beberapa detik akhirnya Naruto menjawab. "Kau sakit perut, Sakura?" tambahnya lagi.

"Kau ini bodoh atau apa sih?" Masih menatap raut bingung di wajah Naruto, Sakura melanjutkan ucapannya, "Sejak kapan aku mewajibkanmu membawakan bento setiap hari?!" kesal mulai menjalari dirinya. Entah kenapa akhir-akhir ini Naruto selalu membuatnya terjebak dalam badmood berkepanjangan. Sepertinya manusia pirang itu telah melakukan hal yang salah padanya, atau…Sakura lah yang merasa bersalah pada pria pirang itu?

Mengendihkan kedua bahunya dengan santai, Naruto pun menjawab dengan nada biasa, "Jadi hal ini yang begitu membebanimu akhir-akhir ini, Sakura?"

"Itu…" Sakura tahu, Naruto tengah mangabaikan emosinya saat ini. Mungkin jika Naruto meladeninya tadi dan ikut menggunakan nada tingga dalam ucapannya, mereka pasti sudah adu pukul dan Naruto berakhir dengan babak belur. Sakura yakin itu.

Dengan ragu-ragu, Sakura kembali melanjutkan ucapannya yang menggantung. "…Itu sama sekali bukan urusan untuk orang bodoh sepertimu!" tandasnya, lalu berlari meninggalkan Naruto yang berteriak di belakangnya.

Senja semakin pergi, malam pun datang menyapa. Burung-burung kembali ke sarangnya, dan keleawar memulai aktivitasnya. Seperti itu hal yang biasa terjadi di pinggiran Desa Konoha, tempat yang terasingkan namun menyimpan begitu banyak keindahan. Desa yang terlupakan hanya karena satu insiden kebakaran. Berbagai rumor menyebar seperti virus di kalangan manusia. Membuat siapa saja yang tinggal di pinggiran dicap sebagai orang kotor dan hina. Haruno Sakura, dia sudah terlalu banyak menanggung beban di pundaknya. Sampai pada satu saat kedua pundaknya sudah tidak mampu lagi menahan beban, dia menyerah pada takdirnya kala itu. namun, takdir yang baru pun datang dengan sejuta kejutan yang telah menanti di depan mata.

Sakura… dia memang harus kuat. Hanya itu yang kita harapkan.

.

.

.

Terima kasih sudah membaca

Tbc…

.

.

"Andai saja kau bersedia tingga bersamaku. Mungkin hal itu tidak akan terjadi."

Suara Naruto terbang bersama angin malam yang dingin. Kedua manik birunya menatap punggung kurus berseragam lusuh itu menjauh memasuki gang kecil—menuju tempat yang terasingkan, dijauhi oleh manusia, bahkan binatang pun enggan datang ke sana.

"Seharusnya kau…mati saja, Sakura."