ONE SHOT pertamaku nih! Sebenarnya saiah ga terlalu bisa bikin one shot, but... Enjoy!

Is This the Right Decision?

Starring: Akihiko

Summary: Seminggu sebelum pernikahannya, Akihiko untuk pertama kalinya meragukan tindakannya...

WARNING: MINOR SPOILER (hanya minor spoiler yang ga terlalu penting. Itu pun dikit banget)

DISCLAIMER: P3P milik ATLUS


"C'est magnefique! Semuanya sempurna," kata Mitsuru puas. Dia memandangi taman yang akan menjadi tempat pernikahannya yang telah dihias dengan bunga-bunga dan kain-kain sutra mahal. Ya, Mitsuru akan menikah dalam waktu dekat ini dengan Akihiko. "Bagaimana pendapatmu Akihiko?" tanya Mitsuru. Akihiko yang berdiri disebelahnya tidak menjawab. Dia memejamkan matanya, sepertinya dia memikirkan sesuatu. Mitsuru memandangnya bingung, "ada yang salah Akihiko?" tanyanya cemas. Mitsuru memegang tangan Akihiko lembut.

"Huh?" Akihiko yang segera sadar dari alam pikirnya dan melihat Mitsuru, "tadi kau mengatakan sesuatu, Mitsuru?" tanyanya bingung. Mitsuru menggelengkan kepalanya kesal, "kamu kenapa sih Akihiko? Selalu saja begini sejak kau melamarku... Aku cemas..." Mitsuru menatapnya sedih. Akihiko menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "ah... eh... tidak ada apa-apa kok... Hanya masalah pekerjaan. Yah, masalah pekerjaan," kata Akihiko pelan, "jadi, tadi apa yang kau tanyakan?"


Akihiko sedang duduk sendirian di Changall cafe. Setelah memeriksa semua acara pernikahannya, Akihiko mengantar Mitsuru pulang karena hari sudah larut malam. Sebetulnya dia juga mau pulang, tapi entah mengapa dia malah pergi ke cafe ini. Disaat dia tenggelam dalam pikirannya, tiga pria menghampirinya. "YO! Calon pengantin!" Junpei memanggil Akihiko. Akihiko menatap mereka, tapi dia tidak berkata apa-apa. Mereka bertiga, yang terdiri dari Junpei, Ken dan Shinjiro duduk disebelahnya. Akihiko tetap diam. "Ada sesuatu yang salah, Sanada-san?" tanya Ken yang sekarang sudah SMA.

"Ehm... tidak ada apa-apa..." Shinjiro menatapnya tajam, "masih memikirkan itu, Aki?" tanyanya. Junpei dan Ken memandangi Shinjiro bingung. Akihiko tidak menjawab. Dia segera meminum kopi yang dipesannya tadi. "Akihiko-san?" Junpei melihat Akihiko bingung. Akihiko memang orangnya pendiam, tapi tidak pernah sediam ini. Akihiko meletakkan gelas berisi kopi yang dipegangnya, "aku takut..." kata Akihiko pelan. Suaranya bergetar, sepertinya dia menahan perasaannya.

"Takut?" tanya Ken yang bingung. Ini pertama kalinya dia mendengar kata 'takut' dari mulut Akihiko yang tidak pernah menunjukkan rasa takutnya itu. Akihiko menutup matanya, "aku takut... Takut untuk menganggap Mitsuru sebagai penggantinya." Ken dan Junpei segera mengerti apa yang Akihiko maksud.

Mantan leader mereka. Perempuan yang tak takut menghadapi kematian. Yang mengorbankan dirinya sendiri untuk melindungi mereka dan orang-orang yang ada di bumi ini dari kehancuran, walaupun dia menyadari orang-orang yang dilindunginya itulah yang berusaha membangkitkan kehancuran itu sendiri, dalam bentuk perasaan-perasaan negatif yang membentuk Erebus. Selama perasaan negatif itu ada, leader mereka akan terus menjadi segel yang memisahkan Erebus dengan Nyx, yang akan menghancurkan dunia mereka jika tersentuh oleh Erebus. Dan dia tahu, manusia tidak mungkin tidak mempunyai perasaan negatif. Bahkan teman-teman seperjuangannya pun memilikinya, jauh di dasar hati mereka masing-masing. Perempuan itu juga yang mampu menarik hati Akihiko yang selalu acuh tak acuh pada perempuan untuk pertama kalinya.

"Mitsuru berbeda dengan Kaori," kata Akihiko lagi, "Mitsuru adalah orang yang tenang, berbeda dengan Kaori yang ceria. Tapi rambut dan mata merah Mitsuru mengingatkanku akan dirinya..." Dia terdiam sebentar, berusaha untuk menahan rasa sakit di hatinya. Dadanya selalu terasa sesak setiap kali dia membicarakan tentang Kaori, "aku selalu berpikir, apakah selama ini aku melihat Mitsuru sebagai pengganti Kaori? Jika itu benar, itu akan menyakiti hati Mitsuru..." Semuanya terdiam. Tak ada yang menyangka bahwa setelah lima tahun berlalu, Akihiko masih mencintai leadernya. "Aku tau, jauh didalam hatiku, aku masih mencintainya. Lebih daripada rasa cintaku pada Mitsuru. Atau... apakah aku memang mencintai Mitsuru?" Tidak ada yang dapat menjawab pertanyaan Akihiko.

"Sudah lima tahun sejak dia pergi Aki," Shinjiro mulai bicara, "tidak cukupkah lima tahun bagimu untuk merelakan kepergiannya?"

"Bukan hanya kau yang merasa sedih, Sanada-san," Ken juga ikut bicara, "kami semua sedih... Bagiku... Minako-san adalah orang yang sangat baik. Dan leader yang hebat. Aku tidak pernah bertemu dengan orang seberani dia." Ken terdiam sebentar, "tapi, aku berusaha untuk merelakannya. Ini adalah pilihannya, dan aku menghargai jalan yang telah dipilihnya."

"Bukankah itu kalimatmu Akihiko-san?" lanjut Junpei, "kau selalu bilang 'itu adalah pilihannya' atau semacamnya. C'mon!" Junpei berusaha untuk meringankan situasi. Akihiko memandang teman-temannya satu persatu. Dia tersenyum tipis, "seandainya... aku dapat menjadi sekuat kalian..." Dia tersenyum sedih.


Di waktu yang bersamaan, Mitsuru sedang berkumpul dengan Yukari, Fuuka dan Aigis. Mereka berempat duduk di sofa di kamar Mitsuru. "Jadi senpai bersikap begitu?" kata Yukari setelah Mitsuru menceritakan kejadian di tempat pernikahannya tadi. "Mungkin pekerjaannya terlalu banyak," kata Fuuka, berusaha untuk menghibur Mitsuru, "senpai tau 'kan pekerjaan sebagai polisi itu berat. Apalagi dengan jabatannya sebagai seorang pimpinan."

"Aku harap kau benar, Fuuka," Mitsuru tersenyum tipis.

"Semangatlah senpai! Jangan berpikiran negatif!" Yukari memberi semangat Mitsuru.

"Sebentar lagi hari pernikahan Mitsuru-san, bukan?" kata Aigis, "tidak akan menyenangkan jika mempelai wanitanya sedih di hari pernikahannya."

TENG! Jam dinding berdentang. Waktu menunjukkan pukul dua belas. Mitsuru menutup matanya. Dulu dia dan teman-temannya selalu waspada setiap kali jam dua belas. Sekarang, semua telah berubah. Tidak ada lagi Dark Hour. Tidak ada lagi Tartarus. Tak ada lagi shadow. Dan ini semua berkat leader mereka. Perempuan yang dulu adalah kekasih dari tunangannya.

"Sudah jam dua belas ya..." Yukari melihat jam dinding tersebut. Yukari, Fuuka dan Aigis berdiri. "Kami pulang dulu, senpai," Fuuka berkata pada Mitsuru.

"Sampai bertemu besok," Aigis berkata sambil tersenyum.

"Begitu kami bertemu senpai lagi, senpai harus sudah tersenyum senang, oke?" kata Yukari semangat. Mitsuru tersenyum hangat dan memandang teman-teman mantan anggota SEES itu, "ya, pasti."

Mitsuru mengantar mereka keluar dari rumahnya. Setelah semuanya pergi, dia menutup pintu rumahnya dan kembali ke kamarnya. Kamar itu gelap, lampunya tidak menyala. Aneh... perasaan tadi aku menyalakan lampunya... Di dalam kegelapan itu dia berusaha untuk mencari-cari sakelar. Dia terus mencari, tanpa mempedulikan jendela kamarnya yang terbuka lebar. Akhirnya dia menemukan sakelar itu.

"Apa yang mengganggu pikiranmu?" terdengar suara seseorang dari arah jendela, tepat saat Mitsuru hampir menekan sakelarnya. Mitsuru membalikkan badannya untuk melihat orang yang berbicara kepadanya, melupakan gelapnya ruangan itu. Seseorang berdiri tepat di depan jendela. Angin malam yang kencang membuat gorden jendela berkibar liar. Lampu yang mati membuatnya tak dapat melihat orang itu dengan jelas. Tapi Mitsuru tidak bergerak sedikitpun, seakan-akan pikirannya dihipnotis oleh orang di depannya itu. Samar-samar Mitsuru memandangi orang itu, tapi tetap tidak terlihat jelas. Satu hal yang pasti, orang di depannya adalah wanita.

Sesuatu mengganjal dipikirannya. Suara wanita itu. Dia tidak pernah bertemu dengan orang bersuara seperti orang itu. Tapi rasanya dia pernah mendengarnya. Entah dimana.

"Apa yang mengganggu pikiranmu?" kata orang itu lagi. Dia berjalan mendekati Mitsuru, tetapi Mitsuru langsung berjalan mundur. Dia mencari benda yang bisa dipakainya untuk melindungi dirinya. Sayangnya epee miliknya sedang diperbaiki. Wanita itu berhenti berjalan. Samar, tapi Mitsuru dapat mendengar tawanya, "tenang saja. Aku tidak akan melukaimu. Untuk sekarang. Aku hanya... akan mengajakmu jalan-jalan sebentar. Kurasa tunanganmu tidak akan protes jika kau menghilang beberapa saat 'kan?" Mitsuru membuka matanya lebar-lebar karena kaget.

Semuanya berlalu amat cepat. Wanita itu langsung menendang periut Mitsuru keras hingga dia pingsan. Wanita itu lalu meletakkan sebuah kertas di atas meja, lalu menyeret Mitsuru keluar melalui jendela.


Akihiko memarkirkan mobilnya dan masuk ke rumah Mitsuru. Saat dia berjalan ke kamar tunangannya itu, para pelayan Mitsuru berdiri di depan kamarnya dan mengetuk pintunya berkali-kali, "nona! Apa nona ada di dalam? Nona!" Seketika itu juga Akihiko mendapatkan firasat tidak enak. "Minggir! Akan kudobrak pintunya!" kata Akihiko was-was.

Akhirnya pintu itu terbuka setelah dibuka paksa oleh Akihiko. Firasat Akihiko menjadi kenyataan. Mitsuru tidak ada di kamarnya. Jendelanya terbuka lebar. Akihiko berusaha untuk tetap tenang. Para pelayan langsung menelpon polisi untuk membantu Akihiko. Akihiko menemukan selembar kertas di atas meja. Mitsuru orang yang rapi. Semua arsip dia simpan dengan rapi di tempat tersendiri. Kalau begitu kertas ini... Akihiko membaca kertas itu.

Untuk Akihiko Sanada...

Apakah kau terkejut? Tenang saja, Kirijo tidak terluka. Aku hanya mengajaknya pergi sebentar. Jika kau mau menemui kami, pergilah ke tempat dimana semuanya berkumpul menyambut tahun baru. Kamu tau 'kan?

NB: SENDIRIAN

Akihiko meremas surat itu. Akihiko duduk di sofa di ruangan itu. Obviously Naganaki Shrine. Si penculik membuat petunjuk yang mudah... Handphone Akihiko tiba-tiba berbunyi. Akihiko langsung mengangkat handphonennya setelah memeriksa siapa yang menelponnya, "ya, ada apa Shinji?"

"Banyak polisi menuju rumah Kirijo. Ada masalah?"

"Sebenarnya-" DEG! Akihiko menghentikan kalimatnya. Dia langsung berkeringat dingin. Seakan-akan ada yang mengawasinya. Kelihatannya aku tidak boleh memberitahu Shinji... "Aki?"

"... Ada pencuri masuk ke kamar Mitsuru, tapi tak ada yang hilang," Akihiko terpaksa berbohong pada sahabatnya itu, "aku ada kerjaan, dah." Akihiko mematikan HPnya sebelum Shinjiro sempat berbicara dan memasukkannya ke dalam sakunya. Akihiko tersenyum begitu mengingat Shinjiro yang selalu dingin itu. Shinjiro sama dengan Kaori. Sama-sama tidak takut menghadapi kematian. Akihiko langsung berdiri, "allright, tujuan pertama, Naganaki Shrine." Dia segera keluar dan mengendarai mobilnya tanpa memperdulikan panggilan bawahannya yang sedang memeriksa rumah Mitsuru.


Akihiko akhirnya sampai di Naganaki Shrine. Dia melihat sekelilingnya. Tak ada yang aneh. Apa si penculik itu menjebakku? Akihiko berjalan sampai akhirnya berada tepat di tengah-tengah tempat tersebut. Dia menutup kedua matanya. Bayangan-bayangan masa lalu dia dan teman-temannya merayakan tahun baru disini mulai bermunculan. Semua kecuali satu. Leader mereka. Kaori. Dia tidak dapat mengingatnya. Bersama siapa dia datang... kimono apa yang dia kenakan... Tidak ada. Lalu bayangan Mitsuru muncul. Mitsuru mengenakan kimono hitamnya yang anggun. Rambutnya yang biasanya tergerai kali ini tersanggul rapi, layaknya seorang tuan putri.

Sekarang... bisakah kau melupakanku...?

Tiba-tiba kepala Akihiko langsung terasa sakit. Setelah beberapa saat, sakit itu berhenti. Akihiko menutup mulutnya. Mukanya langsung pucat. "Itu tadi... suara Kaori... Dia memintaku... untuk melupakannya...?" Akihiko menggeleng kepalanya. Tidak mungkin... Akihiko meletakkan tangannya ke sebelahnya. Tangannya tidak sengaja memengang selembar kertas. Perasaan tadi tidak ada kertas disini... Akihiko mengambil kertas itu dan membacanya.

Untuk Akihiko Sanada

Mulai panik karena kami tidak ada di tempat yang seharusnya? Jangan khawatir, Kirijo sehat-sehat saja, kok... Mengapa tidak istirahat dulu? Di sebuah tempat dimana semua hawa nafsumu terhapuskan... Eits! Jangan berpikir hal-hal yang jelek dulu! Pokoknya datang saja, akan kutunggu...

Akihiko langsung sweatdropped, "ukh... haruskah aku pergi kesana...? Akihiko meremas kertas itu menjadi bola kertas dan membuangnya ke tempat sampah terdekat. Dia menuruni tangga, masuk ke dalam mobilnya dan segera pergi.


"Uhm..." Mitsuru membuka matanya. Disekelilingnya gelap. Dia menduduki sesuatu yang empuk, seperti tempat tidur. Dia tak dapat menggerakkan badannya karena diikat dengan tali.

"Oh... sudah bangun..." seseorang mendekatinya. Wanita yang sama dengan yang menculiknya. Kali ini Mitsuru dapat melihatnya dengan jelas. Wanita itu... Dia memakai jaket kulit hitam, catsuit hitam seperti mata-mata, sepatu boots yang mencapai lututnya yang berwarna hitam juga, dan helm yang menutupi wajahnya. Sesuatu menggantung di lehernya, tapi Mitsuru tidak dapat melihatnya dengan jelas tanpa penerangan. "Ini... dimana...?"

"Apa gunanya kau tau?" kata wanita itu dingin. Mitsuru mengangkat alisnya. Aku yakin pernah mendengar suara orang ini... tapi siapa? Wanita itu melihat jam dinding, "sudah waktunya... Kita pergi dari sini. Maaf, karena ini akan sakit." Dan setelah wanita itu mengatakannya, Mitsuru tak dapat melihat apa-apa lagi.


Akihiko memasuki sebuah bangunan, "aku tidak pernah menyangka akan memasuki Shirakawa Boulevard lagi..." Akihiko menghela napasnya sebentar. Dia segera berjalan ke meja resepsionis, "permisi... apakah kau melihat seorang wanita berambut merah? Namanya Mitsuru Kirijo." Orang yang ditanya Akihiko menggeleng. Akihiko mengucapkan terima kasih dan berjalan keluar, tetapi si resepsionis tidak menghentikannya. "Apakah nama anda Akihiko Sanada?"

"Iya, kenapa?"

"Ada seorang tamu kami yang baru check out tadi meminta kami untuk mempersilahkan orang yang bernama Akihiko Sanada yang mencari Mitsuru Kirijo masuk ke bekas kamarnya. Ini kuncinya." Akihiko segera mengambil kuncinya tanpa lupa berterima kasih.


Akihiko memasuki kamar yang dimaksud. Kamar itu kosong. Akihiko duduk di atas tempat tidur bundar berwarna ungu yang terdapat di ruangan itu, "ah... ini kamar yang sama dengan kamar waktu aku terjebak dengan Kaori disini..." Dia membayangkan wajah Mitsuru jika Mitsuru mengetahui apa yang terjadi dengannya disini. Tentu Mitsuru akan mengEKSEKUSI dirinya. Mencoba untuk mengingat apa yang terjadi, dia menutup matanya lagi.

Pertama, dia mandi air hangat dengan shower. Lalu keluar dari kamar mandi itu hanya dengan handuk kecil, itupun hanya menutupi 'itu'nya. Ketiga... Akihiko terdiam, "lalu... apa yang terjadi...?" kata Akihiko bingung.

Kumohon... Lupakan aku!

"Ukh!" kepala Akihiko pusing lagi. Kali ini lebih menyakitkan daripada yang pertama. Semenit kemudian sakit di kepalanya hilang. "Suara Kaori lagi... Apa aku cuma salah dengar...?" Akihiko langsung berdiri. Dia memeriksa sekitarnya. Selembar kertas tergeletak di atas meja. Akihiko segera mengambil kertas itu.

Untuk Akihiko Sanada

Aku baru saja check-out. Tenang saja, Kirijo ada bersamaku. Jika kau mau menemui kami, pergilah ke HQ pahlawan tanpa tanda jasa yang memerangi kebencian manusia-manusia yang tidak berdaya di malam hari tepat pada pukul dua belas...

Aku akan menunggumu disana...

Akihiko memandangi kertas itu lagi, "petunjuk-petunjuk yang dia berikan terlalu gampang... Apa dia tidak ingin berlama-lama?" Akihiko membuang kertas itu ke tempat sampah terdekat dan keluar dari kamar itu. Dia segera bersiap untuk pergi ke tempat berikutnya.


Mitsuru membuka matanya. Dia terikat di atas sebuah sofa. Tidak ada lampu yang menyala, tapi dia tahu dimana dia berada sekarang. Wanita yang menculiknya sedang berdiri menatap keluar melalui jendela. "Bagaimana kau bisa masuk ke tempat ini?" tanya Mitsuru kepada orang yang menculiknya itu. Wanita itu membalikkan badannya supaya bisa melihat Mitsuru, "sudah bangun?" Dia segera duduk di salah satu sofa.

"Mengapa kau menculikku?" tanya Mitsuru tanpa melepaskan pandangannya ke wanita itu, "apakah kau mengincar uang?"

"Uang?" Wanita itu tertawa kecil, "aku tidak membutuhkannya. Aku bisa hidup tanpa uang. Tidak semua penculikan bermotif uang."

"Kalau bukan karena uang... Untuk apa?" Wanita itu tidak menjawab. Dia mengambil sebuah tas berwarna hitam. Dia membuka tas itu, memandangi isinya, lalu menutupnya lagi. Dia mendesah pelan, "kau akan mengetahuinya..."

"Bagaimana?" tanya Mitsuru tajam. Wanita itu memandangi jendela. Mitsuru memang tidak dapat melihat wajahnya yang tertutup helm, tapi entah mengapa Mitsuru dapat merasakan kesedihan dari dirinya. "Bersabarlah... Sanada sedang pergi untuk menyelamatkan dirimu." Mitsuru segera membuka matanya lebar-lebar, "Akihiko!"

"Aku memberinya petunjuk-petunjuk mudah. Harusnya sekarang dia sedang menuju kemari." Wanita itu langsung berdiri dan menghadap Mitsuru, "maaf, tapi tampaknya kau harus tidur lagi."


Akihiko sampai di depan sebuah gedung. Iwatodai Dorm. Tempat dia tinggal dulu. HQ SEES. Akihiko membuka pintu dorm itu yang anehnya tidak terkunci. Dia langsung masuk dan menyalakan lampu.

Akihiko memeriksa sekitarnya. Tidak ada yang aneh. Tidak ada yang berubah. Dari dulu selalu sama. Letak sofanya... dapurnya... lemari-lemarinya... Akihiko duduk di sofa untuk sedikit mengenang masa-masa lalunya. "Dulu... biasanya aku makan ramen disini. Atau membersihkan sarung tinjuku," Akihiko berbicara sendiri sambil tersenyum, "Junpei, jika tidak baca komik, biasanya main COMPstation. Mitsuru melihat lemari disebelah sofa ini, atau membaca buku. Yamagishi membuka laptopnya. Koromaru selalu duduk disebelah TV. Ken meminum kopi hitamnya atau menonton TV. Takeba membaca majalah. Aigis bermain dengan Koromaru. Shinjiro di dapur." Dia menghela napasnya berat, "dulu menyenangkan sekali..." Dia terdiam sebentar, merasa ada yang kurang dengan ucapannya, "iya juga... Biasanya Kaori ngapain...?" Dia berpikir dan berpikir, tapi tetap tidak dapat mengingatnya. Lalu Mitsuru masuk ke pikirannya. Mitsuru yang tegas dan dapat diandalkan. Di dorm ini dia yang memimpin para SEES dan para kouhainya. Akihiko menggeleng kepalanya, "mengapa setiap kali aku ingin mengingat Kaori, selalu Mitsuru yang keluar?"

Masih belum bisa melupakanku...?

Mengapa...?

Mengapa kau begitu keras kepala?

"UKH!" Kepala Akihiko langsung pusing lagi. Kali ini lebih sakit dari sebelumnya. Akihiko memegang kepalanya karena tidak dapat menahan sakitnya. Semenit kemudian, yang rasanya bagaikan sejam, pusing itu berhenti. Akihiko menarik napas kuat-kuat, lalu menghembuskannya. "Oke... ini benar-benar aneh... Aku tidak mungkin salah dengar sampai tiga kali..." Akihiko memeriksa sekitarnya. Tidak ada yang aneh. Akihiko menutup matanya, "mengapa kau ingin aku melupakanmu... Kaori...?" Setelah beberapa saat Akihiko membuka matanya. Di atas meja terdapat selembar kertas. Akihiko segera mengambil kertas itu dan membacanya.

Untuk Akihiko Sanada

Menyenangkan bukan bisa kembali ke tempat penuh kenangan?

Oh ya... apakah kau menyadari bahwa matahari semakin condong ke barat? Hari semakin sore ya? Bagaimana kalau kita melanjutkan permainan kita ini? Kirijo masih ada denganku, jangan khawatir. Jadi, jika ingin menemui kami, pergilah ke tempat yang paling dekat dengan langit disaat jam menunjukkan waktu dua belas malam... Dimana seorang temanmu yang terikat rantai takdir mengawasi dan melindungi dunia ini tanpa lelah...

Akihiko menutup matanya. Tempat paling dekat dengan langit... apakah pencakar langit? Pikir Akihiko. Dia membaca surat itu lagi. Tapi... disini tidak ada pencakar langit... Lagipula, teman yang terikat rantai takdir... Tiba-tiba wajah Kaori yang tersenyum muncul di pikirannya. Akihiko langsung membuka matanya. Dia teringat waktu Kaori tertidur di pangkuannya di hari kelulusannya. Dimana dia yakin mereka akan bersama selamanya. Ironisnya, hari dimana dia mengatakan hal itu adalah hari dimana perempuan itu harus pergi meninggalkannya. Selamanya. Dia tersenyum kecut, "heh. Tempat yang paling dekat dengan langit... Seandainnya Dark Hour masih ada, pasti jawabannya Tartarus." Dia terdiam karena kaget dengan ucapannya sendiri. Kaori... dia menyegel Nyx di puncak Tartarus... Jika yang dimaksud dengan teman yang terikat rantai takdir adalah Kaori, maka... Akihiko langsung berdiri dan menuju tempat yang ada di pikirannya. Akihiko langsung keluar dari bangunan itu dan segera memasuki mobilnya.

Langit mulai berwarna kemerahan. Siang sudah berubah menjadi sore. Akihiko memandangi langit sore itu. Dia tersenyum, lalu menyalakan mesin mobilnya.

"Mitsuru..."


Akihiko sampai di atap sekolah itu. Tidak ada siapa-siapa, seperti yang dia duga. Akihiko duduk di bangku yang terdapat di tempat itu. Mengadahkan kepalanya ke langit, dia melihat langit merah itu dengan sendu, "Kaori... Apa saat ini kau sedang mengawasiku...?"

Angin bertiup pelan. Kelopak bunga sakura dari pohon sakura di pintu masuk sekolah itu tertiup angin hingga mencapai atap sekolah. Situasi ini sama... seperti di hari kelulusanku waktu itu. Akihiko tersenyum, "kau waktu itu tertidur di pangkuanku. Kita hanya berdua. Aku katakan padamu... kita tak akan pernah terpisahkan..." katanya, seakan-akan Kaori mendengarnya. Senyumnya menghilang. Kesedihan tergambar di wajahnya, "...mengapa kau pergi secepat itu? Kenapa aku harus kehilangan orang-orang yang kusayangi...? Orangtuaku... Miki... Dirimu... Dan sekarang, Mitsuru menghilang. Shinji juga hampir mati dulu, jika jam sakunya tidak melindunginya dari peluru yang ditembakkan si sialan Takaya itu..."

Angin bertiup semakin kuat. Langit semakin merah. Akihiko menggelengkan kepalanya kuat-kuat, "sekarang bukan saatnya untuk bersedih! Mitsuru menungguku." Akihiko langsung berdiri. Akihiko merasakan sesuatu di bawah sepatunya. Segera dia menemukan selembar kertas. Tanpa membuang waktu Akihiko langsung mengambil kertas itu.

Untuk Akihiko Sanada

Aku bosan dengan permainan ini. Temui aku di Naganaki Shrine. Yah, seperti di film. Tempat yang terakhir didatangi selalu tempat yang pertama didatangi bukan?

Akihiko mengangkat alisnya. Tidak ada teka-teki. Yang ada hanyalah perintah. Tapi dia tidak memperdulikannya. Dia segera turun dan mengendarai mobilnya menuju Naganaki Shrine setelah menyempatkan untuk melihat langit yang merah sekali lagi.

Akihiko segera menyalakan mesin mobilnya dan mengendarainya dengan cepat, tetapi tentu saja tanpa melanggar aturan. Bagaimanapun dia adalah polisi. Polisi apa yang melanggar tata tertib lalu lintas?

Langit semakin merah. Bayangan Mitsuru muncul di depannya. Mitsuru yang begitu anggun, tenang, dan menawan. Wanita yang selalu membuatnya kagum. Akihiko tertegun sebentar. Lalu tersenyum tipis. Kali ini...


Langit sudah gelap ketika dia sampai di Naganaki Shrine. Seorang wanita duduk di ayunan. Pakaiannya serba hitam, dari jaket kulit yang dipakainya, catsuit, sepatu boots-nya, sampai helmnya, membuatnya susah untuk dilihat di kegelapan malam. Mitsuru sendiri terikat di arena penjat-panjatan. "Aki... hiko...?" katanya lemah sambil berusaha untuk melihat wajah Akihiko.

"Mitsuru!" Akihiko segera berlari ke arah Mitsuru.

"Jangan sentuh dia!" wanita berhelm itu berteriak lantang. Akihiko segera berhenti berlari. Wanita itu berdiri dan menyerang Akihiko dengan tendangannya, tapi Akihiko dapat mengelak dan melompat mundur. Wanita itu langsung berdiri di depan Mitsuru yang terikat. Dia mengacungkan ujung pistol ke kepala Mitsuru, "jangan berani macam-macam."

"Kenapa kau menculik Mitsuru!" tanya Akihiko yang marah. Saat ini dia terlalu emosional untuk bahkan menyadari bahwa dia pernah mendengar suara wanita itu.

"Mengapa kau peduli pada wanita ini?" tanya wanita itu. Akihiko mengangkat alisnya bingung. "Apa karena dia tunanganmu?"

"Tentu saja karena dia sangat berharga bagiku!" Akihiko berteriak, emosinya semakin memuncak.

"Benarkah? Apakah dia MEMANG berharga bagimu?" tanya wanita itu, yang membuat Akihiko dan Mitsuru terkejut. Pertanyaan wanita itu tidak disangka-sangka. "I-itu tidak ada hubungannya denganmu!" teriak Akihiko.

"Oh, tentu saja ada," katanya. Akihiko yakin dia mendengar tawa kecil wanita di depannya itu. "Hubungannya adalah... jika kau tidak memberitahukannya padaku, siap-siap saja kehilangan kepala tunanganmu." Muka Mitsuru langsung pucat. Dia tidak dapat bergerak dengan rantai yang membelitnya di tempat bermain anak-anak itu. Akihiko juga tidak dapat bergerak. Jika dia bergerak sedikit saja, nyawa Mitsuru yang menjadi taruhannya.

"Kalau begitu, ganti pertanyaan. Jawab dengan jujur. Kau ragu 'kan? Ragu ternyata cinta yang kau berikan pada Kirijo adalah PALSU," kata wanita itu, menekankan kata-kata terakhirya. Mitsuru memandang Akihiko pucat, "Akihiko... jangan-jangan... kau..." Akihiko tidak bisa berkata apa-apa. Seakan-akan suaranya hilang. Wanita itu mendekatkan ujung pistolnya sehingga menyentuh kepala Mitsuru, "well?"

Akihiko menarik napasnya. Wajahnya pucat. "Maafkan aku, Mitsuru..." katanya pelan, "jika aku berkata jujur... mungkin yang kau katakan benar adanya..." Mitsuru menutup matanya sambil menahan air mata yang bisa keluar kapan saja. Fakta itu menyakitkan. "Setiap kali melihatmu... Yang tampak di mataku bukanlah seorang Mitsuru Kirijo, tetapi Kaori... Mungkin aku masih mencintainya... Jauh lebih menyayanginya daripada dirimu." Mitsuru tidak dapat menahan lagi air matanya. Setetes... Dua tetes... perlahan-lahan jatuh ke tanah di bawahnya yang kering.

"Selama ini, sejak aku pertama kali bersama dengan Mitsuru, aku memang selalu melihat Kaori." Dia terdiam. "Tetapi." Kata terakhirnya menarik perhatian Mitsuru dan wanita berhelm itu. "Saat aku melihat langit yang merah tadi, yang kulihat bukanlah Kaori seperti biasanya... melainkan Mitsuru..." Akihiko tersenyum, "saat itu aku sadar. Mitsuru adalah orang yang sangat berharga dariku. Tanpanya, hidupku akan hampa." Senyumnya melebar, "mungkin... hanya mungkin... Nanti disaat kami menikah nanti, aku masih tetap mencintai Kaori. Tapi, aku juga mencintai Mitsuru. Memang terdengar egois, tapi itulah kenyataannya." Air mata Mitsuru berhenti mengalir. Dia tersenyum lembut, "Akihiko..."

"Cinta yang kuberikan pada Mitsuru itu asli, tidak palsu seperti yang selama ini kutakutkan. Dan aku tidak ragu akan hal itu." Dia melihat wanita serba hitam itu dengan penuh rasa percaya diri, "aku sudah menjawab pertanyaanmu 'kan?" Wanita itu terdiam. Beberapa menit kemudian, dia mengambil sebilah pisau, "sebagai hadiah dari jawabanmu itu, Sanada." Wanita itu segera mengarahkan pisau itu ke Mitsuru. Akihiko segera berlari untuk menghentikannya, tapi sepertinya dia tidak sempat, "JANGAANN!"

TRANG! Rantai yang tadi mengikat Mitsuru jatuh ke tanah. Mitsuru langsung jatuh terduduk. Wanita berhelm itu meletakkan pisaunya disebelah Mitsuru, "urusanku disini sudah selesai. Pulanglah, sebelum aku berubah pikiran." Akihiko segera membantu Mitsuru berdiri. Mereka berdua hanya bisa melihat wanita itu berjalan menjauh dari mereka sebelum akhirnya hilang ditengah kegelapan.

"Akihiko..." Mitsuru menggenggam tangan Akihiko kuat. Akihiko meletakkan jari telunjuknya di bibirnya, "Shhh... Kau pasti lelah 'kan? Simpan saja tenagamu..."

"Tapi ini penting," Mitsuru menatap Akihiko tajam. Akihiko terdiam. Dia menatap mata Mitsuru. "Apakah kau menyadarinya Akihiko? Suara wanita itu mirip dengan suara seseorang, tapi aku tidak yakin siapa..." Akihiko menghela pelan, "yang penting kau selamat Mitsuru... Aku akan mengantarmu ke rumahmu." Mitsuru hanya menurut saja. Dengan dibantu Akihiko, dia berdiri. Mereka berdua berjalan ke mobil Akihiko yang diparkirnya dibawah.

Mitsuru tertidur selama perjalanan. Akihiko tersenyum melihat wajahnya yang polos. Satu-satunya saat dimana Mitsuru menunjukkan wajah sepolos itu adalah ketika dia tertidur. Akihiko lalu fokus menyetir. Setelah dipikir-pikir... suara wanita itu mirip dengan suara seseorang... Tapi siapa?


Semuanya tepuk tangan setelah Akihiko dan Mitsuru saling bertukar cincin. Mitsuru segera melempar karangan bunga yang dipegangnya ke arah para tamu, tapi sepertinya Mitsuru terlalu bersemangat. "Mi-Mitsuru! Kau melemparnya kejauhan!" kata Akihiko panik. Yukari hanya bisa melihat kaget. Junpei hanya bengong. Chidori yang datang bersama Junpei hanya bisa menatap bunga itu. Fuuka sama kagetnya sama Yukari. Koromaru segera mengejar bunga itu. Semuanya melihat ke arah bunga itu dilempar.

Bunga itu dipegang oleh seorang wanita dengan pakaian yang persis dipakai oleh penculik Mitsuru, tapi kali ini tanpa helm. Headphone miliknya yang berwarna merah menggantung di lehernya. Rambutnya yang diikat satu menari karena tiupan angin. Sebuah tas selempang berwarna hitam menggantung di bahunya. Kepala sebuah boneka kelinci putih bermata merah yang sama dengan wanita itu menyembul keluar dari tasnya. Matanya yang merah itu menatap bunga yang dipegangnya kaget. Disebelahnya seorang cowok dengan syal kuning juga melihat karangan bunga itu, tapi dengan senyum menghiasi wajahnya. Semua mantan anggota SEES yang menjadi tamu di tempat itu, termasuk pasangan pengantinnya dan Chidori berlari ke arah mereka berdua dan Koromaru yang sudah sampai duluan. Anjing itu menggoyangkan ekornya tanda senang. Wanita itu jongkok untuk mengelus anjing putih itu dengan lembut.

"Apa itu kau, Kaori-san!" kata Aigis dengan mata yang berkaca-kaca. Akihiko hanya bisa menatapnya tanpa bisa berbicara sedikitpun. "Kaori... apakah waktu itu..." tanya Mitsuru yang juga kaget. Mitsuru melihat boneka Kaori, apa yang waktu itu dilihatnya di dalam tas saat dia menculikku adalah... boneka pemberian Akihiko itu...? Kaori hanya tersenyum pahit, lalu berjalan kearah Mitsuru, "kurasa... aku tidak memerlukan bunga ini senpai. Aku 'kan tidak akan menikah." Dia memberikan karangan bunga yang dipegangnya ke Mitsuru dan berjalan menjauhi kerumunan, "ayo kita pergi Ryoji. Waktu kita disini sudah habis."

"Eh! Itu aja! He-hei Kaori-chan! Tunggu!" Ryoji segera berlari menyusul Kaori. Semuanya tidak bisa berkata apa-apa. SEES langsung lari mengejar mereka, tapi dalam mereka sudah menghilang. Yang terdengar hanyalah suara deru motor yang keras.


Di sebuah tempat yang gelap, dimana atas, bawah, kiri dan kanan hitam, Kaori berjalan lurus tanpa melihat sekitarnya. Di belakangnya Ryoji mengikutinya, "akhirnya kita balik lagi, huh?" Kaori tidak menjawab. Dia terus berjalan. Ryoji menatapnya sedih, "setelah susah-susah mencari cara supaya bisa datang, yang kau katakan pada mereka cuma itu?" Kaori tiba-tiba berhenti berjalan. Ryoji pun berhenti. "Aku tidak ingin Akihiko-senpai menjadi bingung dengan kehadiranku disana..." Suaranya bergetar. Ryoji memang tidak bisa melihat muka Kaori, tapi dia tau Kaori sedang menahan tangis. Ryoji berjalan ke arahnya dan memeluknya dari belakang. "Ryoji...?"

"Tidak ada yang melarangmu untuk menangis, Kaori-chan..." kata Ryoji pelan, "kau boleh menangis selama yang kau mau. Jangan tahan rasa sedihmu. Aku tahu... sejak pesta dari tadi kau berusaha untuk tidak menangis. Pasti berat untuk melepas orang yang kau sayangi pada orang lain. Bahkan membantu Akihiko-san untuk mencintai Mitsuru-san setulus hatinya." Pelukan Ryoji semakin erat. Kaori tidak dapat menahan air matanya lagi. Air mata mulai membasahi matanya. Kaori segera membalik badannya dan memeluk Ryoji. Airmatanya membasahi baju Ryoji, tetapi dia tidak peduli. Ryoji memeluknya semakin erat.


Akihiko memandangi bulan purnama dari jendela kamarnya. Mitsuru sudah tidur duluan. Dia tersenyum, "aku yakin suara yang waktu itu adalah suaramu Kaori... Yang memintaku untuk melupakanmu." Akihiko menghembuskan napasnya, "entah kau bisa mendengarku apa tidak, tapi ada satu hal yang pasti. Aku tak akan pernah melupakanmu. Sekeras apapun kau berusaha untuk membuatku melupakanmu." Setelah melihat bulan itu untuk yang terakhir kali, Akihiko menutup jendela itu dengan gorden dan tidur disebelah Mitsuru.

Angin bertiup pelan. Di atas sana, jauh di ujung dunia, seorang wanita tersenyum. Dia menutup matanya yang mungkin tak akan terbuka lagi. Seorang pria berpakaian serba biru menatapnya sendu, "Seandainya saya bisa menggantikan anda seperti disaat anda dan shadow berarcana Death itu pergi..." Pria yang diketahui bernama Theodore itu menggenggam buku compedium yang selalu dibawanya dengan erat. Dia membalikkan badannya untuk pergi dari tempat itu. Sebelum dia memasuki pintu keluar, dia melihat wanita yang kini menjadi patung yang terikat dengan rantai-rantai emas dibelakangnya, "selamat tidur... Kaori-sama."


OMG... Saiah lupa nulis disclaimernya, jadi harus login dua kali... (siapa yang nanya?)

Lame 'kan?

Saiah kasihan sama Aki-senpai, makanya saiah bikin fic ini (apa hubungannya coba?).

Thank you for reading and review please!