Chapter 1
Annoying Girl
Disclaimer : Masashi Khisimoto
Pairing KibaIno
.
.
Kiba tahu kehidupannya memang tidak pernah seindah kisah di dalam novel ataupun dongeng. Hubungan asmaranya menyedihkan. Ia pikir semua akan menjadi begitu mudah dan menyenangkan ketika ia berhasil menjadikan Hinata sebagai kekasihnya. Namun semua tidak seperti dugaannya. Ia memang memiliki gadis itu tapi rasanya tidak sepenuhnya begitu, jika diumpamakan barangkali seperti menggenggam air. Kadang ia bertanya-tanya kenapa gadis Hyuuga itu mau menerimanya jika sebenarnya dia tak punya perasaan apapun padanya?
"Jadi...tidak bisa lagi ya malam ini?" Inuzuka muda itu tengah duduk di bingkai jendela apartemennya. Merengut kesal ketika jawaban kekasihnya masih sama seperti beberapa hari kemarin. Setiap kali ia mengajaknya keluar untuk makan malam bersama atau sekedar acara kencan singkat Hinata selalu bilang bahwa dia sibuk. Banyak hal yang harus dilakukan. Selain itu tugas sekolahnya menumpuk, nyaris seperti gunung everest. Bagaimana mungkin seperti itu?
"Maaf ya..."
Pemuda itu menghela napas panjang. Mau bagaimana lagi, ia juga tidak bisa memaksa, meskipun tugasnya sendiri bisa dibilang lebih menumpuk, tapi ia sering meluangkan waktu untuk gadis itu, kapanpun si gadis membutuhkannya. Apakah ini adil? "Oke... tidak masalah kok."
"Arigatou Kiba-kun, kalau begitu aku tutup telfonnya ya." suara di seberang sana sedikit terburu-buru.
"Tunggu sebentar."
"Hm?"
Kiba diam beberapa saat, berharap Hinata akan berkata 'Aku mencintaimu' sebelum benar-benar menutup telfonnya. Namun ketika detik-detik berikutnya keduanya hanya diam, dia menghela napas berat, gadis itu tidak pernah peka dengan maksudnya.
"Kiba... ada apa? Apa yang ingin kau katakan?"
Dia terkekeh pelan. Menertawakan aksi konyolnya itu, oke... tidak masalah. Ia percaya kok jika Hinata mencintainya. Bukankah bukti cinta tidak hanya diungkapkan lewat kata-kata semata? "Tidak ada apa-apa, baiklah... sampai jumpa, semoga harimu menyenangkan." tak ada jawaban apapun, karena gadis di seberang sana telah menutup telfonnya tanpa basa-basi apapun lagi.
.
.
"Kenapa kau tidak memutuskannya saja?" Shikamaru berujar malas ketika ia dan Kiba tengah duduk santai di depan apartemen Kiba. Pemuda Nara itu memainkan gitarnya, namun tak menggumamkan lagu apapun.
Kiba tidak yakin bahwa menceritakan hubungan asmaranya pada Shikamaru adalah hal yang tepat, tapi ia terlalu lelah untuk menyimpan semua bebannya sendirian, biarpun seorang pria ia juga butuh teman untuk berbagi cerita, "Bagaimana bisa begitu? Kau tahu berapa lama aku menunggunya putus dengan pacarnya, 3 tahun Shika... 3 tahun aku menunggunya putus dengan pacarnya, dan setelah aku berhasil mendapatkannya, aku akan memutuskannya begitu saja? Lalu perjuangkanku selama ini bernilai apa? Dasar idiot!"
Pemuda Nara mengerutkan keningnya, si rambut coklat itu meminta pendapat padanya, dan ketika dia telah mengungkapkan pendapatnya umpatan itu yang dia dapatkan? Oh yang benar saja, "Terserah kau sajalah, wanita memang merepotkan."
Kiba tidak menyahut sementara suara petikan gitar Shikamaru menemani sisa malam mereka, malam awal musim semi yang cukup dingin.
.
.
Apa yang ia lihat sore itu sulit untuk dipercaya, bel pulang baru saja berbunyi dan ia terlalu bersemangat melangkahkan kakinya ke kelas Hinata, berharap gadis itu bisa pulang bersamanya, meskipun Hinata tidak memiliki waktu luang untuk berkencan tapi setidaknya pulang bersama akan mengobati rasa rindunya pada gadis manis bermata bak mutiara itu, namun alih-alih keinginan itu terwujud, Hinata sudah duduk diboncengan motor keren Naruto dan motor itu telah keluar dari gerbang sekolah, oh... ketiban sial apa dia.
Dia mengumpat, tentu saja marah, bagaimana mungkin Hinata meluangkan waktu untuk mantan pacarnya, sedangkan ia yang berusaha memohon saja tidak mampu untuk meluluhkan hati gadis itu.
"Kudengar mereka balikan lo." suara Shikamaru yang mendadak muncul, membuat Kiba semakin kesal. "Siap-siap ya... sebentar lagi kau pasti akan mendapat pesan dari gadis itu yang isinya 'maaf Kiba-kun, kita putus saja ya'." jangankan menaruh simpati, ia lebih suka melihat sahabatnya yang satu itu tampak marah, sejujurnya sejak awal ia tidak setuju Kiba berhubungan dengan Hinata.
"Kau bicara begitu hanya untuk membuatku khawatir kan? Dan aku sama sekali tidak terpengaruh dengan ucapanmu," dia melotot kesal ke arah Shikamaru, berjalan lebih dulu, berusaha tidak mengotori pikirannya dengan hal-hal yang baru saja diucapkan si pemuda Nara.
"Akui sajalah, Hinata tidak pernah mencintaimu, dia cuma menggunakanmu sebagai pelarian, akukan sudah bilang putuskan dia sebelum dia memutuskanmu, lagipula dia pasti akan sangat bahagia jika kau memutuskannya duluan." kaki pemuda malas itu mendepak cepat mengikuti langkah Inuzuka.
"Kau bisa berhenti bicara tidak? Rasanya aku ingin memukul kepalamu dengan kakiku." Kiba geram, giginya bergemeratak.
Shikamaru hanya tertawa, tawa aneh yang lebih didominasi kemalasan.
.
.
Kiba kembali menjalani malamnya dengan kegiatan membosankan, acara TV hanya dipenuhi berita politik, dan ia tak pernah tertarik dengan hal-hal yang berbau politik. Jadi... daripada menambah keluhan kebosanannya ia pergi keluar, barangkali jalan-jalan ke kafe akan membuat perasaannya sedikit lebih baik.
Itu kan hanya barangkali...
Bagaimana jika semua itu meleset dan perasaannya malah jauh lebih buruk?
Kafe yang terletak di dekat taman kota itu adalah tempat istimewa bagi para muda-mudi untuk menghabiskan acara kencan atau cuma sekedar nongkrong bersama teman, itu tak terkecuali untuk pasangan yang tengah ia lihat kan?
Alisnya berkerut, berusaha mempertajam penglihatannya, dan tanpa banyak berpikir lagi ia memasuki kafe itu dengan langkah cepat. Berhenti di dekat sepasang muda-mudi tersebut. "Oh begini ya kelakuanmu? Kau selalu menolak dengan berbagai alasan ketika aku mengajakmu kencan dan sekarang kau dengan senang hati malah mengencani mantan pacarmu, ya Tuhan..." bibir tipisnya mengukir senyuman menyedihkan, jantungnya berpacu tak terkendali, tatapannya tajam pada dua orang di hadapannya.
Hinata dan Naruto berdiri dari posisi duduk mereka, terlalu terkejut dengan kehadiran Kiba. Namun lebih terkejut lagi dengan kemarahan pemuda Inuzuka itu yang menggemparkan para pengunjung kafe, pasalnya sekarang mereka semua tengah memperhatikan drama kacangan ini.
"Kiba... ini tidak..." kalimat Naruto segera dipotong Hinata.
"Kita putus saja ya." matanya tak mampu melihat ke arah Kiba.
Pemuda bersurai coklat itu hanya bisa melongo, "Tapi... hei..."
"Ku bilang kita putus, kau tidak dengar ya? Aku tidak mencintaimu." pada akhirnya matanya kini menatap ke arah Kiba, tanpa ada ekspresi bersalah apapun. "Terimakasih untuk semuanya."
Gadis itu membiarkan Inuzuka tetap diam dengan pikirannya, sementara kakinya telah melangkah meninggalkan tempat itu.
"Hinata kau mau kemana?"
Dan ketika detik berikutnya Naruto juga meninggalkannya, Kiba berdiri seperti orang bodoh di tengah kafe itu sementara orang-orang yang ada di tempat itu memandang ke arahnya dengan penuh simpati, barangkali mereka berpikir bahwa nasib si pemuda berambut coklat itu terlalu malang.
.
.
Bus malam itu melaju pelan di jalanan Tokyo yang padat, padahal letak apartemennya tidak jauh dari kafe tapi entah kenapa Kiba malah memilih naik bus dan tidak tahu arah tujuannya. Dia berkali-kali mengumpat kesal setiap teringat kejadian di kafe tadi, ia mengakui jika Shikamaru benar kali ini, dan ia semakin dibuat kesal karena kebenaran itu.
Suara tawa seseorang di sampingnya membuatnya terusik. "Menyedihkan." itu adalah tawa seorang gadis dengan rambut pirang panjang yang terurai, matanya berwarna biru jernih, sebiru langit musim semi. "Pantas saja kekasihmu memutuskanmu, kelakuanmu benar-benar memalukan."
Kiba mengerutkan kening, apakah gadis itu tengah berbicara padanya? Ya ampun bagaimana mungkin tidak jika sepasang mata yang menawan itu jelas-jelas mengarah padanya, lagipula siapa juga gadis itu sampai berani mencampuri urusannya? "Masa bodoh."
Si pirang berhenti tertawa, "Oke... maafkan aku, ya aku tahu kau mungkin kesal atau apalah, tapi jika boleh jujur aku akan berkata bahwa mantan kekasihmu itu lebih cocok dengan pria yang diajaknya kencan tadi, jadi... relakan sajalah."
"Kau minta maaf sekaligus mengejekku?" andai saja yang bicara itu bukanlah seorang gadis, barangkali Kiba telah memukul kepalanya sampai tersungkur, hhhh... sabar Kiba. "Lupakan... lagipula aku tidak mengenalmu." untuk apa juga sih ia meladeni gadis yang banyak bicara itu.
"Namaku Ino, Ino Yamanaka." bibir tipisnya menyunggingkan senyum, dengan tangan terulur berharap mendapat sambutan. "Dan kau?"
Kiba mengacuhkannya. "Apa pentingnya memberi tahu namaku padamu?"
Alih-alih tersinggung Ino malah tersenyum maklum sambil menarik tangannya kembali, bukan salah pemuda itu sih jika dia memilih bersikap dingin, mungkin saja sikap Ino yang menyebalkan membuat pemuda itu enggan mengenalkan dirinya.
Bus berhenti beberapa menit kemudian, tanpa perlu banyak bicara Kiba segera keluar dari bus. Berharap segalanya akan membaik setelah ini. Harinya buruk, sangat buruk dan menyebalkan. Hinata memutuskannya, belum lagi mendapat ejekan dari gadis aneh yang bahkan tidak dikenalnya, oh ya Tuhan... ia melupakan Shikamaru, jika ada pemuda Nara itu, berharap segalanya baik-baik saja akan terasa mustahil.
.
.
Siang itu hujan turun agak mendadak, rintik airnya cukup deras, dan ketimbang membiarkan seragamnya basah Kiba berlari ke halte terdekat. Tertawa pelan karena merasa beruntung, namun tidak lagi begitu ketika dilihatnya Ino tengah berdiri di dekatnya. Seragam sekolahnya berbeda, gadis itu jelas berasal dari sekolah sebelah.
Kiba mengalihkan pandangan, berpura-pura tidak tahu jika Ino ada di sampingnya, dan berharap seseorang lain hadir di antara mereka. Karena entah kenapa ia muak dengan celotehan gadis itu yang lebih mirip seekor beo gila.
"Hei kita bertemu lagi, kau pria yang kemarin kan?"
Oh shit!
Tapi Kiba berusaha tak mendengarkan, ia tetap berdiri dengan santai, memainkan ponselnya yang sepi tanpa pesan dari siapapun.
"Kau menunggu mantan pacarmu menghubungimu?" tawa Ino yang pelan namun penuh ejekan terdengar sangat mengerikan di telinganya. "Bukankah itu tindakan bodoh?"
Inuzuka tetap diam tak menyahut. Gadis itu benar-benar menguji kesabarannya, ya Tuhan... kenapa harinya begitu menyebalkan? Hari ini Shikamaru menertawainya habis-habisan, padahal kabar putus dirinya dengan Hinata bukanlah sebuah lelucon yang akan mengundang tawa. Hei... itu hal yang menyedihkan kan? Harusnya sebagai sahabat yang baik Shikamaru akan menghiburnya, tapi apa pernah seperti itu? Rasanya pemuda Nara itu lebih pantas disebut sebagai musuh daripada sahabat.
"Kiba Inuzuka..." Ino menganggukkan kepalanya ketika membaca name tag yang bertengger jelas di jas seragam Kiba. "Nama yang bagus."
Kiba menghela napas panjang, kenapa hujan semakin deras saat dirinya ingin lari dari tempat itu, dan kenapa juga Tuhan menakdirkannya bertemu lagi dengan gadis gila ini, batinnya. "Ino Yamanaka, kau tahu? Kau bahkan lebih menyebalkan daripada siapapun yang pernah ku temui." meskipun tidak lebih menyebalkan dari Shikamaru sih.
Gadis pirang itu mengerucutkan bibirnya. "Oh ya? Masih bagus kau menyebutku menyebalkan, daripada kau menyebutku kejam." ia mengakhiri kalimatnya dengan tawa renyah.
'Benar-benar gadis gila,' Kiba membatin. Berusaha mengumpulkan sisa kesabarannya sementara hatinya terus berdoa agar hujannya segera reda. Berkali-kali ia mendengus, jangan sampai ia berakhir dengan pukulan warga karena telah mendorong gadis itu hingga terjun ke tengah jalan yang ramai.
"Dingin sekali sih sikapmu itu."
"Aku tidak dingin, kau pikir aku es."
Tawa kembali terdengar dari gadis di sebelahny. "Mencoba bercanda dengan cara yang dingin, menarik."
Kiba tidak tahan lagi. Maka dengan kesal ia melangkahkan kakinya dari tempat itu, tak lagi mempedulikan bagaimana derasnya hujan yang turun, membiarkan seragamnya basah. Karena ia pikir itu jauh lebih baik daripada mendengarkan Ino terus berbicara dengan topik-topik yang aneh.
Sedangkan gadis itu hanya ternganga, sedikit terkejut, namun akhirnya terkikik karena ulah pemuda itu yang menurutnya lucu.
.
.
Shikamaru datang ke kamarnya dengan raut malas seperti biasanya. Saat itu Kiba tengah berbaring di tempat tidur, mengistirahatkan tubuhnya yang lelah dan punggungnya yang terasa nyaris remuk. Ia ingin berpura-pura menutup mata saja agar pemuda Nara itu segera meninggalkan apartemennya, tapi semua sudah terlambat, tetangganya sudah duduk manis di kursi belajarnya.
"Secepat itu kau mendapatkan kekasih baru?" ia bergumam dan nyaris tak dapat didengar oleh Inuzuka.
Jadi dengan malas pemuda bersurai coklat itu hanya mendelik, tetap dalam posisi berbaring tanpa mau repot-repot duduk dan menyahuti tamu malamnya.
"Kau cocok dengan gadis itu." kapan coba Shikamaru tahu jika ia bertemu dengan seorang gadis, lagipula siapa yang dia maksud? Ino Yamanaka? Gila apa? Mana mungkin ia akan menjalin hubungan dengan sosok menyebalkan seperti Yamanaka.
"Omong kosong macam apa itu?" lemparan bantal tepat mengenai wajah Shikamaru. Membuatnya mendecak kesal, namun alih-alih membalas dia hanya membiarkan bantal itu teronggok di lantai dengan tak elitnya.
"Aku kenal dia kok, tenang saja aku tidak akan menghancurkan hubungan kalian." tangannya yang bebas mulai membuka buku tugas Kiba yang baru selesai setengah, rumus-rumus matematika tertulis tak rapi di buku itu, dia sedikit mencibir. "Ayahku teman baik ayahnya."
"Apa sih yang kau bicarakan?" Inuzuka bangkit, membiarkan rambutnya acak-acakan, dia duduk tak nyaman dengan kepala yang bersandar di tembok.
"Ino Yamanaka, kau dekat dengannya kan? Aku nyaris tidak percaya jika orang yang memiliki wajah pas-pasan sepertimu ternyata banyak yang suka." dia tergelak, senang rasanya melihat Kiba mulai memasang wajah kesal.
"Ya Tuhan... aku bisa terserang darah tinggi akibat ulah mereka." mereka yang dimaksud Kiba tentu saja Shikamaru dan Ino. Ia akhirnya mengerti kenapa dua orang itu sama menyebalkannya. "Dengar ya! Aku tidak memiliki hubungan apapun dengan gadis gila itu, kami hanya tidak sengaja bertemu di bus dan di halte, itu saja." Dan sementara Shikamaru terus tertawa, otaknya memunculkan pertanyaan. "Kau memata-mataiku ya?"
"Apa? Tentu saja tidak, bagaimana kau bisa berpikir begitu?" tawanya reflek terhenti, ada raut lain yang mendadak muncul di wajahnya, hal itu membuat Kiba heran.
"Lalu kau tahu darimana jika aku bertemu dengan si pirang Yamanaka itu? pertama kali aku bertemu dengannya di bus kau tidak ada di sana, kau di apartemenmu dan tidur lebih awal, lalu pertemuan keduaku dengan gadis itu kau juga tidak ada di sana, saat itu hujan deras sekali, kau sudah pulang duluan tanpa menungguku kan?" keningnya berkerut, ia menatap Shikamaru dengan pandangan menuntut sementara pemuda Nara itu diam beberapa saat.
"Tentu saja aku tahu..." kalimat itu dibiarkan menggantung tak berkelanjutan karena ponselnya tiba-tiba berbunyi, entah benar atau salah Kiba sempat melihat Shikamaru menghela napas panjang. Seperti sebuah kelegaan, sebelum akhirnya pamit pergi dari apartemen Kiba. Panggilan dari siapa sih sampai sanggup membuat pemuda pemalas itu mengangkat telfonnya dan membiarkan waktu luangnya terbuang hanya untuk menjawab panggilan dari seberang sana?
Namun Kiba juga agak malas dengan segala urusan Shikamaru yang terkadang rumit. Barangkali panggilan barusan dari sang Ibu, Bibi Nara yang cerewetnya bukan main, tukang paksa dan terlalu bersemangat menceramahi anak dan suaminya dengan berbagai topik yang terkadang tidak dapat dipahami.
Ia meraih bantal yang tergeletak di lantai. Lebih baik tidur saja, daripada memikirkan jawaban Shikamaru yang masih membuat pikirannya tidak berhenti melayangkan pertanyaan.
.
.
Pada pertemuan ketiganya dengan Ino, Kiba agak heran lantaran sikap gadis itu yang tidak seperti biasanya. Mereka bertemu di sebuah minimarket pada awal malam ketika matahari baru beberapa menit yang lalu tenggelam.
Ino keluar dari minimarket dengan wajah sayu. Membawa beberapa barang belanjaan yang cukup banyak, dan gadis itu melewatinya begitu saja, tak ada sapaan ataupun lelucon bodoh yang ia benci. Sebenarnya bukan masalah juga jika gadis itu mendadak amnesia, tapi entah kenapa hal itu agak mengganggu pikirannya. Atau barangkali Yamanaka tak menyadari jika yang dilewatinya barusan adalah Kiba, ya... itu mungkin masuk akal.
Kiba mulai melangkah ke dalam minimarket, membeli beberpa bahan makanan dan kembali keluar dengan langkah tak bersemangat. Dia menggerutu pelan, tidak mungkin kan hanya karena gadis itu tak lagi menyapanya membuat suasana hatinya mendadak buruk, oh ayolah siapa kemarin yang kesal ketika bertemu gadis itu?
.
.
Kiba menghela napas kesal. Soal matematika di hadapannya nyarias membuat otaknya panas dengan deretan angka-angka aneh yang membosankan. Bagaimana ia bisa menyelesaikan soal sebanyak ini jika sekarang saja otaknya tak lagi mau bekerja.
"Itu adalah bagian paling mudahnya, dan kau tidak bisa." Shikamaru yang mendadak muncul kini tengah duduk di tepi tempat tidurnya, mendecak beberapa kali, "Apa yang kau bisa?"
"Diam kau!" Inuzuka membentak tanpa mau menoleh ke arah Shikamaru. "Bagaimana kau bisa masuk kesini?"
Pemuda Nara itu memutar bola matanya. Keheranan bercampur dengan kebingungan terkspos jelas di wajahnya. "Kau tidak menutup pintumu." ia mendengus. "Aku jadi tidak ragu lagi, kau memang bodoh."
Kiba tak tahan lagi. "Kau ada masalah denganku? Kalau aku bodoh memangnya kenapa?"
Melihat kilatan marah di mata teman dekatnya, Shikamaru tak lagi berminat untuk menggoda si rambut coklat tersebut. "Tidak perlu berteriak begitu, lagipula aku datang kemari bukan untuk mengajakmu ribut."
"Lalu?" ia rela melepaskan pandangan dari tugas menjemukan yang menurutnya penting itu hanya untuk mendapat jawaban yang masuk akal dari teman sekaligus tetangganya tersebut.
"Begini..." cukup ragu untuk mengatakan maksudnya. "Aku memiliki urusan dan..."
Kiba menaikkan sebelah alisnya, tak sabar menunggu jawaban. "Ya apa? Katakan saja apa susahnya?"
"Aku butuh bantuanmu."
Pria inuzuka itu kembali fokus pada tugasnya. Berusaha mengabaikan kegiatan tak pentingnya, meladeni kata-kata Shikamaru tak ubahnya membuang waktu dengan percuma.
"Hei... aku bisa meminjamkan tugasku padamu, aku sudah menyelesaikan semuanya." dengan ekspresi seperti itu siapapun tahu bahwa ia sedang tak main-main sekarang. "Ayolah bantu aku."
Kiba menutup bukunya. Mulai memperhatikan detail wajah lelaki di hadapannya, hanya untuk memastikan bahwa tak ada kebohongan yang disembunyikan. "Kau bahkan tak memberi tahuku, aku harus membantumu apa." dan sejujurnya tawaran Shikamaru itu cukup menggiurkan, mengingat temannya itu jago dalam matematika maka nilai matematikanya akan sedikit lebih baik.
Senyum pemuda Nara itu terselip tipis. "Begini... aku sudah janji pada temanku untuk menemaninya tapi Temari mendadak menelfonku dan mengajakku pergi ke rumah neneknya, aku tidak bisa menolak mereka, jadi... aku butuh bantuanmu untuk menemui temanku ini." ada sedikit keraguan yang terlintas di mimik wajahnya.
Bantuan yang sedehana untuk mendapatkan perbaikan nilai matematika, ia pikir ini bukanlah masalah besar. "Aku harus menemui temanmu di mana?"
Mata Shikamaru berbinar, kelihatannya Kiba tertarik untuk membantunya. "Di kafe dekat halte, kau mau membantuku?"
"Hmmm... tapi jangan mengingkari janjimu."
"Tentu saja." dan tak ada lagi yang dikatakan pemuda Nara tersebut, dia berlari keluar apartemen Kiba dan kembali dengan buku tugas Matematikanya, buru-buru pergi lagi tanpa sepatah kata pun.
.
.
Kiba berdiri di tengah kafe seperti orang bodoh. Bagaimana mungkin ia tidak bertanya siapa teman yang dimaksud Shikamaru itu, atau sekedar memberikann keterangan mengenai ciri-ciri orang tersebut. Ia meraih ponsel di dalam saku celananya, berniat mengirim pesan pada temannya yang sibuk kencan itu. Tapi mendadak seseorang menabraknya, alhasil ponselnya jatuh dan berserakan di lantai, ia mengabaikan ponsel itu sebab orang yang menyebabkan kekacauan itu malah meracau tak jelas. Berlari sembari memaki seorang pemuda berambut hitam yang meninggalkannya.
"Gadis gila itu membuat ponselmu berantakan." seorang pemuda yang duduk tak jauh dari tempatnya membuyarkan keheranannya.
"Oh." mendadak Kiba berjongkok untuk memunguti serpihan ponselnya yang tak lagi rapi. Baterai ponsel itu terpelanting jauh, layarnya mengguratkan retakan mengenaskan. "Sialan." ia mengumpat karena baru menyadari siapa gadis yang menabraknya dan tak mau bertanggung jawab tersebut.
Benda remuk itu kini tak lagi utuh, rusak dan tak berfungsi, ia bahkan lupa alasan utamanya datang ke tempat ini dan buru-buru berlari keluar kafe untuk mengejar gadis pembuat masalah tersebut.
Ia harus meminta ganti rugi. Ibunya baru membelikan ponsel itu beberapa minggu lalu, tak mungkin kan ia meminta ponsel baru lagi. Barangkali sang ibu akan membakarnya hidup-hidup karena tak bisa menjaga barang yang menurutnya berharga itu.
Kiba melihat gadis pirang itu berdiri di bawah pohon ginko sementara pria berambut hitam yang dikejarnya telah jauh meninggalkannya bersama seorang gadis bersurai merah. Kakinya melangkah kesal ke arah gadis tersebut, baru dari jarak dekat ia tahu jika si pirang yang ia kenal sebagai Yamanaka Ino itu tengah menangis dengan kondisi mengerikan.
Pria Inuzuka itu hendak melarikan diri, takut jika orang yang lewat di antara mereka akan mengira dialah yang menganiaya gadis itu. Tapi ketika si gadis terlanjur menyadari kehadirannya, otaknya membeku dan ia terpaku di tempat.
Ino buru-buru menghapus air matanya, menatap tajam ke arah Kiba, seolah berniat menerkamnya kapanpun dia siap. "Kenapa kau melihatku seperti itu?"
Rasa simpati Kiba mendadak luntur, padahal ia nyaris tak mempermasalahkan ponselnya yang rusak karena ia tahu apa yang tengah dialami gadis itu. Namun mendengar pertanyaan kasarnya membuatnya tak lagi mau kompromi. "Kau seenaknya menabrakku, dan sekarang masih berani berkata kasar?" dia mendengus, "Kau harus ganti rugi!" tagannya terulur dan memperlihatkan ponsel remuk pada gadis di hadapannya.
Ino terperangah, ia bahkan ta sadar telah melakukan hal fatal itu. Ya Tuhan... dari mana ia memiliki uang untuk mengganti ponsel mahal milik pria itu, sementara uang sakunya masih minta pada orang tua. "Mmm... ma... maaf."
"Ya... aku memaafkanmu, tapi ganti rugi." ia mengamati Ino yang tampak lupa dengan masalahnya.
"Tapi..."
"Atau aku akan melaporkanmu pada-"
"Ya, jangan, jangan ku mohon, aku akan menggantinya." dipikiran gadis itu Kiba akan melaporkannya pada polisi. Pikirannya yang kacau membuatnya berpikir yang tidak-tidak, padahal pria tersebut belum sempat melanjutkan kalimatnya.
Kiba terkekeh. Ia baru akan bilang bahwa akan melaporkan Ino pada orang tuanya, ia bahkan tak mengenal siapa orang tua gadis itu. "Ya sudah mana uangnya?"
"Hei... tidak sekarang juga, aku harus mengumpulkan uang untuk mengganti ponselmu, kau pikir orang tuaku konglomerat?" si pirang mendecak kesal. "Aku janji akan mengganti ponselmu, tapi beri aku waktu."
"Kau bercanda ya? Mana mungkin aku bisa melakukan kegiatan-kegiatan pentingku tanpa ponsel." mereka berdua saling diam, saling pandang dalam rasa kesal yang sama-sama pekat. "Begini saja, mana ponselmu? Aku akan meminjam ponselmu sampai kau mampu mengganti ponselku."
"Tapi..."
"Ayolah... aku juga tidak akan macam-macam dengan ponselmu."
Ino kesal, apalagi orang-orang yang sejak tadi berjalan di sekitar mereka menatap seolah ia dan Kiba adalah sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Jadi dengan berat hati ia mengambil ponsel dari tas selempang kecilnya. "Awas kalau kau macam-macam, aku bisa saja membunuhmu."
"Coba saja kalau bisa." gumamnya.
"Apa yang kau katakan?" ia mengulurkan ponsel putih itu pada si pemuda.
"Aku tidak mengatakan apa-apa." dengan seringai lebar ia menerima ponsel tersebut. "Ya sudah, sampai bertemu dengan ponsel baru milikku."
Melihat pria berambut coklat yang berjalan meninggalkannya membuat keningnya berkedut aneh. Ia ditinggalkan begitu saja setelah ponselnya disita, oh apa-apaan ini? Ia ingin memukul kepala pria itu tapi mengingat mereka tengah berada di tempat umum membuatnya urung, lebih baik ia pulang dan mengistirahatkan pikirannya.
Ketika baru melangkah, ia ingat sesuatu, "Ya Tuhan... Shikamaru."
.
.
Kiba tak pernah membahas pertemuan yang gagal dengan teman Shikamaru itu pada siapapun, lagi pula pemuda Nara itu tak pernah mengungkit apapun seolah paham jika situasi waktu itu tidak sesuai dengan yang direncanakan, itu bagus, lagipula ia sendiri ingin melupakan hal itu dengan cepat.
Di pertemuan mereka yang ke 5. Kiba dikejutkan dengan kehadiran gadis pirang itu di depan apartemennya, ia kira si Yamanaka itu tengah mencari Shikamaru, tapi ternyata tidak. Dengan seenaknya gadis itu masuk ke apartemennya dan mengulurkan sebuah kantong plastik yang berisi sebuah kotak.
"Apa ini?" Kiba yang saat itu tengah sibuk dengan gitarnya merasa kesal bukan main karena kehadiran tamu tak diundangnya tersebut.
"Ponselmu." ekspresinya tak seperti biasanya, senyumnya tipis meski tampak dipaksakan tapi sejujurnya Kiba mengakui jika senyum itu cukup errr... cukup manis. "Tapi dengan satu syarat."
Pria Inuzuka itu menaikkan sebelah alisnya, menunggu lawan bicaranya kembali melanjutkan kalimat.
"Jadi pacarku ya..."
TBC
Iseng aja nulis ini, soalnya fic yang main charanya mereka udah jarang banget ditemui.
Maaf kalau ada banyak typo dan kesalahan yang bertebaran.
Review? ada yang mau lanjut ga?
