Disclaimer:

I do not own Naruto.


From Storm 'til Shine

1

Storm and Sea


"Kenapa jadi begini?" tanya pria itu pada atasannya, seorang wanita berumur yang sedang duduk santai di sofa merahnya. Sofa merah lembut, yang sungguh serasi dengan gaun merah tua yang dikenakan oleh wanita itu. Siapa sangka ruangan bagai ruang tamu ini adalah kabin dari sebuah kapal pesiar?

"Sudah kubilang, ia milikku," jawab wanita berambut hitam itu enteng. Rambut wanita itu memang masih hitam legam, entah karena memang tak ada helaian rambut perak yang bertumbuh di kepalanya, atau mungkin karena ia rajin merawat sekaligus mengecat rambutnya? Hanya wanita itu saja yang tahu.

"Ugh…" geram sang anak buah kesal. Ia terlihat ragu, namun tetap melanjutkan, "Kupikir… kupikir kita akan mengembalikannya setelah menerima uang tebusan it-" kata-katanya terhenti saat kapal yang mereka tumpangi berguncang keras.

"Apa-apaan ini?" protes sang nyonya dengan wajah menyebalkan, keriput halusnya semakin terlihat saat ia melotot dan mengernyitkan dahi, "Bukankah aku sudah sengaja menyewakanmu kapal yang mahal supaya kita bisa melarikan diri dengan sempurna?"

"Memang," jawab pria itu, "tapi bukan untuk menembus badai karena lari menghindari kapal polisi!"

"Huh…" balas sang nyonya begitu angkuh. Tak ingin mengakui kesalahannya sedikitpun.

Well, sejak awal dia memang tidak ingin melepaskan pemuda ini. Salah satu putra dari keluarga konglomerat yang namanya bahkan masuk daftar seratus besar orang terkaya di dunia. Jangan ditanya berapa jumlah uang yang mereka dapatkan malam ini. Dan kini, bukan uang saja, ia juga memenangkan sang pemuda. Wanita itu pun beralih ke pemuda yang duduk terikat tak jauh darinya.

"Kenapa, sayang? Ikatan di tanganmu terlalu kuat, ya?" tanyanya dengan nada menggoda.

Sang pemuda berambut hitam itu hanya diam. Ia juga tidak sedikitpun menatap pada wanita itu. Sungguh, ia terganggu. Ingin rasanya membuang ludah di wajah keriput penuh make up itu. Tapi pemuda ini mencoba menahan diri sebisa mungkin. Menganggap wanita itu tak pernah ada di sisinya, atau bahkan di dunia.

"Buka ikatannya!" seru wanita itu pada anak buahnya tadi. Pria muda namun berbadan kekar itu segera melaksanakan perintah bos-nya.

Setelah ikatan di tangan pemuda itu terbuka, wanita itu bertanya,
"Bagaimana?"

Tak ada jawaban. Lagi-lagi pemuda itu diam. Tak pantas rasanya ia berbicara dengan wanita sialan ini. Sama sekali tidak pantas.

Wanita ini tak peduli. Ia berjalan kembali menuju sofa merahnya, dan membuka mulutnya lagi,
"Kalau kau bersikap manis, kau akan baik-baik saja."

Ya, jawabnya dalam hati.

Sudah berkali-kali kau mengatakan itu sejak kau menculikku. Tapi nyatanya? Kau mengambil uang tebusan itu dan tetap tidak mengembalikanku pada… pada… keluargaku?

…tidak.

Mereka bukan keluargaku.
Orang-orang dingin itu bukan keluargaku.
Sudahlah. Enyahlah semuanya. Hancur saja semuanya!

Pemuda itu bangkit dari tempat duduknya. Ia berjalan menuju pintu keluar kabin yang mereka tempati itu.

"Hei! Mau kemana?" seru pria itu sambil bergerak mendekat, berniat mengejarnya.

Namun sang nyonya menghentikannya dengan enteng,
"Sudahlah…" katanya sambil memantikkan api untuk rokoknya, "…memangnya dia bisa lari kemana di tengah badai dan lautan yang ganas seperti ini?"

Tanpa halangan apapun, pemuda itu meneruskan perjalanannya. Langkahnya berhenti berada di dek kapal yang gelap sekaligus licin karena tersiram air hujan itu. Ia menatap laut ganas yang berada tak jauh di bawahnya. Air garam yang garang terus saja mengombang-ambingkan kapal ini tanpa henti dengan tangan-tangan ombak mereka.

"… 'kemana'?" lirihnya. Mengingat kalimat wanita tadi.

Aku bisa ke Neraka.

Ia pun menerjunkan dirinya ke lautan yang sedang mengamuk.


"…zzzzss… ha… 42! Di…" Suara di headset-nya itu terputus-putus.

Pemuda berambut pirang itu membalas,
"Halo? Halo? Apa kau tidak bisa mendengarkan suaraku sedikitpun?"

Kali ini tidak ada balasan. Yang terdengar hanyalah suara berisik di telinganya.

"Sial!" serunya. Setelah bergulat untuk mencari frekwensi di tengah badai begini hanya itu yang bisa kudapatkan?

Ia melihat setitik kecil daratan yang ada jauh di depannya.

Huh! Kalau bukan menabrak pulau itu, pesawat ini pasti menabrak air dan tenggelam di lautan! Tidak ada jalan lain…

Ia mengambil ransel hijaunya.

Buka parasut? Tidak! Lilitan tali itu akan membuatku tenggelam! Rupanya sebagian besar teori yang diajarkan di AU tidak ada gunanya di sini!

Ia melepas ransel hitam berisi parasut dari punggungnya. Juga melepas safety belt dan headset yang ada di kepalanya. Dengan gerak cepat pemuda ini meninggalkan kursinya. Ia pun membuka pintu pesawatnya. Angin menerjang masuk, tapi bukan pilot namanya kalau takut dengan angin. Hanya rambut pirangnya saja yang terus bergerak bagai ingin lari dari angin yang menerjang. Lalu, seperti yang telah ia rencanakan beberapa menit terakhir, ia melompat dari pesawat yang masih terbang membelah angin itu…

BRASHH!

Ia sampai ke dalam air dengan segera.

Setelah sempat bergulat dengan air agar tak jadi batu yang tenggelam hingga ke dasar laut, ia pun meraih ranselnya yang mengapung tak jauh darinya. Itu memang ransel khusus yang bisa mengapung di air untuk saat-saat darurat seperti ini. Pemuda berambut pirang ini pun berusaha bertahan di sana. Ia sudah memutuskan, ia akan mengikuti arus ombak dengan keadaan seperti ini. Mudah-mudahan saja ia bisa sampai ke pulau kecil tadi tanpa harus tersasar lebih jauh lagi…

Tapi sang pemuda pirang lalu melihat sesuatu yang tak bisa ia percayai… Ia melihat sesosok manusia yang terombang-ambing oleh gelombang laut yang ganas.

Ada orang? Serunya dalam hati, namun hanya mata birunya saja yang bisa melotot dalam ketidakpercayaan.

Agh! Sial! Di saat aku belum tentu bisa menyelamatkan hidupku sendiri, aku malah bertemu orang lain yang harus diselamatkan…

Ia lalu berpikir cepat…

Sudahlah! Biar saja! Berusaha lalu mati lebih baik daripada mati tanpa berusaha, kan?

Ia melepas ranselnya. Berharap sang laut tak akan menelannya tanpa ransel tempatnya bergantung itu. Ia berenang menuju sosok yang dilihatnya tadi. Agak sulit memang, berhubung ombak sedang ganas-ganasnya, dan air hujan juga hanya membuat penglihatannya saat berada di atas permukaan air sama kaburnya dengan saat berada di dalam air. Namun ia berhasil mencapai orang itu. Setelah berhasil menggapainya. Ia memeluk orang itu dengan erat dan berenang sambil menyeretnya ke arah yang ia percayai sebagai arah menuju pulau tadi.

Dengan cara apapun, aku harus berhasil sampai di sana! Harus!

Tangannya berhasil menyentuh pasir. Dengan terengah-engah ia menarik pemuda yang diselamatkannya ke darat. Ya, pemuda, ia baru sadar bahwa orang yang diselamatkannya itu kurang lebih berpostur sama dengannya. Namun bukan itu yang harus dipikirkannya sekarang. Pemuda pirang ini terbatuk-batuk, air keluar dari tenggorokannya. Cukup banyak air yang ditelannya. Jelas, ia memang bukan perenang yang andal. Padahal sudah berkali-kali ia diberitahu, sekalipun ia menjadi pilot Angkatan Udara, tak ada salahnya untuk melatih kemampuan renangnya agar lebih baik.

Pandangannya langsung beralih pada pemuda yang berhasil diseretnya ke pantai.

Ia tidak bergerak… juga tidak bernapas. Jangan-jangan…!

Dengan was-was pemuda pirang ini menyentuh pergelangan tangan pemuda yang pingsan itu. Samar dan sangat pelan, tapi masih ada denyut nadi. Ia lalu menggerakkan tangannya ke depan wajah pemuda berambut gelap itu.

Tidak… ia tidak bernapas!

Ia pun segera menelentangkan tubuh pemuda itu dan menekan dadanya. Ia mencoba untuk memberinya pernapasan buatan. Sayangnya, tidak ada reaksi. Ia menghirup napas sebanyak-banyaknya dan kembali menempelkan bibirnya di bibir dingin dan basah pemuda yang pingsan itu dan meniupkan udara dari paru-parunya. Tangannya kembali menekan dada pemuda itu dengan keras.

"Ayolah!" serunya, entah pada siapa. Untuk dirinya sendirikah, atau untuk pemuda yang pingsan itu? Masalahnya, ia mulai panik… sangat panik! Padahal, kepanikan adalah a-very-big-no untuk seseorang sepertinya. Terlebih dalam situasi seperti ini. Sudah beberapa kali ia mendapatkan pelatihan napas buatan, juga sudah beberapa kali menyaksikannya. Tapi memang, baru kali ini ia mempratekkannya sendiri!

Ia tak berhenti mencoba. Pemuda ini mencoba memberi CPR lagi. Akhirnya, sungguh akhirnya, si pemuda yang pingsan itu terbatuk-batuk. Air garam mulai keluar dari mulutnya.

Pemuda berambut pirang itu menghembuskan sedikit napas lega, meski jantungnya masih terus berdetak lebih pelan. Matanya tetap terus mengawasi pemuda yang satunya lagi. Pemuda pingsan itu masih menutup matanya. Masih pula tak sadarkan diri. Tapi… ia sudah bernapas.

"Fiuh! Untung saja…"

Pemuda ini pun berbaring di pasir pantai yang basah itu dengan lega.

Hujan yang deras masih terus menyirami mereka. Badaipun masih berkecamuk di lautan sana. Tapi ia sudah tidak terlalu peduli lagi. Ia berhasil menyelamatkan dirinya, juga pemuda itu… Setidaknya, untuk sementara.

"Setelah ini… bagaimana, ya?"

-
To Be Continued...
-