Aku terombang-ambing oleh gelombang samudera. Berkali-kali tubuhku mencapai dasar, tapi kemudian mengapung dipermukaan air. Tubuhku sudah lemas dan tidak memberikan perlawanan. Aku hanya pasrah terombang-ambing oleh lautan yang seakan melemparku keangkasa berkali-kali lalu menarikku untuk turun kemudiam. Aku seperti mainan bagi mereka, mainan yang sepertinya sampai kapanpun tidak akan mereka lepaskan. Pandanganku mulai buram, deru nafasku lambat laun mulai memelan. Aku bisa mendengarnya meski air-air ini menutupi indera pendengarku. Apa aku sekarat? Atau sudah mati? Aku tidak peduli dan hanya bisa pasrah oleh permainan tangan Tuhan.
Pandanganku benar-benar menghitam, sebelum menghitam aku bisa melihat tubuhku mulai tertarik kedalam samudera−dalam dan dalam. Perlahan mataku menutup dan menikmati tarikan yang menarikku semakin dalam kedasar samudera yang antah berantah ini.
.
.
.
.
Mermaid Tears
Kim Minseok| Xi Luhan | Kris Wu
Inspired by mermaid tales, pirates movie (Pirates of The Caribbean), and Xiumin's 'under the sea' desire at EXO's Showtime episode 5.
A Fanfiction by Frozen Deer
.
Chapter 1 : Pirates−perompak
.
.
.
Netraku memandang kagum sosok Kris Wu, kapten kapal kami dari kejauhan. Harus kuakui, dia seorang yang karismatik dan mempesona. Tapi, yah, tidak dengan penutup mata yang menutupi satu matanya, juga kail tajam pengganti tangan kiri yang digunakannya untuk mengoyak lawan berkelahinya. Dia mempesona, tapi juga mengerikan. Panggil saja dia Kapten Wu. Kapten kapal Black Pearl yang mengepalai pelayaran kehampir seluruh benua selama 14 tahun. Kapten Wu memimpin pelayaran dengan Black Pearl semenjak berusia 14 tahun. Semasa itu aku dan Kapten Wu seumuran. Hanya saja nasibnya lebih buruk dariku. Kapten kehilangan ayahnya yang sejatinya adalah kapten Black Pearl. Karena serangan mendadak dari kapal Kerajaan Inggris, beliau meninggal akibat biji peluru menembus jantung beliau dan tidak tertolong. Kris kecil sontak berlari ke ayahnya, namun sayang, salah satu awak kapal Kerajaan Inggris melempar pisau dan mengenai tangan Kris. Tangannya terputus dan liquid pekat berwarna merah membanjiri kapal kami. Aku hanya menangis dan bersembunyi dibalik tubuh ayahku yang juga syok akan kematian sahabatnya, Tuan Wu−Wu Li Fai.
Kualihkan pandanganku kearah lain. Kulihat Jongdae yang memuntahkan setengah isi perutnya. Aku rasa akhir-akhir ini Jongdae sering muntah-muntah. Ya, mungkin karena dia awak baru menggantikan seorang awak tua yang mengundurkan diri karena tidak sanggup berlayar lagi.
Aku mengedip sesekali, lalu menunduk memandangi samudera yang seakan memiliki tangan-tangan untuk menarik Black Pearl tenggelam kedasar samudera. Helaan napas berat keluar dari mulutku. Aku jadi ingat ayah. Ayahku meninggal dua bulan setelah kematian ayah Kapten Wu. Tabib kapal menganalisir penyebab kematian ayahku disebabkan oleh penyakit jantung.
"Hyung." aku menoleh mendapati Jongin tersenyum kecil kepadaku. Aku bertanya, "Ada apa Jongin?"
"Dengar, kalau kau rindu appa-mu, kau bisa ikut pesta kecil-kecilan nanti malam untuk mengobati sedikit rasa rindu itu. Mungkin nanti agak kotor dan jorok untuk ukuran clean-freak sepertimu, tapi cobalah barang sekali saja, aku jamin pasti menyenangkan."Jongin berbalik dan handak pergi meninggalkanku, tapi kemudian dia berhenti dan kembali berbalik, "Oh iya, pesta diadakan didek bawah. Kalau kau mau kau bisa kesana nanti malam." Dan Jongin berlalu.
Tanpa terasa bibirku terangkat keatas. Kim Jongin, dia awak termuda kedua setelah Oh Sehun. Jongin sudah menghabiskan 5 tahun hidupnya di Black Pearl. Ia masuk Black Pearl dan memulai pelayaran pertamanya pada usia 17 tahun. Dia sangat dekat dengan Sehun dan terkesan malu-malu, berbanding terbalik dengan wajahnya yang cenderung seksi dan badan atletis yang disempurnakan dengan kulit tan gelap. Dan Sehun, anak itu memiliki wajah stoic dan kulit putih pucat. Sehun adalah putra tunggal Paman Oh yang juga salah satu sahabat karib ayahku. Aku tidak bingung dengan usia mereka yang sepantaran membuat mereka tampak lebih mudah dekat dan tidak canggung.
"Umin hyung!" aku menoleh. Suara yang kukenal, "Jangan berdiri saja disitu, cepat bantu aku membersihkan kapal!" Byun Baekhyun, awak kapal laki-laki tapi memiliki wajah yang manis seperti perempuan, siapa yang tidak terkecoh?
Aku segera mengehampirinya yang sedang menyikat badan kapal yang kotor. Baekhyun melemparkan selembar kain kepadaku dan menunjuk ember berisi air sabun dan sikat didalamnya. Sepintas aku melihat Kris, tatapannya yang tajam tertuju kearahku. Kupikir aku salah setelah memastikannya dan mendapati Kris tidak berada ditempatnya semula.
Aku mengendikkan bahu kemudian menghampiri Baekhyun. Baekhyun, anak itu rajin untuk mengbersihkan Black Pearl. Hanya itu keahliannya dan kenapa Kris merekrutnya untuk menjadi awak yang tidak lain dan tidak bukan hanya untuk jadi tukang bersih-bersih kapal. Baekhyun tidak keberatan kala itu, walaupun Chanyeol−salah satu awak kapal yang lainnya−mengejeknya sebagai tukang bersih-bersih dan tak berguna. Anak itu hanya peduli setan dengan pemuda jangkung yang mengatainya seperti itu. Pernah pada suatu hari Baekhyun menyumpalkan sikat yang biasa digunakannya untuk menyikat kerak dibadan kapal kedalam mulut Chanyeol hanya untuk menggertak pemuda itu.
"Umin hyung," aku berdehem alih-alih menjawab panggilan Baekhyun. "Kau nanti ikut pesta dengan Paman Oh dan awak lain?" aku mengendikkan bahuku. Antara tertarik dan tidak. "Kenapa tidak coba saja?"
Tanganku berhenti menyikat dan menatap Baekhyun yang kini merubah posisinya menjadi duduk didepanku. "Kegiatan itu hanya mengganggu Kapten berkonsentrasi membaca peta. Lagipula Kapten mengijinkan kita berpesta itu kan karena tanda terima kasih Kapten atas kerja keras kita dalam pelayarannya."
Mataku kembali berkonsentrasi dengan kerak bandel yang menempal pada lantai kapal. Sikat bahkan pisau tidak dapat memusnahkannya. Sebelum sebuah tangan menyambar sikat ditanganku. "Nah, salahkan Kapten yang membaca peta disaat kita berpesta. Memang enak membaca hanya diterangi dengan cahaya lilin?"
Napas berhembus keluar dari hidungku. Ah, kalau begini biasanya akan menjadi panjang. Byun Baekhyun tidak akan membiarkan masalah sepele kelar begitu saja. Dia akan menyulut api agar terus berkobar dan berkobar hingga membakar apapun menjadi abu dan tak tersisa. Aku mengaku kalah.
"Ya, akan kucoba." Dan sikat gosok terhempas kearahku.
.
Ayahku pernah bilang, makluk tercantik yang mustahil kau temui adalah seekor putri duyung. Mengapa mustahil? Karena kau tidak akan menemukan tubuhmu bernyawa saat melihatnya. Putri duyung atau yang dikenal sebagai 'mermaid' adalah makluk berbadan manusia dan bagian bawah tubuhnya berupa sirip seperti ikan. Putri duyung lebih singkatnya adalah makluk setengah manusia setengah ikan. Ayahku pernah memberikanku sedikit fakta tentang makluk itu, terjadi saat ayah masih muda dan aku belum ada, salah satu teman ayah berteriak senang karena telah menjaring ikan yang dikira salmon ukuran besar atau hiu yang bisa dikonsumsi mereka selama 3 minggu. Setelah jaring dinaikkan oleh setengah awak kapal mereka begitu terkejut. Ternyata yang dijaring bukannya salmon atau hiu, melainkan dua putrid duyung cantik. Awalnya, mereka kira dua makluk cantik itu bukan ancaman, tapi ayahku, Kapten Li Fai, dan Paman Oh mewaspadainya. Dan benar saja kecurigaan mereka, pasukan putri duyung dari bawah air menarik Black Pearl dan merusak badan badan kapal. Putri duyung yang ditangkap berhasil meloloskan diri saat para awak sibuk mengatasi pasukan putrid duyung bawah air. Setelahnya, Kapten Li Fai kehilangan setengah awak kapal, awak lainnya luka parah, dan Black Pearl rusak parah. Kapten Li Fai mendapatkan kerugian yang besar dan terpaksa tidak melakukan pelayaran selama dua bulan untuk memperbaiki kapal dan mencari awak tambahan. Ada yang bilang, bertemu putri duyung merupakan mimpi buruk bagi para perompak. Atau kata lainnya kau akan mati tenggelam.
Ayah bilang, para putrid duyung itu brutal. Brutal sekali dan membabi buta. Tidak seperti dongeng yang diceritakan mendiang ibuku. Mereka makluk mematikan dan berbahaya.
Aku mendengar hiruk pikuk didek bawah. Mereka sudah memulai pestanya. Pesta para perompak yang diadakan tengah malam. Biasanya hanya aku, Kapten, dan beberapa awak yang tertidur pulas yang tidak mengikuti pesta yang diadakan didek bawah itu. Aku lebih memilih menenggak soju diatas tiang pemantau kapal yang biasa digunakan Jongdae untuk memantau keadaan dengan teropong kesayangannya.
Tuk tuk!
Terdengar bunyi ketukan kayu. Kurasa mungkin pel atau sikat yang jatuh. Aku memilih tidak peduli dan kembali menenggak soju-ku.
Dak dak!
Terdengar lagi tapi sepertinya lebih keras. Kali ini mungkin awak kapal−Baekhyun yang iseng mengetukkan sepatu botnya dengan lantai kapal karena aku tidak ikut pesta didek bawah. Aku bersikeras bersikap seolah tidak peduli.
"Auch!" sesuatu menerjang pelipis kiri ku dan permukaannya keras. Aku yakin pelipis kiri ku sudah tergores dan meneteskan liduid merah pekat. Aku melihat benda yang melukai pelipisku terjatuh dipahaku. Koral.
Baekhyun sudah keterlaluan. Bercanda tidak lucu kalau sudah merambah kefisik. Aku berdiri dan memegang tiang dengan satu tangan agar tidak terjatuh. "Baekhyun, bercandamu tidak lucu! Kau melukaikku!" aku berteriak.
Byurrr!
Sekilas aku menengok kearah lautan. Ada seseorang yang berenang masuk kedalam air. Kemudian aku memandang pintu yang menghubungkan dek atas dengan dek bawah. Tertutup. Dan tidak ada siapa-siapa.
Aku kembali duduk dan menenggak soju-ku dengan perasaan takut-takut. Siapa awak yang menyelam tadi? Tidak mungkin ada awak yang kurang kerjaan lalu menyelam kedalam samudera. Kapten juga telah memperingatkan setiap awak agar tidak berenang dilautan jika tanpa perintahnya. Aku masih penasaran tapi tetap saja ketakutan lebih mendominasiku.
"Umin hyung!" aku terlonjak kaget dan hampir terjatuh dari ketinggian ini. Baekhyun. Kurasa anak itu yang mengerjaiku. Tapi, lihatlah, bajunya kering-kering saja. Siapa yang iseng berenang tadi?
Aku kembali duduk. "Bodoh, kau mengagetkanku." Gumamku pelan. Tapi aku yakin Baekhyun masih dengar itu. Ketukan bot diatas permukaan kayu mulai terdengar. Baekhyun sedang menaiki tiang ini. "Katamu kau akan mengikuti pestanya." Rancaunya setengah sadar. Pengaruh alkohol merengut setengah kesadarannya.
Bibirku terangkat keatas. Sebuah senyum kecil dibibirku sirna sebelum aku menenggak liquid bening kekuningan dalam botol minuman keras yang kugenggam. "Aku hanya bilang akan kucoba," ada jeda selama beberapa saat, "dan itu berarti tidak harus hari ini."
"Para awak ingin melihatmu sekali-kali meminum soju bersamamu, bermain kartu bersamamu, dan tertawa dalam pengaruh soju bersamamu. Ayolah, kita ini keluarga, hyung!"
Brukk!
Aku menunduk melihat keadaan Baekhyun. Dia terjatuh dari tiang akibat pengaruh soju yang kini membuatnya pingsan tak sadarkan diri. Merasa malas untuk berbuat kebaikan, aku memilih tidak peduli, terkekeh pelan dan menggelengkan kepalaku. Satu tenggakkan soju mengaliri tenggorokkanku. Menandakan satu malam diatas tiang pemantau kapal berakhir.
.
"Pagi, Tuan Puteri!"
Sinar matahari menyeruak masuk kedalam kamarku. Sialan. Sinarnya begitu memilaukan mataku. Aku segera menarik selimut guna menutupi tubuhku. Tapi selimutku ditarik oleh seseorang yang aku tidak ketahui−mataku masih terpejam.
"Tuan Puteri, sudah pagi. Paduka Raja sudah menunggu kehadiran anda diruang makan bersama Permaisuri." Argh. Dengan kesusahan aku beranjak dari tempat tidur dan berlari mengejar seonggok daging yang merusak tidurku.
Sialan si Byun itu, mentang-mentang aku tidak mengangkut tubuhnya yang limbung akibat pengaruh alkohol semalam. "Sialan kau Baekhyun!" erangku keras.
Kudengar Baekhyun tertawa diluar kamar. Anak itu paling bisa membuat mood orang jatuh seketika. Sudah kubilang, Baekhyun tidak berguna, anak itu hanya jadi tukang bersih-bersih kapal saja.
Aku melangkah meraih sepatu bot yang kutata rapi disudut kamar. Kamarku sangat kecil, mungkin hanya setinggi lemari pakaian sedangakan luasnya hanya seluas toilet umum. Tempat tidur yang kugunakan merupakan kasur gantung yang terbuat dari papan kayu tak terpakai dan kualasi dengan busa yang dijual dipelabuhan tempat kami bersinggah. Dibawah tempat tidurku ada peti kayu berisikan barang-barang peninggalan ayahku yang sengaja tidak kubuka sampai sekarang, terakhir kali kuingat peti itu berisikan kompas, sebuah gaun merah marun milik mendiang ibuku, jam tangan emas, belati kecil, abu ayahku, abu ibuku−hanya itulah beberapa barang itu yang kuingat.
Kubuka pintu kamar dengan malas. "Pagi Minseok hyung!" Kyungsoo menyapaku.
"Pagi Kyung! Mana Baekhyun?" tanyaku kepada Kyungsoo. Kyungsoo tersenyum lembut, "Baekhyun menggantikan Jongdae memantau, Jongdae sedang sakit. Apa hyung belum sarapan? Kebetulan, aku sedang membuatkan Jongdae sarapan, hyung bisa ikut sarapan dengan Jongdae."
Aku mengangguk. Kyungsoo menuntunku menuju dapur tempat Kyungsoo, kepala koki Black Pearl. Pemuda bernetra bulat itu bertugas memasakkan makanan untuk para awak yang bekerja seharian. Kyungsoo dibantu oleh Yixing, koki yang membantunya memasak untuk para awak kapal. Keduanya ditugaskan dibawah dek. Tak lupa, Kapten Wu membekali mereka ilmu dasar menembakkan meriam yang berada satu dek dengan mereka jika tiba-tiba bahaya menyerang.
"Pagi hyung." Sapa Jongdae. Wajahnya pucat sekali. Benar kata Kyungsoo, Jongdae sakit.
Aku tersenyum kemudian mendudukkan diri disebelah Jongdae. "Pagi." sapaku. Kuperhatikan wajahnya, tampak pucat dan menggigil. Tidak sengaja lenganku bersentuhan dengan permukaan pucat kulitnya, astaga, dia benar-benar sakit. "Dae, kau sudah minta izin Kapten untuk libur sementara?" tanyaku khawatir.
Jongdae menggeleng dan menyuapkan sesendok bubur kedalam mulutnya. Sempat Kyungsoo hendak menyuapi Jongdae tapi Jongdae mengelaknya. "Keadaanmu bisa lebih buruk kalau tidak istirahat."
"Aku tidak akan membiarkan awak Black Pearl salah arah karena Baekhyun."
Kyungsoo menghela napas dan mendudukkan diri didepan Jongdae. "Baekhyun lebih memilih bekerja dengan benar daripada digantung ditiang layar seharian oleh Kapten. Jongdae, jangan keras kepala!" sisi keibuan Kyungsoo muncul.
"Kyungsoo benar! Kalau kau takut untuk berbicara dengan Kapten, biar aku saja yang bicara."
Aku hendak bangkit tapi Jongdae menahan tanganku. "Tidak hyung. Tidak perlu."
Aku menggeleng dan menyentakkan tangan Jongdae. "Tidak perlu apanya? Kau harus−"
"MINSEOK HYUNG!" kami bertiga menoleh kearah sumber suara. Joonmyeon berada diambang pintu penghubung dek atas dan dek bawah. "Kapten memanggilmu."
Badanku beranjak berdiri dan melangkah menuju dek atas. Kapten Wu memanggilku. Ini pertama kalinya Kris memanggilku semenjak insiden terbunuhnya Kapten Li Fai. Dulunya kami dekat dan sering menghabiskan waktu bersama. Tapi Kris berubah semenjak kejadian itu. Ia tidak pernah berbicara kecuali pada Yixing dan Joonmyeon. Aku sempat iri mengingat aku lebih dulu dekat dengan Kris, tapi mengapa Yixing dan Joonmyeon yang mendapatkan kepercayaan untuk mendengarkan suara Kris. Pasti terdengar berbeda dengan 14 tahun lalu.
Tok tok!
Tanganku menggenggam gagang pintu ruangan Kapten Wu. Tanganku gemetar. "IN!" aku sedikit terlonjak. Suara ini.
"K-Kri−Kapten?" netraku melihat punggung tegap Kris yang dibalut oleh jubah hitam peninggalan Kapten Li Fai. Netraku menangkap noda merah yang telah kering ada disekujur jubah itu. Tidak salah lagi, itu jubah Kapten Li Fai yang dikenakannya saat tertembak peluru dari awak Kapal Inggris.
Kris yang awalnya mendongak memandang gambar wajah mendiang Kapten Li Fai yang dibingkai dengan bingkai kayu jati, kalau diperhatikan lebih tajam terdapat ukiran kapal yang aku duga sebagai Black Pearl dan ukiran-ukiran seperti gelombang laut. Kris menunduk kemudian berbalik. Ini pertama kalinya dari 14 tahun aku melihatnya sedekat ini−beruntungnya aku melihatnya tanpa penutup mata yang biasa menutup mata kirinya, ia juga semakin tampan. Aku menahan diri untuk tidak menangis dan berlari memeluknya.
Kris mengalami luka hebat yang permanen dimata kirinya akibat berkelahi jarak dekat dengan kapten kapal perompak lain. Matanya hampir kena gores pisau sang kapten. Walau hampir kena tapi tetap saja berbahaya karena kapten itu berhasil memutus saraf mata Kris dengan cara menekan matanya hingga ia setengah buta. Kris tidak ingin mengingat kejadian yang hampir merenggut pengelihatannya. Itu sebabnya ia memakai penutup mata yang menutup mata kirinya.
"Aku kehilangan." Nadanya memancarkan kesedihan. Iya, dia memang kehilangan. Kris kehilangan ayahnya, Kris kehilangan tangan kirinya, Kris juga kehilangan setengah pengelihatannya. "I lose everything in my life."
Aku tidak bisa tidak melangkah mendekati Kris. Ini Kris, aku tidak salah lihat. Ini Kris Wu, Wu Yi Fan teman semasa kecilku yang periang dan hangat, bukan Kapten Wu Si Tangan Kail Bermata Satu yang paling ditakuti perompak-perompak lain. Ingin rasanya aku menangis. Aku baru saja berjumpa dengan Kris Wu yang dulu, Kris Wu sebelum 14 tahun silam.
"Kris …" aku berlari memeluk tubuh tegap Kris. Rasa rinduku sedikit terobati. Aku rindu sekali saat-saat ini.
Kurasakan tangan Kris memeluk punggungku erat. "A-aku lelah dengan semua ini," pelukannya semakin erat, "Aku ingin kembali tangan kiriku yang dapat meyentuh tangkai gelas dengan jari-jariku. Aku lelah melihat hanya dengan satu mata, mata kananku juga ingin istirahat seperti mata kiriku …" Kris terisak. Tanganku bergerak mengelus-elus punggungnya. "Dan kalau bisa aku ingin ayahku hidup kembali."
Kami sama-sama menangis. Kurasakan kemeja putih longgar yang kugunakan basah oleh linangan air mata Kris. Kail logam yang menjadi pengganti tangan kirinya menyentuh permukaan kulitku membuatku sedikit menggigil karena dinginnya kail besi itu.
"Aku ingin apa yang telah hilang dariku kembali kepadaku." Kris melepaskan pelukannya dan mendorongku pelan menjauh darinya. "Aku ingin mata kiriku!" Kris menunjuk mata kirinya yang tidak dapat bergerak dengan kail tajamnya. "Aku ingin tangan kiriku kembali!" Kris melepas kail logam dengan tangan kanannya dan menampakkan bagian tangannya yang tumpul. Aku tak kuasa menahan air mataku. "Aku juga ingin ayahku, Kapten Wu Li Fai kembali padaku!" Kris berteriak.
Kris jatuh terduduk dikursi Kapten. Kedua tangannya melingkupi wajahnya yang memerah. Liquid bening mengalir keluar dari sela-sela jemari tangan kanannya. Ia pasti berpikir ia tampak mengerikan dengan keadaan ini. Aku mendekat.
"Minseok, katakan apa saja yang harus kulakukan untuk mendapatkan semua itu?!" suaranya bergetar. Aku duduk didepan peti besar yang menjadi meja kerja Kris. Terdapat peta benua diatasnya. "Katakanlah …"
Aku menatapnya sedih. Aku bukan Tuhan yang bisa memulihkan pengelihatan mata kirinya. Aku juga bukan Tuhan yang dapat dengan mudah menumbuhkan kembali tangan Kris beserta jemarinya. Sekali lagi aku bukan Tuhan yang dengan mudahnya dapat menghidupkan dan mematikan manusia-manusia dibumi. Aku hanya bisa menangis dan pasrah. Aku cuma Kim Minseok, seorang manusia biasa.
Netraku tidak sengaja menatap peta dimeja Kris. Menangkap satu warna hijau diatas warna biru lautan. Daratan kecil yang kukenal. Ya, tidak salah lagi. Itu Teluk Ai To Zetsubō. Teluk dekat Jepang dan dikenal berbahaya memasuki wilayahnya bagi para perompak. Dekat dengan Teluk Ai To Zetsubō adalah tempat tinggal para mermaid. Maka jarang ada perompak yang sampai Teluk Ai To Zetsubō dalam kembali kekapal mereka.
Ada mitos yang berhubungan dengan para putrid duyung dengan Teluk Ai To Zetsubō. Mitos itu mengatakan, 'barang siapa mendapatkan satu tetes air mata putri duyung, mencampurkan tetesannya dengan dua tetes mata air awet muda dan meminumnya, maka akan dikabulkan tiga permintaannya'. Ya, setidaknya seperti itu bunyinya. Aku menepuk-nepuk bahu Kris.
"Kris …" Kris menengadah menatapku dengan mata sembabnya. Ia kelihatan kebingungan dengan wajah cerahku. "A-Ai … T-tto .." Kris menatapku bingung, kedua tangannya menangkup pipiku. "Zet-Zetsu .. -bō .."
Alis Kris bertaut. "Ai apa? Bicara yang benar Minseok!" seru Kris tidak sabaran. Aku menenggak liurku dengan susah payah. "Teluk … Ai To Zetsubō!"
Tangan Kris jatuh diatas meja. Iris elangnya menatapku tidak percaya. "Mermaid tears, and the youth fountain tale. Minseok, you're genius!" Kris, dia tersenyum. Aku memangis haru. "Tapi tidak ada fakta tentang semua itu. Bagaimana bisa kita membuktikannya?"
Aku terdiam. Benar, bagaimana bisa membuktikan mitos itu. Sedetik kemudian aku tertunduk. "Aku akan memastikannya." aku seolah menggorok tenggorokkanku sendiri. "Aku akan ke Teluk Ai To Zetsubō. Siapkan satu sekoci untukku. Jangan menyusulku sebelum aku sendiri yang kembali ke Black Pearl."
"Minseok, sekoci tidak mungkin mendukung perjalananmu dari sini ke Teluk Ai To Zetsubō! Berpikir rasionalis, pasti ada jalan lain!"
Aku mengangkat tubuhku untuk berdiri. "Tidak!" hela napas keluar dari hidungku. "Ini satu-satunya cara untuk mengembalikan apa yang telah direnggut darimu, kawan. Biarkan aku pergi, dengan satu sekoci. Beri ultimatum untuk para awak agar tidak menyusulku."
Kris bangkit dan mencengkeram bahuku. Aku meringis tertahan. "Dengar,kau .. berharga bagiku. Jangan nekat, Minseok!" Kris melepaskan cengkramannya dan menggeram frustasi. Ia mengacak rambutnya sendir dan berdiri membelakangiku.
Aku menyentuh bahunya, "Dengar, .. Kris, … kau juga berharga bagiku. Senyummu adalah penghargaan terbesar dalam hidupku. Dengan senyummu yang menghilang, aku akan melakukan segalanya agar kembali seperti sedia kala."
Kris berbalik dan mengacak rambutnya frustasi. "Kalau kau ingin senyumku aku akan tersenyum seperti ini …" Kris tersenyum, tapi itu dipaksakan. "Jangan bodoh, Minseok!"
Aku melipat kedua tanganku didepan dada. "Bukan senyum terpaksa, Kris!"
"Argh, apapun itu terserahlah! Yang penting kau jangan pergi!" Kris menggeram, ia mendudukkan paksa dirinya dikursi Kapten. Aku hanya tersenyum melihatnya.
"Aku harus pergi, demi kau. Aku janji akan kembali!" telapak tanganku menangkup kedua pipi tirus Kris membuat kami berdua bertatapan. Netraku menatap iris black hole Kris. Tatapannya masih sama walau dia hanya menatapku dengan satu mata. Wajahku mendekat, satu kecupan mendarat dipipinya−agak dekat bibir.
Kris membatu, wajahnya merah dan ia sama sekali tak berkutik. Aku tersenyum simpul dan melangkah keluar ruangan Kris. Namun aku berhenti, teringat sesuatu. "Kris, …" jeda sebentar, "Jongdae butuh istirahat, biarkan dia tidak memantau dulu sampai kondisinya benar-benar bagus untuk memantau lagi."
Aku membuka pintu dan mendapati tatapan tanya dari para awak kapal.
"Aku butuh satu sekoci, ini perintah langsung dari Kapten!"
.
Kyungsoo menaruh tas berisikan bekal makanan selama menuju ke Teluk Ai To Zetsubō didalam sekoci. Matanya memancarkan kesedihan terhadapku. Yang dibalas hanya dengan senyuman kecil dibibirku. Aku tahu, Kyungsoo habis menangis, tapi biarlah tidak ada yang mengungkitnya.
Baekhyun, anak itu menatapku sendu dari atas tiang pemantau. Dia marah kepadaku. Aku tahu. Semua awak kapal tidak mengijinkanku pergi ke teluk putri duyung itu. Mereka bilang terlalu berbahaya. Tapi kuakui aku yang keras kepala ini bersikeras untuk tetap pergi ke teluk itu.
Seluruh awak kapal memandang kearahku yang mulai duduk kesekoci. Mereka menatapku iba. Aku bisa menangkap kalau mereka menyayangkan kekeras kepalaku, dan juga tatapan yang menyiratkan aku takkan selamat dan kembali ke Black Pearl seperti sedia kala. Tatapan mereka menyiratkan kematianku yang seperti hanya menghitung hari.
Peduli setan dengan kematian dan serangan mermaid. Yang terpenting hanya senyum Kris. Bahkan Kris hanya menatapku dengan tatapan yang tak terbaca.
Aku hendak mengayuh sekoci kecil ini, "Gege!" aku berhenti dan menoleh, salah satu awak Black Pearl, Huang Zi Tao. Dia tersenyum manis dan memeluk tongkat kayu. Tao mencondongkan tubuhnya mendekati badan sekoci. Tangan kanannya melempar tongkat kayunya kesekociku. Aku menatap tongkat kayu Tao dengan seksama. "Tao, tongkat wushu-mu?!"
Tao hanya mengangguk dan tersenyum kecil. "Aku membuatkan dayung untuk gege, pakailah kalau salah satu dayungnya rusak."
Aku menunduk. Berat hati aku mendongak dan menatapi para awak Black Pearl yang menatapku. Air mataku menetes. "Terima kasih, Tao. Terima kasih, … kalian semua."
Beratnya mengayuh sekoci ini memang tidak seberapa ketimbang harus berpamitan−yang mungkin untuk selamanya kepada mereka.
Aku berbisik, "Terima kasih Black Pearl."
.
Sekoci terkoyak-koyak oleh gelombang samudera. Tas berisikan bekal makanan sudah tidak ada dipunggungku.
Aku terombang-ambing oleh gelombang samudera. Berkali-kali tubuhku mencapai dasar, tapi kemudian mengapung dipermukaan air. Tubuhku sudah lemas dan tidak memberikan perlawanan. Aku hanya pasrah terombang-ambing oleh lautan yang seakan melemparku keangkasa berkali-kali lalu menarikku untuk turun kemudiam. Aku seperti mainan bagi mereka, mainan yang sepertinya sampai kapanpun tidak akan mereka lepaskan. Pandanganku mulai buram, deru nafasku lambat laun mulai memelan. Aku bisa mendengarnya meski air-air ini menutupi indera pendengarku. Apa aku sekarat? Atau sudah mati? Aku tidak peduli dan hanya bisa pasrah oleh permainan tangan Tuhan.
Pandanganku benar-benar menghitam, sebelum menghitam aku bisa melihat tubuhku mulai tertarik kedalam samudera−dalam dan dalam. Perlahan mataku menutup dan menikmati tarikan yang menarikku semakin dalam kedasar samudera yang antah berantah ini.
.
"Halo."
Ada seorang laki-laki dihadapanku. Jaraknya sangat dekat denganku. S-siapa dia?
.
TBC
.
.
Jeng jeng … Put datang dengan fanfic baru. Kepanjangankah? Mwehee …
Terima kasih yang sudah review dan membaca Story Of A Relationship bagian ketiga. Big rewards for you. Jangan lupa buat review fanfic ini~
Regards,
Put
