Fallen too Far

By ABBI GLINES

Remake to KiHyun Version

Note : I Have NOTHING but this Strange Account

Like my acc name, I just a remaker. You don't like me, that's your problem guys.

Truk bercampur lumpur pada ban yang kupakai telah kuparkir di samping rumah yang sedang berpesta itu. Tidak ada mobil buatan luar negeri mahal disini. Tempat ini paling tidak memuat setidaknya dua puluh mobil yang menutupi sepanjang jalan masuk. Aku memarkir truk Ford tua berusia lima belas tahun milik Ibuku di lapangan berumput, jadi aku tidak akan menghalangi siapa pun. Ayah tidak bilang padaku bahwa malam ini dia akan mengadakan pesta. Dia tidak bicara banyak padaku.

Dia juga tidak hadir pada pemakaman Ibu. Jika aku tidak butuh tempat tinggal, aku tidak mau berada disini. Aku sudah menjual rumah mungil yang ditinggalkan Nenekku untuk membayar tagihan akhir dari biaya pengobatan ibu. Yang tersisa hanyalah bajuku dan truk. Menelpon Ayahku, setelah dia tidak pernah datang walau hanya sekali selama tiga tahun Ibuku berjuang melawan penyakit kankernya, sangatlah berat. Meskipun ini juga penting, karena dialah satu-satunya keluarga yang aku miliki.

Aku menatap pada rumah besar tiga lantai yang mengarah langsung pada pasir putih di pantai Rosemary, Florida. Ini adalah rumah baru Ayahku. Keluarga barunya. Aku tidak cocok hidup disini.

Pintu trukku tiba-tiba terbuka. Dengan spontan, aku meraih ke bawah kursi dan mengambil pistol sembilan millimeterku. Aku mengayunkannya dan mengarahkannya pada penyusup itu, memegang senjata itu dengan kedua tanganku siap untuk menarik pelatuknya.

"Whoa…Aku baru saja akan bertanya padamu kalau kau tersesat tetapi aku akan mengatakan padamu apapun yang ingin kau lakukan padaku asalkan kau jauhkan senjata itu," seorang pria dengan rambut shaggy coklat yang diselipkan dibelakang telinganya berdiri di sisi depan senjataku dengan kedua tangan terangkat dan matanya yang melebar.

Aku menatapnya bingung dan tetap mengacungkan senjataku. Aku masih tidak tahu siapa pria ini. Membuka pintu truk orang lain bukanlah hal biasa bagi orang asing. "Tidak, kupikir aku tidak tersesat. Apakah ini rumah Cho Youngwoon?"

Pria itu menelan ludahnya dengan gugup, "Uh, aku tidak bisa berpikir jika senjata itu diarahkan ke wajahku. Kau membuatku sangat gugup, Sayang. Bisakah kau menurunkan senjatamu sebelum terjadi kecelakaan?"

Kecelakaan? Benarkah? Pria ini mulai membuatku marah. "Akutidak mengenalmu. Diluar gelap dan aku di tempat asing, sendirian. Jadi, maafkan aku jika kau merasa tidak nyaman saat ini. Kau bisa mempercayaiku kalau aku bilang padamu bahwa tidak akan terjadi kecelakaan. Aku bisa memakai senjata. Dengan sangat baik."

Pria itu kelihatannya tidak percaya padaku dan sekarang setelah aku melihatnya kelihatannya dia tidak berbahaya. Namun, aku belum siap untuk menurunkan senjataku.

"Youngwoon?" dia mengulangnya perlahan dan mulai menggelengkan kepalanya kemudian berhenti, "Tunggu, Youngwoon adalah Ayah tiri baru Kibum. Aku bertemu dengannya sebelum dia dan Leeteuk pergi ke Paris."

Paris? Kibum? Apa? Aku menunggu penjelasan lebih tetapi pria ituterus menatap pada senjata dan menahan nafasnya. Mengunci tatapanku padanya, aku menurunkan senjataku dan memastikan untuk mengembalikan rasa aman seperti semula sebelum aku menyimpan senjataku di bawah kursiku. Mungkin dengan senjata itu dijauhkan pria ini bisa fokus dan menjelaskan.

"Kau punya surat ijin untuk memiliki senjata?" tanyanya ragu.

Aku sedang tidak ingin membicarakan surat ijin senjataku. Aku butuh jawaban.

"Youngwoon di Paris?" tanyaku meminta konfirmasi. Dia tahu aku akan datang hari ini. Kami sudah membicarakannya beberapa minggu yang lalu setelah aku menjual rumah.

Pria itu mengangguk pelan dan bersikap santai. "Kau mengenalnya?"

Tidak juga. Aku menemuinya dua kali sejak dia meninggalkan ibuku dan aku lima tahun yang lalu. Aku ingat Ayah datang ke pertandingan sepak bolaku dan memanggang burger di luar rumah untuk pesta antar tetangga. Ayah yang aku miliki hingga hari dimana saudara kembarku Kuixian tewas dalam kecelakaan. Ayahku yang mengemudi. Dia berubah sejak hari itu. Pria yang tidak menelponku dan memastikan aku baik-baik saja sementara menjaga ibuku yang sakit, aku tidak mengenalnya. Tidak sama sekali.

"Aku putrinya, Kyuhyun."

Mata pria itu melebar dan dia menghempaskan kepalanya ke belakang dan tertawa. Apakah itu lucu? Aku menunggunya untuk menjelaskan ketika dia mengulurkan tangannya. "Ayo Kyu, aku ingin kau bertemu dengan seseorang. Dia akan menyukainya."

Aku menatap tangannya dan meraih tasku.

"Apakah kau menaruhnya di dalam tasmu? Haruskah aku memperingatkan semua orang agar tidak membuatmu marah?" nada menggoda di suaranya menjauhkanku dari berkata kasar.

"Kau membuka pintuku tanpa mengetuk. Aku ketakutan."

"Reaksi cepatmu karena takut dengan mengacungkan senjata pada seseorang? Cewek sialan, dari mana asalmu? Kebanyakan gadis yang aku kenal akan menjerit atau semacamnya."

Kebanyakan gadis yang dia kenal tidak terpaksa untuk melindungi dirinya hampir selama tiga tahun. Aku punya seorang ibu yang sakit untuk dijaga tetapi tidak ada seorang pun yang menjagaku. "Aku dari Alabama," jawabku sambil mengacuhkan uluran tangannya dan melangkah keluar dari truk.

Angin sepoi pantai membelai wajahku dan bau asin dari laut terasa begitu nyata. Aku belum pernah melihat laut sebelumnya. Paling tidak belum secara langsung. Aku melihatnya di lukisan dan film. Tapi baunya, benar-benar seperti apa yang aku harapkan.

"Jadi benar apa yang mereka katakan tentang gadis dari Bama," jawabnya dan aku mengalihkan perhatianku padanya.

"Apa maksudmu?"

Matanya mengamati tubuhku dari bawah dan kembali ke wajahku. Sebuah seringai terpasang di sepanjang wajahnya. "Jeans ketat, tank top, dan senjata. Sialan, aku hidup di negara bagian yang salah." Memutar mataku, aku meraih ke belakang truk. Aku membawa koper dan beberapa kotak yang harus aku turunkan di Goodwill.

"Sini, biar aku saja," ia berjalan mengitariku kemudian meraih koper besar Ibuku di bagasi truk yang tersimpan di lemarinya untuk "perjalanan jauh" yang tidak pernah kami lakukan. Dia selalu berbicara tentang bagaimana kami akan mengemudi melintasi negara dan kemudian menuju pantai barat suatu hari nanti. Kemudian dia jatuh sakit.

Menghilangkan ingatan itu, aku fokus pada masa sekarang. "Terima kasih, uh…aku belum tahu namamu."

Pria itu menarik koper keluar kemudian berpaling padaku.

"Apa? Kau lupa untuk bertanya ketika kau punya senjata sembilan millimeter yang diarahkan padaku?" jawabnya.

Aku mendesah. Oke, mungkin aku menjadi sedikit berlebihan dengan senjata tetapi pria ini membuatku takut.

"Aku Micky, a, uh, temannya Kibum."

"Kibum?" Nama itu lagi. Siapa itu Kibum?

Micky menyeringai lebar lagi. "Kau tidak tahu siapa itu Kibum?" dia benar-benar gembira. "Aku sangat senang kau datang malam ini."

Dia menganggukkan kepalanya ke arah rumah, "Ayo. Aku akan memperkenalkanmu."

Aku berjalan disampingnya saat dia membawaku menuju rumah. Musik di dalam rumah begitu keras saat kami mendekat. Jika Ayahku tidak ada disini, lalu siapa disana? Aku tahu Leeteuk adalah istri barunya tetapi hanya itu saja yang aku tahu. Apakah ini pesta anaknya? Berapa usia mereka? Dia punya anak, bukan? Aku tidak ingat. Ayah tidak memberitahuku dengan jelas. Dia bilang aku akan menyukai keluarga baruku tetapi dia tidak bilang siapa keluarga baru itu.

"Jadi, Kibum tinggal disini?" tanyaku.

"Ya, dia tinggal disini, paling tidak saat musim panas. Dia pindah ke rumahnya yang lain sesuai musim."

"Rumahnya yang lain?"

Micky tertawa, "Kau tidak tahu apa-apa tentang keluarga yang dinikahi ayahmu, kan Kyu?"

Dia tidak tahu. Aku menggelengkan kepala.

"Pelajaran singkat sebelum kita masuk ke dalam kegilaan," jawabnya sambil berhenti di puncak tangga yang mengarah ke pintu depan dan menatapku. "Kim Kibum adalah kakak tirimu. Dia adalah anak tunggal dari drummer terkenal Slacker Demon, Kim Kangta. Orang tuanya tidak pernah menikah. Ibu nya, Leeteuk, adalah satu penggemarnya saat itu. Ini rumahnya. Ibunya bisa tinggal disini karena dia mengijinkannya." Micky berhenti dan melihat ke belakang pintu, dan membukanya. "Ini semua adalah temannya."

Seorang cewek tinggi, berambut pirang strawberry, langsing memakai gaun mahal pendek berwarna biru dan sepasang heels yang jika aku mencoba untuk memakainya akan mematahkan leherku mereka berdiri disana menatapku. Aku tidak melewatkan kernyitan di wajahnya. Aku tidak mengenal orang seperti ini tapi aku tahu tempat belanja bajuku bukanlah sesuatu yang dia datangi. Meskipun aku punya serangga yang merayapiku.

"Well, halo Hyunna," jawab Micky dengan nada mengganggu.

"Siapa dia?" gadis itu bertanya, mengalihkan tatapannya pada Micky.

"Teman. Hapus ancaman dari wajahmu Hyun, itu terlihat tidak cocok untukmu," jawabnya, meraih tanganku dan mendorongku masuk kedalam rumah dibelakangnya.

Ruangan itu tidak seramai yang aku bayangkan. Saat kami melewati serambi yang terbuka lebar, sebuah pintu masuk melengkung mengarah ke tempat yang aku kira adalah ruang tamu. Meskipun begitu, ruangan itu lebih besar dari rumah terakhirku atau rumah yang pernah menjadi rumahku. Dua pintu kaca berdiri dengan pemandangan laut yang mempesona. Aku ingin melihatnya lebih dekat.

"Sebelah sini," ajak Micky sambil dia berjalan menuju…bar? Yang benar saja? Ada bar di dalam rumah?

Aku menatap orang-orang yang kami lewati. Mereka semua berhenti saat itu juga dan menatapku sekilas. Aku merasa tersanjung.

"Kibum, kenalkan Kyuhyun, aku yakin dia mungkin milikmu. Aku menemukannya di luar dan terlihat sedikit tersesat," ucap Micky dan aku mengalihkan tatapanku dari kumpulan orang-orang yang penasaran untuk melihat siapa itu Kibum.

Oh.

Oh. My.

"Oh ya?" jawab Kibum dengan malas dan maju dari posisi santainya di sofa dengan bir ditangannya. "Dia menarik tapi masih muda. Tidak bisa dikatakan dia milikku."

"Oh, dia memang milikmu. Ayahnya pergi ke Paris dengan ibumu selama beberapa minggu kedepan. Aku akan bilang sekarang dia adalah milikmu. Aku akan sangat senang menawarinya kamar ditempatku jika kau mau. Hanya saja jika dia berjanji untuk meninggalkan senjata mematikannya di truk."

Kibum mengernyitkan alisnya dan mengamatiku lebih dekat. Matanya berwarna gelap. Menarik namun ganjil. Warnanya bukan coklat. Bukan juga kehijauan. Warnanya hangat dengan iris hitam kelam melingkupinya. Aku belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya.

"Bukan berarti dia milikku," akhirnya dia menjawab dan bersandar lagi di sofa dimana dia berbaring saat kami muncul.

Micky membersihkan tenggorokannya. "Kau bercanda, kan?"

Kibum tidak menjawab. Malah dia minum dari botol berleher tinggi di tangannya. Tatapannya bergeser pada Micky dan aku bisa melihat peringatan disana. Aku akan meminta ijin untuk segera pergi. Ini tidak bagus. Aku hanya punya dua puluh dolar di dompetku dan aku hampir kehabisan bensin. Aku sudah menjual semua yang aku miliki. Ketika aku menelpon ayahku aku bilang kalau aku butuh tempat tinggal hingga aku dapat kerja dan menghasilkan cukup uang untuk menyewa tempat sendiri. Dia langsung setuju dan memberiku alamat ini mengatakan padaku dia akan sangat senang jika aku mau tinggal bersamanya.

Perhatian Kibum kembali padaku. Dia menungguku untuk mengatakan sesuatu. Apa yang dia harapkan untuk kukatakan? Sebuah seringai terlihat di bibirnya dan dia mengedipkan mata padaku.

"Aku punya banyak tamu malam ini dan semua kamar sudah penuh." Dia mengalihkan tatapannya pada Micky. "Kupikir lebih baik kita membiarkannya pergi untuk mencari hotel hingga aku bisa menghubungi Ayahnya."

Rasa jijik di lidahnya saat dia mengatakan kata "Ayah" telah lenyap tanpa diketahui. Dia tidak seperti ayahku. Aku tidak bisa menyalahkannya. Ini bukanlah salahnya. Ayahku yang mengirimku kemari. Aku sudah menghabiskan banyak uang untuk membeli bensin dan makanan di perjalanan menuju kemari. Kenapa aku harus percaya pada pria?

Aku meraih dan menarik koper yang masih tetap dipegang Micky. "Dia benar. Aku seharusnya pergi. Ini adalah hal yang sangat buruk," aku menjelaskan tanpa melihatnya. Aku menarik keras koper dan dia melepaskannya dengan sedikit enggan. Rasa perih menyengat mataku saat aku sadar aku merindukan rumah mulai menusukku. Aku tidak sanggup melihat mereka.

Berbalik, aku menuju pintu, menahan kesedihanku. Aku mendengar Micky berdebat dengan Kibum tapi aku mengabaikannya. Aku tidak mau mendengar apa yang dikatakan pria tampan itu tentang aku. Dia tidak menyukaiku. Itu terlihat jelas. Ayahku nampaknya bukanlah anggota keluarga yang diharapkan.

"Kau akan segera pergi?" sebuah suara yang mengingatkanku pada sirup lembut bertanya. Aku mengangkat kepalaku untuk melihat senyum gembira pada gadis yang membuka pintu sebelumnya. Dia juga tidak ingin melihatku disini. Apakah aku menjijikkan bagi semua orang? Aku langsung menjatuhkan tatapanku pada lantai dan membuka pintu. Aku masih punya banyak harga diri untuk tidak membiarkan jalang itu melihatku menangis.

Saat aku sampai di luar rumah dengan selamat aku menangis terisak dan berjalan menuju trukku. Jika aku tidak membawa koper aku akan lari. Aku harus mencari perlindungan. Aku masuk ke dalam trukku, bukan di dalam rumah lucu itu dengan orang-orang sombong. Aku rindu rumah. Aku rindu Ibuku. Isakan lainnya meluncur bebas dan aku menutup pintu truk dan menguncinya dibelakangku.

Aku menghapus air mataku dan memaksakan diri untuk mengambil nafas dalam. Aku tidak boleh menyerah sekarang. Aku tidak menyerah ketika aku duduk memegang tangan ibuku saat dia menghembuskan nafas terakhirnya. Aku tidak menyerah saat mereka membaringkannya di tanah yang dingin. Dan aku tidak menyerah ketika aku menjual satu-satunya rumahku. Aku tidak akan menyerah sekarang. Aku bisa melaluinya.

Aku tidak punya cukup uang untuk menyewa kamar hotel tapi aku punya trukku. Aku bisa tinggal di trukku. Mencari tempat aman untuk memarkirnya di malam hari mungkin akan menjadi satu-satunya masalahku. Kota ini kelihatannya cukup aman tapi aku sangat yakin jika truk tua ini di parkir disembarang tempat akan menarik perhatian. Aku akan melihat polisi mengetuk jendelaku bahkan sebelum aku tidur. Aku akan menggunakan dua puluh dolar terakhirku untuk mengisi bensin. Kemudian aku bisa mengemudikan trukku ke pusat kota dimana trukku tidak akan ketahuan di tempat parkir.

Mungkin aku bisa memarkirnya di belakang restoran dan mendapat kerja juga di sana. Aku tidak perlu bensin untuk pulang pergi ke tempat kerja. Perut keronconganku mengingatkanku kalau aku belum makan sejak pagi tadi. Aku akan menghabiskan beberapa dolar untuk makan. Dan berdoa semoga aku akan mendapatkan kerja esok hari.

Aku akan baik baik saja. Aku memutar kepalaku untuk memeriksa di belakangku sebelum aku menghidupkan mesin truk dan mundur. Sepasang mata gelap menatapku.

Sebuah teriakan kecil lolos dariku sebelum aku tahu kalau itu adalah Kibum. Apa yang dia lakukan berdiri di luar trukku? Apakah dia meyakinkan dirinya kalau aku telah meninggalkan rumahnya? Akubenar-benar tidak mau berbicara lagi dengannya. Aku mengalihkan tatapanku untuk keluar dari tempat ini sebelum dia mengangkat alis matanya padaku. Apa maksudnya?

Kau tahu apa? Aku benar-benar tidak dia terlihat sangat seksi saat melakukannya. Aku mulai menghidupkan truk tapi tiba-tiba mesin meraung, aku mendengar bunyi klik dan senyap. Oh tidak. Jangan sekarang. Tolong jangan sekarang.

Aku menggoncangkan kunci dan berdoa kalau aku salah. Aku tahu alat pengukur bensinku rusak tapi aku melihat alat pengukur jarak. Aku seharusnya tidak kehabisan masih punya beberapa mil lagi. Aku tahu aku bisa.

Aku menghantamkan telapak tanganku pada setir dan memanggil truk dengan beberapa pilihan nama tapi tidak terjadi apa-apa. Aku terjebak. Apakah Kibum akan menelpon polisi? Dia ingin aku keluar dari rumahnya jadi dia keluar untuk memastikan aku sudah pergi. Sekarang aku tidak bisa pergi apakah dia akan membuatku ditangkap? Atau yang lebih buruk, memanggil mobil derek. Aku tidak punya uang untuk mendapatkan kembali trukku jika dia melakukannya. Paling tidak di penjara aku dapat makan dan tempat tidur.

Menelan gumpalan yang tersangkut ditenggorokanku aku membuka pintu truk dan berharap yang terbaik.

"Ada masalah?" tanya Kibum.

Aku ingin berteriak histeris dalam frustasi. Namun, aku memutuskan untuk mengangguk. "Aku kehabisan bensin." Kibum mendesah. Aku tidak berbicara. Aku memutuskan untuk menunggu keputusan yang menjadi pilihan terbaik di sini. Aku bisa saja memohon dan membela diri setelahnya.

"Berapa usiamu?"

Apa? Apakah dia benar-benar bertanya usiaku? Aku terjebak dijalan masuk rumahnya, dia ingin aku pergi dan sekarang dia lebih suka membicarakan usiaku daripada pilihanku. Pria yang aneh.

"Sembilan belas," jawabku.

Kibum mengangkat alisnya, "Benarkah?"

Aku mencoba keras tidak marah. Aku memerlukan kemurahan hati pria ini untukku. Menekan komentar sinis di ujung lidahku, aku tersenyum. "Ya. Benar."

Kibum menyeringai dan mengangkat bahu."Maaf. Kau terlihat lebih muda." Dia berhenti dan matanya menelusuri tubuhku dan kembali keatas dengan perlahan. Rasa panas tiba-tiba merayapi pipiku dengan memalukan. "Aku tarik lagi kata-kataku. Tubuhmu sedikit seperti berusia sembilan belas tahun. Wajahmu kelihatan begitu segar dan muda. Kau tidak memakai make-up?"

Pertanyaan apa itu? Apa yang dia lakukan? Aku ingin tahu dengansegera seperti apa nasibku kedepannya, bukan membicarakan tentang kenyataan bahwa memakai make-up adalah hal mewah yang tidak bisa kulakukan. Selain itu, Max, mantan pacarku dan teman terdekatku, selalu bilang aku tidak butuh make-up untuk terlihat cantik. Apapun maksudnya itu.

"Aku kehabisan bensin. Aku hanya punya dua puluh dolar. Ayahku kabur dan meninggalkanku setelah mengatakan dia akan membantuku untuk bertahan hidup. Percayalah padaku, dia adalah orang TERAKHIR yang ingin kumintai tolong. Tidak, aku tidak pakai make-up. Aku punya masalah yang lebih besar daripada terlihat cantik. Sekarang, apakah kau akan menelpon polisi atau mobil derek? Aku lebih menyukai polisi dalam masalah ini jika aku boleh memilih," aku menutup mulutku untuk menyudahi kata-kata kasarku. Dia telah mendorongku terlalu jauh dan aku tidak bisa mengontrol mulutku. Sekarang, aku dengan bodohnya memberi dia ide bodoh tentang mobil derek. Sialan.

Kibum mengangkat kepalanya dan mengamatiku. Kesunyian lebih dari yang bisa kuatasi. Aku hanya membagi sedikit informasi pada pria ini. Dia bisa saja membuat hidupku lebih sulit jika dia menginginkannya.

"Aku tidak suka Ayahmu dan dari nada bicaramu, begitu pula kau," katanya penuh pertimbangan."Ada satu kamar kosong malam ini. Kosong hingga Ibuku pulang dari liburannya. Aku tidak menyuruh asisten rumah tangga untuk tinggal di sini sementara dia berlibur. Mrs. Song hanya datang untuk bersih-bersih seminggu sekali saat Ibuku berlibur. Kau bisa menempati kamarnya yang ada di bawah tangga. Kamarnya kecil tapi ada ranjangnya."

Dia menawariku kamar. Aku tidak akan menangis. Aku bisa melakukannya larut malam nanti. Aku tidak jadi dipenjara. Terima kasih Tuhan.

"Satu-satunya pilihanku adalah truk ini. Aku bisa menjamin apa yang kau tawarkan jauh lebih baik. Terima kasih."

Kibum mengerutkan dahi beberapa saat, kemudian segera hilang dan ada senyum tipis di wajahnya. "Di mana kopermu?" tanyanya.

Aku menutup pintu truk dan berjalan ke belakang truk untuk mengeluarkannya. Sebelum aku bisa mengambilnya, sesosok tubuh hangat dengan aroma asing dan lezat meraihnya duluan. Aku membeku saat Kibum meraih koperku dan menariknya keluar.

Berbalik aku menatapnya. Dia berkedip padaku. "Aku bisa membawakan tasmu. Aku bukanlah seorang bajingan."

"Terima kasih, sekali lagi," aku tergagap, tidak bisa jauh dari tatapannya. Matanya begitu mengagumkan. Bulu mata hitam tebal yang membingkai hampir terlihat seperti garis mata. Dia memiliki semua yang hal alami di sekeliling matanya. Itu sangat tidak adil. Mengapa aku tidak bisa mendapat bulu mata sepertinya.

"Ah,bagus, kau menghentikannya. Aku memberimu lima menit dan kemudian keluar untuk memastikan kau tidak kehilangannya." Suara akrab Micky mengagetkanku dari kebingunganku dan aku berbalik untuk berterima kasih atas interupsinya. Aku telah menatap Kibum seperti orang bodoh. Aku terkejut dia tidak melemparku dengan tas lagi.

"Dia akan memakai kamar Mrs. Song sampai aku bisa menghubungi Ayahnya dan mencari tahu sesuatu." Kibum seolah terganggu. Dia berjalan ke sampingku dan memberikan kopernya pada Micky." Ini, tolong antarkan dia ke kamarnya. Aku harus kembali."

Kibum berjalan tanpa menatap ke belakang. Diperlukan seluruh tekadku untuk tidak melihatnya pergi. Terutama sejak melihat belakang jeansnya yang sangat menggoda. Dia bukanlah orang yang harus kusukai.

"Dia adalah seorang yang pemurung," kata Micky, menggelengkan kepalanya dan menatap padaku. Aku setuju dengannya.

"Kau tidak perlu membawa koperku masuk lagi," aku berkata sambil meraih koper.

Micky menjauhkannya dari jangkauanku. "Aku bersikap seperti kakak yang baik. Aku tidak akan membiarkanmu membawa koper ini saat aku dua kali lebih kuat darimu untuk membawanya."

Aku ingin tersenyum jika saja satu kata yang baru saja membuatku kaget. "Kakak?" aku mengulangi.

Micky tersenyum tapi senyum itu tidak mencapai matanya. "Kupikir aku lupa bilang kalau aku anak dari suami Leeteuk yang ke dua. Dia menikah dengan ayahku saat aku berusia tiga tahun dan Kibum empat tahun, mereka menikah hingga aku berusia lima belas. Sejak saat itu Kibum dan aku bersaudara. Hanya karena ayahku bercerai dari ibunya tidak mengubah apa pun antara kami. Kami pergi sekolah bersama dan bergabung di perkumpulan yang sama."

Oh. Oke. Aku tidak menduganya. "Berapa banyak suami yang dimiliki Leeteuk?"

Micky tertawa pendek kemudian berjalan menuju pintu. "Ayahmu suami nomor empat."

Ayahku adalah orang bodoh. Wanita seperti dia kelihatannya mudah berganti suami seperti dia berganti celana dalam. Berapa lama dia melupakan para lelaki itu dan membuka hati lagi?

Micky berjalan di belakang dan tidak berkata apa-apa padaku saat kami menuju dapur. Dapur itu besar dengan meja batu pualam hitam dan peralatan rumah tangga yang banyak. Mengingatkanku pada sesuatu dari majalah dekorasi rumah. Kemudian dia membuka pintu yang terlihat seperti jalan lebar di pantry. Bingung, aku melihat sekelilingku kemudian mengikutinya masuk ke dalam. Dia berjalan ke belakang ruangan itu dan membuka pintu lain.

Dia punya cukup ruang untuk masuk dan meletakkan koperku di ranjang. Aku mengikutinya dan berputar di sekitar ranjang ukuran twin yang hanya meninggalkan jarak beberapa inci antara ranjang dan pintu. Aku benar-benar ada di bawah tangga. Sebuah meja kecil ada diantara ranjang dan dinding. Selain itu, tidak ada apa-apa lagi.

"Aku tidak tahu di mana kau akan menyimpan kopermu. Kamar ini kecil. Aku sebenarnya tidak pernah kesini." Micky menggelengkan kepalanya dan kemudian mendesah. "Dengar, jika kau ingin tinggal di apartemenku kau bisa. Paling tidak aku akan memberimu kamar yang bisa membuatmu bergerak di dalamnya."

Ucapan Micky yang manis membuatku tidak ingin menolak penawarannya. Dia tidak membutuhkan tamu tak diundang untuk menempati salah satu kamarnya. Paling tidak disini aku bisa menyembunyikan diri jadi tidak ada seorang pun yang akan melihatku. Aku bisa membersihkan sekitar rumah dan mendapatkan kerja di suatu tempat. Mungkin Kibum akan membiarkanku tidur di kamar kecil yang tak terpakai ini sampai aku punya cukup uang untuk pindah. Aku tidak merasa seolah aku terpukau ada disini. Aku akan mencari toko bahan makanan besok dan memakai dua puluh dolarku untuk membeli makanan. Selai kacang dan roti akan menjadi makananku selama seminggu atau lebih.

"Di sini sempurna. Aku akan baik-baik saja disini. Selain itu, Kibum akan menelpon Ayahku besok dan mencari tahu kapan dia akan kembali. Mungkin Ayahku sudah punya rencana. Aku tidak tahu. Terima kasih sekali lagi, aku sangat menghargai tawaranmu."

Micky melihat sekeliling kamar sekali lagi dan merengut. Dia tidak senang pada kamar ini tapi sangat perhatian.

"Aku tidak suka meninggalkanmu disini. Rasanya salah." Dia menatapku sekarang dengan suara memohon.

"Ini hebat. Lebih baik daripada trukku."

Micky mengerutkan dahi,"Truk? Kau berencana tidur di truk?"

"Ya, benar. Kamar ini, bagaimana pun juga, memberikan aku sedikit waktu untuk mencari tahu apa yang akan kulakukan selanjutnya."

Micky menjalankan tangannya ke rambut shaggynya. "Maukah kau berjanji sesuatu?" tanyanya.

Aku bukan orang yang suka berjanji. Yang aku tahu dari janji adalah mereka mudah dilupakan. Aku mengangkat bahu. Hal terbaik yang bisa kulakukan.

"Jika Kibum menyuruhmu pergi, telpon aku."

Aku akan menyetujui dan tahu jika aku tidak punya nomor telponnya.

"Dimana ponselmu jadi aku bisa memasukkan nomorku?" tanyanya.

Hal ini akan membuatku terdengar makin menyedihkan. "Aku tidak punya."

Micky menganga padaku," Kau tidak punya ponsel? Tak heran kau punya senjata." Micky meraih ke sakunya dan mengeluarkan sesuatu yang mirip kuitansi."Kau punya pulpen?"

Aku mengeluarkan pulpen dari dompetku dan memberikannya padanya.

Dia dengan cepat menuliskan nomornya dan memberikan kertas dan pulpen padaku. "Telpon aku. Aku serius."

Aku tidak akan pernah menelponnya tapi dia baik sekali dengan tawarannya. Aku mengangguk. Aku tidak menjanjikan apa-apa.

"Kuharap kau tidur nyenyak disini." Dia melihat sekeliling kamar kecil itu dengan rasa khawatir di matanya. Aku akan tidur dengan nyenyak.

"Tentu," aku menyakinkan dia.

Dia mengangguk dan keluar dari kamar menutup pintu dibelakangnya. Aku menunggu hingga aku mendengar dia menutup pintu pantry sebelum aku duduk di ranjang di samping koperku. Ini akan baik-baik saja. Aku bisa menjalaninya.

TBC