Title: Homicide Touch
Character: Mello (main), Matt (secondary), Near (supporting)
Genre: Mystery/Suspense
Rating: M
Summary: Kasus pembunuhan berantai di sebuah hotel di Itali kembali terjadi. SPK sudah angkat tangan, menyerahkan kasus ini ke tangan Mello. Namun, bukannya mendapat petunjuk, ia malah menemukan orang misterius di TKP. Matt/Mello, M rated for strong violence.

Author's note : Fic challenge dari teman saya untuk menulis M rated fic bukan karena lemon tapi karena kekerasan. Terinspirasi dari BB Murder Cases.


Chapter 1: Homicide

Mello membuka pintu apartemennya dengan kasar sebelum menutupnya lagi. Ia lalu menghantam pintu kayu miliknya.

"SHIT! Apa sih maunya Near?! Aku tidak percaya dia adalah L ke dua!" Ia berteriak seraya membanting dirinya ke kasur.

"Mello, SPK akan menyerahkan kasus pembunuhan berantai kali ini ke tanganmu."

"..." Mello duduk dan menyalakan TV di hadapannya. Berita yang sama. Sudah dua minggu ini, kasus pembunuhan yang sama terus ditayangkan di televisi karena pasalnya, tidak ada seorang detektif pun yang mampu menutup kasus tersebut. Tidak peduli berapa banyak, sang pelaku dapat membaca pikiran mereka. Semuanya telah pasrah dan angkat tangan, termasuk Near, secara tidak langsung. Mereka bahkan tidak dapat mengetahui apa tujuan sang pelaku. Semua korban tidak memiliki hubungan sama sekali kecuali mereka sama-sama menginap di sebuah hotel. Mello tidak tahu secara pasti namun, ia dengar pembunuhan yang kali ini melibatkan organ-organ semua korban. Penyelidik selalu menemukan korban telah tewas dengan satu organ yang menghilang, tidak dapat ditemukan di tempat kejadian. "Aku bahkan tidak yakin sang pelaku mempunyai sebuah motif. Paling-paling hanya seperti B, eksperimen belaka."

Mello bekerja sama dengan Near dalam kasus tersebut, tidak pernah sekalipun Albino itu menyerahkan foto-foto tubuh korban, membuat Mello semakin tidak ingin berkooperasi dengannya. "Korban ke sepuluh." Ia mengenakan belt-nya dan bersiap pergi ke TKP.

**

"Tidak ada benda yang sangat mencurigakan sehingga mereka perlu diteliti. Tubuh korban telah diangkut, bagaimana aku bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Polisi-polisi itu memang tak berotak." Mello menggigit coklat batang di tangan kanannya sambil memperhatikan keadaan sekitar kamar. Yang tersisa hanya bercak darah dan benda-benda yang lain ada di posisi yang sama seperti sebelum pembunuhan. "Lemari kabinet, televisi, jam dinding, toilet, lemari pakaian dan ranjang tidur. " Ia mengambil senter di kantong celana hitamnya dan melihat ke bawah ranjang. Tidak ada apa-apa. "Tubuh korban ditemukan di ranjang dengan kaki yang terbuka, bekas cekikan, tubuh tertelungkup." Ia menutup matanya dan membayangkan korban tersebut ada di ranjang. "Screw this. This is not working." Mengingat daya imajinasinya yang sangat sangat terbatas, ia membatalkan semuanya. "Kalau saja L ada disini..."

Tap.

Terdengar langkah kaki di luar. Secepat kilat, Mello membuka lemari, memasuki tempat itu dan menutupnya erat. Kali ini, terdengar suara pintu kamar tersebut dibuka. Mello mengintip sedikit. Ada sesosok pria tinggi mengenakan sepasang google jingga yang sama sekali tidak serasi dengan rambut hijau tua nya berdiri di dekat pintu. Ia memakai vest krem dengan bulu-bulu yang menutupi mulutnya, tidak ketinggalan baju stripe merah hitam lengan panjangnya dan baggy jeans berwarna biru tua, sepatu boots dan gloves hitam. Cowok ini memegang laptop hitam berkilauan di tangannya. Tinggi, sekitar 176 cm, umur sekitar 20. Dia terlihat agak aneh. Seluruh tubuhnya tertutup kecuali bagian tengah wajah dan rambutnya. Ia berjalan masuk ke dalam, ke arah lemari tempat Mello berdiri sekarang. Jantung Mello berdebar-debar, siapakah orang ini?

"Oh, shit." Dompet kulit hitam miliknya terjatuh, bersamaan dengan itu, Mello yang sedang membungkuk kehilangan keseimbangannya dan terjembab kedepan, menduduki dompet tersebut. "Hey!"

"Maaf." Ia mengambil dompet di bokongnya dan melirik ke arah benda terbuka tersebut "FBI Agent." Mello tidak bisa membaca nama orang tersebut berhubung tulisan yang terlihat seperti cakar ayam. Namun, setelah berpikir sesaat, aneh juga, FBI selalu bergerak dalam tim. "He-hey!" Tiba-tiba, cowok asing itu jatuh di pangkuannya. Matanya tertutup, sepertinya dia pingsan. "Cih, menyusahkan!" Mello menyeret orang itu ke atas tempat tidur sementara matanya memperhatikan layar laptop tersebut. "!!"

Isinya adalah foto-foto tubuh sembilan korban beserta dengan kondisi kamar saat itu. Ia langsung mengambil laptop hitam itu dan melihat semua program yang terbuka. "Korban pertama dikatakan meninggal di sofa. Tubuhnya terlentang dengan satu bola mata hilang dan satunya lagi sudah lepas, ada di tangan orang tersebut. Korban kedua mati di kamar mandi, setengah bagian otak hilang. Korban ketiga ada di kolong ranjang dengan lidah yang sudah dipotong seluruhnya. Korban keempat-"

"Ano, laptop itu.."

"Maaf! Tapi, saya melihat semua foto ini, saya sebenarnya seorang detektif yang sedang bekerja dalam kasus kali ini." Mello tersentak kaget dan menyerahkan laptop itu.

"Oh, saya kira semua detektif telah menyerah." Suaranya terdengar membenam karena mulutnya ada di balik vest itu. Ia mengambil laptop tersebut dari tangan Mello. "Bisa beritahu saya, untuk siapa anda bekerja?"

"Sebelumnya bersama SPK, tapi mereka sudah menyerahkan kasus ini sepenuhnya kepada saya."

"Apa mereka tidak memberikan informasi dan foto-foto korban?" Ia mengetik sesuatu di laptop miliknya.

"Tidak."

"Aneh, padahal semua data ini kudapat dari SPK."

"Apa?"

"Aku mengehack komputer utama SPK dan aku sedang mencoba untuk melakukan hal yang sama untuk mendapat foto terakhir." Ia menunjukan semua hal yang tengah ia lakukan. "Firewall telah kutembus tapi, server utamanya tetap menolak koneksi ini. Aneh, padahal biasanya berhasil." Layar laptop itu terus menunjukan tanda 'Cannot connect to server'.

"Saya lihat kau adalah agen FBI." Mello berkata sambil melihat cowok itu mengangguk. "Setahu saya, FBI tidak pernah bekerja sendiri, mereka selalu bekerja dalam kelompok. "

"FBI sudah tidak peduli kasus ini lagi. Saya mengambil cuti 2 minggu dan diam-diam kemari. Mau bekerjasama?"

"Eh? Tapi aku tak punya barang yang bagus."

"Kalau kau bisa bekerja dengan SPK, berarti, kau spesial. Aku percaya padamu." Ia berhenti sejenak. "Tolong ambilkan tas laptopku."

Mello melakukan yang diperintahkan cowok itu. "Aku Mello."

"Aku Matt." Ia membuka risleting depannya dan menarik beberapa kotak kecil. "Aku harap kau tak jijik melihat organ dalam?"

"Tidak."

"Baguslah." Ia membuka satu kotak itu dan di dalamnya adalah potongan otak, Mello sempat terkejut, namun ia kembali fokus. "Aku menemukannya di tempat kejadian. Polisi-polisi itu terlalu dungu untuk meyadari tempat persembunyian benda ini." Ia memberikan Mello beberapa kotak lainnya untuk dibuka. Perlahan, tangan Mello membuka semua kotak itu. Bola mata, bagian jantung, paru-paru yang dipotong kecil-kecil, gigi, lidah, kuku dan bagian-bagian mengerikan lainnya. "Bagaimana menurutmu?" Matt menyodorkan gambar korban pertama ke Mello. "Melihat sesuatu yang aneh?"

Merasa bahwa Matt sedang mengetesnya, Mello melihat laptop tersebut selama beberapa menit. "Ada yang aneh dengan korban ini namun aku- AH!" Mello melihat semua gambar korban itu. "Tidak ada luka lain selain bagian tubuh yang diambil, kita bisa simpulkan bahwa siapapun pelakunya, ia menyuntikan semacam racun. Bukan, pasti semacam obat lain yang dapat membunuh."

"Tepat." Nada suaranya terdengar puas. "Otak mu memang cepat memproses informasi, Mello. Kurasa, kita bisa bekerja sama!" Apa? Mello kan belum menyetujui tentang kerja sama ini. Tapi sudahlah, Mello hanya bisa tersenyum.

Matt memang misterius, seluruh bagian darinya. FBI yang bekerja sendiri (meskipun ia bilang ia mengambil cuti), suara membenam, mata tersembunyi di balik google, keahlian menge-hack dan semua organ korban miliknya.

"Mello, aku harus pergi sekarang. Bisakah kau datang pukul 10 pagi besok?" Ia memberikan selembar kertas kecil yang lalu diambil oleh Mello.

"Baik."


To be continued

Next chapter: Mello mengunjungi rumah Matt dan ia menyadari bahwa partnernya itu ternyata tidak se-misterius yang di bayangkan.

Internet rumah saya rusak, saya ngga bisa online untuk beberapa hari. Sementara, saya upload di komputer sekolah.