Salam jumpa!
Setelah lama tak memunculkan karya, akhirnya aku balik juga! Dengan sebuah fict Shonen-Ai yang di-request oleh seorang teman. Semoga fict ini bisa sedikit menghibur pembaca sekalian.
.
.
Naruto © Masashi Kishimoto
To Protect and Love You © Hyun-Hwa
.
.
Selamat menikmati
.
Chapter 1
.
Naruto berjalan menunduk. Wajahnya tersembunyi di balik helaian rambut pirangnya yang sengaja disisir jatuh menutupi wajahnya. Juga tiga garis halus yang aneh di kiri kanan pipinya, tertutup di balik sana.
Ia berjalan lamban sambil menatap permukaan lantai dengan kedua iris biru mudanya yang terhalang oleh kacamata minus tebal bergagang hitam. ia berjalan melintasi lapangan, tidak peduli kulit coklatnya yang akan semakin coklat jika terpapar sinar matahari siang ini.
Ia terus berjalan hingga sampai pada taman belakang sekolah yang ia pilih sebagai tempatnya menghabiskan bekalnya dan menyendiri dari orang-orang.
Ia mendudukkan dirinya di bawah sebuah pohon sakura yang bukan pada musimnya berbunga. Ia membuka kotak makan berwarna oranye dengan gambar katak yang kecil-kecil di permukaan dan tutupnya. Seperti biasa, menu makan siangnya hanya nasi kepal. Makanan yang tiap hari ia bawa. Bosan tapi ia tetap mensyukuri hal itu.
Mungkin suatu hari Tsunade baa-chan akan membuatkannya ramen sebagai makan siang. Walaupun Naruto tahu makanan itu tidak akan enak lagi dengan kuah dingin dan mie yang sudah membengkak. Ia akan tetap menyukainya. Karena Naruto sangat suka dengan ramen.
Samar-samar, Naruto mendengar lonceng sekolah sudah berbunyi pertanda kelas berikutnya akan segera dimulai. Sayangnya hal tersebut tidak diindahkan oleh pemuda pirang itu. Kenapa? Karena ia sedang tidak ingin melakukan apa-apa saat ini, selain menikmati makan siangnya yang sangat telat.
Naruto mengunyah makanannya dengan perlahan. Bukan gayanya memang, mengingat ia yang selalu nomor satu dalam ajang menghabiskan makanan di panti. Ia hanya tidak mau waktu menyendirinya cepat berlalu.
Sebenarnya ada alasan lain mengapa ia sering membolos dari pelajaran-pelajarannya. Tak lain adalah, ia hanya tidak mau bertemu dengan teman-temannya. Ia bosan terus di ejek dan dikucilkan oleh teman-temannya. Ralat! Ia tidak mau diejek oleh orang-orang sekolahan. Asal kalian tahu, ia tidak mempunyai satu teman pun disini.
Mereka sering menyebutnya aneh hanya karena tampang Naruto, juga karena ia adalah anak Yatim Piatu yang tinggal di Panti Asuhan. Mereka berspekulasi bahwa kedua orang tua Naruto adalah orang yang tidak benar. Mereka menyebut ibunya seorang pelacur dan ayahnya yang tidak jelas. Dan rambut pirangnya membuatnya terlihat seperti orang asing, tidak seperti kebanyakan orang Jepang yang memiliki rambut asli berwarna hitam.
Naruto menutup kotak makannya dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Kemudian ia mencari posisi yang pas dan nyaman untuk nya berbaring sambil memeluk tasnya. Angin sepoi yang bertiup membantu tubuhnya menjadi lebih rileks.
Tak butuh waktu lama, ia sudah tertidur dengan lelap.
Wajahnya tampak damai. Begitu damai hingga masalah berat dalam hidupnya sejenak menguap tak bersisa.
.
Naruto terbangun dari tidurnya setelah sekolah berakhir. Telinganya cukup tajam mendengar lonceng sekolah berteriak nyaring. Naruto mengambil tasnya lalu bergegas pulang.
Ia memilih jalan yang biasa ia lewati. Hari-hari sebelumnya juga ia tidak pernah lewat pagar depan seperti anak-anak lain. Ia punya jalannya sendiri. Di belakang sekolah, tak jauh dari tempat ia tidur siang tadi, ada jalan setapak yang ia temukan. Jalan itu memang tertutup oleh rimbunan ilalang yang mengelabui mata.
Naruto berjalan menembusnya. Ia menyingkirkan beberapa batang ilalang lalu menemukan jalan setapak itu. Jalannya lumayan dekat dan tembus di pinggiran jalan raya.
Naruto berbelok ke kiri lalu menyebrangi jalan. Di sebelah kanannya, ada sebuah bekas gedung dua belas lantai yang sudah tak terpakai. Ada isu mengatakan kalau gedung itu sekarang berhantu.
Naruto merinding sendiri menatap bangunan tua itu.
Ketika ia melewati gerbang bangunan itu, tiba-tiba dua orang berseragam sama dengannya menariknya masuk dengan paksa ke dalam area bangunan.
"HEI! Apa yang kalian lakukan, lepaskan aku." Naruto berontak dan hampir terlepas dari genggaman dua pemuda itu. Tapi sayangnya pemuda lainnya membantu mereka menarik Naruto.
Sesampainya di depan, pintu bangunan itu terbuka dari dalam. Cahaya menerobos masuk ke dalam bangunan. Menampakkan beberapa orang dengan seragam yang sama menunggu di dalam.
Naruto diseret hingga ke tengah ruangan yang kosong dan dilempar begitu saja hingga tersungkur di lantai yang dingin. Kacamatanya miring dan hampir terlepas karena dorongan yang begitu kuat.
Lututnya terluka dan mengeluarkan darah. Tangannya bertumpu di lantai yang dingin saat berusaha berdiri. Ia memandang sekeliling, dengan anak-anak yang menatapnya meremehkan. Mereka membentuk lingkaran dengan Naruto di tengah. Mereka mengenakan seragam yang sama namun wajah-wajah mereka tak satu pun yang dikenal oleh Naruto.
"Cih!" seseorang meludah ke arahnya. "—liat wajah menjijikkan itu. Dasar anak haram."
Naruto mengepal tangannya. Tidak ada yang boleh mengatakan seperti itu terhadapnya.
"HAHAHAHAHAHAH!" serentak tawa mengikuti ejekan itu. Naruto sudah kebal dengan tawa seperti itu, ia hanya memasang wajah datar tanpa rasa takut.
"Di saat seperti ini pun ia sama sekali tida takut. Mau sok hebat, Huh!" sebuah telur mendarat dan pecah di kepala Naruto. Ia yakin seseorang di antara mereka yang melemparnya. Bau telurnya sangat menyengat. Telur Busuk.
Naruto menggeram marah.
"Hahaha, bahkan telur busuk saja belum bisa melampaui busuknya tubuhmu, anak haram!"
Naruto tidak tahan lagi. Ia bergegas berdiri sempurna (menahan rasa sakit di lututnya). Lalu mendekat ke anak laki-laki yang barusan menghinanya. Satu pukulan telak dari Naruto mendarat di rahang pemuda itu dan membuatnya terdorong ke belakang.
"Berani juga kau rupanya! Rasakan ini…" dibantu teman-temannya yang lain, pemuda itu memukul perut Naruto dengan keras. Naruto tak dapat melawan karena dua pemuda lain mengunci kedua tangannya.
Setelah puas menghajar dan setetes darah menghias di sudut bibir Naruto, mereka menghempaskan tubuh pemuda pirang itu di lantai.
Berikutnya beberapa telur lagi mendarat di tubuhnya menyisakan rasa sakit. Diikuti sekantung tepung terigu yang sudah berulat melengket di sekujur tubuhnya.
Naruto berusaha melindungi kepalanya dengan kedua lengannya dari terjangan telur dan terigu kearahnya. Ia berjongkok pula untuk menghindar. Tubuhnya sudah terbungkus seperti adonan dari terigu dan telur. Naruto sendiri mau muntah dengan bau busuk dari tubuhnya.
"Rasakan itu, Pecundang!" terakhir, mereka serempak menyiramkan segelas kopi kental berwarna hitam per orang ke tubuh Naruto. Ada sekitar dua puluh gelas dari dua puluh orang yang membasahinya.
Dan sempurnalah kesenangan mereka. Mereka pergi dari bangunan itu dan meninggalkan naruto dengan tubuh lengket berwarna hitam dan berbau menyengat.
.
.
.
Naruto berjalan sempoyongan keluar dari areal bangunan tua itu. Dengan penampilan parah dan bau yang menyengat, sukses menarik perhatian beberapa orang yang melihat dan membuat mereka jijik seketika.
Naruto membenarkan letak kacamatanya dan menepuk pelan tas dan seragamnya yang kotor dengan tangannya. Walaupun ia tahu usahanya itu sia-sia. Butuh menyikat ekstra kalau mau membersihkan keseluruhannya. Ia tidak mungkin membeli yang baru. Pengeluaran panti membengkak bulan ini dan lagi tabungannya sudah tidak ada sama sama sekali.
Naruto hanya bisa mendesah pasrah.
"Kalau saja mereka tidak keroyokan, sudah habis aku hajar mereka itu." Kesal Naruto. "Aisshhh…" pemuda itu merintih ketika perih di sudut bibibrnya terasa.
Naruto memilih istirahat sebentar dengan bersandar di tembok gerbang bangunan itu. Tumben jalan sekitar sini sepi. Padahal ini masih siang menjelang sore. Ahh! Naruto baru sadar kalau cuaca tiba-tiba mendung. 'Padahal cerah-cerah saja waktu aku keluar dari sekolah tadi.' Batin Naruto.
Naruto baru akan melangkah ketika nyeri di kakinya tak tertahankan. Kakinya berdenyut sangat sakit. Ia membatalkan niatnya untuk bergerak. Ia merunduk dan mengelus pelan bagian mata kakinya. Bagian itu sempat keseleo ketika di dorong keras tadi. Naruto harap tulangnya tidak sampai retak.
"Aww…" rintihnya lagi.
"Kau tidak akan bisa berjalan dengan keadaan seperti itu…" suara rendah dari seorang pemuda tiba-tiba. "—Dobe."
Naruto memandang bingung pemuda di hadapannya. Wajah datar, kulit pucat, serta rambut dan mata berwarna hitam. Pemuda itu mengenakan seragam yang sama dengannya dan sebuah kamera Polaroid menggantung di lehernya dengan talinya yang berwarna hitam. Naruto menaikkan sebelah alisnya dan melempar tatapan apa-kau-sedang-berbicara-padaku.
"Seperti yang kau lihat, tak ada siapa pun disini. Yang berarti aku sedang berbicara denganmu, Bodoh." Ucap lelaki itu lagi mengerti dengan tatapan Naruto. Naruto memandang sekeliling memastikan.
Alis Naruto beradu. "Kita baru bertemu dan kau sudah berani memanggilku 'bodoh'? Kau tidak punya sopan santun, brengsek?" ucap Naruto tak kalah sengit. Kalau bukan karena keadannya yang menyedihkan, Naruto hampir saja melayangkan satu pukulan pada pemuda ini. Sekalian untuk pelampiasan, batinnya.
"Errrgh!" rintih Naruto ketika kakinya berdenyut lagi. Ia oleng dan hampir terjatuh.
Untungnya pemuda pucat itu sempat menahan tubuhnya. "Kau tidak bias berjalan, Dobe. Sebaiknya kau ikut denganku saja." Ucap pemuda itu sedikit memaksa.
Naruto tidak mengiyakan dan juga tidak menolak. Naruto hanya mengikuti pemuda itu yang menuntunnya menuju sepeda ontel berwarna hitam yang terparkir di pinggir jalan.
"Itu sepedamu, Teme?" Tanya Naruto ragu.
"Hn."
Dan pemuda itu pun mengantarnya pulang dengan bersepeda sambil bertengkar kecil sepanjang jalan…
.
.
.
Naruto berjalan pincang ke sekolah keesokan harinya. Agak sedikit kewalahan mengingat jarak panti asuhannya yang cukup jauh dan ia sedang kehabisan uang jajan bulanannya.
Naruto tiba di sekolah dengan keringat yang mengucur deras di wajahnya. Dan kalau ia tidak salah, kurang dari dua menit lagi lonceng masuk akan berbunyi.
Naruto bergegas menuju kelasnya.
BLAM
Ketika ia membuka pintu kelas, semua penghuni kelas tiba-tiba diam dan memandangnya. Naruto hanya membalas tatapan mereka dari balik kacamatanya. Tiba-tiba ia merasa tidak enak diperhatikan seintens ini.
Naruto berjalan menuju bangku miliknya, melewati baris pertama, kedua, ketiga, keempat, dan—Hei kemana bangkunya?
Naruto meneyernyit heran. Harusnya bangkunya ada disini, dibaris kelima, dibaris terbelakang. Tapi, kemana benda itu?
Ekor mata Naruto langsung menangkap rongsokan aneh di tangah lapangan melalui jendela kelasnya. Ia memicingkan mata, dan—Gotcha—itu seperti bekas patahan-patahan sebuah bangku. Lebih tepatnya, bangku miliknya.
Naruto berlari keluar kelas setelah membanting pintunya. Kenapa ia tidak sadar ketika melintasi lapangan tadi.
Ketika sampai di tengah lapangan dengan nafas memburu, Naruto membenarkan dugaannya. Ini memang—dulu—bangku miliknya. Karena sekarang benda itu tak lebih dari kayu yang sudah di patah dan dihancurkan menjadi balok-balok rongsokan.
'Sial.' Rutuk Naruto dalam hati.
Naruto memungut satu balok kayu itu dan memandangnya lirih. Siapa yang tega melakukan semua ini? Apa salahnya terhadap mereka? Dua kalimat tanya itu yang terus melintas di benak Naruto saat ini.
Naruto tidak akan merenungi masalah ini. Apalagi melaporkannya pada pihak sekolah.
Sekalipun ia melapor, tak akan ada yang percaya padanya termasuk guru-guru juga kepala sekolah. Ia tidak punya bukti siapa yang melakukannya. Mereka hanya akan menuduhnya dengan alasan mencari perhatian. Dan pada akhirnya tidak ada yang akan disalahkan kecuali dirinya sendiri.
Naruto mengela nafas frustrasi.
Ia melempar balok itu kembali ke tumpukannya. Lalu berbalik menuju tempat andalannya untuk menyendiri. Ke atap sekolah.
Niatnya untuk belajar sudah tidak ada. Biarkan saja nilai kehadirannya yang buruk menjadi makin buruk. Ia tidak peduli. Lagipula bangkunya sudah rusak, yang artinya ia tidak punya tempat disana. Lebih tepatnya, mereka tidak ingin Naruto bergabung bersama mereka.
Naruto bersandar di dinding pembatas ketika sampai di atap. Ia menengadah ke atas menatap langit yang tidak begitu cerah pagi ini. Lalu menghela nafas lagi.
Rambut pirangnya tertiup angin dan sempat membuatnya menggigil kecil.
Pikirannya kalut. Bagaimana bisa Tuhan memberikannya cobaan yang begitu sulit di masa mudanya. Ia sempat merasa ini tidak adil. Kenapa Tuhan tidak memberikannya kehidupan normal ala remaja lainnya. Hidup di tengah keluarga dan teman-teman yang begitu bahagia.
Naruto langsung menepis segala pikiran itu. Ia tidak mau menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi di hidupnya. Ia yakin, Tuhan memiliki rencana sendiri untuk hidupnya yang mungkin saja kebahagiaannya terletak di akhir bukan di awal.
Daripada itu, mending ia mengisi perut dulu, batinnya. Ia memang belum sarapan tadi.
Ia mengambil lalu membuka kotak bekal miliknya.
Nasi kepal—lagi.
"Kau keberatan kalau aku minta itu?" tanya suara mengagetkan Naruto. Ia berbalik. Ah—si brengsek yang kemarin menolongnya.
"Kau! Apa yang kau lakukan disini?" tanya Naruto heran.
"Memangnya salah? –Dobe." Ucap pemuda itu tetap dengan wajah datar miliknya. "—kau belum menjawab pertanyaanku."
Naruto mengangkat alisnya sebelah. Ia mengerti ketika melihat tatapan si Brengsek terarah ke kotak bekal miliknya. "Kau mau bekalku?" tanya Naruto memastikan.
"Hn." Jawab Sasuke sekenanya.
Naruto mendekatkan kotak bekalnya ke pemuda itu. "Walaupun kau itu brengsek dan menyebalkan. Tapi anggap saja ini balasan karena mengantarkanku pulang kemarin." Kata Naruto sambil nyengir. "Ambillah sesukamu, Teme."
"Hn." Pemuda itu mengambil satu lalu mulai memakannya. "Kau harus berhenti memanggilku brengsek. Aku punya nama. Namaku Uchiha Sasuke." Kata pemuda itu. "—Dobe"
"Hei! Kau saja masih memanggilku seperti itu. Aku juga punya nama, Teme!" kesal Naruto. "Aku Naruto. Uzumaki Naruto."
"Aku tahu, Dobe." Naruto menatap Sasuke bingung.
"Maksudmu, kau sudah tahu namaku?"
"Kau itu memang bodoh atau apa! Asal kau tahu, kita ini sekelas." Ucap Sasuke setelah nasi kepalnya habis. Ia mengambil satu lagi dari kotak makan Naruto.
"Benarkah? Kenapa aku tidak pernah melihatmu?"
"Tentu saja kau tidak melihatku. Kau kan jarang masuk dan sekali masuk pun hanya terus menunduk atau tertidur di kelas." Jelas Sasuke sambil mengunyah nasi kepal miliknya.
Naruto hanya mengangguk-angguk membenarkan.
"Memang benar, aku tidak pernah memperhatikan keadaan di kelas. Aku selalu berusaha memperhatikan mereka, tapi yang aku dapat malah mereka yang semakin membenciku." Senyum Naruto lirih.
"Kupikir…" ucap Sasuke pelan. "—mereka hanya iri padamu, Dobe."
Naruto berbalik menatap onyx milik Naruto. "Apa yang patut membuat mereka iri dari orang sepertiku, Teme?" Ia tertawa miris.
Sasuke tidak menjawab. Mereka hanya saling memandang satu sama lain.
"Ehm!" Sasuke berdehem sekali lalu melanjutkan: "—mereka iri pada senyummu, matamu yang biru, rambutmu yang pirang, kebodohanmu, dan semuanya benar-benar seperti musim panas yang menyenangkan." Jawab Sasuke tetap datar.
Naruto memandang Sasuke dengan ekspresi takjub di wajahnya. "Hahahahahahaha!" tawa Naruto meledak seketika.
Sasuke yang tidak mengerti hanya memandang itu dengan raut wajah kebingungan. Sebelah alisnya terangkat.
"Perutku…" ucap Naruto memegangi perutnya yang mulai sakit karena kebanyakan tertawa. Ia menghela nafas sekali sebelum tawanya benar-benar reda. "Kau tahu Uchiha, sejenak tadi aku merasa kau sedang merayuku seperti anak perempuan. Hahahaa."
Sasuke mendengus marah. "Kau menganggap itu rayuan, Uzumaki? Jangan harap… karena aku masih normal." Protes Sasuke. "—Dobe!"
"Maaf." Ucap Naruto tulus. "—dan terimakasih karena sudah menghiburku. Pagi ini sudah cukup berat untukku." Naruto memberikan satu senyuman.
"Hn."
"Apa ini berarti kita..err—teman?"
"Hn."
"Apa artinya itu?" tanya Naruto.
"Terserah kau mau menganggapnya apa." Jawab Sasuke sekenanya.
Sapphire milik Naruto langsung berbinar-binar. "Hahahahah! Yes! Akhirnya aku punya teman juga." Teriaknya sambil berhighfive ria.
"Berisik , Dobe!"
"Heheh, Aku hanya terlalu senang, Teme! Kalau begitu aku akan melanjutkan makan—EH?" Naruto menatap nanar pada kotak bekalnya yang sudah kosong. "Kau—Kau menghabiskan bekalku, Teme!"
Sasuke hanya mengulum satu senyum dan mulai menutup kupingnya dari kegiatan Naruto yang mulai ngomel-ngomel berisik.
.
.
.
To be continue…
.
Untuk chapter 1 segini dulu… maaf kalau kependekan atau apa!
Fict ini special untuk temanku Ristha! Dan Kamu para pembaca….
Disini saya membuat Naruto agak sedikit menderita, jadi maaf untuk Naruto FC. Saya tidak bermaksud bashing atau apalah namanya. Karena pasti ada akhir kebahagiaan di balik penderitaan –halah—
Fict ini masih banyak kekurangan, apalagi saya masih newbie untuk genre Shonen-ai. Saya berusaha tidak membuat salah satu pihak –dalam hal ini Sasu/Naru—terlihat seperti perempuan. Uke tidak berarti ia harus bersikap perempuan kan? Keduanya tetap saja Laki-laki. Justru kalau salah satunya terlihat seperti perempuan, maka feel Sho-ai nya bakalan berkurang. –ini menurut saya lho :p
Jadi kalau kalian merasa ada bagian yang membuat Sasu/Naru menjadi kecewekan, mohon laporkan padaku. Maka aku akan merubah dan menghukum diriku sendiri –halah.
Oke, cukup curcolnya, langsung saja:
Saran dan kritik…
Kamu kirim lewat REVIEW yo
.
.
Sekilas untuk chapter 2 :
"Teme! Ini waktu istirahat, pasti mereka akan mengerjaiku lagi disana!"
"Kau mau tidak mengajariku matematika? Kau kan tau ulangan harian minggu depan… oke?"
"Kau memang satu-satunya temanku yang paling baik Sasuke."
"Memangnya ada pelajaran yang masuk ke otakmu? Otakmu itu memang harus di upgrade, Dobe! Dasar bodoh."
"Kau tidak pernah bilang kalau kau orang kaya, Teme!"
"Aku hanya berharap…urusanku di dunia bisa lancar-lancar saja dan aku bisa cepat menyusul kalian."
'Sesuatu yang buruk terjadi pada Naruto.'
