Author : Two-shot! Cerita romance dan OTP utama author. Tapi mungkin nggak terlalu menyerempet ke romance sih

Disclaimer : Lisensi utama milik Yamaha, Kokone milik Internet co. Dan Kiyoteru beserta karakter Akito (bukan Vocaloid) milik AHSoftware

Warning : Tidak ada


Valentine, hari kasih dan biasanya akan banyak cokelat bertebaran dari kaum hawa untuk para adam yang dilain pihak merasakan canggung hingga berharap banyak. Jika kau terkenal, mungkin perasaan terganggu sudah cukup menjelaskan akan berapa banyak cokelat yang akan diterima.

Bicara tentang cokelat juga ada dua hal yang bisa kau lakukan untuk mendapatkan benda keras namun lembut dan akan meleleh di mulut. Pertama, membeli dari toko yang di buat oleh para chocolatier atau perusahaan cokelat terkemuka. Kedua adalah membuat sendiri dengan resiko terbesar adalah kegagalan dan hanya membuang uangmu tanpa hasil yang memuaskan.

Lalu chocolatier juga akan sangat sibuk hari ini. Di Jepang, menjadi chocolatier butuh pendidikan khusus. Tapi terkecuali seorang perempuan masih muda, ia menjadikan chocolatier sebagai pekerjaan sampingan karena sang almarhum ayah mengajarinya.

Sekarang di mana si gadis? Ia bersekolah di SMA di Tokyo. Lebih tepatnya ia berada di salah satu kelas yang riuh, di tempat duduk seorang siswa dengan rambut cokelat panjang sedang menulis di buku catatan kecil. Di tempat duduknya sudah berkerumun banyak remaja perempuan untuk bergantian memberikan pesanan mereka.

"Kokone! Bisakah membuatkanku cokelat matcha? Aku ingin memberikannya pada orang yang kusuka."

"Y-ya, tapi sebentar ya... soalnya banyak yang meminta dan ukhh, maaf semuanya. Sayangnya pesanan sudah penuh karena aku cuma mampu membuat sebanyak 10 pesanan. Apalagi harus membeli cokelat dan beberapa bahan lainnya. Aku minta maaf" Gadis berambut cokelat dengan nama melakukan gestur mohon maaf dengan kedua tangan.

"Yaahh... sayang sekali, tapi ya sudah. Mungkin aku akan membuat sendiri." Salah satu siswi angkat bicara dan meninggalkan meja Kokone.

Satu persatu mereka meninggalkan meja si chocolatier muda sampai hanya tersisa dirinya sendiri.

"Aku harus membeli langsung hari ini, karena kalau besok aku takut sulit mencari bahannya..."

Memang masih tersisa tiga hari lagi sebelum Valentine tiba.

Sepulang sekolah sore hari, ia kembali memerika catatan pesanan cokelat. Kedua kaki berjalan di sepanjang trotoar lalu berhenti di tempat pemberhentian bis. Di dalam bis, ia mencoba menghitung jumlah cokelat yang dibutuhkan disertai beberapa bahan tambahan. Sayangnya ia tidak sadar kalau ada orang memperhatikan gerak-geriknya dari kursi belakang.

Sudah beberapa perhentian di lewati, sekarang adalah tempat terakhir bis berhenti. Kokone turun karena lokasi toko cokelat tak jauh dari halte bis. Mendongak ke atas, ia menyadari matahari mulai condong ke barat dan memutuskan berjalan lebih cepat.

Hanya membutuhkan waktu beberapa menit, sebuah toko besar dengan kaca transparan terlihat. Dari luar kita bisa melihat berbagai jenis cokelat dengan harga bervariasi pula.

"Ah! Aku baru ingat belum memeriksa uang yang dibutuhkan. Semoag uangku cukup membeli semua bahan." Kokone bergumam pada dirinya sendiri. Cepat-cepat ia mengeluarkan dompet kecil dari tas sekolah.

Belum juga ia membuka dompet, seseorang yang telah memperhatikan dari dalam bis dan mengikutinya sampai depan dengan cepat menyambar. Ternyata si penguntit adalah pencopet, melihat benda paling berharga dimiliki Kokone dirampas, dengan cepat ia mengejar.

"Tolong! Dia merampok dompetku!" Kokone mencoba meminta tolong, namun tidak ada yang peduli.

Kokone masih tidak mau menyerah, walaupun nafasnya mulai semakin pendek karena lelah. Tapi mengingat semua pesanan membuatnya makin bersemangat untuk mengejar.

Ia tidak sadar kalau hidung kanannya mulai mengeluarkan darah.

"Se-seseorang! Tolong!" Kokone merasa badannya mulai lemah dan pandangannya menjadi gelap.

...

Kokone mulai menggerakkan badan, kelopak mata yang tertutup mulai terbuka perlahan. Tangan kanannya reflex menutupi wajah karena cahaya menyilaukan.

Setelah dirasa cukup mengumpulkan tenaga untuk bangkit dari tempat tidur. Ia bangun hingga dalam posisi duduk di tempat tidur. Bercat warna krim, minimalis dengan hanya disertai sebuah jam dinding. Matanya melihat ke semua bagian ruangan dan perasaan asing atau bukan pada tempatnya langsung timbul. Ia sedikit panik dan khawatir kalau dirinya diculik.

Tapi ia mencoba tenang dan menarik nafas panjang. Ia pandangi dirinya sendiri, pakaiannya masih seragam sekolah namun terdapat sedikit noda darah pada bagian atas. Wajahnya sedih, ia baru ingat kalau punya ketahan tubuh lemah dan kalau terlalu lelah bisa mimisan sampai pingsan.

Jika dia memang pingsan, mungkinkah orang yang memiliki kamar ini menolongnya? Daripada dirinya merasa penasaran, Kokone memilih untuk keluar kamar.

Kokone yang memiliki pikiran awal bahwa tempat di mana ia berpijak sekarang adalah rumah semakin lama menyadari bahwa ini adalah apartemen. Sederhana, tapi cukup untuk satu orang penghuni.

Ia membuka pintu kamar dan berharap tidak menimbulkan suara, tapi suara yang dibuat dari engsel pintu cukup jelas membuat dirinya khawatir.

"Ah, sudah bangun?" pertanyaan dari seseorang yang ia yakini seorang laki-laki mengagetkan. Kokone mencari sumber suara dan mendapati kalau si laki-laki berada di dapur apartemen.

"Ma-maaf, i-ini apartemen milik anda ya? Aku... bagaimana bisa berada di sini?" Kokone berjalan keluar kamar dan mendekati si laki-laki.

"Iya, maaf sudah membawamu ke sini. Tadi malam, kau terbaring di trotoar dengan mimisan di hidung. Bahkan saat kucek suhu badanmu, sangat tinggi."

Kokone baru ingat kalau daya tahan tubuhnya sedikit payah. Terlalu kelelahan atau dipaksa lari bisa-bisa pingsan.

"Te-terima kasih, anda sampai menggotong tubuhku." muka Kokone memerah karena malu.

Laki-laki tersebut sekarang memperhatikan Kokone, matanya yang tajam terlihat tidak bersahabat pada awalnya tapi melihat dari gaya bicara sepertinya orang baik-baik. Rambutnya yang sedikit berantakan terlihat seperti baru bangun tidur.

"Tidak apa-apa, menolong sesama itu baik, apalagi keadaanmu parah lho! Oh, ya... dan aku mendapatkan dompet berwarna putih dari seseorang di tengah jalan. Apa ini milikmu?" laki-laki itu sekarang mengangkat dompet putih yang ia letakkan di dekatnya yang sedang sibuk memotong bahan-bahan masakan.

"Te-terima kasih banyak. Dan... bagaimana mendapatkannya?"

Laki-laki tadi tidak menjawab, hanya senyuman tipis diperlihatkan.

"Yang penting sudah kembali, ya kan?"

"A-ah iya. Umm... aku harus kembali ke rumah, kalau boleh tahu sekarang jam berapa?"

"11 siang, tidurmu nyenyak sekali."

Mendengar penjelasan jam dari laki-laki yang baru dikenal membuat Kokone merasa mendengar suara halilintar.

"Hari ini hari Minggu kok, sekolah di Hachigata-Jou Gakuen ya?"

"Eh? Anda mengetahui sekolahku?"

"Aku alumni sekolah tersebut."

Kokone hanya menatap bingung si laki-laki.

Karena Kokone merasa tidak enak terlalu lama di apartemen orang. Ia akhirnya mengutarakan keinginannya untuk pulang.

Beberapa menit kemudian yang ia ketahui dirinya berada di mobil bersama laki-laki tak dikenal. Semoga saja kejadian ini tidak membawa dampak buruk. Ia sebenarnya sudah ingin kembali ke rumah sendirian tanpa harus diantar tapi laki-laki tersebut memaksa. Memang perampok tadi malam membuatnya sampai kehilangan kesadaran, tapi tetap saja satu mobil dengan laki-laki tak dikenal hanya menimbulkan rasa tak nyaman.

"Yak, sekarang kita sudah sampai di depan rumahmu"

Kokone kembali sadar akan keadaan sekitar setelah berpikir mengapa laki-laki ini sangat baik. Oh, memang ia telah sampai di depan rumahnya. Ia sempat berpikir kalau si laki-laki akan membawanya ke suatu tempat tak dikenal.

"Te-terima kasih, tuan" Kokone keluar dari mobil.

Laki-laki tersebut hanya menggelengkan kepala, "tidak masalah dan namaku Kiyoteru Hiyama, jangan panggil tuan"

"Namaku Kokone Mitsugi, terima kasih Hiyama-san"

Kiyoteru tak menjawab, ia hanya menganggukan kepala sekali dan mengemudikan kembali mobilnya. Menjauhi Kokone yang sedang berdiri di depan rumahnya. Ia membalikkan badan dan masuk ke dalam rumah.

"Ibu! Aku pulang, maaf!"

Sang ibu ke ruang depan, melihat sang anak sudah membungkuk meminta maaf sedalam-dalamnya. Tapi ibu Kokone yang sudah khawatir tidak marah, ia hanya memeluk erat sang anak.

"Kokone, aku takut kau diculik. Aku tahu besok perayaan hari Valentine tapi kalau mengutamakan cokelat daripada dirimu sampai... sampai menghilang seharian ibu bisa-bisa tidak mengizinkanmu lagi"

"Maaf ibu." Ibu dan anak hanya bisa terdiam, membagi kehangatan dalam pelukan.

...

Pagi-pagi Kokone sudah sampai di sekolah. Ia beruntung masih bisa membeli dan membuat cokelat walaupun sehari sebelum Valentine. Tas yang ia gendong memang lebih berat daripada hari biasa, tapi membayangkan beberapa wajah bahagia siswa membuat senyuman terkembang di wajah. Terutama, uang yang terkumpul juga tidaklah sedikit.

Melihat dari jendela kelas, gadis-gadis sudah menunggu di mejanya.

"Mereka memang benar-benar tidak ingin terlihat oleh laki-laki yang disukainya kalau cokelatnya bukan buatan mereka." Gumam Kokone tidak pada siapa pun

Hanya butuh waktu beberapa menit, cokelat telah diambil oleh para pemesan dan uang sudah mempertebal dompet warna putih yang ada di tangan.

Sekitar setengah jam, kelas akhirnya terisi penuh dan karena hari ini adalah Valentine, sekolah dengan sengaja membebaskan siswa dari belajar-mengajar. Terlihat juga banyak orang berlalu-lalang di koridor, entah itu orang yang sedang mencoba memberi hadiah cokelat atau memang sedang ingin jalan-jalan. Kokone keluar, ia merasa tenggorokannya butuh minum.

Kokone berakhir keluar gedung sekolah. Seperti di koridor, banyak gadis sedang memberi cokelat pada orang yang disukai atau memang mengobrol perihal hari Valentine. Kokone duduk di bawah pohon rindang dan di tangan kanan memegang sebotol minuman susu dingin rasa cokelat.

Seseorang mendekatinya, ternyata teman terdekatnya yaitu Gumi. Gumi adalah perempuan berambut hijau pendek dan cukup terkenal karena seorang penyanyi juga. Jadi setiap Valentine ia pasti mendapatkan cokelat terutama dari penggemar.

"Yo Kokone-chan! Sendirian lagi? Tidak memberi cokelat pada siapa pun?"

Kokone sedikit tersenak dan membuatnya tersedak susu.

"Uhuk! Uhuk! Gumi!? Ah, kenapa suka sekali bertanya hal yang sama sejak SMP sih?"

"Duh, kenapa dijawab dengan ketus? Aku kan bertanya baik-baik"

"Kau sendiri tidak..."

"Aku sibuk menerima cokelat dari banyak orang. Bagaimana bisa aku sibuk memikirkan memberi cokelat hari ini? Ada juga yang wajib dipikirkan adalah hadiah buat nanti White Day." Gumi meletakkan beberapa tumpukan cokelat yang dipegang, ia duduk di samping Kokone.

Kokone hanya terdiam, ia lebih sibuk menghabiskan susu cokelat di tangan.

"Mau cokelatnya?"

"Hei ini pemberian orang, tidak baik diberikan lagi!"

"Aku cuma bercanda."

Mereka berdua terdiam, memperhatikan orang-orang.

"Aku... aku tidak punya seseorang yang ingin kuberikan. Ditambah aku seorang chocolatier tentu sudah tahu kalau cokelatku tidak spesial lagi" Kokone bicara pelan, tangannya memeluk kedua kaki. Mukanya dengan dibenamkan di kaki yang dipeluk.

"Tentang kau seorang chocolatier... itu cuma perasaanmu karena aku yakin, walau pun orang memberi cokelat yang tidak terlalu mahal sekali pun jika memang suka pasti berbeda karena ada perasaan mereka. Terus tentang tidak ada orang yang ingin kau berikan sih... artinya kau memang menyedihkan"

"Kau sendiri juga begitu"

"Aku pernah memberi dulu"

"Ya dan ternyata dia seorang playboy hahaha"

"Diam, itu ingatan suram tahu!"

Keheningan kembali terjadi.

"Yah, selamat hari Valentine ya Kokone dan selamat ulang tahun juga! Aku harus kembali karena kuyakin bakalan lebih banyak yang memberi. Oh, ini hadiah untukmu!"

Gumi memberikan sebuah kotak kecil, dibuka oleh Kokone ternyata jam tangan dengan desain minimalis bertali kulit sapi warna cokelat muda.

"Ya, terima kasih atas hadiahnya dan sudah mau menemaniku, Gumi."

Gumi mengangguk, ia berdiri membawa tumpukan cokelat dan melambaikan tangan ke Kokone. Sang sahabat membalas lambaian tangan tersebut.

"Seseorang yang bisa kuberikan cokelat ya..."

Sepulang sekolah ia memilih pergi ke toko cokelat yang menurutnya paling terbaik di kota tempat tinggal.

"Tidak semuanya yang diberikan cokelat itu artinya orang disukai, kan? Ada cokelat pertemanan dan terima kasih, bukan?" pikir Kokone sambil sibuk memilih cokelat yang ia pikir adalah paling terbaik.

Ia tidak menyangka hasil penjualan cokelat setengahnya disisihkan untuk seseorang. Helaan nafas lelah hanya bisa ia keluarkan lewat mulut.

Sampai di rumah ia cepat-cepat membuat cokelat, bahkan dua jenis yaitu Praline dan Truffle. Ibunya hanya melihat lewat pintu dan tersenyum melihat anaknya sendiri.

Sepulang sekolah keesokan harinya dengan cepat ia kembali ke rumah untuk mengambil cokelat yang ia buat semalaman. Terlihat sekali sangat rapi, tiap potongan praline maupun truffle diletakkan dalam wadah cokelat kotak-kotak sebanyak delapan buah. Ia berpamitan dan mengambil bis terdekat untuk pergi ke suatu tempat.

Untung saja ia punya ingatan tajam, tempat yang dituju tidak salah. Sebuah apartemen mewah yang berdiri kokoh diantara semua bangunan. Ia bahkan sampai harus bertanya ke beberapa orang karena lupa lokasi di mana ruang apartemen milik Kiyoteru.

Sesampainya di depan pintu apartemen, ia menekan bel dan hanya disambut oleh laki-laki berbeda orang dengan ciri khas rambut merah terang.

"Huh? Kau siapa?" laki-laki tersebut tanpa rasa canggung bertanya.

"U-um... ini apartemen milik Hiyama-san, bukan?"

"Maksudmu Teru? Ya, memang kenapa?"

"Ke-kemana ya orangnya?"

"Oh, dia sedang bertemu psikiatris pribadinya. Kau ada apa tujuanmu ke sini? Oh ya, tidak sopan ya? Masuk saja."

Enak saja mau mengajak masuk, pikir Kokone kesal.

"Tidak usah, tuan... aku hanya ingin bertemu dengan Hiyama-san"

Laki-laki itu kemudian memperhatikan Kokone dari ujung rambut hingga kaki.

"Pakaianmu memang seragam sekolah tapi seingatku Teru tidak mengajar seumuran anak SMA. Atau jangan katakan kau pacarnya?"

"Bukan! Baiklah, karena dia tidak ada jadi aku mau pulang"

"Tidak menunggu? Dia bakalan datang sebentar lagi kok"

"Ta-tapi..."

"Ayolah masuk, aku jadi penasaran akhirnya ada perempuan yang mau sama Teru."

Kokone ingin menolak, tapi senyuman dan pintu yang terbuka membuatnya merasa tak enak. Ia akhirnya masuk walaupun rasa menyesal mulai memenuhi kepalanya.


a.n

Kenapa Kokone pakai nama belakang Mitsugi? Karena Kokone tidak punya nama belakang dan Mitsugi salah satu artinya adalah 'sedang jatuh cinta' jadi cocok dengan Kokone yang bertema Valentine XDD

Author : Terima kasih sudah membaca!