Disclaimer : belong only to M.K.
Warning : Gaje, Typo, OOC
Pair : NaruHina
Genre : Romance, Slight Comedy (Maybe)
Cerita fiksi ini hanya untuk hiburan dan pengetahuan semata.
Saya tidak pernah bermaksud menyinggung profesi kesehatan manapun.
Cerita ini juga sekaligus memberikan ilustrasi, terkait bagaimana lika-liku yang terjadi di dunia medis.
Short introduction (Perkenalan singkat karakter) :
Uzumaki Naruto : 26 tahun (Dokter Spesialis Penyakit Dalam)
Uzumaki Hinata : 25 tahun (Magister Farmasi Klinis - Farmasis / Apoteker)
Tokyo Medical University Hospital.
Di salah satu rumah sakit terkemuka di kota Tokyo, telah terjadi sebuah perdebatan sengit dan sepertinya sudah berlangsung cukup lama.
"Aku yang lebih paham dengan kondisi pasien kita!"
Seorang pria berambut blonde dengan balutan jas putih seorang dokter. Tampak pula sebuah stethoscope yang menggantung pada tengkuk lehernya. Sepertinya ia sedang mati-matian dalam mempertahankan argumennya.
"Tidak! Akulah yang lebih paham, Dokter."
Tak kalah sengitnya, seorang wanita berambut indigo dengan balutan jas seorang apoteker berwarna krem, dia tampak gigih dalam beradu argumen dengan seorang dokter di hadapannya.
Debat kusir yang terjadi di antara keduanya sudah berlangsung tidak sebentar. Belum terlihat tanda-tanda akan segera mereda.
Tampak seorang tenaga medis sedang berusaha untuk melerai pertikaian tersebut, dengan tujuan mendinginkan suasana.
"M-maaf, dokter Naruto dan farmasis (apoteker) Hinata. Bisakah kita menyelesaikan permasalahan ini dengan kepala dingin?"
"DIAM KAU! Jangan ikut campur!" Dengan kompak, keduanya melontarkan sebuah kalimat yang sama persis.
Selain itu, mereka langsung mengalihkan pandangan menuju seseorang yang sedang berusaha untuk melerai keduanya. Tatapan mereka berdua terlihat menyeramkan.
Seketika, wajah orang tersebut berubah menjadi pucat pasi.
"Hiiii... Sebaiknya aku kabur saja. Aku tidak mau jadi sasaran amuk pasangan suami istri yang aneh."
Sejam sebelumnya, di suatu pagi yang cerah.
Uzumaki Hinata, seorang apoteker dan penanggung jawab depo farmasi rawat inap, tampak sedang fokus mengamati satu per satu stok obat yang tersisa di lemari penyimpanan.
Ia harus segera melakukan pemesanan dan pengadaan apabila menemukan ada produk obat yang jumlahnya hampir mendekati angka safety stock. Dengan kata lain, pada saat itu stoknya hampir menipis.
"Hmm, sepertinya nanti siang aku harus memesan tablet Clopidogrel 75 mg dan injeksi Ceftriaxone 1000 mg. Stok keduanya sudah berkurang drastis." Gumamnya pelan.
"Tidak heran, karena akhir-akhir ini banyak sekali pasien yang mengalami serangan stroke dan gastroenteritis. Pada akhirnya, sebagian besar dokter harus menggunakan kedua obat itu." Imbuhnya.
Saat ia masih fokus dengan aktivitasnya, tiba-tiba jendela yang berada di ruangan sebelah sedang diketok oleh seseorang.
"Eh, sepertinya ada pasien yang akan menebus obat untuk dibawa pulang." Batinnya.
Hinata segera menuju ruangan tersebut. Sebuah ruangan kecil yang dipergunakan oleh apoteker untuk melakukan pelayanan resep terhadap pasien rawat inap yang sudah diperbolehkan untuk pulang, dengan membawa sejumlah 'obat pulang' sebagai terapi rawat jalan.
Dia mengamati seorang laki-laki paruh baya sedang menunggu di balik jendela pengambilan obat, dengan membawa sebuah resep dari dokter.
Hinata segera menyapa pasien tersebut dengan ramah. Dia memberikan senyuman terbaiknya.
"Selamat pagi, Tuan. Hendak menebus 'obat pulang' ?"
"Selamat pagi, Nona. Benar sekali. Akhirnya saya diperbolehkan pulang."
"Yokatta. Mari, saya lihat dulu resep obatnya, Tuan."
"Ini. Silakan, Nona."
Pasien paruh baya tersebut menyodorkan selembar kertas bertuliskan resep obat kepada Hinata.
"Baiklah. Saya siapkan dulu seluruh obat yang akan Tuan bawa pulang nantinya. Mohon menunggu sebentar."
"Terima kasih, Nona."
Setelah menerima resep yang diterima dari seorang pasien, Hinata kembali menuju ruang kerjanya.
Sesuai prosedur standar kerja apoteker, dia harus melakukan proses screening atau pemeriksaan ulang resep.
Atensinya tiba-tiba muncul, saat ia mengamati identitas si penulis resep. Sebuah nama dari seorang dokter yang sangat familier bagi dirinya.
Tokyo Medical University Hospital
Medical Prescription (Resep Obat)
From : Uzumaki Naruto, dr.
R/ Antasida Doen no. X
s 3 dd 1
_
R/ Omeprazole 20 mg no. X
s 2 dd 1
_
R/ Domperidone 10 mg no. X
s 2 dd 1
Pro : Toyotomi Hideyoshi
Keterangan Pro di atas adalah : ditujukan kepada nama pasien yang tertera, sesuai pada resep.
"Ah. Rupanya suamiku yang menulisnya. Hihi, aku hampir hapal semua nama obat yang menjadi 'favoritnya' ."
Dia memang sudah sangat familiar terhadap nama-nama obat yang seringkali diresepkan oleh sang suami. Seorang suami yang berprofesi sebagai dokter spesialis penyakit dalam dan bekerja di rumah sakit yang sama dengannya. Dunia memang terasa sempit.
Hinata telah menyelesaikan proses penyiapan obat untuk dibawa pulang oleh pasien yang bernama Hideyoshi tersebut.
Ketika hendak menyerahkan seluruh obat kepada sang pasien, terlebih dahulu dia harus mengkonfirmasi dan menggali seluruh informasi dari pasien, untuk menghindari resiko terjadinya kesalahan dalam pemberian terapi.
"Hideyoshi-san. Bisakah anda kemari?" Hinata terlihat sedang memanggil nama seseorang, dengan tujuan agar orang yang dipanggil segera menghampirinya di tempat pelayanan resep.
Mendengar namanya dipanggil, laki-laki paruh baya tersebut segera menghampiri.
"Saya Hideyoshi, Nona. Apakah obat-obat yang akan saya bawa pulang sudah disiapkan?"
"Sudah, Tuan. Tapi pertama-tama, saya harus melakukan sebuah assessment (penggalian informasi dari pasien) terlebih dahulu."
"Hideyoshi-san, keluhan apa saja yang masih anda rasakan hingga saat ini?" Hinata melanjutkan kalimat sebelumnya dengan melontarkan sebuah pertanyaan kepada si pasien.
"Anu, terkadang lambung saya masih terasa perih. Selain itu, setelah selesai makan, perut saya sering terasa mual. Jika rasa mual itu tidak bisa ditahan lagi, yang selanjutnya terjadi adalah saya terpaksa memuntahkan makanan yang baru saja saya makan."
Selama mendengarkan informasi dari si pasien, Hinata membuat beberapa kesimpulan yang tersirat dalam hati.
"Bagus. Berarti Antasida beserta Domperidone yang diresepkan oleh Naruto-kun memang sesuai dengan indikasi terapi. Tinggal satu obat lagi."
"Hideyoshi-san, apakah anda sering mengalami sesak pada bagian ulu hati hingga dada?" Hinata melanjutkan pertanyaannya.
"Eh. Tidak, Nona. Hanya perih saja, tidak sampai terasa sesak."
"Apakah akhir-akhir ini anda sering bersendawa? Terutama karena kelebihan gas di daerah perut. Perut anda sering terasa 'penuh', padahal belum makan."
"Tidak sama sekali, Nona."
"Aneh. Kenapa Naruto-kun meresepkan Omeprazole? Padahal produksi asam lambung si pasien tidak berlebihan. Hanya suasana lambungnya saja yang terlalu asam. Ah, sebaiknya aku konfirmasi dulu kepada suamiku, karena aku tidak ingin memberikan obat yg kurang tepat sasaran."
"Arigatou atas informasinya, Hideyoshi-san. Mohon tunggu sebentar, karena saya mau menghubungi dokter terlebih dahulu."
Hinata segera berlalu dan kembali menuju ruang kerjanya. Dia mengambil sebuah telepon yang memang menjadi fasilitas di rumah sakit itu, terutama untuk berkomunikasi antar staff medis satu sama lain.
Ditekannya beberapa angka yang merupakan kode nomor untuk menghubungi ruangan lainnya secara spesifik.
Di sisi lain.
Di sebuah ruangan, terlihat seorang dokter spesialis penyakit dalam sedang sibuk menggunakan laptop untuk meng-input data seluruh pasien yang telah dia periksa selama hari ini.
Sebuah telepon yang berada di sebelahnya mendadak berdering, sehingga membuat atensinya terpecah.
Diangkatnya dengan segera panggilan pada telepon tersebut.
"Ya, Halo."
"Na, Naruto-kun..."
"Eh, Hinata. Ada keperluan apa sehingga kau menelponku?"
"A-apakah Naruto-kun sedang memeriksa pasien saat ini?"
"Tidak, sayang. Aku hanya sedang menginput data seluruh pasien di poli penyakit dalam, yang masih berada di rawat inap hingga hari ini. Lalu, ada perlu apa?"
"Begini, Naruto-kun. Aku sedang melayani resep atas nama pasien Toyotomi Hideyoshi."
"Oh, dia rupanya. Dia sudah diperbolehkan untuk pulang, Hinata."
"Masalahnya ada pada obat yang akan dibawa pulang oleh beliau. Menurutku ada satu macam obat yang tidak perlu diserahkan kepadanya, Naruto-kun."
"Eh, kenapa begitu? Dan obat mana yang kau maksud?"
"Omeprazole. Aku sudah mendapatkan informasi dari pasien bahwa dia tidak mengalami produksi asam lambung yang berlebihan. Hanya maag dan mual-muntah saja. Jadi, sebaiknya aku tidak perlu menyerahkan obat yang baru saja kusebut."
"Tidak bisa, istriku. Semuanya harus kau serahkan. Aku mengerti betul bagaimana kondisi penyakitnya."
"Naruto-kun. Kutekankan sekali lagi, obat itu kurang tepat sasaran jika diserahkan kepada si pasien."
"Tapi, Hinata. Kau tidak bisa begitu. Aku yakin dengan pilihan obat yang sudah kuresepkan."
"Na-Ru-To-Kun...!"
"Eh... Suara itu... Jangan-jangan..."
Naruto menelan ludahnya, dia paham betul apa yang akan terjadi selanjutnya. Tetapi, dia sudah siap sedia jika harus beradu argumen dengan istrinya, pada tingkatan yang lebih tinggi.
"Aku akan segera ke ruang kerjamu, Naruto-kun." Suara datar yang terdengar pada telepon, menunjukkan bahwa Hinata memang sangat serius dalam urusan kali ini.
Percakapan di telepon antara keduanya langsung berakhir setelah kalimat terakhir dari Hinata. Naruto hanya bisa menghela nafas panjang. Dia harus siap, walaupun terpaksa melakukan debat kusir dengan sang istri untuk kesekian kalinya.
Tak berselang lama,
Pintu pada ruang kerja Naruto terdengar sedang diketuk beberapa kali oleh seseorang.
"Ini aku, Naruto-kun."
"Masuklah, Hinata."
Pintu segera terbuka. Dari balik pintu tersebut, muncul sesosok wanita yang merupakan istrinya sendiri. Namun, yang tampak pada saat itu adalah, raut wajah sang istri tidak dalam kondisi baik-baik saja.
Sepertinya Hinata benar-benar kesal dengan perbedaan argumen yang terjadi di antara mereka berdua.
Walaupun demikian, melihat raut wajah sang istri yang sedang kesal, tetap saja bagi Naruto terlihat sangat menggemaskan. Seandainya saat ini mereka sedang tidak berada di tempat kerja, sudah pasti Naruto akan langsung 'menyerang' istrinya sendiri.
"Hi-Hinata, kau benar-benar kemari."
"Jadi bagaimana, dokter Uzumaki? Apakah kau masih tetap bertahan dengan argumenmu?"
Nyali Naruto agak menciut, begitu dia mendengar kalimat provokatif dari sang istri.
Tapi sebagai seorang profesional, dia tidak boleh mengalah begitu saja.
Bagaimanapun juga, walaupun yang saat ini sedang berdiri di hadapannya adalah istrinya sendiri, tetapi dalam situasi kali ini hubungan mereka tidak lebih sebagai rekan kerja yang tergabung dalam tim kesehatan di sebuah rumah sakit.
"Benar. Aku tetap dengan pendirianku, Hinata."
"Jadi begitu ya? Tidakkah kau mengerti, jika menyerahkan obat yang kurang tepat indikasi dapat menyebabkan masalah?"
"Sudah kubilang berapa kali, aku yang lebih memahami penyakitnya. Kau harus menyerahkan seluruh obat yang sudah kutulis untuk pasien itu, tanpa terkecuali."
"Paham penyakit? Itu saja tidaklah cukup. Aku tidak akan mengkonfirmasi untuk menyerahkannya. Karena akulah yang lebih paham dengan obatnya."
Kembali ke waktu sebenarnya.
Perdebatan alot di antara keduanya telah berhasil menarik atensi dari tenaga kerja lainnya. Mereka mulai bergerombol menyaksikan bagaimana pasangan suami istri yang tidak mau saling mengalah dalam perdebatan kali ini.
"Berikan semuanya tanpa terkecuali, Hinata."
"Tidak."
"Seharusnya kau menuruti perintah pada resep yang sudah kutulis."
"Tidak."
"Bisakah kau mengucapkan kata lainnya, selain kata tidak?"
"Tidak."
"Baiklah. Apa kau mencintaiku?"
"Tidak... Eh... Eeeeehhh..."
Wajah Hinata memerah seketika, akibat keceplosan menjawab pada pertanyaan terakhir yang dilontarkan oleh suaminya.
"Nah. Kau mengatakannya sendiri, Hinata. Kau memang tidak mencintaiku."
Dengan menahan rasa malu dan wajah yang sudah semerah tomat, Hinata mengikis jarak di antara keduanya. Dengan refleks, ia memukul-mukul pundak dan dada sang suami.
"Kau jahat, Naruto-kun. Kau sengaja memancingku dengan memberikan pertanyaan itu. Naruto no baka! Baka baka baka!"
"Aw, Aw... Hei, hentikan itu, Hinata. Habisnya kau sangat keras kepala. Sudahlah, serahkan saja seluruh obat yang tertulis dalam resep supaya dibawa pulang pasien kita. Jika ada sesuatu yang menimpanya, maka aku-lah yang akan bertanggung jawab."
Hanya terdiam, itulah reaksi yang terlihat dari Hinata.
Dia tidak membalas, walau hanya sepatah kata. Dia segera berlalu dari tempat Naruto untuk kembali menuju area kerjanya.
Naruto yang mengamati sosok istrinya yang semakin menjauh dari ruang kerjanya, hanya bisa cengar cengir. Senyuman yang terukir di wajahnya menunjukkan arti sebuah kemenangan, setelah melalui sebuah perdebatan antara dua pakar kesehatan.
"Maafkan aku, sayang. Untuk kali ini, aku benar-benar tidak bisa mengalah. Karena aku sudah sangat yakin dengan hasil diagnosa yang sudah kutetapkan pada pasien itu."
Hinata memang menuruti advice dari sang suami, sekaligus rekan kerjanya dalam dunia medis.
Hati kecilnya sebenarnya ingin menolak. Hal ini disebabkan karena 'dasar keilmuan' yang memang berbeda di antara keduanya.
Dengan penuh ketelitian, Hinata menyerahkan setiap obat disertai pemberian informasi dari masing-masing obat untuk dibawa pulang oleh si pasien.
"Hideyoshi-san, obat Domperidone digunakan untuk meredakan gejala mual disertai muntah. Harus dikonsumsi sebelum makan, agar reaksi mual dapat dihindari ketika makanan masuk ke dalam perut. Minumnya 2x sehari : pagi dan malam, 30 menit - 1 jam sebelum makan. Jika rasa mual sudah tidak dirasakan, penggunaan obat ini dapat dihentikan."
(Untuk dua obat lainnya, memang lebih baik diskip saja).
Setelah merasa cukup dengan informasi yang diberikan oleh apoteker di hadapannya, si pasien menerima seluruh obat yang akan dia bawa pulang.
"Arigatou, Nona. Atas segala penjelasannya."
"Sama-sama, Tuan. Semoga lekas sembuh."
Hari sudah beranjak gelap. Ini artinya, seluruh aktivitas dari tenaga kerja yang masuk pada shif pagi telah berakhir, tak terkecuali Naruto dan Hinata. Mereka bersiap-siap untuk meninggalkan rumah sakit dan pulang bersama-sama, untuk kembali ke apartemen mereka.
Di sepanjang perjalanan pulang, Hinata sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun. Naruto yang menyadari bahwa istrinya memang sedang kesal akibat insiden di tempat kerja, hanya bisa memakluminya.
Suasana keheningan pun menyertai perjalanan pulang mereka berdua.
Sesampainya di apartemen, Hinata masih saja tidak memberikan respon sama sekali kepada Naruto.
Mulai merasa jengkel, Naruto segera memegangi pada salah satu tangan Hinata. Bermaksud untuk mencegah sang istri, yang biasanya memang segera mandi setelah mereka pulang kerja.
"Tunggu dulu, Hinata... Setidaknya jelaskan padaku, alasan kenapa kau mengacuhkanku hingga saat ini?"
"Le-lepaskan, Naruto-kun. Tidak ada yang perlu kujelaskan."
Karena gerakan tarik ulur yang dilakukan oleh mereka berdua, tiba-tiba sesuatu telah terjatuh dari tas pinggang Hinata. Selembar kertas yang telah dimasukkan dalam sebuah amplop.
Atensi Naruto segera beralih pada sebuah amplop yang berada di dekat kakinya. Ia pun segera berjongkok untuk mengambilnya, tanpa mengucapkan kata permisi terlebih dahulu kepada sang pemilik.
"Apa isinya?"
Hinata langsung panik saat menyadari bahwa sebuah amplop yang terjatuh dari tasnya, kali ini telah berada di tangan suaminya.
"Kembalikan, Naruto-kun! Kau tidak boleh membukanya."
Bukan Naruto namanya, jika menuruti sesuatu hal yang jelas-jelas dilarang. Semakin dilarang, semakin membuat dirinya penasaran untuk melakukannya.
Dengan wajah menyeringai, dia mengapit dan menahan tubuh mungil Hinata dengan salah satu lengannya.
"Hihihi. Aku akan membuka dan membaca isinya, Hinata."
"Tidak, Naruto-kun. Kembalikan segera padaku."
Hinata masih berusaha untuk meronta dari dekapan suaminya. Namun sia-sia saja, tenaganya tidak cukup untuk meloloskan diri.
Naruto langsung mengambil selembar kertas yang terselip di dalam sebuah amplop yang sudah terbuka. Dia segera membaca isi pada kertas tersebut.
"Hah? I-Ini kan..."
Kedua matanya terbelalak, saat ia membaca tulisan yang tertera pada selembar kertas yang berada di genggamannya.
"Hinata, apa maksud semua ini? Surat pengunduran diri?"
Hinata terdiam. Dia tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Naruto. Kedua netra amethyst-nya mulai berkaca-kaca.
Naruto segera melepaskan dekapan yang membuat Hinata tidak bisa bergerak sama sekali. Melihat sang istri yang mulai menitikkan bulir-bulir air mata, Naruto mendadak panik. Dia segera menghilangkan liquid bening yang mengalir pada kedua mata Hinata dengan mengusap lembut menggunakan kedua ibu jarinya.
"Maafkan aku, Hinata. Memang tidak seharusnya aku membacanya. Selain itu, tolong jelaskan mengapa kau berencana untuk mengundurkan diri dari profesimu?"
Masih tidak ada jawaban...
Bahkan Hinata memalingkan wajahnya untuk tidak bertatapan langsung dengan Naruto.
"Kumohon jangan mengacuhkanku seperti ini. Aku berjanji, bahwa kedepannya aku akan selalu mendengarkan setiap saran dan masukan darimu. Aku berjanji, Hinata. Tapi kumohon, jangan terus-terusan bersikap seperti ini."
Jari jemari Naruto tampak meraih dan memegang dengan lembut pada bagian dagu sang istri. Wajah Hinata yang sebelumnya berpaling, segera dikembalikan pada posisi awal oleh suaminya. Kali ini, wajah mereka berdua kembali bertatapan langsung.
"Na, Naruto-kun..."
"Katakan padaku, Hinata. Apakah ini semua berawal dari perdebatan yang kita lakukan di tempat kerja tadi?"
Hinata hanya membalas dengan menganggukkan kepalanya.
"Rupanya begitu. Aku tersadar, kita tidak seharusnya saling menyalahkan dan menganggap bahwa kita paling benar. Mulai dari perawat, ahli gizi, ahli fisioterapi, apoteker, bahkan dokter sekalipun tidak bisa berdiri sendiri untuk menyembuhkan setiap pasien. Semua tenaga kesehatan memang seharusnya saling berkaitan dan saling mendukung."
Naruto mendekap tubuh Hinata dan mengelus dengan lembut pada puncak kepala sang istri.
"Maafkan aku, sayang. Lain kali, aku akan lebih mendengarkan saran dari seorang istri. Dimana tidak ada satupun dari tenaga medis yang berada di tempat kita bekerja, dapat mengalahkan kecantikannya."
Blusshh...
Wajah Hinata merona hebat setelah mendengar kalimat gombalan dari sang suami.
"Setelah membuatku kecewa, kali ini dengan mudahnya kau menggodaku, Naruto-kun." Cicitnya pelan, sambil menggembungkan kedua pipi gembilnya.
Akhirnya Naruto bisa merasakan sebuah kelegaan. Dimana sejak tadi, dia hampir tidak mendengar sepatah kata pun yang terucap dari Hinata.
Ekspresi yang ditunjukkan oleh istrinya benar-benar sangat menggemaskan. Jika bukan karena mereka berdua belum mandi, sudah pasti Naruto akan segera 'menyerang' Hinata saat itu juga.
Mau tidak mau mereka berdua memang harus mandi. Aktivitas seharian yang mereka lalui di rumah sakit, telah membawa ribuan bakteri dan virus, terutama berasal dari setiap pasien yang mereka jumpai selama sehari penuh.
Tiba-tiba muncul sebuah ide jahil yang terlintas di kepala Naruto.
Dia kembali meraih dan memegang dagu Hinata. Berusaha untuk mencegahnya agar tidak bergerak kemanapun. Naruto mulai mengikis jarak di antara keduanya.
Hinata langsung memejamkan kedua matanya, saat dia mulai merasakan hembusan nafas sang suami, yang semakin lama semakin dekat jaraknya.
Kedua bibir mereka saling bersentuhan. Awalnya hanya sebuah sentuhan biasa, namun berlanjut berupa lumatan, hisapan, jilatan yang saling menuntut satu sama lain.
Hinata yang sejak tadi, sebenarnya dia sangat kesal terhadap suaminya, mendadak sirna begitu saja. Dia tampak sangat menikmati setiap 'sentuhan' yang diberikan oleh Naruto, pada setiap bagian di rongga mulutnya.
Kedua lidah yang saling menari dan menjelajah pada setiap bagian di dalam rongga mulut pasangannya, telah berhasil membuat Hinata mengeluarkan desahan demi desahan yang sungguh nyaring terdengar di telinga Naruto.
"Enngghh, Naru-kunhh... Emmhhh..."
Aktivitas mereka harus terhenti di saat pasokan oksigen yang mengalir pada kedua paru-paru mulai menipis, akibat durasi yang cukup lama.
Kelegaan yang dirasakan oleh Naruto semakin lengkap saat melihat istrinya telah kembali sedia kala. Melupakan seluruh kejadian yang telah terjadi di tempat mereka bekerja.
"Hinata, Gomen ne jika aku bertanya lagi. Jika kau memang mengundurkan diri, lalu bagaimana tindakanmu selanjutnya? Bukankah menjadi staff medis adalah impian kita berdua, sejak kita masih duduk di bangku sekolah dasar?"
"A-anu... Tentu saja aku akan melamar kerja pada rumah sakit lainnya. Jika tidak ada yang mau menerima, aku akan mencobanya di klinik."
"Bukankah kita sudah memperoleh 'segalanya' yang kita inginkan saat ini? Lalu mengapa kau malah berniat 'menghilangkannya'?
"Salah siapa kita selalu berdebat selama ini. Naruto-kun tidak pernah mau mendengarkan sama sekali. Padahal aku sudah susah payah untuk menempuh 'bidang keilmuan' yang berbeda denganmu. Agar kita sama-sama menguasai cakupan ilmu yang berbeda, namun saling melengkapi."
"Hihihi, kau benar sekali. Aku akan mengubah sikapku selama ini. Aku ingin agar kita bisa saling mendukung, demi tujuan menyelamatkan nyawa orang lain. Karena itulah pertaruhan yang harus kita hadapi."
"Kita bisa membahas itu nanti. Karena aku harus segera mandi, Naruto-kun. Virus dan bakteri yang sudah kita 'bawa' dari rumah sakit, akan segera menginfeksi jika tidak segera mandi."
"Tunggu dulu, Hinata. Bagaimana kalau kita melanjutkannya bersama-sama di kamar mandi?"
"M-maksudmu, Naruto-kun?"
"Tentu saja melanjutkan 'kegiatan' setelah kita berciuman tadi, dattebayo."
"Dasar mesum! Aku mau mandi sendiri, Naruto-kun."
"Semuanya sudah terlambat, sayang."
Dengan sigap, Naruto menahan tubuh Hinata. Kemudian, salah satu tangannya segera mengangkat kedua kaki istrinya. Naruto menggendong Hinata ala pengantin untuk memasuki kamar mandi bersama-sama.
"Bersiaplah, istriku. Sepertinya kau harus membetahkan dirimu selama beberapa jam di kamar mandi."
Naruto segera melesat dengan menggendong tubuh Hinata yang sedang meronta-ronta, memohon untuk segera diturunkan.
"Kyaaaaa! Turunkan aku, Naruto-kun!"
Finished
Semoga memperoleh manfaat melalui cerita ini.
Fiksi ini memang ditujukan untuk membahas kasus atau konflik yang terjadi di dunia medis.
Sedikit review mungkin bisa membantu saya untuk memperbaiki pada part selanjutnya.
