Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto

.

.

Selamat membaca~

.

.

Sinar menyilaukan yang masuk dari celah-celah tirai yang menutup jendela kamar memaksa Sakura untuk terbangun. Tak butuh waktu lama untuk menyadarkannya dari alam mimpi. Mata hijaunya membelalak lebar saat menyadari bahwa matahari sudah menggantung tinggi di luar sana. Sial, alarm jam yang biasa berbunyi sebelum matahari muncul sepertinya tak berfungsi pagi ini. Ah, ia baru sadar jika semalam ia tertidur di kamar anaknya saat ia mencoba menidurkan gadis kecil yang masih terlelap di sampingnya.

Sial. Benar-benar sial.

Wanita itu dengan hati-hati segera bangkit dari tempat tidur mungil yang ia tempati, tak ingin membangunkan gadis kecilnya. Wajah paniknya sangat terlihat saat ia berlari kecil ke arah pintu sambil menggulung rambut merah muda panjangnya ke atas.

Langkah terburu-burunya berhenti di depan pintu dapur. Degupan jantungnya tak teratur ketika manik matanya mendapati sang suami tengah duduk di meja makan yang menyatu dengan dapur. Tubuhnya menegang saat tatapan tajam pria itu terasa mengintimidasinya membuat tubuhnya seakan terpaku oleh lantai yang ia pijak. Namun suara ketukan jari telunjuk pria itu di atas meja membuatnya kembali tersadar dan segera berlari ke arah dapur untuk membuatkan sarapan.

Ia tak bermaksud menjelaskan apapun pada Sasuke saat ini. Ia memilih untuk sibuk dengan mengambil bahan-bahan makanan yang sekiranya bisa dijadikan sarapan. Pun tak ada respon dari suaminya yang masih duduk dengan jari yang terus membuat irama ketukan di atas meja. Bagai sebuah irama pengantar kematian, Sakura tak dapat mengendalikan degup jantungnya tiap ketukan jari itu menggelitik gendang telinganya.

"A-akan ku buatkan sandwich untukmu." dengan susah payah ia mencoba mengatakan kalimat pendek itu. Dari bahan-bahan yang ia temukan pagi ini hanya sebuah sandwichlah yang bisa ia buatkan dengan cepat. Tangan bergetarnya dengan cepat mengiris tomat merah saat suara kursi yang bergesekan dengan lantai mengejutkannya. Ia memekik pelan ketika pisau tajam itu tanpa sengaja mengiris jari telunjuknya.

"Sandwich?" suara bariton suaminya lagi-lagi membuatnya terkejut. Tubuhnya menegang, ia tak berani bergerak sedikitpun saat disadarinya lelaki itu telah berdiri dibelakangnya. Tangan kanan Sakura sibuk menutupi luka yang terus mengeluarkan darah di telunjuk kirinya. Matanya tak sanggup lagi menahan air mata yang sedari tadi berdesakan untuk keluar.

"Kau hanya membuatkanku sebuah sandwich, hm?" ia bisa merasakan sepasang tangan melingkar di perutnya, memeluknya posesif dari belakang. Sungguh, suara lembut suaminya itu malah membuatnya ketakutan. Ia terus menggigit bibir bawahnya, menahan isakan yang ia yakini tak ingin Sasuke dengar.

Dirasakan pelukan itu semakin erat. Kecupan-kecupan lembut di leher jenjangnya membuatnya bergidik. Masih tak bergerak dalam dekapan erat sang suami saat pria itu menemukan tangan berdarahnya di balik apron putih yang ia kenakan.

"Oh, tanganmu terluka, Sayang." pekik sang suami terkejut. Tidak, jangan berpikir jika ia akan berlari mengambil kotak obat atau sejenisnya untuk sang istri. Karena yang dilakukannya sekarang adalah menarik jari wanita itu dan meletakkannya di atas talenan. Dengan sebilah pisau yang tadi dipakai istrinya, ia menyeringai merencanakan hukuman apa yang harus ia berikan pada Sakura

"Jangan..." wanita itu berusaha menarik tangannya dari genggaman sang suami. Sebisa mungkin ia terus menariknya, mencoba melepaskan dengan isakan yang kian terdengar lebih memilukan dari sebelumnya. Ia tak mau pisau tajam itu kembali melukai jarinya.

Ia tak ingin kehilangan salah satu jarinya.

"Berapa lama kau mengenalku, Sakura? Kau tahu aku tak suka menunggu. Tak suka jika seseorang mempermainkan kesabaranku." bisikan itu hanya bisa membuat sang wanita semakin ketakutan. "Sepertinya satu jarimu cukup untuk membayar beberapa kesalahanmu pagi ini. Bagaimana?"

Cengkraman tangan Sasuke semakin kuat di pergelangan tangannya. Sakura meronta, meminta maaf dan memohon agar sang suami tak melakukan apa yang ada di pikirannya. Ia tahu suaminya tak pernah bermain-main dengan ucapannya. Setiap kata yang telah keluar dari mulutnya dapat dipastikan itulah yang akan ia lakukan.

Pisau tajam itu sudah berada tepat di atas jarinya yang terluka. Siap memperlebar luka yang tadi tak sengaja ia buat. Pekikan memohon di sela derai air mata wanita itu tak juga meluluhkan hati sang pria bersurai hitam. Hatinya sudah tertutup kabut kegelapan sejak lama.

"Tolong maafkan aku." untuk terakhir kalinya ia memohon agar suaminya mau memaafkan kesalahannya. Tapi tidak, pisau itu kembali berhasil menyayat jarinya. Ia lagi-lagi hanya bisa menahan setiap jeritannya saat pisau itu semakin dalam mengiris telunjuknya. Menyentuh tulang ruas jarinya membuat darah yang keluar semakin banyak. Tetesan likuit merah itu menggenang di lantai putih di dekat kaki sang wanita. Ia yakin jarinya akan terputus menjadi dua jika suara kecil itu tak menginterupsi.

"Mama."

Suara itu bagai oase di tengah gurun pasir yang menyelamatkannya dari dahaga ketakutan yang sejak tadi ia rasakan. Genggaman erat suaminya pada pergelangan tangannya kemudian terlepas, pun dengan pisau yang tadi mengirisnya telah tergeletak di atas papan kayu itu. Ia kembali ingat bagaimana cara bernapas setelah sejak tadi paru-parunya tak terisi oksigen dengan benar. Ia benar-benar merasa lega.

Tak membuang waktu, Sakura segera mengusap air matanya dengan tangan lainnya yang tak terluka. Sebelum berbalik ia mencoba bersikap sewajar mungkin di depan sang anak. Tak ingin membuat putri kecilnya khawatir dengan mengabaikan rasa sakit yang tak terkira pada jarinya yang hampir terputus. Ia tersenyum menatap gadis kecilnya yang berdiri sambil menggosok sebelah matanya –terlihat masih mengantuk, di depan pintu dapur.

"Sayang, kau bangun." kata Sakura mengabaikan suaminya yang telah menghilang di balik punggung putri kecilnya setelah menyambar mantel hitam yang tergeletak di atas meja. Lelaki itu pergi tanpa kata mengabaikan putri kecilnya yang bingung menatapnya.

"Papa." panggil gadis kecil itu kemudian. Hanya suara debaman pintu utama yang menjawab jika lelaki itu telah pergi. Gadis kecil itu kembali menatap Sakura dengan bibir mengerucut sambil mengeratkan pelukannya pada boneka panda yang dibawanya. Sakura tersenyum lembut.

"Papa sedang sibuk, Sayang." kata Sakura memberi penjelasan. Ia ingin menghampiri anaknya tapi urung ia lakukan mengingat jari di balik punggungnya masih bersimbah darah. "Cepat ke kamarmu lagi. Mama akan membuatkan susu untukmu."

Tak butuh waktu lama untuk melihat gadis kecilnya kembali berbalik menuju ke kamarnya. Ia lega, anaknya tak mencurigai apapun yang ada di sekitarnya. Anak itu masih terlalu kecil dan polos untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kedua orang tuanya. Sakura harus segera membereskan semua ini. Jari yang terluka dan hampir putus, darah yang menggenang dan dapur yang terlihat berantakan.

Ia sedikitnya bersyukur bahwa suaminya, Uchiha Sasuke, tak pernah berani melakukan kegilaannya saat gadis kecil mereka berada di sekitarnya. Ia sangat bersyukur memiliki Sarada.

.::.

a/n : duh malu publish ini sebenernya- tolong saya jangan dibully bikin Sasuke jadi kejam gitu. Ini hanya untuk kebutuhan cerita dari imajinasi saya saja haha. Saya tau ini absurd bin aneh bin abal tapi ditunggu lho kritik dan sarannya di kotak review. Terima kasih~~