Musim panas…

Dan mataharinya sangat panas...

"Hufffff..." Neji menghela napas, sinar matahari yang terik membuat matanya nanar, apalagi sudah setengah hari dia menjaga perbatasan Konoha, mulai dari pagi buta sampai siang yang panasnya minta ampun begini. Harusnya Shikamaru sudah datang berganti shift, tapi entah kenapa si monyong brengsek itu belum juga kelihatan batang rambutnya. Neji mendelik kesal, pos jaga bukan tempat enak untuk didiami, hanya berupa satu bangku kayu dan satu atap pelindung yang disangga bambu. Kalau saja Godaime-sama tidak menginstruksikan perintah mendadak untuk menjaga perbatasan, pasti aku sudah tidur dari tadi. Mana panasnya minta ampun...gumam Neji sembari berdecak.

Ini semua berawal dari perintah Tsunade yang mendapat laporan dari jounin Yukigakure yang kehilangan dua shinobi buronan mereka di tengah perjalanan menuju tempat pengasingan missing-nin. Dikhawatirkan buronan tadi akan menuju Konoha, karena itu para jounin desa salju meminta bantuan untuk meringkus dua shinobi berbahaya tersebut. Dan sialnya, pada saat yang bersamaan—hampir semua shinobi andalan Konoha berada di Sunagakure untuk mengikuti tes pembekalan mental. Yang tersisa hanya anbu kelas atas yang sedang menikmati masa cuti. Yakni kelompok pimpinan Nara Shikamaru. Sementara mengabaikan jatah libur, Tsunade alih-alih memerintahkan mereka supaya bergantian menjaga pintu masuk Konoha siang dan malam. Shift berganti setiap tengah hari, dan tak akan ada perintah mundur sampai buronan itu tertangkap.

Nichiyoubi dan Getsuyoubi adalah giliran Naruto dan Lee. Kayoubi dan Suiyoubi adalah giliran Shino beserta Kiba, sementara Mokuyoubi dan Kingyoubi, giliran Sasuke bersama Chouji. Jadi hari terakhir, Doyoubi—Neji dan Shikamaru memegang kendali, pasangan penasehat dan ketua grup yang selalu beda pendapat ini mendapat hari paling berat dimana banyak tamu yang datang ke Konoha. Sedangkan mereka harus selalu memakai chakra untuk mengetahui para tamu itu buronan yang menyamar atau bukan. Jadi bisa dibayangkan betapa capainya.

Hal itu yang sekarang diumpat-umpat oleh Neji, Shikamaru belum juga datang, padahal dirinya sudah capek dan lapar. Terlalu banyak memakai chakra untuk hal yang sepele, membuka kedok orang. Kalau satu atau dua, itu bukan masalah, tapi kalau puluhan seperti yang terjadi dari pagi, bisa-bisa dia mati lemas. Apalagi ada beberapa tamu yang merupakan shinobi kenamaan, dan sudah tentu untuk mengetahui asli tidaknya, dia perlu banyak sekali chakra.

Aku capek...sekali lagi ada tamu yang merepotkan, akan kuhabisi dia...Neji menggerundel. Dia memang tidak tahan bila disuruh berdiam diri di tengah panas matahari yang sedang kuat-kuatnya, byakugan-nya nanar kena silau dan panas. Dan hal itu juga yang mempengaruhi otaknya menjadi agak anarkis. Hanya perintah Tsunade yang membuatnya tetap ada di situ sampai si ketua datang menggantikan.

"Sudah dua hari dijaga, tapi tak ada tanda buronan itu masuk ke sini. Kalau ada, pasti kemarin sudah dibantai oleh Sasuke, uhhmmm...lagipula kalau kupikir-pikir...," Neji memandang ke atas, panasnya bukan main, "Suasana terik begini...mungkin tidak ada lagi tamu yang da..."

"Kleneng!!."

Urat mata Neji menyeruak keluar. Suara aneh yang asing itu tertangkap sangat jelas, buru-buru Neji memasangkan topeng cerpelainya ke muka, dan siap memasang kuda-kuda di depan pintu gerbang. Tangan kiri memegang kantong shuriken, sementara yang satunya mengepal di depan dada. Bersiap. Aura aneh dapat dibaui dari arah berlawanan.

Mata nanar Neji menangkap sesosok bayangan melintasi jalan menuju ke arahnya, jubah hitam yang dipakai sosok itu berkibar-kibar. Neji menajamkan matanya dua kali. Agak curiga.

Dan akhirnya tamu tersebut sampai juga, tepat semeter di depan si anbu yang berambut cokelat. Kepalanya tertutup topi lebar, sementara jubahnya menyapu tanah, hitam polos dengan kain sangat panjang yang menjuntai dari sisi lengannya. Dan dari kantong lonjong di samping jubah, Neji tahu tamunya itu seorang shinobi. Entah darimana.

"Siapa kau?," tanya Neji lantang, kepala tamunya mencondong ke kiri.

"Kau sendiri siapa?."

"Aku tanya, kau siapa?."

"Kau sendiri siapa?."

"Grrhh...," Neji menghela napasnya lagi, tamu yang bikin gerah, "Aku anbu yang bertugas menjaga gerbang Konoha."

"Namamu?," sosok itu bertanya lagi, Neji menggeram,

"Jangan tanya macam-macam dan cepat katakan siapa dirimu!!."

"Itukah kata-kata yang pantas untuk diucapkan seorang anbu tuan rumah pada tamunya?,"

"Jika tamunya orang aneh sepertimu, ya!! Memangnya kau siapa dan mau apa kemari?."

"Aku ingin bertemu Godaime-sama...," jawab sosok itu, pelan, kakinya melangkah mendekati pintu, segera saja kepalan tangan Neji membentangi jalan masuk. Sosok itu mengerenyit,

"Hei, apa ini?,"

"Sebelum aku tahu kau siapa, aku tak akan membiarkanmu masuk,"

"Oh—ya? Apa kau punya hak melarangku?."

"Tentu saja, tuan tak dikenal...," Neji mencabut kunainya, dan diacungkan ke arah sosok tersebut, "Segera katakan siapa namamu dan darimana asalmu, sebelum aku terlanjur menggunakan chakra untuk mengetahuinya. Cepat!!!."

"Kalau aku tidak mau?."

Tensi Neji naik ke ubun-ubun, urat byakugannya makin menyeruak, segera saja selubung chakra berpendar dari telapak kirinya. Tepat mengarah pada sosok tersebut, yang seperti magnet, menyerap keluar sejenis kabut lebih gelap dari sekelilingnya, Neji tercengang, sejauh yang dia tahu, aura shinobi biasa hanyalah putih pucat, dan bukan kelabu. Ditariknya kembali chakra tersebut, dan dengan mata menyipit dia mengarahkan kunainya,

"Siapa kau sebenarnya?,"

"Nanti juga kau akan tahu, sekarang biarkan aku masuk..."

Tiba-tiba sosok itu berkelebat melewati rentangan tangannya, dan dengan sekali pukulan, gerbang Konoha terbuka paksa. Secepat kilat sosok itu menyelinap masuk, Neji terperanjat,

"Tidak akan!!!," serunya, tanpa pikir panjang dikejarnya sosok berjubah tersebut dengan kunai teracung, satu tangannya melemparkan shuriken dan senbon berkali-kali, namun dengan mudahnya sosok itu menghindar, larinya sangat cepat. Neji terpaksa menggunakan byakugannya terus menerus agar matanya dapat menangkap bayangan yang secepat angin itu. Hanya mengejar, karena shuriken tak mungkin berguna dalam jarak yang begitu jauh, ditambah angin kencang yang ditimbulkan oleh kelebatan mereka.

"BUK!!!."

Neji mendarat di salah satu ranting pohon, mata seratusnya sudah tidak dapat mengejar lebih jauh, terlanjur nanar. Panas matahari menyulitkannya untuk terus terjaga.

"Aku tidak suka main kucing-kucingan, keluar kau!!!," teriak Neji, derajat matanya berputar penuh, namun tak ditemukannya bayangan sosok tersebut dimanapun. Neji menggeram lagi, byakugan-nya belum pernah gagal. Dan tidak akan dia biarkan gagal.

"Keluar!!!," bentaknya penuh amarah, topeng cerpelainya bergetar. Satu helaan napas berat terdengar dari seberang, tahu-tahu sosok itu terlihat melipat tangan dengan bersandar di batang pohon,

"Aku tidak ingin bertarung denganmu," tegasnya, "Aku hanya ingin bertemu Godaime...,"

"Dan seharusnya kau mengatakan siapa dirimu..."

"Aku sudah bilang, nanti juga kau akan tahu..."

"Katakan sekarang, sebelum aku marah," Neji mendelik, namun tak ada jawaban. Sosok itu hanya diam di tempatnya.

Sebenarnya Neji masih bisa bersabar, namun udara panas membuat reaksi amarah cepat mencapai puncak sebelum waktunya. Tanpa aba-aba dilemparnya kunai yang sedari tadi dia pegang itu ke arah seberang,

"Hup!!." Sosok itu menghindar dengan satu lompatan ke bawah, Neji mengikutinya menuruni pohon secara vertikal, chakra di kaki mereka kuat mencengkeram batang pohon. Satu persatu shuriken dilemparkan Neji sambil terus berlari, namun secepat itu pula sosok tersebut menangkis dengan jubah panjangnya, suara besi beradu menggema di seluruh hutan. Membabat dedaunan tanpa ampun. Tak terhitung berapa batang pohon tertancapi senjata, kantong Neji nyaris kosong, namun belum satupun sudut maupun sehelai rambut rontok dari sosok yang dia buru itu. Padahal sedari tadi sosok itu tak sekalipun menggunakan tangannya.

Merasa tak mungkin lagi menyerang jarak jauh, Neji langsung mencabut salah satu katana dari pelindung punggungnya, sosok itu terlihat terperanjat, spontan kakinya mundur selangkah,

"Hentikan!! Aku tak mau bertarung denganmu!!."

"Sebelum kau mengatakan siapa dirimu, aku tak akan berhenti!!," Neji berujar marah, "Jangan harap kau dapat lolos, buronan!!," teriaknya. Dan sepasang kunai melayang bersamaan,

"SHAATT!!!."

Sosok tersebut menepis dengan kaget, tentu saja karena kata-kata Neji barusan,

"Aku bukan buronan yang kau maksud!!."

"Kau pikir aku percaya?," Neji terus berlari mengejar dari satu pohon ke pohon lain, satu meter di belakang, dia melompati sebuah pohon dan dengan sekali ayunan...Hup!! kaki Neji mendarat tepat di depan sosok itu. Yang segera menarik mundur sebelah kakinya sebelum mereka bertabrakan. Batang yang mereka tempati bergetar keras. Mata cerpelai dan cupung lebar bersejajaran di tengah dedaunan dan tanah yang berserakan akibat pengejaran tadi.

"Cepat, hhh...katakan...siapa...kau...," Neji terengah, napasnya menghela naik-turun, "Cepat!!!."

"Kau sudah kelelahan, berhentilah menyerangku...," sahut sosok itu tanpa rasa bersalah.

"Kau pikir aku akan melepaskanmu begitu saja?."

"Jangan keras kepala!!! Aku bukan buronan yang kau cari, aku hanya ingin bertemu Godaime."

"Bagaimana aku tahu kau bukan buronan?," Neji mendongakkan topengnya, kesal. "Kalau kau masih ingin mempersulit tugasku, baik...," dia merendah. Sosok di depannya terdiam tak mengerti, namun seketika matanya membelalak saat melihat Neji memasang kuda-kuda jutsunya.

Sebenarnya bukan tempat yang tepat untuk melakukan jutsu di atas pohon, namun Neji tak peduli, tangan kirinya menyeruakkan sependar chakra gelap, sementara kaki kanannya menyerut kuat kulit pohon ke depan, tangan kanan terayun ke bawah, siap menyentakkan chakra di atasnya.

"Hakke hachijushi no Jutsu!!!!!!."

Tangannya berputar cepat seperti spin, seolah-olah ada berpuluh-puluh lengan yang menyerang bersamaan dengan chakra masing-masing. Namun di luar dugaan, sosok itu, dengan cara yang amat nyaris sama, menangkis seluruh pukulan Neji.

Entah karena terlalu banyak mengeluarkan chakra atau karena terlalu terkejut, Neji kehilangan keseimbangannya dan terpelanting ke belakang, benturan itu begitu keras sampai batang pohon tersebut berderak sangat nyaring, sebelum akhirnya satu bunyi retakan mengusik kesadaran Neji, dia terlalu lambat berdiri dari posisinya.

"KRATAK!!!."

Batang pohon itu patah. Dan seketika itu juga Neji merasa seluruh aliran darahnya tersedot ke atas saat tubuhnya melayang jatuh...menatap tanah yang buram...

"GROSAK!!!."

...samar-samar dia melihat kelebatan tanah dan daun beterbangan,

"BUK!!!."

Suara tabrakan yang begitu keras.

Neji menduga itu adalah suara tulang punggungnya yang patah...

Bukan, itu bukan suara tulang punggungnya, punggungnya menantang tanah, padahal seingatnya tadi dia jatuh terlentang, lagipula kenapa jatuh dari pohon rasanya tidak sakit?

Perlahan Neji mencoba mengingat, sekelebat bayangan menariknya sebelum tubuhnya mencapai tanah, dan saat itu juga dia merasa ada sesuatu yang menangkapnya begitu erat sampai ada rasa hangat menguap dari dalam. Tunggu...tunggu dulu...

Bau ini bukan bau tanah, dan lagi sangat gerah, tubuhnya seperti dipegangi oleh seseorang,

"Kau tidak apa-apa?."

Sosok itu!!!! Sosok itu yang tadi menariknya tepat sebelum jatuh. Dan sekarang Neji ada di balik jubahnya dengan kepala terbenam di pundak. Topeng cerpelainya menekan hidung Neji dengan begitu kuat sehingga dia tidak bisa mengeluarkan suara, hanya menggeleng.

"Bagus, kau bisa bangun dariku...sekarang...," ujar sosok tersebut, menepuk rambutnya yang terikat. Tidak menyadari kalau telunjuknya terbelit pita pengikat rambut. Sementara tanpa pikir panjang Neji menyentakkan kepalanya tanpa mengetahui kalau topengnya tidak ikut terangkat dari pundak sosok itu,

"Srakkk!!."

Rambut panjangnya berkibar ke segala arah, matanya mengerjap-ngerjap, digerakkannya kepala ke kanan-kiri agar yakin tulangnya tak ada yang patah. Dia sempat mendengus lega sebelum kembali memandang ke bawah. Dan terperanjat...

Topeng cerpelai masih tergolek di tempat semula, sementara sosok yang terbaring di bawahnya hanya menatapnya dengan mata membulat. Tak ubahnya dengan Neji, topi cupung yang sedari tadi menghalangi pandangan itu juga tergeletak jatuh di samping pemiliknya, keduanya saling memandang wajah masing-masing. Dengan penuh minat, tentu.

Rambut hitam jatuh, mata merah menyala-nyala, dengan sudut yang sangat tajam. Rautnya dingin seperti siap membunuh apapun yang ada di dekatnya. Kecuali ditambah dengan dua goresan aneh di samping hidung, Neji nyaris mengira sosok itu adalah Sasuke. Namun dia juga tahu, simbol mata sharigan milik Sasuke hanya dua, bukan tiga.

Sementara mata merah itu menatap Neji di pelupuknya—rambut panjang tergerai, mata kosong berpendar keunguan, alis tajam, kulit yang begitu putih, dan bibir yang merah—nampak utuh dan membuat sosok tersebut tak berkedip sekejap pun.

"Kau siapa?...," Neji memecah keheningan, namun belum sempat dia bertanya lebih jauh, sebuah teriakan keras membuyarkan lamunan keduanya, sosok itu nampak terkejut,

"NEJIIIIIIIIIIIIIII!!!!!! DOKO DESU KA?!!!!!!!!!!!."

"Shikamaru!!!!!!," Neji spontan berdiri saat menyadari posisinya menindih perut sosok bermata sharigan itu. "Hai!! Ha-i!! Aku di sini!!," teriaknya membalas, sementara lawannya tadi mencoba berdiri setelah membenahi baju serta mengambil kembali topinya. Dan benar saja, si jenius Shikamaru Nara muncul dengan wajah khawatir dari balik pepohonan, tanpa memandang sekeliling, dia langsung bicara.

"Ah, maaf!! Aku telat, sebenarnya aku sudah berangkat dari tadi siang, tapi tahu-tahu Godaime memanggil dan memberitahuku kalau dua buronan Yukigakure sudah tertangkap oleh jounin setempat, dua jam lalu sebelum mereka menuju ke Konoha. Jadi dia minta jadwal penjagaan segera dihapus dan dia juga minta maaf telah mengganggu liburan kita. Dan satu lagi, dia juga bilang kalau hari ini shinobi yang menjadi penanggung jawab Anbu—menggantikan Kakashi-sensei—akan datang ke Konoha, aku khawatir kau salah mengenalinya dan langsung menyerang karena salah mengira dia adalah buronan yang kita ca...," ucapan Shikamaru terputus, bukan saja karena melihat wajah Neji yang memerah, namun juga karena melihat sosok jangkung yang berdiri di sebelahnya.

"Uchiha Itachi!!." Shikamaru mendekat ke arah Itachi yang tersenyum datar.

"Godaime sudah memberitahuku, kau diminta segera menemui beliau...,"

Itachi mengangguk, "Tadinya juga aku hendak pergi ke sana...tapi...," dia melirik ke arah Neji, yang dipandang hanya diam tak bergeming, merasa tak bersalah.

Shikamaru bergumam heran, muka Neji makin merah,

"T...tunggu...jadi...," tangan Neji menyilang nggak karuan, "Orang asing ini...,"

"Orang asing? Dia kan kakaknya Sasuke..."

"Apa?."

"Ah...so troublesome...nanti juga kau tahu," ujar Shikamaru cuek, kata-kata yang sama dengan yang sedari tadi diucapkan Itachi. Mendengarnya, Neji merengut.

Capek, marah, heran, bingung, kecewa, kaget, campur aduk menggumpal di perutnya. Dengan kasar dia menggerut topeng cerpelai tadi dari tanah, lalu tanpa permisi dia berbalik meninggalkan kedua shinobi tersebut. Tentu saja Shikamaru menegur keheranan, "Hei, kau mau kemana?."

"Tugasku sudah selesai, kan?," Neji menoleh, rambutnya tersibak, Itachi hanya memandang diam. Sementara Shika mengangkat bahu, "Uchi e kaeritai desu yo!!. Kau saja yang mengantar orang itu ke kantor Hokage."

"Baiklah, terima kasih sudah mau capai-capai menjaga!!," Shikamaru melambai, Neji membalas dengan badan membalik dan terus berjalan menjauhi mereka. Masih dalam kebingungan, mata tajam Shikamaru menyadari kenapa katana di punggung Neji hilang sebelah, dan alasan untuk tanah sekeliling yang berlubang-lubang, hangus.

"Senpai, apa tadi kalian berkelahi?,"

"Tidak..."

"Jangan bohong...," Shikamaru tersenyum sinis, "Neji bukanlah orang yang dengan mudah bisa membedakan siapa kawan dan lawan. Siapapun yang dia pikir tidak wajar, akan dianggap musuh."

"Maksudmu aku bukan orang yang wajar, begitu?," tanya Itachi, yang langsung disambut kikikan kecil oleh Shikamaru, pemuda itu menggaruk-garuk jabrik rambutnya, tanpa bermaksud menyinggung, dia akhirnya mengangguk.

"Pasti kesalahpahaman kalian begitu parah, sampai...," dia mengedarkan pandangan ke sekitar, dimana kunai, batang-batang patah, dan shuriken usang tergeletak pasrah tanpa pemilik. Ditunjuknya sebagai bukti tebakan, Itachi menutup kepalanya dengan cupung sementara mulutnya bergerak pelan,

"Dia hanya menjalankan tugas, dan itu bukan masalah serius."

"Apa diantara kalian ada yang terluka?."

"Kurasa tidak...meskipun aku sempat kewalahan...," Itachi menyunggingkan sudut bibir kanannya, "Apa kita bisa pergi sekarang? Aku ingin segera mengurus semuanya dan kembali ke rumah..."

"Oh, yappari...ayo ikuti aku...," tawar Shikamaru, Itachi mengangguk dan segera mengekor langkah anbu di depannya. Namun saat dia mengayunkan tangan, terasa sesuatu ganjil membelit tangan kirinya, sharigan merahnya langsung berkedut. Seuntai pita putih bergelayut di jari-jari tangan.

"Senpai...," panggil Shikamaru, "Ada yang tertinggal?."

Itachi memandang pita itu sekali lagi sebelum menggeleng pelan.



"Ini surat tugasmu, dan kau bisa bekerja mulai sekarang..."

Itachi menerima gulungan perkamen dari tangan Tsunade yang memasang raut wajah gembira saat dirinya datang bersama Shikamaru ke kantor Hokage, "Sayang Hatake sedang ada di Suna, jadi dia tidak dapat menemuimu hari ini..."

"Tidak masalah," Itachi mengiyakan, "Tapi aku belum mendengar alasan mengapa aku dipanggil ke Konoha. Dan juga kenapa aku diberi jabatan aneh ini...," ujarnya sembari mengacungkan perkamen itu. Tsunade tersenyum geli.

"Kau pasti sudah tahu jawabannya. Konoha membutuhkan seorang pemimpin Anbu yang berbakat serta bertanggung jawab, dan kami juga memerlukan seorang penasihat pusat bagi para shinobi. Hatake menolak untuk memegang dua jabatan sekaligus, sehingga dia berkenan mengusulkan menarikmu kembali ke Konoha...," tukasnya hangat, "Lagipula apa kau tidak merindukan keluargamu?."

"Rindu?," gumam Itachi, mendengus sinis, "Yah, mungkin juga."

"Kau sudah tahu kalau Sasuke sudah menjadi anbu, kan?."

"Shikamaru yang memberitahuku."

"Namun tetap tidak ada yang dapat mencapai target itu semuda kau dulu...," Tsunade mengenang, Itachi terdiam—mengingat dimana dia dulu menjadi ketua anbu pada usia yang sama dengan saat adiknya masih bergelar genin. Beban yang sangat berat, walapun semua itu sudah berakhir,

"Aku tidak ingin dia meniru kakaknya...," jawab Itachi, dipalingkannya muka ke penjuru ruangan, "Boleh tahu dimana tempatku bekerja?," sergahnya. Tsunade menjentikkan jari, dan dengan sentakan itu, seorang jonin khusus berbaju kelabu sudah bersimpuh di hadapan mereka berdua,

"Kotetsu akan mengantar...semoga kau cepat terbiasa dengan suasana dan rekan baru...," pesan Tsunade.

"Rekan? Apa aku tidak sendirian di sana?," delik Itachi heran.

"Ruangan di sana ada dua celah, hallnya besar dengan satu ruangan khusus untukmu. Sementara hall luarnya adalah tempat para anbu kelas atas bekerja," jelas Tsunade, "Kalian kutempatkan bersama agar cepat bersosialisasi, mungkin kau sudah terlalu mengenal Sasuke. Namun ada baiknya jika kau juga memahami karakter masing-masing anbu pimpinan Shikamaru itu. Mereka dipilih karena mempunyai pribadi yang unik dan berbeda-beda." Tsunade menerangkan. Itachi tercenung sejenak,

"Boleh aku tahu siapa saja yang menempatinya?," dia mendelik, bahu Tsunade terangkat, dibukanya laci kiri meja Hokage dan menarik keluar sebuah gulungan kertas tipis. Diacungkannya ke arah pemuda tampan itu.

"Baiklah. Ini daftar nama beserta foto mereka, jika kau memang membutuhkan...," tawarnya. Itachi menerima kertas yang diajukan. Dan sempat menelitinya satu-persatu. Ada delapan nama shinobi di sana, termasuk adik semata wayangnya, Uchiha Sasuke...namun...

1st Rank Konoha's Anbu Prototype

Alphabet Mode

Leader: Nara Shikamaru

Members :

Aburame Shino

2. Akamichi Chouji

3. Hyuuga Neji

4. Inuzuka Kiba

5. Rock Lee

6. Uchiha Sasuke

7. Uzumaki Naruto

Matanya berhenti bergerak di baris ketujuh, ditatapnya nama itu lekat-lekat, dan tanpa disadari—sebuah senyum kecil tersungging di mulutnya, Tsunade mengerenyit, tumben sekali Itachi tersenyum,

"Ada yang aneh?," tanyanya bingung. Itachi menoleh sambil melengos pelan,

"Tidak," jawabnya, "Tapi kurasa aku akan betah di sini..."



Tiga piring mochikashiwa yang masih mengepul terhidang, sementara di sampingnya tergeletak berbungkus-bungkus keripik kentang dan cokelat lapis batangan. Beberapa cangkir teh hangat menemani. Itupun ditambah dengan chirashi yang baru saja dibawakan Sasuke ke teras rumahnya, empat anbu muda menyambutnya sambil bersorak,

"Kebetulan nih, aku laparrrrr!!!," sorak Chouji riang, diambilnya sepiring besar tanpa permisi sebelum Sasuke sempat meletakkan nampannya ke lantai, Shikamaru menggeleng-geleng prihatin,

"Kapan sih kau tidak lapar?," sambar Naruto dengan tawa kecil, dirinya meremuk bungkus keripik dan memakannya dari bawah kemasan, Sasuke segera merenggutnya, "Tidak sopan, dobe..."

"Kan enakan makan dari bawah...," rengek Naru, yang disambut pelototan melarang. Blonde manis itu hanya bisa menelan permintaannya kalau sudah ditegur. "Iyaiya, maaf...," gumamnya. Sasuke nyengir, diangsurkannya piring bagian Naru, yang langsung melahapnya dengan gembira seperti Chouji, mata biru miliknya mengerjap-ngerjap, "Oishiii!!! Sasuke memang jago masak!!!."

"Tumben sekali kau masak buat kami...," Shikamaru menyendok sesuap, "Kenapa tidak pulang saja? Ini kan malam minggu, kau bisa balik ke rumah sementara besok libur," sarannya menawarkan. Jarang sekali dia melihat rumah singgah Sasuke dalam keadaan kosong, pemuda itu lebih sering berada di tengah mereka daripada dengan orangtuanya. Namun Sasuke menggeleng,

"Aku janji menemaninya jalan-jalan...," dia menunjuk hidung Naru yang masih sibuk menghabiskan nasinya, "Lagipula kebetulan aku sedang bosan sehabis menjaga kantor Hokage, jadi aku obrak-abrik dapur serta isi lemari makan, ternyata cukup lumayan untuk menghilangkan stress."

"Jadi ini makanan pelampiasan?," Chouji ngeles, "Teganya, napsu makanku jadi hilang nih!!..."

Sasuke tak menggubris melihat piring Chouji yang kosong...hilang apanya? Hilang nasinya...?

"Kau memang berbakat tinggal sendirian...," sahut suara dari samping, Sasuke menoleh dan tersenyum sinis melihat Neji bersandar di pojok teras dengan kepala terangkat ke atas, sedari tadi pemuda tersebut tidak beranjak dari posisinya semula. Naruto mengacungkan piring nasi bagiannya dengan maksud menawarkan, Neji hanya mengedip.

"Aku tidak lapar...," jawabnya pelan. "Kau habiskan saja bagianku..."

"Ah!! Neji-ko memang selalu baik!!! Arigatooo!!! Aku makan ya!!," teriak Naru kegirangan, dua porsi chirashi memang tak sebesar ramen, tapi memang perut pemuda pirang itu susah dihitung ukurannya. Chouji tak mau kalah, dengan mata memelas dia mengerjap-ngerjap ke arah piring Shikamaru yang langsung menghindar ke dekat Naruto. Sasuke nyengir lagi,

"Pergi saja ke dapur, ambil semaumu di sana..."

"Honto?,"

"Iya-iya...," Sasuke melenguh, dan berubah jadi jeritan marah saat Chouji berlari terlalu semangat sampai menendang punggungnya. Shikamaru terkekeh-kekeh,

"Soshite...Naru...bawakan ini ke putri bulan yang ada di sana...," sahutnya sambil menyodorkan piring mochi ke tangan Naruto yang sudah menghabiskan isi piringnya, tandas, tanpa sisa, "Bilang padanya, kalau terlalu lama melamun, nanti bisa kesurupan."

"Aku dengar apa katamu, brengsek...," Neji mengumpat, Shikamaru ngikik, Naruto menurut saja diminta mengantarkan piring mochi ke teras pojok tempat Neji bersandar, "Nih..."

"Taruh saja."

"Kau sakit?."

"Tidak...," jawab Neji enggan, tapi tahu-tahu lengan Naruto sudah menyentuh dagunya, pemuda berambut emas itu mengamati wajahnya lekat-lekat, kontan saja Sasuke mendelik bingung melihat tingkah partnernya yang satu ini, selalu aneh dan minta dijitak,

"Lagi ngapain sih?," protes Neji segan, dia tidak suka dipelototi begitu dekat. Segera Naruto menurunkan tangannya. Tersenyum manis.

"Ada yang lucu dengan wajahku?."

"Tidak, aku hanya melihat matamu...ternyata tidak kosong seperti biasanya," sahut Naru tenang, Sasuke menyilangkan kaki dengan menggeleng-geleng,

"Kurasa mata Neji tidak dapat dibedakan kosong tidaknya...," sambar Sasuke, meleletkan lidah. Bagaimana bisa dibedakan jika memang Neji tidak punya bola mata. Apalagi pandangan anak itu selalu tak menentu arahnya. Naruto menggerak-gerakkan telunjuknya—pertanda kata-kata Sasuke ditolak mentah-mentah,

"No-no-no, bukan begitu, Sasu...coba sini deh, ayo sini...," lambai Naruto sambil mengacungkan tangannya juga pada Shika dan Chouji yang sudah melahap habis sebaskom chirashi. Sasuke menurut, meskipun malas, namun sesungging senyum nakal terulas di wajahnya tatkala melihat ekspresi wajah Neji saat itu.

"Hei, mukamu merah...," sahutnya memulai, Shikamaru jelas tertarik. Dia belum pernah tahu kalau Neji bisa berekspresi lain selain diam dan mengerenyit, tentu suatu peristiwa langka. Dan benar saja, mata Shikamaru menyipit waktu memandang gurat kemerahan di pipi licin sang penerus Hyuuga itu.

"Hyuuga Neji, baru kali ini aku melihat warna aneh di wajahmu..."

"Apaan sih...," Neji berusaha menghindar dari empat wajah yang mengelilinginya. Chouji ngekek,

"Ada kejadian istimewa nih yee..."

"Diam kau..."

"Mungkin dia demam...," Sasuke mencoba mengulurkan telapaknya ke kening Neji, sebelum anak itu sempat berkelit, "Hei—panas juga..."

"Oh—tutup mulut...," dengus Neji.

"Bisakah kalian berhenti menjahiliku???," tanyanya dengan rengutan besar di mulut, tapi bukan Uzumaki Naruto namanya kalau stop mengintrogasi hal yang dianggapnya amat menarik. Dengan ringisan khasnya, tentu. Kumis kyuubinya menggerut nakal.

"Nggak ada apa-apa kok!!!." Neji tetap bersikukuh. Naruto nyengir,

"Pasti ada hal menarik yang mau kamu ceritakan. Ayo dong...kalau Neji terus melamun, kan gerah juga liatnya, biasanya Neji marah-marah kalo aku sama Chouji makan dengan suara berisik, tapi hari ini enggak. Jadi ada yang ganjil gitu..."

"Aku cuma sedang tidak enak badan, dan juga lagi ga ada mood buat memarahi kalian," jawab Neji sekenanya. Shikamaru mengerenyitkan mata kanannya, pertanda ada sesuatu yang dia ingin ajukan.

"Apa soal tadi siang?."

"TADI SIANG??," tanya ketiga anbu lain barengan. Neji langsung mencubit pinggang Shikamaru dengan pelototan marah, dasar mulut ember...pandangnya penuh rasa malu. Shikamaru hanya ketawa.

"Tadi siang?," tanya Chouji penasaran, "Kalau tidak salah, giliran Neji menjaga gerbang, ya?,"

"Bukan itu masalahnya. Tadi siang, waktu lagi jaga, Neji ketemu sama..."

"TADAIMA..."

Semua serempak menoleh ke satu arah, tak terkecuali. Raut wajah Sasuke berubah seketika saat dia mengetahui siapa yang membuka pagar dan masuk ke jalan setapak menuju rumahnya itu.

Mulutnya menganga.

"Kakak??," tanyanya tanpa balasan. Naruto mengedip tanggap, sementara Chouji dan Shikamaru hanya tersenyum datar dan berdiri untuk memberi bungkukan pada Itachi yang melengos di depan teras.

"Konbanwa, senpai...," sapa mereka dengan hormat. Itachi mengangguk. Melepas cupungnya dan berjalan mendekati kelima anbu muda itu. dia tersenyum saat melihat Naruto.

"Kau masih ingat aku?," tanyanya. Naruto melengos,

"Nii-san datang bukan untuk mengambil kyuubi-ku, kan?," balasnya balik, "Heheheh..."

"Mungkin saja...," jawab Itachi dengan begitu datar, tak dihiraukannya ekspresi cemberut Naruto setelahnya, "Hai, dear ototo..."

"Dipanggil pulang ya, heh?," dengus Sasuke, menghampiri kakak satu-satunya dengan berkacak pinggang, tingginya dan Itachi sekarang hampir sama, meskipun dia masih harus mengakui bahwa tubuh kakaknya bertambah pesat selama mereka berjauhan. Namun wajah dingin nan angkuh bercoret goresan mogenkyo itu sama sekali tidak berubah sedikitpun.

"Itukah sopan-santun saat menyambut seorang kakak?," tanya Itachi dengan senyum sinis, "Kau tetap tidak berubah, baka ototo...," tambahnya. "Apa kau tidak ingin memelukku?."

"Amit-amit...," jengit Sasuke sambil menarik langkahnya mundur. "Aku tahu dari Godaime tentang jabatan kakak di Konoha mulai saat ini, tapi kenapa harus tinggal di rumahku? Bukankah mansion Uchiha masih cukup menampung pantatmu di sana?," gerutunya pelan sambil menggaruk-garuk jambul.

"Bukankah lebih baik? Kalian bisa kembali akrab kan? Betul tidak?," Naruto mendukung, Sasuke memandang masam, "Kapan nii-san datang? Kenapa tidak memberitahu kami?."

Itachi terdiam sejenak, sudut matanya menangkap bayangan anggun di pojokan yang sedari tadi tak menggubris kedatangannya. Dia menarik sudut bibirnya ke atas, ekspresi sinisnya muncul seketika,

"Aku tidak seistimewa sampai kalian harus tahu kapan dan kenapa aku datang...lagipula bukan hal aneh kalau aku kembali. Sensei dari baka ototo-ku ini ingin mengistirahatkan tubuhnya untuk satu jabatan saja... jadi aku yang harus repot...," gumamnya, mendaratkan tubuhnya di lantai teras. "Apa aku mengganggu?."

Sasuke meleletkan lidahnya lagi, "Sangat."

"Ya sudahlah, aku mau tidur...," Itachi berdesah pelan, Naruto buru-buru menarik tangannya agar tidak segera beranjak pergi, sementara Shikamaru dan Chouji pindah duduk di bangku teras,

"Ngobrol dulu dong nii-san...eh, Sasuke, jangan gitu dong...nii-san kan baru datang, pasti capek dan lapar. Kamu siapkan makanan kek, apa kek," deliknya, Sasuke menunjuk hidungnya dengan pelototan kaget,

"Aku?."

"Memangnya siapa lagi?,"

"Kenapa aku?,"

"Kamu kan ototo-nya!!."

"Tapi masa aku harus me...,"

"Harus dong!!."

"Enak aja!!!."

"Tamu kan raja!!."

"Yeee...siapa bilang???."

Mereka berdua saling adu mulut, Shikamaru menggeleng-gelengkan kepalanya, dasar anak buah.. sementara Itachi mau tak mau agak geli juga mendengar adiknya bisa bercanda seperti itu,

"Kau yakin saat memutuskan menjadi pimpinan mereka?," tanyanya pada Shikamaru yang nyengir garing,

"Terpaksa saja..."

Chouji ikut meringis sambil terus mengunyahi keripik kentang di tiap bungkus genggaman tangan, dia melirik ke atas sejenak dan mendapati langit semakin gelap. Cepat dihabiskannya keripik yang tersisa, "Kalian terus bertengkar deh..." dia berujar geli, "Aku mau pulang dulu ya...sudah larut..."

"Lho? Sudah mau pulang? Bukannya kau mau main game dulu?," Shikamaru menunjuk ke dalam rumah Sasuke, biasanya Chouji selalu main final fantasy bersama Naruto sampai tengah malam.

"Aku tidak mau mengganggu istirahat senpai, main game-nya besok sajalah, ya kan, Naru?," ucap Chouji sambil mengibas-ngibaskan debu dari celananya. Naruto yang sedang sibuk mencekik leher Sasuke sempat mengangguk mengiyakan, lau beradu lagi. Benar-benar seperti anak kecil.

"Baiklah...eh, arigato makanannya, besok aku mau diundang lagi...hehehe...Jya!! konbanwa!!."

"Jya!!." Naruto dan Sasuke membalas bersamaan. Chouji melambaikan tangannya dan beranjak membuka pagar rumah, diantar Shikamaru. Setelah mengucapkan terima kasih, dia mulai berjalan menjauh. Shikamaru memandangnya hingga sosok Chouji membelok di seberang dan tidak terlihat lagi.

Dua anak buah keras kepala itu masih saling mendesak pendapat, Shikamaru menghela napas sebelum suaranya yang besar itu keluar dengan nada tinggi, "Baiklah...kalian berdua!!! Segeralah berhenti berkelahi sebelum aku menghukum kalian lari mengelilingi asrama besok siang!!..."

Spontan Naruto melepaskan genggamannya dari leher Sasuke, sementara yang dicekek langsung merenggangkan pitingannya dari lengan lawan. Keduanya mendelik bareng,

"Heh?."

"Perlu diulang?."

"Tidak."

"Saikoo...," jawab Shikamaru, lalu menghadap ke arah Itachi yang masih setia dengan posisinya, duduk di tiang teras dengan kaki di tanah, "Sepertinya aku juga mohon diri, senpai. Senang bertemu anda hari ini."

"Ore wa mou...," ujar Itachi nyaris tak terdengar, mukanya terangkat sebentar memberi anggukan pada Shikamaru. Yang segera membungkuk hormat, dipandangnya Naruto dengan gusar.

"Mau pulang bareng atau aku duluan?," tanyanya. Telunjuk Naruto terangkat ke mulut.

"Hmmm...emmm...gimana ya? Mmm...aku masih mau main, tapi...," dia mengalihkan pandangan ke arah Sasuke, pemuda itu dengan senyum mengiyakan kepalanya—sebagai jawaban. Naruto meringis senang, dia menghampiri Sasuke serta segera memeluknya sejenak—dan itu membuat mata Itachi agak berkedut—sebelum melepasnya dengan tatapan manja.

"Baiklah, aku pulang bareng Shikamaru...tapi besok kamu janji mengajakku jalan-jalan ya?,"

"Iya, iya, aku janji..." Sasuke menarik kembali tangan Naruto dan mendaratkan kecupan selamat malam di tepi bibirnya. Shikamaru bersiul iri—dan lagi-lagi mata Itachi berkedut kaget—sedangkan Naruto melepaskan dirinya dengan cengiran lebar. Dia balas mengecup pipi Sasuke. Lalu beranjak mendekati Shikamaru yang sudah siap membuka pagar rumah, keduanya melambai.

"Jya!! Oyasumi!!!!," teriak Naruto. Diikuti salam Shikamaru.

"Mata ashita!! Konbanwa!!."

"Jya...," desah Sasuke, tangannya kembali ke posisi semula, menggantung di saku celana kargo dan tatapannya mengarah kepada Itachi, "Aku segera siapkan kamar, kakak ngobrol saja dulu...," dia melirik ke pojokan, samar tertawa licik, "Dengan Neji..."

Yang dipanggil segera menoleh, tanpa sengaja matanya beradu dengan sharigan lingkar tiga yang saat itu juga ikut berbalik. Sasuke tak menggubris kekakuan diantara mereka, dia malah langsung ngeloyor pergi ke belokan pintu geser dan terdengar suaranya mengobrak-abrik sesuatu.

"Jadi...," Neji memulai pembicaraan dengan agak jenuh, "Mau ngobrol apa?."

"Mungkin dimulai dengan permintaan maaf?," tukas Itachi pelan, dahi Neji berkerenyit.

"Sumimasen? Nani?."

"Bagaimana dengan gomennasai?."

"Saya tidak merasa melakukan kesalahan," bela Neji, "Bukankah senpai sendiri yang memulai?."

"Oh—ya?," Itachi menaikkan kakinya ke teras, dan berjalan mendekati tempat Neji duduk, "Kurasa kau yang menyerangku terlebih dahulu...," tambahnya. Seraya mengambil jarak beberapa senti dari tiang, dan duduk di tembok pembatas, tepat di depan Neji. "Adalah hak seseorang untuk tidak memberitahukan identitasnya, apakah itu salah?."

"Tidak," jawab Neji pendek, "Baiklah, saya minta maaf...saya tidak mengenal senpai sebelumnya."

"Oh—menarik, cara bicaramu jadi sesopan ini. lalu?," Itachi mencondongkan kepalanya ke depan, "Apa setelah mengetahui kalau aku adalah ketua anbu, lantas kau baru minta maaf...atau karena kau sudah mengetahui siapa aku, baru minta maaf...?."

"Terserah...," Neji memalingkan mukanya, "Saya minta maaf selain sebagai bawahan, juga sebagai anbu Konoha, hanya itu," tanggapnya tanpa berbalik, Itachi melengos dingin,

"Aku tahu...dan sepertinya, aku mengerti kenapa Konoha tetap tenang sampai hari ini."

"Maksudnya?."

"Mereka punya shinobi yang hebat, kan?," tanya Itachi balik, tatapannya agak menyipit. Neji tahu siapa yang sedang dibicarakan, sehingga dia memilih menunduk saja,

"Namamu Hyuuga Neji?."

"Benar."

"Bagaimana aku harus memanggil?."

"Terserah...," jawab Neji lebih cepat, "Yang pasti saya harus memanggil anda senpai, kan?," tanyanya. Itachi tertawa dalam hati, lucu rasanya mendengar

Neji menyebut dirinya sendiri dengan saya dan memanggil Itachi dengan nama senpai. Ada rasa tidak nyaman mengucapkan hal itu.

"Kau boleh memanggil nama...," balas Itachi, "Dan sebagai gantinya, kau boleh kupanggil Nee?."

Neji mendongak, seingatnya hanya Naruto yang punya nama khusus untuknya—yakni Neji-ko—sekarang giliran orang sialan ini ikut menamai seenak perut. Neji membuka mulut hendak memprotes, namun tatapan Itachi seperti magnet kuat yang membuatnya diam,

"Kau tidak keberatan kan, Nee?."

"Sebagai bawahan, saya harus memenuhi permintaan senpai."

"Itachi..."

"Baik, senpai Itachi." Neji menegaskan, Itachi tertawa kecil, belum pernah dia merasa segeli ini sebelumnya,

"Kau benar-benar ninja yang patuh. Cukup Itachi dan tanpa senpai...mengerti?."

"Baik."

"Dan juga...," Itachi merogoh jubahnya tanpa melepaskan penglihatan dari muka

Neji yang masih menyampinginya, "Ini milikmu kan?...," dia berujar, melambaikan sehelai pita panjang warna putih, Neji tercengang kaget, dia langsung melompat berdiri menghampirinya, dan berusaha menarik pita itu dari tangan Itachi,

"Kembalikan!!."

"Sayangnya aku tidak mau...," Itachi menyelipkan kembali pita itu ke jubahnya.

"Kembalikan...," pinta Neji lagi, "Itu milikku..."

"Cara bicaramu sudah normal lagi rupanya...," cengir Itachi mendengar kata aku terucap dari bibir merah Neji, "Sayang, barang yang sudah ada di tanganku, akan menjadi milikku."

"Itu tertinggal di hutan setelah berkelahi dengan senpai, dan itu milikku...," tegas Neji, "Kembalikan."

"Begitu penting?."

Neji tak menjawab. Dia malah memalingkan mukanya, Itachi terus berkelit,

"Dari orang yang kau sayangi?."

"Benar..."

Kali ini Itachi yang terdiam, dia sebetulnya tak mengharapkan jawaban atas pertanyaan itu.

"Aku akan mengembalikannya, tapi tidak sekarang..."

"Apa?."

"Selama aku masih ingin menyimpan pita ini, aku akan menahannya di sini. Kau mengerti kan?."

Neji tak bisa mengelak, dia adalah bawahan, dan sejak kecil dia memang selalu terbiasa dengan perintah, tidak ada kata tidak atau menolak, jadi dia hanya bisa mengangguk.

"Baiklah...," dia mengiyakan, "Saya mengerti."

Itachi tersenyum datar. Tepat saat Sasuke kembali dari menyiapkan kamarnya.

"Owarimasyo!!! Kamar kakak sudah siap...dan...," Sasuke menghentikan ucapannya saat melihat Itachi masih menyunggingkan tawa—dengan Neji di depannya menahan amarah yang meledak-ledak.

"Sepertinya seru sekali...," dia berkacak pinggang, "Oh—Neji, apa kau mau menginap? Sudah larut malam...biar aku siapkan juga kamar untukmu, bagaimana?."

Neji menggeleng pelan, "Tidak, terima kasih...aku mau pulang saja..."

"Perlu kuantar?."

"Tak usah, terima kasih..." ujar Neji, dipandangnya Itachi sekali lagi dengan penuh kekesalan, lalu dia beranjak turun dari teras, sebelum beranjak membuka pintu, diucapkannya salam pamit pada Sasuke,

"Konbanwa...,"

"Oyasumi!!!...," balas Sasuke agak keras, Neji mengiyakan. Tanpa berbalik lagi, dia segera melewati pintu dan berjalan menjauhi rumah. Suara langkahnya hampir tidak terdengar walaupun malam sangat hening. Sasuke tahu, anak itu pasti memilih jalur lompat daripada berjalan menyusuri setapak ke rumahnya. Bosan.

Suasana sunyi sejenak, sembari berkacak pinggang-tanpa menoleh—Sasuke mendengus.

"Kau apakan Neji?," sergahnya tiba-tiba, tak tahu siapa yang dimaksud. Tetapi Itachi sadar dirinya yang ditegur, "Maksudmu?," tukasnya dengan wajah tak berdosa. Seringai muncul di bibir Sasuke,

"Anak itu pulang dengan wajah merah padam. Sedari tadi ekspresinya sama. Pasti ada yang tidak beres... kakak...kau apakan Neji?," dia menambah, tentu saja Itachi hanya terkikik kecil, nada rendah yang khas.

"Aku hanya sedikit menggodanya..."

"Hah...aku paham, sifatmu itu memang selalu aneh...," Sasuke merebahkan diri di lantai teras yang dingin, "Setiap ada hal yang kau anggap menarik, kau tidak akan berhenti sampai mendapatkannya kan?."

"Oh—begitukah?," tanya Itachi balik, Sasuke mendengus,

"Apa Neji menarik perhatianmu?," tanyanya dengan kepala terbaring di lantai. Itachi berdehem pelan. Retoris. Sejak awal—pewaris Hyuuga itu—memang orang yang sangat menarik. Mungkin.

"Heehh...sudah kuduga," Sasuke nyengir sangat lebar, "Memang bukan hal wajar, tapi baru kali ini kulihat kau begitu senang...apa ada yang begitu istimewa darinya?."

"Semuanya..."

"Apa?," Sasuke sontak bangkit dari rebahan, kakaknya itu seolah menerawang tak jelas. "Apa?."

Tak ada jawaban.

"Kakak?."

Tak ada respon.

"Kakak??," ulang Sasuke. Itachi masih tak bergeming. Bengong seperti orang terhipnotis.

Sasuke penasaran, didekatinya Itachi lekat-lekat dengan menggerakkan telapak tangan di depan matanya. Tak ada kedipan sedikitpun. Benar-benar bleng desu...ide jahil pun muncul di benak Sasuke.

"Menurutmu—apa dia cantik?."

Sesuai dugaannya...Itachi menjawab tanpa sadar, "Sangat..."

"Apa dia seksi?,"

"Sangat..."

"Apa dia lembut?,"

"Sangat..."

"Apa dia begitu memukau?,"

"Sangat..."

"Baiklah...," Sasuke menepuk jidatnya sendiri, "Kupikir kau benar-benar sudah gila..."

"Sangat..."

Dibiarkannya Itachi sendirian di pojok teras—sementara dirinya ngeloyor masuk ke kamar tanpa menggubris ulah si kakak yang masih terpesona di tengah dinginnya Konoha malam hari...hhh...baru juga sehari...sudah bikin skandal...Sasuke menggumam sebelum menutup matanya. Terlelap.