Hinata benci ini.
Ini masih pagi, dan dia harus berangkat pagi-pagi sekali karena hari ini dia piket.
Sebenarnya semuanya akan baik-baik saja, meskipun Hinata berangkat saat ayam bahkan belum berkokok. Padahal ini sudah termasuk siang, pukul enam. Sudah banyak pekerja yang berlalu lalang untuk pergi ke kantor dengan terburu-buru, ataupun siswa-siswi lain yang hari ini juga kebagian piket.
Hinata berjalan dengan terburu-buru. Dia terlihat resah dan sesekali menoleh kekanan dan kekiri.
Melihat keadaan yang baik-baik saja, Hinata membuang nafasnya jengah. Kenapa dia harus setakut itu?
Semuanya gara-gara dia!
Hinata mengumpat dalam hati. 'Dia' yang membuatnya jadi terlihat bodoh setiap pagi–setiap dia di sekolah.
Membuat setiap pergerakannya menjadi tidak tenang sejak seminggu lebih ini.
Semuanya dimulai sejak ajaran baru—yang baru dimulai dua minggu yang lalu. Awalnya Hinata masih baik-baik saja di SMA barunya, tapi saat hari kelima, ketenangannya hancur saat seorang pemuda berambut pirang mencolok tiba-tiba muncul dan—
"—DOR!"
"KYAAA!"
Dan mengagetkannya.
Setiap hari. Disetiap kesempatan.
Entah itu di kantin, di perpustakaan—dan bahkan dia pernah tiba-tiba muncul saat Hinata baru selesai dengan kamar mandinya.
Hingga saat ini, alasan pemuda musim panas melakukan hal gila seperti itu masih menjadi misteri bagi Hinata—bahkan semua orang.
Setelah menyalip Hinata, dengan wajah yang konyol, dia mentertawai Hinata yang mencak-mencak kesal karena lengah dengan keberadaan si tersangka.
Hinata mengacungkan telunjuknya dengan kesal, pemuda itu tertawa lalu meleletkan lidahnya pada Hinata.
"NARUTO AKU MEMBENCIMU!"
Tapi yang pemuda itu lakukan malah mengedipkan matanya dengan gaya genit, menggunakan tangannya untuk membentuk gambar hati, sebelum akhirnya berlari jauh mendahului Hinata.
Hinata mendesis sebal.
"Huh, apa yang dia lakukan?"
Padahal, pipinya bersemu samar.
.
—
.
DOR!
Naruto © Masashi Kishimoto
[ Dksfgxo © 2015 ]
Typo(s), Twoshot, Fluff yang ngga fluff(?), cerita pasaran, HinataOOC, NarutoOOC!
Romance/Drama
Rated T
NARUTO x HINATA
.
—
.
"Hinata!"
Hinata menoleh, mendapati Sakura yang melambai sambil berjalan kearahnya. Dikedua tangannya terdapat dua jus yang salah satunya adalah rasa kesukaan Hinata.
Hinata menyambut sahabatnya dengan senyuman lebar, mengabaikan novelnya sejenak dan fokus pada gadis musim semi itu.
Kemudian Sakura ikut duduk di kursi dengan meja kayu kecoklatan itu. Kursi itu menyatu dengan meja, diletakkan disetiap sisi taman dan memang diperuntukkan untuk murid yang ingin belajar di taman. Terlihat sangat nyaman, memang.
"Aku tahu kau disini, mencarimu di kantin rasanya percuma. Jadi aku pergi kesana untuk membeli ini sebentar dan langsung ke taman. Kau kenapa?" Sakura memberikan minumannya pada Hinata dan menatap temannya itu penuh tanya.
Hinata mengaduk jus dalam kemasan cup plastik itu sejenak, lalu balas memasang wajah bingung, "Apanya yang kenapa?"
Sakura mendesah malas, "Maksudku, kau kenapa? Akhir-akhir ini kau selalu menghilang dari kelas saat istirahat dan kadang aku susah untuk menemukanmu." Kenyataannya, Sakura dan Hinata memang tidak sekelas. Mereka hanya akan bertemu saat jam istirahat.
Hinata yang sudah tahu arah pembicaraan inipun hanya mendengus malas.
"Jangan bilang kau tidak tahu Naruto," jawabnya singkat.
Sakura menyedot jus mangganya dan mengangguk keras, "Yayaya, aku tahu." kemudian Sakura menangkap wajah malas temannya yang memandang kosong kearah beberapa orang yang berkumpul diarah barat taman, sedang berlatih pentas drama.
"Maksudku, apa kau tahu? Semua orang beranggapan Naruto menyukaimu loh." tambah Sakura, yang langsung dipelototi Hinata karena berbicara yang aneh-aneh. Sakura terkikik sebentar, sebelum akhirnya dia tenggelam dengan dunianya bersama smartphonenya.
"Dia gila." bisik Hinata pelan, tapi cukup untuk Sakura dengar karena dia duduk disampingnya.
"Hum?" Sakura menoleh dengan bingung, namun Hinata malah menggeleng malas lalu mulai menopang dagu. Sakura mengendikkan bahunya dan mencoba kembali pada ruang chattingnya.
Hinata kembali menatap sekelompok orang yang sempat dia lihat tadi. Matanya menyipit fokus, seperti mencari sesuatu yang tiba-tiba menghilang—dan ya memang seperti itu.
"Kemana dia?" gumam Hinata sambil terus mengamati satu-persatu orang yang masih ada disana. Semuanya masih lengkap, kecuali satu orang. Seseorang yang paling mencolok diantara semuanya, seseorang bersurai pirang dengan kulit kecoklatan yang—
—tunggu! Kalau dia tidak ada disana, jangan-jangan dia—
Belum sempat Hinata berpikir lebih jauh, sebuah tepukan mendarat dibahunya dengan tiba-tiba, lalu diikuti sebuah suara yang sangat dia kenal—sampai ke intonasinya sekalipun.
"DOR!"
"KYAAA!"
Teriakan itu cukup-sangat-menggelegar mengingat yang teriak bukan cuma Hinata, tapi juga Sakura. Teriakan itu cukup untuk memancing beberapa orang disekitar mereka menengok untuk mencari tahu. Melihat bahwa itu bukanlah hal yang aneh lagi, mereka kembali menyibukkan diri dengan kegiatan sebelumnya.
Hinata—dan Sakura melotot dengan wajah horor, mereka memegang masing-masing bagian dada mereka—seolah takut-takut kalau jantung mereka akan tiba-tiba melompat menembus tulang rusuknya.
Suara kekehan manis itu terdengar menjadi sangat menyebalkan disaat-saat seperti ini. Dengan cepat, kedua gadis dengan emosi meluap itu menoleh kearah penyebab menjeritnya mereka. Lalu berdiri sambil mengepalkan tangan.
"NARUTO, KAU GILA!" sembur Hinata dan Sakura bersamaan.
Tanpa berkata lebih lanjut, Naruto segera menjauh, setelah sebelumnya dia menyempatkan diri dulu untuk mengedipkan sebelah matanya kearah Hinata, dan membuat love sign yang lucu dengan telunjuk dan ibu jarinya.
Masih syok, Sakura makin terpesona dengan apa yang baru saja dia lihat. Sedangkan Hinata hanya mendesis sebal kearah hilangnya pemuda itu.
"Hinata," Sakura menoleh kearah temannya yang kembali duduk mengambil jus strawberry-nya dan menyeruput isinya dengan bringas.
"Hm?"
Sakura ikut kembali duduk disamping Hinata, dia menatap gadis lavender itu serius.
Lalu si pink itu menggumamkan sesuatu yang membuat Hinata agak berpikir keras,
"Sepertinya dia benar-benar menyukaimu. Seperti yang orang-orang katakan."
Hinata menghentikan sedotannya sebentar, lalu mencoba tidak terpengaruh dan bersikap biasa saja. Sakura masih menunggu tanggapan Hinata, tapi gadis itu malah segera mengambil novelnya dan membawa jusnya untuk bangkit lalu pergi.
"Hey, kau mau kemana? Kita belum selesai bicara—Hinata!"
Hinata terus menjauh sambil terus meminum jusnya, "Sebentar lagi bel masuk. Aku duluan!"
Sakura cemberut sambil mengumpat kecil, "Cih anak itu, bisa-bisanya dia menghindar."
—
.
.
—
Hinata memilih sebuah buku remaja berjudul Cara Mengetahui Bahwa Seseorang Menyukaimu dari rak paling pojok. Dia segera membawanya ke salah satu meja dan segera melihat daftar isi yang menulis 'Bagi yang secara terang-terangan'.
Hinata membaca judul poin pertama yang tercetak dengan miring,
1. Orang itu selalu berada disekitarmu.
Tiba-tiba saja sekelebat bayangan Naruto muncul dalam pikiran Hinata. Entah saat makhluk kuning itu tiba-tiba saja muncul saat dia terlambat ke sekolah, tiba-tiba ada didepan pagar rumahnya, tiba-tiba menontonnya saat lomba cerdas-cermat di pusat Kota, tiba-tiba muncul ketika dia jatuh saat bermain voli dipelajaran olahraga—Naruto hanya akan lewat untuk mengatakan Dor-nya sambil tertawa-tawa (padahal dia sedang belajar, bagaimana bisa?—entahlah).
Lalu pikirannya melayang pada perkataan Sakura dua hari yang lalu,
"Sepertinya dia benar-benar menyukaimu. Seperti yang orang-orang katakan."
Hinata bergumam, "Tapi kenapa dia malah seperti itu?"
Tanpa sadar gadis berambut panjang itu menopang dagunya, menerawang tentang si Uzumaki Naruto.
Sosok yang cukup populer di sekolahnya karena sifatnya yang ramah dan enerjik, pandai bermain bola, suka tebar senyum kesana-kemari, mahir membuat orang-orang dengan mudah memafkan kesalahannya—seperti Hinata.
Padahal Hinata bisa saja melaporkan Naruto atas perlakuannya yang kurang nyaman. Tapi, meski Hinata kesal—meski dia mengatakan Naruto gila, mendeklarasikan bahwa dia benci makhluk itu—dia—dia tetap saja tidak bisa marah, bahkan hanya untuk sekedar melempar sebelah sepatunya kearah kepala kuning itu.
Dia tidak bisa.
Entah kenapa.
Hinata kembali membayangkan sosok Naruto. Jujur, dia cukup tampan dengan sepasang mata birunya—cukup banyak kakak kelas yang menyukainya meski dia tidak setampan Sasuke, tubuhnya cukup tinggi—walau tidak setinggi Gaara, dia juga cukup pintar—walau tidak sepintar Shikamaru, juga—dia lumayan terlihat keren saat bermain bola—walau dia tidak sekeren kakak sepupunya, Neji.
Hinata mengakui itu, mengakui bahwa Naruto dapat dibilang berkecukupan.
Tapi soal Naruto yang memang benar menyukainya atau tidak, Hinata masih sangat gamang.
Apa benar?
Rasanya—masa sih?
Kalian bisa melihat bahwa, seharusnya Naruto bisa lebih baik jika dia memang benar menyukainya. Bukan malah selalu muncul tiba-tiba dengan Dor-nya yang terdengar sangat menyebalkan itu.
"—dor!"
Hinata terlonjak saat tiba-tiba pipinya seperti ditusuk sesuatu.
Dia menoleh kekanan, ke kursi sebelah yang tadi kosong kini sudah dihuni oleh orang yang baru saja bermain dalam pikirannya.
Naruto sedang duduk manis disamping Hinata, menusuk pipi gadis itu menggunakan jari telunjuknya.
Hinata masih bengong, dia masih tampak bingung sebelum akhirnya kekehan Naruto membawanya kembali sadar.
Segera saja dia memasang tampang bete-nya.
Lagi-lagi seperti itu, tiba-tiba datang disaat Hinata tidak siap.
Menyebalkan!
"Apa?" Hinata bertanya dengan galak melihat Naruto masih terkekeh seperti ada yang lucu—volumenya mengecil karena dia sadar kalau ini perpustakaan.
"—tidak," Naruto menghentikan tawa kecilnya lalu menopang dagunya dengan sebelah tangan, lalu dia memandangi wajah Hinata secara terang-terangan, "Lucu saja. Padahal aku melakukannya dengan pelan, tetap saja kau terkejut."
Hinata pura-pura membaca bukunya dan melirik Naruto melalui ekor matanya. "Tapi aku tidak teriak, kan."
Naruto memandang kesekelilingnya lalu menggumam asal, "Baiklah... Kau yang menang."
Seterusnya, hanya ada keheningan yang menengahi mereka. Naruto sibuk memperhatikan Hinata, sedangkan Hinata sibuk mengatur dirinya sendiri untuk tidak terlihat gugup.
"Buku apa itu?"
Tiba-tiba saja wajah Naruto sudah nyempil didekat wajahnya, refleks saja Hinata menggeser kursinya—menjauh.
Naruto mengerutkan alisnya, "Poin pertama, dia selalu—eh, kenapa di tutup? Aku juga ingin baca!"
Hinata menutup bukunya keras-keras—refleks karena kaget, Hinata segera menarik bukunya menjauh dari Naruto dan menutupi judulnya yang berbahaya.
Dalam hati dia merutuk, baru sadar kenapa dia harus membaca buku yang membuatnya terlihat bodoh seperti itu?
Hinata menutup matanya sambil mendesis kesal, dia kemudian menatap Naruto dengan galak.
"Jangan ganggu aku." bisik Hinata pelan, mencoba meredam emosinya yang bisa saja meledak di perpustakaan.
Naruto menggaruk pipinya, "Katakan saja, itu buku apa—nanti aku mengambilnya lagi dan membacanya sendiri."
Hinata tidak peduli, dia tetap keukeuh menutup rapat-rapat sampul buku berwarna merah muda dan biru itu.
Naruto memelas, "Ayolah Hinata..."
Hinata tetap tidak memberitahu. Naruto masem, dia sama keukeuhnya dengan Hinata—tidak menyerah sebelum diberitahu.
Dia melipat tangannya di meja dan terus mengawasi Hinata, sementara Hinata masih tetap menutupi bukunya dengan kedua tangannya. Dia sebenarnya bisa saja kabur, tapi resikonya adalah Naruto dengan secepat kilat merebut buku itu darinya dan membuatnya berteriak gaduh, hingga akhirnya nanti Naruto malah tahu apa yang sejak tadi ditutupinya.
Hinata meringis, kalau sampai seperti itu reputasinya bisa hancur.
"Baiklah, beritahu saja buku itu tentang apa?" Naruto sepertinya mulai menyerah.
Hinata mendelik, "Kenapa kau penasaran sekali sih?"
"Lalu kenapa kau harus menutupinya sampai seperti itu?"
Skak mat.
Hinata langsung dongkol, Naruto menyeringai mengetahui bahwa dia yang menang.
"Jadi?"
Hinata terlihat berpikir sejenak, lalu memasang poker face-nya.
Hinata bertanya, "Kau benar-benar mau tahu?"
Naruto langsung mengangguk antusias. Hinata menggunakan tangannya mengisyarat bahwa Naruto harus mendekat, Naruto menurut dan memberikan telinganya baik-baik.
Hinata berbisik di telinga Naruto,
"Buku ini memberitahuku cara untuk menangani orang-orang yang melakukan hal aneh kepada orang lain. Seperti Dor atau semacamnya—" Hinata berkata dengan serius. Lalu menjauhkan wajahnya sambil tersenyum kalem. "—seperti itu. Itulah alasanku menyembunyikan ini sejak tadi. Aku takut kau tersinggung."
Hinata tersenyum puas dalam hati melihat Naruto yang mengangguk-ngangguk kecil, seperti percaya begitu saja.
"Lalu apa yang dikatakan buku itu?"
Hinata berpikir sebentar, sambil mengendikkan bahu dia mengelak, "Aku belum sempat membacanya karena kau tiba-tiba datang mengganggu."
Naruto kembali mengangguk, membuat Hinata bisa bernafas lega.
"Aku tahu caranya, kau mau tahu?"
Hinata menatap Naruto yang wajahnya terlihat serius.
"Maksudmu?" Hinata bingung, alisnya tertaut menandakan bahwa dia benar-benar tidak mengerti.
"Cara menangani orang yang melakukan hal aneh kepada orang lain. Seperti dor atau semacamnya—aku tahu cara menanganinya."
Tanpa sadar, Hinata langsung antusias, "Benarkah?"
Naruto mengangguk dengan wajah meyakinkan. Hinata dengan polos percaya kalau cara itu pasti dapat membuat Naruto taubat—apalagi orangnya sendiri yang memberitahu solusinya, itu sama dengan kemauannya sendiri bukan?
Naruto mendekat dan berkata dengan suara kecil, membuat Hinata yang penasaran ikut menggeser tubuhnya kearah Naruto tanpa sadar.
Hinata dengan serius mendengarkan Naruto yang mulai berbisik pelan.
Awalnya datar-datar saja, tapi kemudian iris pucatnya melebar. Naruto menjauhkan tubuhnya dengan satu seringaian dibibir. Dia kemudian berdiri, "Itulah caranya."
Hinata masih syok, bahkan ketika Naruto berjalan menjauh sambil tertawa kecil.
Tak lama kemudian, wajah Hinata berubah merah—sangat merah, sebelum akhirnya Hinata bangkit dan berteriak kearah Naruto yang belum terlalu jauh,
"Kau gila!"
"Ssssht!"
Hinata membekap mulutnya sendiri saat sadar orang-orang mendelik sinis kearahnya, dia segera berojigi dan meminta maaf. Sebelum kembali duduk, Hinata masih dapat menangkap wajah Naruto yang tertawa geli kearahnya.
Hinata meremas bukunya dengan kesal, tapi kemudian dia merasa wajahnya seketika memanas. Hinata mengipasi wajahnya menggunakan tangan, lalu meringis kesal—dan malu?
"Apa dia bilang? Jadi pacarnya?" Hinata berujar sembari memegang pipinya yang terasa panas, "Kh, yang benar saja."
Tiba-tiba bayangan Naruto kembali muncul dalam pikiran Hinata, membuat Hinata menenggelamkan wajahnya yang memerah pada lipatan tangan miliknya yang ditaruh di meja.
"Baka!"
—
.
.
—
Aneh. Sungguh aneh.
Ini sudah dua hari sejak Naruto berbisik soal soulusi-dan-menjadi-pacarnya di perpustakaan sekolah sore itu. Dan dua hari itu pula, Naruto menghilang tanpa jejak. Bukan hanya menghilang dari lingkungan Hinata, tapi juga menghilang dari seluruh pelosok lingkungan sekolah.
Intinya, pemuda itu sudah dua hari tidak sekolah. Entah itu karena sakit—bolos dengan izin atau hal semacamnya, Hinata tidak tahu—atau lebih tepatnya, dia gengsi untuk sekedar mencari tahu.
Bohong jika Hinata mengatakan dia tidak kehilangan sosok itu selama dua hari. Ah tunggu, sepertinya kata 'kehilangan' sedikit membuat Hinata tersinggung karena dia masih senang mengelak.
Baginya, ini bukan karena dia merasa kehilangan Naruto—tapi ini hanya perasaan janggal melihat sosok mencolok itu tiba-tiba lenyap tanpa memberinya tanda-tanda.
Hei—tapi bukankah itu sama saja?
Pokoknya beda!
Seperti yang dilakukan Hinata saat ini. Seharusnya dia senang, dia bisa makan dengan tenang di kantin tanpa takut jika tiba-tiba Naruto mengejutkannya seperti biasa. Seharusnya sih—iya, karena wajah yang dipasangnya malah berbanding terbalik dari pendeskripsian seharusnya itu sendiri.
Dia malah terlihat melamun, menopang dagu dengan tangan memutar isi milkshake miliknya dengan pandangan bosan.
Entah kenapa dia jadi bosan. Mungkin karena tugas-tugas yang biasanya mencekiknya secara kasat mata sudah selesai lebih awal karena si penyebab tugas-tugasnya terhambat sedang tidak ada—jadinya dia merasa bosan.
Biasanya dia akan sibuk bersembunyi untuk bisa mengerjakan tugasnya dengan tenang. Tapi sudah dua hari ini hidupnya benar-benar sepi.
"Dor!"
"Naruto!"
"Eh?"
Hinata secara spontan berbalik saat sebuah tangan menepuk bahunya dengan tiba-tiba. Dan secara spontan pula nama itu keluar dari mulutnya. Padahal jelas-jelas Hinata dapat mendengar kalau suara Dor itu terdengar jauh berbeda dan lebih feminim, dia bisa mengenali kalau suara itu bukan milik Naruto, melainkan milik—
—Sakura. Sahabatnya yang sedang menggaruk kepala pinknya itu dengan bingung.
Hinata mendengus sebal karenanya. Entah dia sebal karena dikerjai, atau malah dia sebal karena dia kecewa kalau itu bukan—Naruto? Huh?
"Naruto?" Sakura dengan bingung segera mengambil posisi disamping Hinata. "Apa suaraku semirip itu?" Sakura menengok pada Hinata, tapi gadis bersurai indigo itu tutup mulut rapat-rapat dan pura-pura sibuk dengan minumannya.
"Hei, jawab aku..." Sakura menarik-narik bahu Hinata, tapi Hinata kukuh tidak menoleh—dia bertahan dengan terus memperhatikan gelas berisi cairan pink pastel miliknya.
"Atau jangan-jangan, itu karena kau sedang merindukan Naruto ya?!" tuding Sakura dengan seringaian dibibirnya.
Sontak, Hinata tersedak. Dia segera memberikan tatapan horornya pada Sakura.
"Apa?!"
Seringaian Sakura semakin melebar saat melihat remah kemerahan mulai menjamah pipi temannya itu. "Mengaku sajalah... Pipimu sudah mengatakan semuanya."
Hinata langsung menangkup kedua belah pipinya dan memalingkan wajahnya dari Sakura. "Bicara apa kau..."
Sakura malah semakin tertawa-tawa melihat tingkah Hinata yang menurutnya sangat menggemaskan—dan langka, tentu saja.
"Tenang saja, dia tidak sakit kok..." Sakura menyendok red velvet milik Hinata yang masih utuh dan memakannya. Hinata menatap Sakura serius, memasang telinganya baik-baik untuk mendapat informasi tersirat itu, "Dia hanya... Eum ini enak sekali, buatku saja ya." Sakura malah membeokan hal lain disaat yang tidak tepat, tanpa sadar membuat Hinata kesal.
"Dia hanya apa?" cerocos Hinata dengan nada tidak sabaran. Gadis itu masih tidak sadar, sebelum akhirnya kekehan Sakura membuatnya menutup mulut dengan tangan.
Sial, ternyata Sakura menjebaknya!
"Wah, lihat... Siapa yang penasaran disini."
Sakura tertawa dan mencolek pipi Hinata dengan usil. Hinata segera bersidekap, pura-pura tidak peduli.
"Benar kau tidak mau tahu?" sekali lagi Sakura menggodanya.
Hinata masih diam, dia gengsi.
Sakura mendesah, dikira Hinata memang sudah tidak berminat.
"Ya sudah..." ujar Sakura malas, dia kembali menarik red velvet milik Hinata yang diabaikan.
"Tinggal katakan saja!"
Sakura terkejut mendengar Hinata berkata seperti itu, dia merapatkan tubuhnya pada Hinata—mencoba melihat wajahnya serius atau tidak.
Hinata menghindar, mendorong pelang tubuh Sakura supaya tidak bertingkah berlebihan.
"Jangan menggodaku, coba katakan saja... Ish." kata Hinata kesal—atau manja(?) pada Sakura. Gadis bermanik emerald itu tertawa sekilas melihat betapa lucunya Hinata.
"Hahaha baiklah... Baiklah. Maafkan aku ya?" kali ini Sakura menyeret milkshake yang Hinata anggurkan, melihat kalau gadis indigo itu kalem-kalem saja saat kudapannya dia habiskan, sepertinya Hinata terlalu sibuk menggunakan telinganya untuk mendengar perkataan Sakura.
"Begini, aku dengar dari Sasuke-kun kalau Naruto hanya izin, katanya dia pergi ke rumah kakeknya yang sakit."
Hinata mangut-mangut. Perasaan lega langsung menguasai hatinya.
Tanpa sadar, itu membuat Hinata tersenyum mendengarnya. Dia langsung merebut kembali cake dan milkshake nya dari Sakura.
Perasaan lega membuatnya jadi lapar.
"Hei, ini punyaku!"
Sakura cemberut, "Aku pikir kau tidak akan menghabiskannya." Hinata tidak menjawab, dan hanya tersenyum pada makanannya.
Hinata menyendok red velvetnya yang tinggal setengah dengan semangat, "Enak saja. Aku juga lapar, Sakura-chan. Beli sendiri sana!"
"Huuu dasar."
—
.
.
—
TBC
.
Bacotan author : Aku bangkit dengan membawa ff twoshot fluffy! Wohooo~ semoga suka ya.
Sebelumnya aku mau bales review ff Hinata, Arigatou disini gapapa ya... Sip :p
Special thanks for mintje, nectarinia, hanazonorin444, , LotuS-Mein319, enischan, naruhiluna, torami, virna . ajja.9, Misti Chan, Chimunk-NHL, nhls, Vinara 28, Bakagami Erika (adakah yg salah sebut/nggak kusebut? Maaf ya kalau ada).
Sangat terharu, manis, menghibur, bikin melting! sankyu~ arigatou minna! Jadi pengen nonton The Last samaaa. Nanggung rated M, nanggung lemon sengajaaa :D. Scene 'arigatou'nya dapet banget syukurdeh. Lebih dari yg diharapkan makasih. Ff tema The Last paling manis duh gombaaal XD. Buat angsty ending fluffy dong PR yaa. Mau NaruHina lagi ini, semoga suka ya.
Makasih yang udah review. Seneng deh bacanya, jadi semangat bikin lagi! Hohoho.
Oya, ff ini awalnya mau aku buat oneshot, tp takut kepanjangan, takut bikin yang baca bosen (mengingat ini ff temanya sangat pasaran), jadi aku bagi dua. Ff ini nggak ada konflik berat kok, yah—cuma fluffy-fluffy maksa gitu XD semoga suka. Review yang banyak ya biar cepet dilanjut! Hohoho.
Ps : kemaren ada tiga orang yg nanya sama aku, tanya umurku berapa XD aduh, sebenernya umurku baru 16 loh XD taun kemaren waktu aku bilang mau UN dikiranya aku UN SMA, padahal XD haha.
Ah sudahlah. Bye!
Review~
150118
