CHEM-IS-TRY
.
.
.
Summary : Shikamaru Nara adalah si pemalas yang selalu mendapat nilai bagus dalam pelajaran sains. Kendati demikian, dia tak mampu menguraikan reaksi kimia yang terjadi didalam tubuhnya tatkala ia bertatap mata dengan Temari, murid baru yang berasal dari Sunagakure. Bad at summary. AU. [For : ShikaTema Day Event : Voice For You] Enjoy reading :)
Disclaimer : All characters belongs to Masashi Kishimoto. I own nothing except the plot :)
Warning : Alur cepet, gaje, OOC, romance gagal, ngasal, abal dan masih banyak kekurangan disana-sini. Kalimat Italic merupakan kata hati/pikiran para tokohnya. Rated T menjurus ke M di akhir chapter. Enjoy reading aja minna-san :)
.
.
.
"Kudengar akan ada murid baru di kelas kita lho." Rock Lee memberitahu teman-temannya yang sedang berkumpul di pojok belakang kelas sembari menunggu kegiatan belajar dimulai. Setiap anak menanggapinya berbeda.
Neji yang terkenal paling kalem, tak menghiraukannya sama sekali lantaran terlalu sibuk dengan buku catatan biologi yang tengah dibacanya. Sai, si kulit pucat, hanya menoleh sekilas ke arah pemuda alis tebal itu dengan ekspresi wajah yang tak bisa dibeberkan dengan kata-kata.
Hanya Kiba dan Chouji yang sepertinya antusias dengan kabar yang dibawa si rambut mangkok.
"Benarkah? Laki-laki atau perempuan?" Chouji bertanya sebelum menghabiskan kepingan keripik kentangnya yang terakhir. Pemuda gempal itu menjilat jari-jarinya yang belepotan dengan bumbu, sebelum ia mengeluarkan sebungkus besar biskuit keju dari dalam tasnya.
Kiba terkekeh pelan, menunjukkan gigi-gigi taringnya yang tumbuh lebih panjang dari ukuran sewajarnya. "Aku harap dia perempuan deh! Agar bisa kujadikan pacar!"
"Memangnya dia akan tertarik padamu?!" Komentar pedas itu datang dari pemuda dengan gaya rambut spike yang selalu mengenakan kacamata hitam.
"Lalu? Apa dia juga akan tertarik padamu, heh?" Kiba menimpali dengan sewot. Shino yang selalu bicara blak-blakan dan Kiba yang sangat mudah terpancing emosi. Tak akan ada yang menyangka kalau keduanya bersahabat baik sejak masih memakai popok.
"Sudahlah! Jangan ribut-ribut di tempatku! Cepat kembali ke tempat kalian sana!" Akhirnya sang penguasa pojokan kelas datang juga disaat jam pelajaran akan dimulai dalam lima menit mendatang.
Shikamaru meletakkan tasnya diatas meja, mengibas-ngibaskan tangannya pada Rock Lee agar menyingkir dari singgasananya.
Dia membuka jas almamater sekolahnya, kemudian duduk manis sambil menopang dagunya. Jika dibiarkan terus seperti itu, dia akan tertarik ke alam mimpi dalam tiga menit. Maka dari itu…. Brakkk!
"Shikamaru! Apa kau tahu tentang murid baru yang akan menjadi teman sekelas kita?" Rock Lee menggebrak meja sang ketua kelas agak keras, membuat dagu si pemuda nanas terantuk, sehingga tak ayal membuatnya terhenyak dari alam peralihan antara mimpi dan dunia nyata.
"Mana kutahu?!" Shikamaru membentak Lee karena mengganggu acara pentingnya. Lee mengulum bibir bawahnya, ekspresi wajahnya menunjukkan seperti ia akan menangis. Tapi, jangan tertipu. Itu adalah jurus andalannya agar terhindar dari masalah. Dasar rubah kecil!
"Percuma saja kau bertanya pada Shikamaru. Dia tak pernah memedulikan hal-hal semacam itu." Chouji berkata pada Lee. Memang benar. Walaupun berstatus sebagai anak kepala sekolah, Shikamaru tak pernah memedulikan hal-hal yang bukan urusannya. "Ahh~ Itu merepotkan!" Shikamaru berdalih.
Shikamaru Nara memang lain dari yang lain. Di saat remaja laki-laki seusianya tertarik dengan game online, olahraga, prestasi akademis ataupun para gadis berdada besar, Shikamaru tak tertarik sama sekali dengan keempat hal tadi.
Dia sering menolak ajakan teman-temannya bermain game, meskipun selalu berhasil menyelesaikan permainan sudoku dalam kurun waktu kurang dari lima belas menit.
Shikamaru paling malas mengikuti pelajaran olahraga yang menurutnya menguras energi, walaupun dia memegang sabuk hitam karate.
Anak tunggal Shikaku Nara itu pun sering ketahuan tidur saat jam pelajaran, tapi selalu keluar sebagai pemilik nilai tertinggi dalam ujian.
Diatas semua itu, sejak taman kanak-kanak, dia sudah bersahabat baik dengan Yamanaka Ino, anggota tim cheerleader sekolah yang dinobatkan sebagai siswi yang memiliki tubuh proporsional dengan payudara yang tak bisa dibilang rata.
Semua laki-laki pasti rela bertukar tempat dengan Shikamaru meskipun hanya dalam mimpi di siang bolong. Sayangnya, pemuda berkuncir nanas itu seperti tak menyadari kucuran nikmat Tuhan yang diberikan padanya, karena dia lebih senang bercengkrama dengan awan disela-sela waktu luangnya.
"Kriiiiing! Kriiiiing! Kriiiiing!" Bel sekolah berbunyi nyaring selama tiga kali, menandakan kegiatan belajar mengajar telah dimulai. Para murid berhamburan masuk ke kelas mereka masing-masing sebelum guru piket memulai inspeksinya.
Seorang pria berperawakan tinggi dan kekar serta bertampang sangar, memasuki kelas Shikamaru dengan langkah-langkahnya yang statis yang jelas menunjukkan kalau dia dulunya pernah terjun ke dunia militer.
Asuma Sarutobi menyapa semua muridnya dengan santai dibarengi seulas senyum tipis yang merekah di wajah karismatiknya, agak bertolak belakang dengan penampilannya yang seperti seorang pegulat di ajang smackdown.
"Aku punya kabar baik," katanya. "Kalian akan mendapat teman baru," dia melanjutkan lantas berjalan menuju pintu dan menghampiri seorang murid yang tadi ia minta untuk menunggu di luar kelas.
Seorang gadis berkuncir empat kemudian masuk ke dalam setelah mendapat intruksi dari Asuma. Dia membungkukkan badannya sedikit dan menyapa teman-teman barunya. Sikapnya begitu rileks dan natural, seolah dia sudah sering melakukannya atau dia memang terlatih untuk itu.
"Nama saya, Temari. Saya berasal dari Sunagakure." Gadis itu memperkenalkan diri dengan bahasa formal. Beberapa murid terdengar ber-waaaah-ria, sementara beberapa yang lain, khususnya murid perempuan, saling berbisik sambil mengamati Temari dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan tatapan yang kurang mengenakkan.
Temari menarik bibirnya kesamping berusaha menyamarkan senyum kecutnya, menanggapi sekelompok siswi yang sedang membicarakannya dari barisan tengah. Selalu saja ada yang seperti mereka.
Temari kerap kali mencoba untuk tak terlalu mengindahkan gang gossip girls di setiap sekolah yang ia masuki karena dalam setahun, Temari pernah berganti sekolah hingga tiga kali. Itu terjadi saat tahun terakhirnya di sekolah menengah pertama.
Lantaran profesi ayahnya yang merupakan seorang arkeolog, Temari dan saudara-saudaranya sering pindah sekolah mengikuti pekerjaan sang ayah. Tahun ini, dia terdampar di kota kecil bernama Konoha yang berada di wilayah barat Negara Api.
"Sunagakure? Itu tempat yang sangat jauh." Asuma tampak agak terkejut. Temari bisa memakluminya. Tanah kelahirannya berada di Negara Angin, sementara Konoha berada di Negara Api.
Kondisi alam dan iklim kedua negara itu pun berbeda, dimana Temari sangat yakin kalau sebagian besar orang, akan lebih memilih tinggal di Konoha daripada di Suna.
Temari hanya membalasnya singkat, sedikit mengendikkan bahunya. "Begitulah."
"Baiklah. Sekarang kau boleh mencari tempat dudukmu. Umm…" Asuma mengamati keadaan kelasnya sejenak.
"Nah! Kau bisa duduk disana." Asuma menunjuk kearah sebuah bangku kosong yang terletak paling belakang, tepatnya di barisan kedua dari jendela.
"Ketua kelas!" Kemudian Asuma beralih kepada seorang pemuda berkuncir nanas yang sedari tadi menatap kearah jendela, memasang raut muka mengantuk dengan kedua mata yang nyaris terpejam. Dia tak mendengar panggilan Asuma yang dilayangkan padanya.
"Oi! Ketua kelas!" Shino yang duduk didepannya sampai harus menghentak-hentakkan tumit sepatunya ke kaki meja Shikamaru untuk menyadarkan pemuda itu.
Perhatian Shikamaru akhirnya teralih dari jendela menuju ke depan kelas dimana ada sang guru dan… seorang gadis cantik mempesona yang tengah menatapnya.
"Eh? I-iya, Sensei?" Shikamaru agak tergagap menjawab panggilan gurunya. Dia menggaruk tengkuk kepalanya, berusaha menghindari tatapan sang gadis yang entah kenapa membuat jantungnya seketika berdebar hebat. "Ada apa denganku? Kenapa jadi deg-degan seperti ini?"
"Tolong jelaskan semua peraturan dan hal-hal penting tentang sekolah kita pada Temari." Setelah mengatakannya, Asuma langsung menyuruh Temari untuk duduk ditempatnya, yang entah karena kebetulan atau memang sudah suratan takdir Yang Maha Kuasa, berada disebelah Shikamaru.
"Merepotkan." Shikamaru hanya menelan kata andalannya itu dalam tenggorokan. "Baiklah," kata itulah yang akhirnya meluncur keluar dari mulut Shikamaru.
.
.
.
"Curaaaang! Kenapa kau selalu saja mendapat nilai bagus dalam ulangan kimia sih?!" Neji masih tak terima dengan hasil ulangannya yang lebih rendah setengah poin dari Shikamaru yang mendapat poin sembilan puluh delapan, nyaris sempurna.
Pemuda tampan itu makin sebal dengan sikap Shikamaru yang menjadikan kertas ulangannya sebagai alas tidur dan menganggapnya seolah bukan apa-apa. Dia menggeser lengan Shikamaru agak kasar, mengambil kertasnya dan membandingkan dengan miliknya.
Saat itu jam istirahat. Hampir semua temannya sudah meninggalkan kelas, menuju ke kantin, perpustakaan atau ruang klub. Tapi Neji masih di dalam kelas, menangisi nilai ulangan kimia miliknya yang ironisnya, merupakan idaman setiap murid di sekolah itu. Dalam beberapa hal, khususnya nilai akademis, sepupunya Hinata itu memang sedikit berlebihan.
"Kau pasti mendapat contekan dari ayahmu, yaa?!" Sai yang berada disebelah Neji, tak ragu-ragu mengemukakan pendapatnya, tak mempedulikan apakah Shikamaru bakal tersinggung atau tidak dengan ucapannya.
Semua orang, termasuk Sai, juga sudah tahu kalau Shikamaru itu genius dan Shikaku Nara adalah kepala sekolah yang terkenal tak pernah mentolerir pelanggaran apapun, khususnya mencontek.
Maksud Sai sebenarnya ingin bercanda, tapi karena ekspresinya yang aneh dan seperti dibuat-buat, sebagian orang jadi salah paham. Untunglah, Shikamaru sudah kenyang tidur hari itu, jadi dia tak ingin repot-repot menanggapi lelucon Sai yang sama sekali tidak lucu.
"Daripada memikirkan ulangan kimia, lebih baik kita ke kantin saja yuk!" Chouji mengusulkan sambil menepuk punggung Neji, mendorongnya menjauhi tempat duduk Shikamaru, sebelum perang dunia ketiga terjadi.
"Perut yang lapar akan membuat emosi gampang meluap, sedangkan perut yang kenyang akan membawa kebahagiaan." Itu adalah kata-kata bijak milik sang pemuda Akimichi dan semua temannya mengamini hal itu. Mereka pun mengikuti Chouji menuju peraduannya.
"Eh! Tu-tunggu dulu!" Temari yang sedari tadi mendengarkan percakapan para pemuda tanggung itu, langsung meraih lengan Shikamaru saat dia melewati bangkunya. Temari melepaskan pegangannya dari Shikamaru begitu sang pemuda menatapnya tak suka.
"Ada apa?" Shikamaru meringis sebal. Bukan karena Temari menyela urusannya dengan teman-temannya tapi dia sebal karena Temari berada terlalu dekat dengannya, bahkan menyentuh tangannya yang langsung saja memberikan sensasi bagai tersengat listrik.
Sepasang iris hijau terang yang menatap lurus ke arahnya telah mampu membangunkan sekawanan kupu-kupu didalam perutnya. "Ah! Perasaan apa ini?"
"Bukankah tadi Sarutobi-sensei menyuruhmu untuk memberitahuku tentang sekolah ini?" Temari mengingatkan Shikamaru. Mata indahnya masih menatap Shikamau dengan secercah harapan.
"Ah! Ini gawat!" Shikamaru sudah memprediksikan dengan otak geniusnya kalau ia terlalu lama berdiri disana dan menatap mata emerald itu, maka sudah bisa dipastikan dirinya akan mencair seperti gletser es di musim panas.
Sejurus kemudian, matanya menangkap sosok wakilnya yang hendak keluar kelas dan langsung memanggilnya. "Tenten!"
Gadis tomboy yang hobi mengikat rambutnya mengikuti model rambut salah satu karakter wanita di sebuah game itu, serta merta menoleh ke sumber suara yang memanggil namanya. Shikamaru lantas menyuruh Tenten menghampirinya.
"Tolong kau ajak Temari berkeliling yaa. Aku sedang ada urusan. Sudah dulu yaa!" Tanpa menunggu persetujuan Tenten, Shikamaru buru-buru meninggalkan TKP sebelum dirinya benar-benar meleleh karena tatapan Temari.
"Eh? Kok aku? Oi! Shikamaru! Shikamaru!" Pemuda itu tak menggubris Tenten yang meneriakkan namanya.
"Haaah! Dasar Shikamaru! Selalu saja bersikap seenaknya!" Tenten merutuk ketua kelasnya.
Air muka Tenten berubah lembut ketika menghadapi Temari. "Maaf yaa, Temari. Shikamaru memang begitu. Tak usah kau pedulikan yaa."
"Apa dia selalu bersikap seperti itu?" Temari bertanya.
"Tidak bertanggung jawab seperti tadi maksudmu? Hampir setiap hari deh! Sebenarnya kan dia yang ketua kelas, tapi selalu saja melimpahkan semua urusan kelas kepadaku! Menyebalkan! " Tenten mengungkapkan kekesalannya akan sikap Shikamaru pada Temari.
Menyadari Temari yang hanya terdiam tak menanggapi ocehannya, Tenten jadi merasa tidak enak dan meminta maaf.
"Tidak apa-apa." Temari tersenyum pada gadis itu. "Tapi bukan itu maksudku. Apa Shikamaru selalu bersikap meremehkan pada setiap pelajaran?"
"Meremehkan pelajaran?" Tenten terlihat masih tidak mengerti.
"Dia mendapat nilai tertinggi saat ulangan kimia, bukan?! Tapi sepertinya, itu bukan hal yang keren menurutnya." Temari menjelaskan.
"Ohh. Hal itu yang kau maksud yaa?!" Temari menggangguk pelan.
"Bagaimana yaa?! Mungkin karena dia terlahir genius, jadi dia bersikap seperti itu. Entahlah. Aku juga tidak mengerti jalan pikiran si pemalas itu! Aku heran kenapa Asuma-sensei menjadikannya ketua kelas. Seharusnya Neji-kun saja. Dia kan lebih bertanggung jawab daripada Shikamaru," ujar Tenten.
"Terlahir genius yaa?!" Temari berkata dalam hati. Pantas saja dia bersikap sombong seperti tadi. Meski demikian, Temari malah semakin tertarik pada Shikamaru dan kesulitan mengenyahkan persona pemuda itu dalam benaknya.
Apalagi saat mereka saling beradu pandang, matanya seolah menyimpan suatu kekuatan misterius yang mampu menyibak kabut keraguan yang selama ini menyelimuti hatinya, laksana gugusan mendung yang ranum menitikkan tetesan hujan.
Temari tidak pernah merasakan hal itu sebelumnya. Terlebih terhadap seorang pemuda.
"Sudahlah, Temari-chan. Kau tak perlu memikirkan anak pemalas itu. Lebih baik kita ke kantin sekarang. Nanti aku akan mengenalkanmu pada teman-temanku. Tenang saja, mereka semua baik kok!" Suara Tenten menghenyakkan Temari dari lamunannya.
Tenten merangkul bahu Temari, berusaha mengakrabkan diri dengan teman barunya. Temari merasa terenyuh dengan sikap ramah Tenten.
Selama ini belum ada seorang pun yang bersikap demikian padanya. Para gadis cenderung menjauhinya lantaran paras Temari yang lebih rupawan dibanding mereka. Tapi, Tenten tidak menganggapnya seperti itu.
"Sepertinya, kami akan berteman baik," batin Temari.
.
.
.
Tak terasa sudah hampir satu semester Temari bersekolah di SMU Konoha. Berbeda dengan sekolah sebelumnya, Temari mendapat banyak teman di sekolah swasta itu.
Tenten mengenalkannya pada teman-teman wanitanya yang cukup 'beragam' karena awalnya Temari menyangka teman-teman Tenten akan seperti gadis bersurai coklat itu, tomboy dan periang. Tapi kenyataannya malah sebaliknya.
Bahkan, Temari juga menjalin persahabatan dengan Ino Yamanaka, siswi yang digosipkan berpacaran dengan Shikamaru. Berbeda dengan Tenten, Ino sangat memperhatikan penampilannya.
Pakaiannya modis, tatanan rambutnya keren, kulitnya bagus, sikapnya ramah walaupun kadang terkesan ketus karena dia selalu berbicara terus terang.
"Hari minggu nanti, kalian main ke rumahku yaa!" Ino berkata pada teman-temannya ketika mereka sedang berkumpul di kantin untuk menikmati santapan makan siang.
"Dalam rangka apa? Pesta pertunangan yaa?!" Tenten menggoda sahabatnya.
"Cih! Siapa yang mau bertunangan?! Keluargaku akan mengadakan pameran ikebana di rumah. Kata Ayah, aku boleh mengundang teman-temanku untuk datang."
"Sou desu ka. Kukira akan ada pesta pertunangan. Hehehe." Tenten tertawa kecil, tak mengacuhkan Ino yang melotot ke arahnya.
Ino menggeliat, membetulkan posisi duduknya. "Iya. Akan ada pesta pertunangan nanti." Semua temannya langsung menoleh ke arah gadis Barbie itu.
"Benarkah? Jadi kau sungguh akan bertunangan dengan Shikamaru?!" Sakura menatap Ino tak percaya. Temari hampir tersedak milkshakenya ketika Sakura menyebutkan nama pemuda yang akhir-akhir selalu membuat tidurnya tak nyenyak.
"Ino akan bertunangan dengan Shikamaru? Oh! Tidak!" Hatinya mendadak kebat-kebit seakan dunia bakal kiamat besok.
"Haaa? Siapa yang mau bertunangan dengan Shikamaru? Jangan konyol, Sakura! Keluarga Yuuhi yang akan mengadakan pesta pertunangan. Asuma-sensei akan bertunangan dengan Kurenai-sensei minggu depan." Jawaban Ino terdengar laksana oasis di padang pasir dalam pendengaran Temari.
"Sudah berulang kali ku katakan…" Ino menengguk minumannya sejenak.
"Aku tidak memiliki hubungan apapun dengan Shikamaru selain sebagai sahabat sejak kecil. Kalian tahu sendiri kan, tipe pemuda idamanku?!" Ino melanjutkan seraya memainkan kedua sumpitnya.
Sakura mengangkat bahunya. "Aku masih tidak mengerti kenapa kau bisa tertarik pada Sai." Sakura pernah sekelas dengan pemuda aneh itu ketika masih SMP.
Awalnya, Sakura tidak menyukai Sai karena pemuda itu selalu berkata seenaknya tanpa memikirkan perasaan orang lain dan waktu yang tepat untuk melontarkan celetukan anehnya. Tapi lambat laun, dia akhirnya bisa memahami Sai yang ternyata mempunyai masa lalu kelam.
"Cinta itu buta, Sakura." Tenten menanggapi dengan santai, sedikit menyindir sang putri Yamanaka.
"Mungkin Neji juga sedang terganggu penglihatannya ketika ia menyatakan cinta padamu." Ino membalas perkataan Tenten dengan seringai liciknya. Tenten tampak tak senang dengan ucapan Ino. Keduanya pun terlibat perdebatan khas wanita.
"Jangan dianggap serius. Mereka selalu seperti itu kok. Biarpun begitu, keduanya sangat akrab." Hinata berbisik pada Temari yang duduk disebelahnya. Temari hanya mengiyakan.
Meski sebenarnya dia tidak terlalu peduli karena dia tidak suka terlibat dengan hal-hal yang bukan termasuk urusannya.
"Ngomong-ngomong, apa Temari-chan sudah punya pacar?" Pertanyaan Sakura kontan meredam percekcokan antara Ino dan Tenten. Temari yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian menjadi salah tingkah ketika semua mata tertuju padanya.
"Be-belum," jawabnya sedikit terbata.
"Belum? Berarti ada seseorang yang kau suka yaa?!" Sakura mencondongkan tubuhnya mendekati Temari. Sikap gadis itu sedikit membuatnya tak nyaman karena Sakura menatapnya lekat-lekat seakan mendesaknya untuk bercerita.
"Katakan saja pada kami. Jangan malu-malu," ujar Ino yang tampak bersemangat seperti wartawan infotaintment yang sedang mengais berita skandal.
"Apa kau menyukai Neji?" Wajah Tenten berubah serius. Tempat duduk Temari dan Neji berdekatan. Keduanya pun cukup akrab lantaran Temari termasuk murid yang pintar sehingga Neji sering berdiskusi dengannya. Itulah yang tiba-tiba mengganggu pikiran Tenten.
"Tidak! Sungguh! Aku tidak menyukai Hyuuga-kun!" Temari menjawab cepat, tak ingin Tenten salah paham padanya. Dia sangat bersyukur memiliki teman seperti Tenten dan tak ingin merusak persahabatan mereka hanya karena hal sepele bernama kesalahpahaman.
Ino memandang gadis Suna itu dengan tatapan menyelidik. "Apa kau menyukai Sai?" Temari merasa seperti seorang terdakwa yang sedang diinterogasi ketika iris aquamarinenya beradu dengan manik jade miliknya.
"Tentu saja tidak! Aku juga tidak menyukai Sai." Temari menekankan kalimatnya untuk meyakinkan sahabatnya.
"Hanya gadis aneh sepertimu yang menyukai orang aneh seperti Sai." Sakura menjentikkan jarinya ke dahi Ino.
"Awww! Sakit!" Ino membalas perbuatan temannya dengan cara yang sama.
"Jadi, siapa yang Temari-chan sukai?" Hinata rupanya juga penasaran dengan hal itu. Temari beralih kepada Hinata. Sepupunya Neji itu memang sedikit berbeda dari teman-temannya yang lain. Hinata tidak banyak bicara, selalu bersikap lembut dan baik hati.
Temari kemudian menggelengkan kepalanya. "Sudahlah. Kita tak perlu membahas soal ini."
"Tenang saja, aku tidak tertarik pada kekasih atau gebetan kalian kok. Untuk sekarang ini, aku hanya ingin fokus dengan sekolahku," tambahnya sebelum melahap potongan yakiniku terakhirnya.
"Aku sudah tertinggal banyak pelajaran karena terlalu sering pindah sekolah." Temari mengemukakan alasannya. Semua temannya tampak mengerti dengan keputusannya.
Tenten dan kawan-kawan mudah berteman dengan Temari karena sifat gadis itu yang easy going. Temari terlihat lebih dewasa dalam berpikir dan bersikap serta selalu mengontrol emosinya dengan baik, meskipun kadang bisa lebih menyeramkan dari Ino dan Sakura ketika sedang marah.
.
.
Tak lama kemudian, waktu istirahat pun berakhir. Kelima siswi itu pun bergegas menuju kelas mereka masing-masing. Mereka berpisah di persimpangan koridor yang membelah lantai tiga di gedung sebelah barat.
Ino, Hinata dan Sakura menuju kelas mereka yang terletak di koridor sebelah kiri, sementara Temari dan Tenten beranjak ke kelas mereka yang berada di koridor sebelah kanan.
Sebelum mereka berpisah terlalu jauh, Ino sempat memanggil Temari. "Hei, Temari!" Gadis dengan mahkota sewarna gurun pasir itu lekas menoleh.
"Apa kau menyukai, Shikamaru?" Ino bertanya dengan lantang. Wajah cantik Temari langsung berubah kemerahan seperti kepiting rebus. Dia cepat-cepat menutupi wajahnya dengan kedua tangannya sebelum orang lain menyadarinya.
Namun, Tenten dan ketiga temannya sudah mengetahui hal itu. Mereka tergelak melihat Temari yang biasanya selalu cool, mendadak jadi seperti Hinata ketika melihat Naruto.
Temari hanya berharap Shikamaru dan antek-anteknya tidak mendengar perkataan Ino barusan. "Merepotkan!"
.
.
.
Shikamaru berdiam agak lama dibawah shower. Dia menyandarkan punggungnya pada dinding kamar mandi, sementara jemarinya menyisir setiap helai rambut hitamnya, sambil sesekali memberikan pijatan ringan pada kulit kepala.
Masih terlalu pagi untuk mandi. Tidak biasanya ia seperti itu, apalagi di hari libur seperti sekarang. Shikamaru bangun lebih awal dan bergegas menuju kamar mandi, padahal wekernya masih menunjukkan pukul lima pagi.
Itu semua karena Temari, atau lebih tepatnya karena Temari hadir dalam mimpinya dengan mengenakan dress elegan berwarna zamrud, menjuntai di bagian belakang, namun tersingkap hingga beberapa senti diatas lutut di bagian depannya.
Rambut pasirnya digelung rapi dengan tatanan ala wanita bangsawan Eropa pada abad pertengahan, yang mungkin sengaja dilakukannya untuk memamerkan leher jenjangnya yang menggoda. Gadis itu mendatangi Shikamaru dengan derap langkah anggun bagaikan seorang putri.
Mereka tengah berada di sebuah pesta dansa dengan nuansa zaman Renaissance, bertempat di sebuah aula yang megah, berlantai keramik dengan pilar-pilar marmer yang besar dan menjulang.
Alunan musik klasik menggema ke seluruh ruangan, melantunkan melodi syahdu Romeo and Juliet, karya tangan dingin sang maestro, Sergei Prokofiev.
Bagaikan tersihir, semua orang membentuk barisan yang teratur, lantas menari mengikuti irama dengan manuver-manuver yang artistik. Shikamaru dan Temari pun turut serta didalamnya, melakukan semua gerakan dengan sangat menawan.
Tatapan Shikamaru tak sekalipun berpaling dari gadis jelita dihadapannya. Lekukan alisnya yang simetris, pipi mulusnya yang bersemu merah muda dan bibir kemerahannya yang tampak berkilauan, mengundang hasrat sang pemuda Nara untuk mengecupnya.
Shikamaru merasa atmosfer seketika berubah semakin panas. Kegelisahan mulai menghinggapinya, bukan karena takut, melainkan karena reaksi aneh yang otomatis tercipta dalam tubuhnya manakala bersinggungan dengan Temari.
Temari pun merasa demikian. Gadis itu menggigit bibirnya perlahan, berusaha mengatur napas untuk menenangkan hatinya yang berdegup kencang bagaikan deburan ombak besar yang menghantam karang.
"Aku tidak tahan lagi!" Shikamaru kemudian menarik lengan Temari, menuntun gadis itu menjauhi lantai dansa dan meninggalkan aula. Dengan langkah cepat, Shikamaru membimbing Temari menyusuri koridor-koridor sepi, menghindari kerumunan orang.
Mereka pun akhirnya tiba di sebuah lorong sempit yang menuju ke sebuah taman bunga. Tanpa pikir panjang, Shikamaru menghempaskan tubuh Temari ke dinding, tak mengindahkan protes dari sang gadis yang mengeluh karena Shikamaru sama sekali tidak bersikap lembut ketika melakukannya.
Semenit kemudian Temari merasakan bibir Shikamaru memagut bibirnya dan kedua tangannya mendekap erat tubuh gadis itu.
Deg! Kardianya serasa hendak melukat, ketika tangan Shikamaru mulai beranjak dari pinggangnya dan menelusuri pahanya, mengangkat gaunnya sedikit lebih tinggi.
Temari berusaha mendorong tubuh Shikamaru tapi dirinya tak kuasa menolak getaran-getaran yang tercipta ketika tubuh mereka saling bergesekan.
Erangan demi erangan tersekat dalam kerongkongannya saat kulitnya bersentuhan dengan tangan Shikamaru yang asyik bergerilya, menelisik setiap lekukan di tubuhnya bahkan hingga yang tersembunyi sekalipun.
"Shika…" Temari meremas rambut hitam pemuda Nara itu, berusaha meminta jeda sejenak agar dirinya bisa mengambil napas. Mereka sudah bercumbu selama beberapa waktu dan Temari mulai merasa sesak kekurangan udara.
Namun, Shikamaru mengabaikannya. Dia terus saja menyesap bibir tipis Temari, mengisapnya, memagutnya, mengecupnya. Shikamaru sangat kecanduan dengan bibir lembut Temari yang membuat mabuk kepayang bagai ectasy.
"Shika…" sekali lagi Temari memohon pada pemuda itu. Shikamaru malah menggigit pelan bagian bawah bibir gadis itu untuk meminta izin ke dalam mulut manisnya. Temari mengabulkan keinginan Shikamaru. Lidah keduanya pun bertemu, saling mendominasi.
Shikamaru selalu mengalah dalam banyak hal, tapi dia sama sekali tak ingin mengalah dalam perkara ini. Temari juga berpikiran sama. Gadis itu merasa harus memenangkan pertempuran ini karena paru-parunya sudah menuntut asupan oksigen yang harus segera dipenuhi.
Desahan-desahan Temari merupakan senandung paling merdu yang pernah didengar Shikamaru. Suara erotisnya telah mampu membangkitkan gairahnya.
Temari menahan napas sesaat ketika gadis itu merasakan pangkal paha Shikamaru mengeras. Peluh mulai bercucuran dari kening sang pemuda Nara. "Te..ma..ri.." Shikamaru terengah-engah.
Dia melirik Temari lewat ujung matanya. Gadis itu pun mulai kesulitan bernapas. Shikamaru ingin berhenti sebentar tapi diurungkannya. Dia tak ingin semua ini berakhir.
Ikatan yang terjalin ketika mereka saling meraba. Keintiman yang tercetus ketika bibir mereka bertautan. Dia tak ingin mengakhirinya.
Shikamaru menginginkan kebersamaan ini kekal selamanya. Bersemayam abadi sepanjang musim, hingga bintang mendelik cemburu pada gelora cinta mereka yang membias hingga batas cakrawala dan berpendar indah di angkasa.
"Te..ma..ri.." Suara Shikamaru hampir selembut desauan angin. Temari tak lagi memperhatikan pemuda itu lantaran dirinya terlalu larut dalam kenikmatan ketika Shikamaru menjajah lehernya dengan kecupan bertubi-tubi hingga meninggalkan jejak.
Shikamaru merintih. "Te..ma..ri.." Dia sudah tak berdaya mengekang naluri kejantanannya untuk segera mengklaim Temari menjadi miliknya. Hanya miliknya. Shikamaru tak akan membiarkan siapapun merebut Temari darinya.
"Temari!" Shikamaru langsung membuka matanya.
Dan… Disanalah dia. Terbangun diatas tempat tidurnya, dengan napas tersengal-sengal dan tubuh bersimbah keringat seperti baru saja menggendong Chouji sambil berlari mengelilingi lapangan sepak bola sebanyak lima putaran.
Shikamaru memandang sekeliling. "Ternyata hanya mimpi! Merepotkan!"
.
.
.
To be continued…
Feel free to critic and review. Thanks anyway :)
