"Taito, plis. Waktu Ayah nggak banyak."
"Kalo nggak banyak ngapain telpon."
"Karna sekarang kamu satu-satunya tanggung jawab Ayah!"
"Jadi mentang-mentang Ibu sama Kirika-nee nggak ada, Ayah lebih sering ngabisin waktu di luar dibanding di rumah?"
"Itu di luar dugaan Ayah! Oke, sebentar. Saya sedang… sebentar, tolong."
"Just mind your business."
"What? No, nggak, tadi cuma sekretaris Ayah…-"
PIP
Clockwork
"I decided to make my own fate. I can stop the clockwork as I want, anytime."
-Shion Taito
A Vocaloid fanfiction by DarkAoRin
Character focused in Taito, Hairaito, Kiyoteru and Luka, the rest are OCs.
Vocaloid ©Crypton ©Yamaha
Bahasa Indonesia gaul and a bit English used here! I hope you enjoy!
Act.1, In The Early Morning:
"I Promise Not to Die."
Ini kisah tujuh tahun yang lalu, saat semuanya masih belum berubah. Sebuah keluarga kecil yang menyenangkan. Satu ayah, dua orang anak, tanpa ibu.
Shion Hairaito, Shion Nagisa, Shion Kirika dan Shion Taito.
Sekarang, lebih mudah untuk mencoret nama Shion Nagisa.
Beliau meninggal lebih dulu akibat kecelakaan mobil saat anak pertama mereka masih berusia lima belas dan anak kedua berusia sebelas. Tiga dari mereka selamat.
Harusnya keadaan itu tak menjadikan mereka bertiga lantas menyerah karena sosok seorang istri dan ibu yang menghilang. Begitu banyak keluarga di luar sana yang bertahan tanpa adanya sosok tersebut. Namun pasca kecelakaan, Hairaito – sang ayah – amat merasa kehilangan dan bersalah. Lima bulan lamanya Kirika dan Taito diabaikan. Hingga suatu ketika Taito mengalami kecelakaan saat sedang naik sepeda, yang jelas membawa beliau kembali pada memori kecelakaan Nagisa, beliau marah besar pada si pengendara motor yang menabrak Taito hingga putranya sempat tak sadarkan diri selama dua hari. Dan buruknya lagi, akibat suatu cidera parah mata kanan Taito harus diangkat. Taito hanya punya satu mata sekarang.
Ketika itu, di rumah sakit,
"YOU! YOU HURT MY BABY!"
"Sir, calm down! Kami ngerti perasaan Anda, tapi ini rumah sakit!"
"KALO ANAK GUA MATI, GUA BUNUH LO!"
"SIR!"
"YAH, UDAH! Udah, plis!"
"FUCK YOU!"
"Ayah, udah, ada aku…"
"…"
"Please, Dad.. kalo nggak ada Taito aku juga nggak bisa apa-apa…"
"…maaf, Kirika. Ayah nggak bisa…, maaf, sayang. Maaf."
Setelah Taito kembali pulih, situasi pun membaik. Hairaito kembali menjadi sosok ayah yang sempurna bagi Kirika dan Taito. Seperti sebelumnya, kali inipun beliau sering membawa anak-anaknya berlibur ke luar negeri.
"Tau nggak, kalo hanbok itu sama halnya kayak kimono?"
"Aku udah pernah baca sih, Yah. Besok kita ke mana?"
"Aku mau nyobain kimchi! Kirika-nee juga katanya mau, tuuh.."
"Apa aja yang kalian mau, besok. Sekarang bobo, jangan lupa selimutan, ya! Ayah nggak mau besok ada yang demam gara-gara dingin."
Ketika berlibur ke Korea Selatan.
"Ih, Taito ngambil fotonya jelek! Masa Big Ben-nya keliatan blur gini.."
"Sori, tadi kedorong orang. Lagi rame, nih."
"Kalian jangan jauh-jauh!"
"IYA, YAAAH~"
Ketika berlibur ke Inggris.
Pokoknya, mereka adalah keluarga kecil yang menyenangkan.
Setidaknya hingga suatu waktu, Kirika mendapat musibah.
Sore itu,
BLAM
"Okaeri, Neechan!"
"Ta…"
"Neechan! Oh My God, what happened?! Tasnya mana?"
"Sakit, nih.."
"God.., be-bentar, aku telpon Ayah.."
"…duh.."
"Be..ntar, bentar… ha-halo? Neechan perutnya berdarah.. darah, Y..Yah, aku nggak tau.. Ayah cepetan pu..lang.."
"Oke, oke, jangan nangis. Ayah udah di jalan, kamu jangan panik."
"Hng…aduh.."
Kirika menjadi korban pencurian barang, parahnya, si pencuri melukai Kirika dengan menusuk perut Kirika. Dengan susah payah ia pulang ke rumah. Namun malang, di kompleks perumahan mewah yang sepi itu tak ada seorangpun yang melihat.
Kehilangan banyak darah, Kirika kritis. Di rumah sakit Kirika terbaring lemah.
"Yah..,"
"Hm?"
"Kirika-nee pasti bisa, kan?"
"…iya."
Hingga sekarang Taito ingat betul bagaimana tubuh ayahnya gemetar ketika memeluknya di depan kamar Kirika dirawat saat itu. Pria yang ketika itu berusia tiga puluh sembilan itu benar-benar ketakutan akan kehilangan putrinya.
Perasaan takut yang sama ketika kecelakaan Taito.
"Pasti… bisa. Kamu berdo'a, kan? Tuhan pasti denger."
Taito juga takut.
Tanpa kakaknya, ia bukan apa-apa. Kakaknya, walaupun perempuan, tapi selalu melindunginya. Kalau boleh bertukar gender, mungkin mereka memang tertukar.
Malam itu, ayahnya menggenggam tangannya erat-erat.
Bergetar, dan berkeringat dingin.
Menunggu hasil yang tak pasti, apakah Kirika akan bertahan malam itu ataukah gugur esok harinya. Mereka menunggui Kirika di kedua sisi tempat tidur.
Ketika ayahnya tertidur, Kirika membuka matanya. Taito menangis bahagia.
"Neechan, bisa liat aku, kan?"
"…kamu.. jangan nangis, dong."
Bibir pucat kakaknya tersenyum miris.
"Aku pengen bikin janji, deh. Gila, sih, tapi asik!"
"Janji apaan?"
Dengan berat, Kirika mengangkat tangan kirinya, mengacungkan kelingking.
"I promise not to die."
Tentu saja Taito marah.
"Nggak! Apaan sih, nggak mau!"
"Jangan teriak, ntar Ayah bangun."
Kirika meneteskan airmata.
"Plis, aku janji. Aku janji aku pasti bisa."
Padahal raut wajah Kirika jelas sekali menahan sakit.
Sambil terus menangis, Taito akhirnya menurut.
Jari kelingking mereka pun bertautan. Taito memeluk kakaknya erat.
"I, Shion Kirika, promise not to die. Sesakit apapun perutku, aku bakal nahan. Aku belum mau mati… aku.. aku sayang kamu.. aku sayang Ayah.."
"…oke."
Pagi itu salju turun deras.
Taito terbangun, mendapati dirinya berada di bangku panjang lobi rumah sakit. Tentu saja ia bingung karena masih ingat, semalam ia tertidur sambil memeluk Kirika.
Ia berlari ke kamar kakaknya,
Sang ayah bersama beberapa dokter mengelilingi ranjang Kirika yang kini wajah kakaknya sudah tak tampak karena ditutupi selimut.
Ayahnya mematung.
Taito menangis keras tak rela. Tubuhnya ikut bergetar, hingga sang ayah harus memeluknya erat, dan airmatanya membasahi kaus yang dikenakan beliau.
"Aku nggak suka janji-janjian, Yah..."
"…ssh. It's okay."
Sekarang, Taito sudah berusia delapan belas dan berkuliah di salah satu universitas ternama di Jepang.
Sang ayah yang dulu dapat sesering mungkin bersenang-senang bersama, entah mengapa kini berubah menjadi lebih sibuk dari sebelumnya.
Di rumah mewah itu Taito benar-benar merasa sendirian.
Hairaito yang terlihat sekali dalam stress berat karena masih belum menerima kehilangan putri sulung dan istrinya, jadi lebih sering menghabiskan waktu dan berpesta di luar bersama relasi kantor. Beliau seakan melupakan putranya.
Suatu malam, mereka makan malam berdua seperti biasa.
"Ayah mau ajak kamu kenalan. Orangnya baik, mirip Ibu."
Taito memberi pandangan sebal pada ayahnya. Ia rela dicap sebagai anak kurang ajar akibat kata-kata ini,
"Ayah udah nggak sayang Ibu?"
Hairaito hanya terkekeh, membuat Taito tambah sebal.
"Ayah cuma deket dia karna sifatnya mirip Ibu. Pernah denger reinkarnasi?"
"There's no such thing!" Taito emosi, ayahnya seperti berubah. "Ayah aja udah cukup, aku nggak mau ibu yang lain."
"Kamu belom liat aja orangnya."
Harusnya jika ayahnya bahagia, Taito ikut bahagia. Tapi untuk masalah sensitif seperti ini, Taito belum siap.
Ibu baru? Belum tentu orangnya sama dengan deskripsi ayahnya.
"Yaa, kalo kamu nggak setuju, ya udah." Ayahnya memberi senyum bersahabat, meskipun Taito kurang yakin. Tapi akhirnya…
"Oke deh. Kapan kenalannya?"
Pria yang sekarang berusia empat puluh enam tahun itu tersenyum penuh kemenangan, mata ungu gelap yang diturunkan ke putranya itu tampak bercahaya.
"Besok malem. Prepare, buddy."
Dan benar saja, keesokan harinya, seorang wanita benar-benar datang.
Taito mengakui jika gerak-gerik bahkan wajahnya, mirip mendiang Shion Nagisa.
"Fukuda Keiko. Yoroshiku, Taito-kun!"
Suara tinggi berkelasnya betul-betul mirip. Taito sampai terbengong tiga detik.
"Yo-yoroshiku."
"Wow, dia tampan sepertimu, Shion-san."
Ayahnya hanya tergelak. "You don't say!"
Namun lama-kelamaan, Taito merasa kurang nyaman karena Keiko terlalu berani, tidak selembut mendiang ibunya.
Berkali-kali Keiko mencium pipi ayahnya di hadapannya. Taito merasa risih.
"Aku ke belakang dulu. Sebentar, Yah. Permisi, Keiko-san."
"Cepetan, ya. Tante masih mau ngobrol banyak nih."
Alih-alih ke toilet, Taito hanya ingin mengamati dari kejauhan apa yang akan dilakukan Keiko pada ayahnya jika dirinya sedang tak ada.
Dua menit… ah, mereka cuma mengobrol. Keiko mulai mabuk di bawah pengaruh wine. Ayahnya yang memiliki ketahanan yang baik terhadap alkohol, tetap masih berbincang dengan asyik.
Empat menit.
Taito kaget, matanya terbelalak. Dugaannya terbukti.
Hairaito mendorong Keiko hingga jatuh karena melakukan hal yang belum seharusnya dilakukan.
Dengan langkah kaku, Taito berjalan ke kamar, menguncinya.
Di luar sana terdengar teriakan Keiko yang tidak terima, dan ayahnya yang membela diri, menyebut Keiko dengan sebutan perempuan rendahan.
Taito duduk di sudut antara lemari dengan tempat tidur, menekuk lutut.
Pandangannya kosong…,
"Taito, kamu di dalem, kan? Oke, Ayah salah. Ayah nggak bener karna cuma liat orang dari penampilan awalnya aja. Buka. Ayah mau ngomong. Keiko udah pulang."
Taito berdiri, melangkah ringan ke pintu kamar, namun tak membukanya.
"Nggak ada lagi yang perlu diomongin, Yah. Aku ngerti. Jangan dipanjang-panjangin. Besok aku masuk pagi, jadi mau tidur cepet."
"…Taito."
"Oyasumi."
Jemari Hairaito tergelincir di permukaan pintu.
Sementara itu, Taito bergumam sendirian sambil memeluk guling.
Senyum tipisnya mengembang,
"Promise…, huh? That's why I hate promises, Neechan."
a/n:
Ini cerita sinetron banget, tapi kok asik ya. XD
Mau bikin yang lebih angst dari sinetron!
Yoosh, waiting for review, minna ^^
==Rin==
