.

Seventeen fanfiction

( SoonHoon and JiGyu )

Eventually

.

Lee Jihoon, Kwon Soonyoung, Kim Mingyu,

and other (just mentioned)

.

standard disclaimer applies

Boys love, AU, typos

.

.

.


"Dia pilihan ayah, tapi aku akan menelanjanginya jika dia berani menyakitimu."

Jihoon mendongakkan wajah lelahnya pada seseorang yang entah sejak kapan telah berdiri dihadapannya. Orang itu tersenyum lembut, mengacak sayang surai pinkish Jihoon, kemudian mendudukan diri disampingnya.

Jihoon balas tersenyum kaku melihat kakak laki-laki yang sangat disayanginya itu, "Aku mengerti. Dia pilihan ayah, pilihan ayah tidak pernah salah hyung haha."

Tawa yang terkesan lelah dan dipaksakan. Tapi memang Jihoon benar-benar lelah dengan hari ini.

"Hey, jangan seperti itu. Lepas saja, aku yakin dia orang baik." Seungcheol mencoba menghibur adiknya, menepuk pipi gembil Jihoon yang akan jarang dilihatnya setelah ini, rasanya dia ingin sekali menangis.

Hening.

"Hyung, kau tidak malu?"

Seungcheol berhenti menepuk pipi adiknya kemudian menaikan alisnya sebelah, "Malu kenapa?"

"Tidakkah kau berpikir aku melangkahimu? Aku adikmu tapi aku sudah lebih dulu bertunangan, sedangkan kau?" Jihoon tersenyum jahil sebelum menambahkan, "Jangan jadi pengecut hyung, katakan yang sebenarnya pada Jeonghan hyung."

Seungcheol bungkam. Pernyataan Jihoon membuatnya kesal, tapi Jihoon tidak salah sama sekali, alih-alih sangat tepat. Tepat menabrak keras hatinya.

"Aku tahu Jisoo hyung juga menyukainya. Jangan sampai kau menyesal nanti." Jihoon bangkit dari duduknya, berhadapan dengan Seungcheol yang masih terduduk kemudian menepuk kedua bahu laki-laki itu pelan, "Aku harap kau memikirkannya. Ah, aku harus pergi, dia pasti sudah menungguku."

Seungcheol pikir adiknya benar-benar kuat dan dewasa, mengingat hal yang telah terjadi pada anak itu. Dan lagi, disaat seperti ini Jihoon masih sempat-sempatnya menggoda dan memperhatikannya.

Jihoon akan melangkah, tapi Seungcheol segera bangkit dan menahan lengan kecilnya, "Sebenarnya aku ingin sekali memukulmu, tapi kau benar," Seungcheol menarik napas dalam sebelum dia hembuskan perlahan, "Akan kupikirkan."

Jihoon tersenyum kemudian memeluk Seungcheol erat, "Aku akan merindukanmu,hyung."

Seungcheol balas memeluk erat adik satu-satunya itu, "Kau tau aku juga." Keduanya hanyut dalam pikiran masing-masing sebelum Seungcheol kembali bersuara, "Ayo keluar, akan kuantar sampai depan. Ayah dan dia pasti sudah menunggu anak manis ini."

Jihoon melepaskan pelukannya, mendengus tidak suka akan kalimat terakhir dari sang kakak sebelum akhirnya memukul pelan kepala laki-laki yang lebih tua delapan tahun darinya. Setelahnya kedua kakak-beradik itu tertawa lepas dengan Seungcheol yang merangkul bahu Jihoon keluar dari kamar adiknya.

Aku akan merindukan ini semua

Ya, Jihoon pasti akan merindukan semua hal yang mungkin tidak akan pernah dia lakukan setelah ini. Bercanda dengan Seungcheol, tertawa bersama kakak yang sangat dia sayangi. Dia akan merindukan sikap Seungcheol yang begitu posesif terhadapnya, yang begitu perhatian padanya, yang sangat menyayanginya, Seungcheol yang bahkan menangis jika melihatnya menangis.

Aku tidak boleh menangis

Jihoon mengusap air yang turun begitu saja dipipinya. Tidak, dia tidak sedih, tentu saja tidak. Apa yang harus membuatnya sedih? Hidupnya akan kembali normal setelah ini. Kembali bersekolah, bertemu dengan teman-temannya, tertawa bersama mereka. Memang apa yang membuatnya sedih? Tidak ada 'kan?

.

.

.

Tentu saja tidak ada jika saja Jihoon tidak ingat bahwa sekarang dirinya sudah memiliki suami–calon suami lebih tepatnya.

Ini memang agak sulit diterima. Jihoon baru menginjak usia 16 tahun dan dia sudah bersuami.

Jangan membayangkan yang aneh-aneh tentang Jihoon. Tentu saja bukan seperti itu kejadiannya. Saat ini Jihoon hanya terjebak,–

–terjebak dalam perjodohan klise sang ayah.

Ayah yang begitu pengertian sehingga membuat Jihoon juga sangat pengertian untuk tidak menolak perjodohan dari sang ayah–dia hampir tidak pernah menolak permintaan ayahnya. Sebelum semua ini terjadi, Jihoon sempat bertanya kenapa, alasannya simpel,

"Ayah ingin kau dapat yang terbaik, sayang. Ibumu pasti juga setuju di atas sana. Anak itu baik, dia akan menjagamu, ayah juga sudah mengenal keluarganya sejak lama. Sebenarnya ini sudah terencana saat kau masih kecil."

Benar-benar sangat terencana untuk membuat Jihoon menganga tidak percaya.

Jihoon yakin seyakin-yakinnya, pilihan ayah adalah pilihan terbaik untuknya. Jihoon sangat maklum akan sikap posesif ayah dan kakaknya, ibunya meninggal saat dia berusia tujuh tahun, dan itu alasan keduanya benar-benar sangat menjaga Jihoon sebaik mungkin. Bahkan menyangkut pemilihan calon hidup untuknya.

Pertunangan ini terlalu mendadak bagi Jihoon. Setidaknya biarkan mereka saling mengenal terlebih dulu sebelum pertunangan terlaksana. Tapi tidak, terima kasih untuk ayah calon mertuanya yang ingin keduanya cepat terikat. Jihoon tidak mengenal laki-laki itu sebelumnya, dia bahkan tidak tau siapa namanya,

–setidaknya belum.

Benar-benar pertunangan yang tidak didasari rasa cinta, tapi Jihoon akan berusaha mencintai calon suaminya, bagaimanapun Jihoon merasa sudah terikat dengannya. Jihoon harap lelaki itu juga berusaha untuk melakukan hal yang sama.

.

.

.

.

.

Pagi itu Jihoon bangun seperti biasanya. Dahinya mengerut bingung, biasanya ketika bangun dia akan disambut dengan senyum tipis tapi hangat dari poster besar Justin Bieber yang tertempel didinding depan ranjangnya, tapi pagi ini, sejauh mata Jihoon memandang, hanya warna biru laut yang menyambutnya. Tidak ada senyum tipis laki-laki yang menjadi role model-nya selama ini.

Ah iya!

Bagaimana dia bisa lupa? Tentu saja tidak ada poster besar yang menyambutnya, ini bukan kamarnya. Jihoon benar-benar lupa kalau ini bukan rumah ayahnya, ini rumah tunangannya.

Lagi, Jihoon sangat berterimakasih pada kebaikan sang ayah calon mertua. Lelaki paruh baya yang masih terlihat tampan itu menyuruh Jihoon tinggal berdua dengan anaknya, yang membuat Jihoon mau tidak mau harus berpisah dengan ayah dan kakaknya. Jihoon tidak menolak, tentu saja, dia hanya diam dan diamnya Jihoon dianggap sebagai persetujuan. Jihoon itu anak manis yang sangat penurut, ok.

.

Pukul enam lima belas. Jihoon sudah berada dimeja makan lengkap dengan seragam sekolahnya. Jihoon memandang dua piring nasi goreng yang baru saja dibuatnya, dia ingin segera memakannya kemudian berangkat sekolah, tapi tidak, dia harus menahan laparnya sebentar lagi. Jihoon masih punya sopan santun untuk setia menunggu tunangannya keluar dari kamar yang tentu saja berbeda darinya.

Jihoon baru saja akan bangkit dari duduknya sebelum laki-laki itu keluar dari kamarnya dan menarik kursi disebelah Jihoon kemudian duduk disana. Memasang dasi berwarna pastelnya, membenarkan kerah kemejanya, sebelum akhirnya menatap Jihoon dengan wajah datarnya.

Pandangan Jihoon merosot kebawah.

"Aku tidak peduli kau menganggapku apa, aku juga tidak mau tau. Tapi yang jelas sekarang aku adalah calon suamimu." Laki-laki itu mengeluarkan suara. Dingin dan datar, rasanya Jihoon ingin berlari kerumah dan memeluk Seungcheol seerat-eratnya. "Namaku Kwon Soonyoung, umurku satu tahun dibawah kakakmu." Seungcheol hyung berumur dua puluh empat, beda satu tahun dibawah, ah! Dia duapuluh tiga. "Mulai sekarang aku yang akan mengantarmu berangkat sekolah dan menjemputmu tepat pukul lima. Sebenarnya itu tergantung, akan kuberi tau jika aku lembur, jika itu terjadi kau bisa menghubungi supir ayah." Ayah? Pasti ayahku, tidak mungkin ayah mertua. Eh, ayah?

Laki-laki itu kemudian menghela napas, "Ada pertanyaan, Jihoon?"

Pertanyaan ya? Tentu ada.

Kenapa kau sudah tau namaku sedang aku tidak?

Apa aku masih boleh bermain dengan teman-temanku?

Apa aku masih boleh keluar rumah saat hari libur?

Tapi Jihoon memang bodoh, dengan gampangnya dia menggelengkan kepala.

"Bagus. Sekarang makan sarapanmu, aku akan menunggu di mobil."

Laki-laki itu bangkit dan pergi meninggalkan Jihoon yang kemudian mendongak, menjatuhkan pandangannya pada dua piring nasi goreng yang mulai mendingin di atas meja. Sia-sia saja menahan hasrat untuk tidak segera melahap nasi gorengnya, laki-laki itu bahkan tidak menyentuh piring satunya.

Hilang sudah selera makan Jihoon.

.

.

.

Namanya Kwon Soonyoung. Tujuh tahun diatas Jihoon. Sangat dingin juga datar. Tingginya kira-kira sepuluh senti diatasnya–Jihoon merasa sangat pendek sekali sekarang. Kulitnya putih pucat. Rambutnya dicat pirang. Matanya sipit tapi sangat tajam juga terasa mengintimidasi, mata yang indah tapi sangat menusuk.

Setidaknya, pagi ini Jihoon sudah mendapat sedikit informasi tentang tunangannya. Jihoon rasa tidak perlu lagi memanggil laki-laki itu dengan sebutan dia–Jihoon harus memberi tau Seungcheol nanti. Namanya Soonyoung, ok. Dan mata sipit tajam yang indah itu, Jihoon merasa familiar, rasanya dia pernah melihatnya.

Kalau ditanya sejak kapan Jihoon mengamati mata Soonyoung, maka jawabannya adalah sejak dia semobil dengan Soonyoung yang mengantarnya menuju sekolah. Jihoon rasa dia sangat terpesona dengan mata tajam itu, mata sipit sebentuk jarum jam pukul sepuluh lewat sepuluh. Mata itu indah, namun juga bisa melumpuhkan saat kau mencoba lebih dalam memperhatikannya.

"Mau sejak kapan kamu ngelamun terus? Tidak mau masuk ke sekolah? Atau kamu mau aku gendong masuk ke kelas kamu?"

Eh?

Jihoon tersadar saat suara agak berat Soonyoung menyapa pendengarannya. Mengerjap-ngerjapkan mata sipitnya kemudian menggumamkan kata maaf berkali-kali meski dia tidak yakin Soonyoung dapat mendengarnya.

"Kita sudah sampai sejak sepuluh menit yang lalu." Nadanya datar, tapi ada nada kesal juga disana. "Sebenarnya aku tidak peduli kalau saja mereka tidak memperhatikanku." Soonyoung menunjuk kedepan dengan pandangannya. Jihoon mengikuti arah pandang Soonyoung kemudian menatap horor pemandangan didepannya. Murid-murid yang didominasi perempuan itu tengah menunjuk-nunjuknya seakan dia anak dibawah umur yang baru saja melepas masa lajangnya–tunggu, dia memang baru melepas masa lajangnya, dalam bentuk lain tentu saja.

"Mereka itu kenapa sih?" kali ini nada sinis yang keluar dari bibir Soonyoung

"Soonyoung-ssi, kurasa aku harus segera keluar dari sini." Walaupun sebenarnya Jihoon tidak tau apa yang sedang terjadi, tapi dirasa dia harus segera menjauh dari tatapan para murid yang tengah mengintainya, juga dari hadapan Soonyoung.

"Bagus! Sekarang aku bisa cepat pergi dari sini."

Dengan begitu keluarlah Jihoon dari mobil Soonyoung, mobil hitam metalik itu segera melesat ketika Jihoon selesai membungkuk hormat mengucapkan terima kasih. Soonyoung pergi mengabaikan Jihoon yang ingin sekali menangis memeluk hyungnya.

.

.

.

"Jihoon-ah!"

Jihoon hampir jatuh tersungkur jika tangan itu tidak segera memeluk pinggangnya. Itu Wonwoo, dan Jihoon senang bukan main saat suara berat Wonwoo terdengar ditelinganya.

"Kau hampir saja membuatku malu, Won." Nada kesal Jihoon terdengar dibuat-buat.

Wonwoo terkekeh kemudian melepaskan tangannya dari pinggang Jihoon, "Hei, Jihoon-ah, kurasa ada yang beda darimu hari ini."

Jihoon terlihat berpikir. Apanya yang beda? Jihoon rasa dia terlihat seperti biasa, tentu saja dengan melupakan satu fakta, "Beda apanya?"

Wonwoo mendudukan diri dibangku terdekat, kemudian menepuk bangku sebelahnya sebelum akhirnya Jihoon mendudukan diri disana. "Tadi aku melihatmu diantar seseorang. Dia bukan supir yang biasa mengantarmu 'kan? Dia terlihat masih muda, tapi aku yakin dia lebih tua dari kita. Dan lagi, mobil ayahmu biru, tapi tadi aku melihatnya berwarna hitam metalik."

Apa aku harus beritahu Wonwoo?

"Jihoon?"

"Ah iya, tadi dia memang bukan sopirku. Mobilnya pun ganti." Jihoon mengangguk meyakinkan.

"Bukan sopirmu, berarti tadi siapa?"

"Dia..."

"Siapa?" Wonwoo bersih keras menuntut jawaban.

"Dia Soonyoung," dia suamiku, "Dia kakak sepupuku."

Maafkan aku Won

.

.

.

Jika kau pernah merasakan dadamu yang berdebar-debar karena berada didekat orang yang kau suka, ditempat sepi, hanya berdua. Maka percayalah saat ini Jihoon tengah merasakannya. Wajahnya merah, menjalar ketelinga, juga debaran didadanya. Dan itu karena seorang Jeon Wonwoo, sahabatnya sendiri.

Beda kasus, dada Jihoon berdebar-debar bukan karena dia menyukai Wonwoo. Ayolah, Wonwoo itu salah satu sahabatnya. Alasan satu-satunya yang membuat dadanya berdebar adalah pandangan penuh selidik dari Wonwoo. Dan tolong garis bawahi, dia dan Wonwoo sedang diperpustakaan, mereka dengan banyak anak disini, dan memang tempat sepi atau kau akan didamprat jika berani membuat kegaduhan. Jihoon ingin sekali menjambak rambut anak emo yang terus-terusan bertanya tentang Soonyoung.

"Sejak kapan kau mempunyai kakak sepupu, Jihoon?"

"Kenapa aku tidak pernah melihatnya?"

"Dia cukup tampan untuk membuat anak-anak berkerumun menjadikan kalian tontonan. Tunggu, jangan-jangan dia pacarmu."

Yang terakhir itu terdengar seperti pernyataan daripada pertanyaan. Dan Jihoon sekarang sudah tau alasan mengapa anak-anak mengerumuninya tadi pagi.

Wonwoo dengan berbagai pertanyaan dan pandangan penuh selidik terhadapnya. Ugh, Jihoon ingin sekali berteriak pada Wonwoo,

"Stop it, Won. Dia calon suamiku. Aku tidak mengenalnya tapi aku sudah bertunangan dengannya. Puas?"

Jihoon rasa Wonwoo akan menjatuhkan rahangnya setelah mendengar itu semua. Dan Jihoon akan tertawa puas setelahnya. Tapi tidak, terima kasih, itu akan menjadi ekspektasi Jihoon saja.

"Jihooni hyung?"

Seseorang membangunkan Jihoon dari lamunannya–tunggu, sejak kapan dia melamun. Jihoon mengangkat wajahnya kedepan, "Mingyu? Ada apa?"

Laki-laki yang Jihoon panggil Mingyu itu menyunggingkan senyum gigi taringnya, "Kau bisa ikut aku?"

Jihoon menautkan alisnya bingung, menoleh kekanan meminta pendapat pada Wonwoo yang duduk disampingnya, yang dipandang hanya menggedikan bahu acuh dan kembali pada buku yang–sejak kapan Wonwoo membaca.

"Aku pinjam Jihooni hyung sebentar, Wonu hyung." Mingyu segera meraih tangan Jihoon dan menariknya keluar dari perpustakaan setelah berpamitan sepihak pada Wonwoo.

Wonwoo mengalihkan perhatian dari bukunya sejenak untuk memandang kepergian dua orang itu, kemudia menyunggingkan senyum misterius disana.

.

.

.

Jihoon merasakan hembusan angin kencang yang menabrak lembut wajahnya. Jihoon baru sadar bahwa Mingyu sudah membawa mereka keatap sekolah. Sepanjang perjalanan, pikirannya sibuk dengan sesuatu yang Jihoon sendiri tidak tau apa.

Mingyu kembali menarik Jihoon, kali ini menariknya menjauhi pintu atap menuju pinggir pagar pembatas.

"Kau senang sekali membawaku kesini. Ada apa Min? Apa ada sesuatu? Kau tidak kenapa-kenapa kan?"

Mingyu tidak menjawab, pemuda itu hanya memposisikan diri disamping Jihoon, kemudian memberikan pemuda manis itu senyuman hangat terbaiknya–senyum yang mungkin dapat membuat setengah isi sekolah pingsan jika melihatnya, tapi hal itu tidak berpengaruh apapun pada Jihoon. Adik tingkatnya ini memang tampan, dia juga sangat baik kepadanya, dia hanya sedikit kekanakan disaat tertentu, dan juga berlaku sangat dingin pada orang yang tidak dekat dengannya.

Jihoon tersentak saat Mingyu meraih tangan kanannya, menautnya dengan jari-jari Mingyu disana. Jihoon pikir Mingyu tidak seperti biasanya.

"Hyung, kau tau?" Mingyu memperhatikan wajah sempurna pemuda disampingnya, yang diperhatikan hanya menjawab dengan dehaman dan sedang sibuk mengawasi klub sepak bola yang sedang melakukan latihan dibawah sana.

"Aku sudah lama sekali ingin kesini bersamamu."

Jihoon menaikan alis kanannya bingung, kemudian matanya memandang tangannya yang berada digenggaman Mingyu dan wajah adik tingkatnya itu bergantian, "Bukannya kita sudah sering kesini bersama?"

Mingyu tersenyum lagi, kali ini dengan mata teduhnya, "Bukan yang seperti biasanya, aku menunggu hari ini tiba."

Jihoon makin tidak mengerti dengan ucapan Mingyu.

"Aku tahu kau masih bingung hyung, tapi," Mingyu menggenggam tangan lain Jihoon, menggenggam erat kedua tangan mungil itu, "Bisakah kau membalasku?"

Jihoon masih mencoba merespon semua yang Mingyu lontarkan, dia masih bingung, tapi didetik berikutnya Jihoon sadar apa yang menjadi arah pembicaraan anak itu.

Mingyu masih dengan senyum menawan disana mengabaikan Jihoon yang menolak mengerti ini semua.

Tidak, jangan bilang kalau kau...

"Aku sudah lama mencintaimu, hyung."

Jihoon dengan mata sipitnya yang mencoba membola, dia sama sekali tidak percaya. Apa kata Mingyu tadi? Mencintainya? Jihoon harap dia salah dengar atau apa.

Jihoon menatap bingung mata hitam yang tengah tersenyum padanya.

"Aku mencintaimu, hyung–

(ada jeda)

–jadi, bisakah kau membalasnya?"

.

.

.

( to be continue )


Notes ;

Hohoho saya kembali. Ada yang kangen saya? /sapa loh

Okok, sebelumnya aku mau ngucapin banyak terimakasih sama yang udah baca-follo-fav dan apalagi yang udah review fanfik aku yang pertama. Ugh, aku terharu banget, berasa dapet sambutan yang paling anget gitu sama penghuni fanfiknet. Yaampun, terimakasih terimakasih terimakasih sekali huhuhu. Oya, maaf juga yang reviewnya gak aku bls, bukannya aku males ato apa, tapi reviewannya gaada. Aku dapet notip di email kalo ada yang ngereview dan pas aku buka buat balesin, tarraaaa gaada. Maaf banget yah. Pokoknya makasih banget sama yang udah review.

Dan yah, karakter soonyoung disini inspired banget sama keseksian dia pas concert (no fun dan rock perform) yaampun ini manusia kenapa bisa seksi begitu sih, matanya itu minta dicolok gitu /plak. Dari situ aku pengen buat dengan karakter Soonyoungnya itu dewasa, meskipun kayaknya fail yah HaHaHa. Dan fanfik ini gak murni soonhoon, bakal ada jigyu, endingnya masih tergantung, bisa soonhoon bisa jigyu HaHaHa.

Anyway, liburannya udah selese yah. Ugh, aku belum siap masuk sekolah sebenernya.

Ih, ini kok banyak bacot sih. Udah ah.

Btw, Happy New Year kawan, hope u have a great life in this year!

Emmm, lastly, Review pls ?

/didamprat