Sebelum baca fanfic satu ini, sebaiknya baca dulu 'Do you wish to know the truth?', ya. Soalnya ceritanya ga bakalan nyambung kalau langsung baca yang ini.
Happy reading, minna
.
AM I NOT SUIT TO BE YOUR FRIEND?
Disclaimer :
Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki
Am I not suit to be your friend? © Akabane Kazama
Genre (s) :
Friendships
Drama
Pairing :
Himuro X Kagami
.
DON'T LIKE, DON'T READ, DON'T FLAME
.
.
Meskipun begitu, aku tetap ingin melindungimu
.
.
Taman kota di kala sore itu begitu sepi. Semburat oranye bercampurkan scarlet dan sedikit warna biru muda masih tersisa menyelimuti langit negara Jepang, tepatnya di Tokyo, saat itu. Yang menemani hanyalah suara gemerisik dedaunan tertiup angin sepoi-sepoi, burung-burung yang terbang atau satu dua mobil yang terkadang melintas di jalan seberang.
"Hiks...hiks..."
Aah...dan juga suara isak tangis yang samar-samar terdengar.
Di bawah papan seluncur tanpa penghuni, seorang anak kecil—sekitar umur 10 tahun—duduk memegang kedua lutut dan menangis tersedu-sedu. Rambut hitam itu berantakan, tubuhnya penuh lebam biru. Baju dan celana yang dikenakan kotor dan ada beberapa bagian yang robek. Dirinya bergetar hebat saat angin musim dingin menusuk kulit halus nan pucat itu. Tak ada tanda-tanda tangisnya akan berhenti. Disaat tubuh penuh luka seperti ini, ia tak ingin pulang ke rumah. Bukan karena takut akan dimarahi, justru sebaliknya. Orang tuanya pasti cemas dan akan langsung mendatangi siapapun yang mengganggu anak sulung mereka. Tentu ia senang dengan perhatian yang diberikan. Tapi justru karena itulah, dirinya malah semakin di bully oleh mereka, mengejeknya sebagai anak cengeng yang bisanya bergantung pada mama dan papa. Memikirkannya membuat bulu roma kembali berdiri. Tidak. Ia tak mau. Ia tak mau siksaan lebih parah daripada ini. Ia tak mau—
"Hei, kau disana."
Dirinya terhenyak ketika bariton rendah berkunjung masuk ke gendang telinga. Mata hitam kosong itu membundar, menangkap sesosok bayangan berbadan terbilang kekar untuk anak seumurannya, "Kau menangis?" anak laki-laki itu terkekeh. Warna rambut merah yang begitu kontras dengan langit sore hari ini. Bola kaca crimson red yang menyala bagaikan kobaran api yang tak kunjung padam. Ia tak bisa memalingkan pandangannya dari mata itu, mata sewarna yang memberikan kesan pemberani pada diri sang anak.
Dan disaat bersamaan terlihat menakutkan.
"Apa ayahmu tak pernah memberitahumu?" ia duduk, memandang lekat anak laki-laki yang menggigil ketakutan di bawah sana. Tangan kekar miliknya terulur—membuat sang anak surai hitam itu lagi-lagi terkejut. Ia mencoba menenangkan suasana dengan memberikan sebuah senyum lebar, menampilkan sederet gigi putih bersih yang rapi.
.
.
"Kalau anak laki-laki menangis itu artinya payah!"
.
Suasana sekolah sedang ramai-ramainya saat bel tanda istirahat makan siang berdering. Di kelas, apalagi di kantin, para siswa-siswi bersantai dari lelahnya 4 jam pelajaran secara konsekuen sembari menikmati bekal makan siang milik mereka masing-masing. Ada juga beberapa dari mereka yang menghabiskan waktu istirahat untuk membaca buku di perpustakaan. Meskipun saat itu bisa dibilang keadaan sedang bising, bukan berarti ia membencinya. Hanya saja, dibandingkan mengobrol, ia lebih suka duduk sendirian di atap sekolah menikmati bento buatan okaa-san tercinta seraya menatap langit indah yang terbentang luas di bumi bundar itu. Rasanya tenang melihat gulali putih yang melayang-layang dan beberapa burung yang kadang terbang melintas—oh, ada balon warna merah terbang. Lelaki dengan surai hitam pekatnya itu bisa membayangkan seorang anak laki-laki atau perempuan berumur tak lebih dari 5 tahun yang menangis meraung-raung melihat mainan kesayangannya lepas dari genggaman, serta sang ibu yang mencoba untuk menenangkannya.
Duduk dalam diam memandang langit biru di hari cerah. Bagi seorang Himuro Tatsuya, cukup kegiatan kecil-kecilan ini saja yang dapat menenangkan jiwanya. Ia bisa terlepas dari pelajaran hitungan juga hapalan yang membebani otak, latihan basket yang menengangkan otot-otot tangan juga kaki, serta kerumunan para gadis yang tak ia kenal—Himuro itu terkenal karena kepintaran juga ketampanannya, bukan ingin sombong. Lagipula ketenaran itu justru mengganggu. Meski teman-teman sekelas memasang wajah ceria di hadapan sang pemuda, bukan berarti ia tak mengerti arti dari garis lengkung yang melebar terbuka itu. Sudah jelas kan? Mereka hanya memanfaatkannya.
Memikirkan hal depresi itu, Himuro menghela napas panjang. Padahal ia hanya ingin berbicara, bercengkrama biasa. Tertawa dan saling tolong menolong dalam kesulitan yang mengguncah layaknya seorang sahabat. Kalau dengan membuang akal sehatnya ia bisa mendapatkan semua itu, ia rela. Ya. Ia rela.
.
.
.
Apalagi jika dengan melakukannya, dirinya dapat berteman dengan lelaki itu.
.
"Hee...kau takut pulang ke rumah karena tak ingin orang tuamu tahu kau tengah dibully?"
Langit oranye yang perlahan mulai memudar, menampakkan warna abu-abu kehitaman; menandakan bahwa sebentar lagi malam akan menjelang. Kedua anak itu masih berada di taman kota yang sepi, duduk di atas ayunan kayu dengan rantai sebagai pegangan mereka. Bunyi kriet kriet mendominasi suasana sunyi saat ini, sementara burung-burung telah kembali ke sarang masing-masing. Alunan napas berhembus ketika lantas ia berbicara, "kau ini memang payah, ya?"
Anak bersurai hitam pekat itu langsung bergidik ngeri dengan kalimat yang baru saja terlontar itu. Alih-alih protes, ia mengedarkan pandangan ke tanah pasir. Deretan gigi atas menggigit bibir bawah, menahan tangis yang sejak tadi berusaha ia bendung. Anak laki-laki—yang kini ia cap garang itu—menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. Mulut mungil itu mengerucut membentuk angka 3, "aku tak ingin menyinggungmu, tapi bukankah itu artinya kau hanya melarikan diri dari kenyataan?"
"Mulai besok aku harus pindah dari tempat ini karena urusan kerja ayahku. Jadi aku akan langsung mengatakannya. Seseorang tak akan menjadi dewasa jika mereka belum berhasil melawan rintangan yang hadir di depan mata. Apa yang kau alami ini belum seberapa dibandingkan mereka yang telah bersusah payah berjuang dalam kerasnya persaingan." Kedua kaki yang terjulur bergoyang lemah, sebelum akhirnya melompat dan mendarat dengan mulus, menyebabkan beberapa partikel debu melayang-layang mengotori sepatu hitam miliknya. Lagi, ia melebarkan senyum, "bicaraku seperti om-om, ya?"
Dirinya hanya bisa termenung mendengar nasihat dari orang yang baru saja ia temui itu. Isak tangis masih terdengar dan semburat merah muda membekas di wajah pucat, meski perlahan mulai menghilang. Anak bersurai merah hitam tadi membuka mulut, ingin melanjutkan pembicaraan. Ketika iris sewarna menyadari bahwa langit kini berubah semakin gelap serta angin dingin mulai menyerempet kulit. Bergidik kedinginan sebentar, ia berbalik seraya melambaikan satu tangan, "aku sudah harus pulang. Kalau begitu, aku permisi dulu, ya!" dan berlari meninggalkan taman.
"Ah! Tunggu sebentar!" anak itu ikut turun dari ayunan, "namaku Himuro Tatsuya! Siapa namamu?"
Tanpa menghentikan langkah, ia berbalik seraya berseru, "Kagami Taiga! Kau boleh memanggilku Taiga!" Sebuah senyum bersahabat yang menenangkan. Ia mendekatkan telapak tangan ke dekat mulut, ingin memperkeras volume suara tegasnya, "Yoroshiku, Tatsuya! Mulai sekarang—"
.
.
"—kita berteman ya!"
"Sudah kuduga kau ada disini, Himuro."
Ia agak tersentak dari lamunan saat sebuah suara yang familiar mengunjungi telinga. Tak perlu memastikan dua kali pun, dirinya bisa langsung mengenali lelaki dengan warna rambut krem alami yang kini mengambil posisi duduk di sebelahnya, "doumo Kensuke-kun." Garis lengkung tipis mengulas di wajah putih itu, "tumben mampir ke sini."
"Kantin penuh dan di kelas juga anak perempuan sibuk bergosip, membuat telingaku sakit." Gigi taringnya merobek keras roti melon yang ia beli di mesin penjual makanan otomatis. Masih dengan mulut penuh makanan, ia lanjut berkata, "kau sendiri? Sejak tadi melamun terus. Ada yang kau pikirkan?"
Tawa kecil yang—agak dipaksakan—meluncur keluar dari sudut bibir, "bukan apa-apa. Aku hanya...sedikit mengenang masa lalu."
"Oh?" Kensuke menjilati remah-remah roti yang menempel di jari jemari. Mata yang sedari awal sudah agak memicing itu makin menyipit dan sebuah senyuman nakal meminta penjelasan merekah bak bunga di musim semi, "soal gadis nih?"
Lagi-lagi Himuro tertawa. Dan lagi-lagi, tawa itu terdengar dipaksakan. Kedutan di bawah mata saja tak muncul, menandakan bahwa sebenarnya ia sama sekali tidak sedang ingin bergurau, "tentu saja bukan, Kensuke-kun. Aku sama sekali belum punya pacar. Teman saja aku tak punya." Dan kata terakhir yang ia katakan hampir-hampir berbisik, benar-benar mengundang rasa penasaran lelaki di sebelahnya. Ingin bertanya, tapi takut melukai perasaan sang pemuda.
Soalnya Himuro agak sensitif dengan topik pembicaraan yang baginya ambigu ini.
"Hmm? Kau menanyakan tentang Kagami-kun?" surai biru itu melayang lembut saat ia menggerakkan kepala, menatap lelaki pucat yang diam terpaku menatap kepergian pesawat putih di angkasa. Bandara saat ini sedang penuh dengan lautan manusia. Meski begitu, tak menghalanginya untuk menyapa sang pemuda—yang masih mengenakan gakuran SMP Yosen-nya—dengan sebuah senyum tipis, "namaku Kuroko Tetsuya. Yoroshiku onegaishimasu."
.
.
"Kagami-kun bilang bahwa ia harus pindah ke Amerika karena tugas ayahnya." Kuroko duduk di kursi besi bergaris-garis hitam sembari menyeruput vanila shake yang ia beli. Agak kecewa karena milkhsake yang ia inginkan sudah habis terjual, tapi toh tidak apa-apa. Selagi rasaya masih tetap vanilla. Manik sewarna langit itu menatap balik bola kaca hitam yang seakan menyelidiki dirinya dari ujung rambut hingga ujung kaki, "dia menangis lo. Katanya ia tak ingin meninggalkan Jepang."
.
.
"Kau bertanya mengapa ia tak ingin meninggalkan Jepang?" anak laki-laki itu menghabiskan minumannya dalam sekali teguk.
.
.
Cangkir yang sudah kosong itu ia buang ke kotak sampah terdekat. Lalu kembali ke tempat semula dan menjawab pertanyaan sang pemuda. Ada sedikit semburat merah muda di pipi tembam nan pucat itu, "un...terdengar memalukan sih kalau dikatakan secara frontal seperti ini..."
.
.
Manik baby blue itu bergerak kesana-kemari, sebelum akhirnya memantapkan tujuan pada sang lelaki yang duduk dengan napas tercekat, "Dia bilang tak ingin meninggalkanku. Karena aku adalah ..."
.
.
Garis lengkung menghiasi wajah pucat nan putih lelaki bersurai baby blue itu, "teman pertamanya di kota Tokyo ini."
.
KRIIIING.
Bel tanda berakhir istirahat makan siang berbunyi. Kensuke yang telah menghabiskan makanan ringan miliknya terlebih dahulu, bangkit dari duduknya. Sampah plastik yang dipakai untuk membungkus roti melon tadi ia masukkan ke saku celana—karena tak menemukan kotak sampah sejauh mata memandang—dan mengulurkan tangan pada lelaki pucat yang tengah membereskan kotak bento hitam, menawarkan bantuan untuk berdiri.
Mengingatkan Himuro akan uluran tangan yang sama di hari pertama ia bertemu dengannya.
Dengan sebuah senyum tipis yang kembali ia sunggingkan di wajah mulusnya, Himuro menerima bantuan lelaki yang menjadi teman sekelasnya dan berjalan menuruni tangga ke lantai 1. Kensuke—dengan kedua tangan tersilang di belakang kepala—bola kaca itu bergeser ke kiri, menatap sang pemuda yang tengah berjalan disisinya dalam diam, "oh, ya. Bagaimana dengan keadaan murid baru dari Amerika itu? Kau tidak mengajaknya berkeliling sekolah?"
"Ah, iya. Saat istirahat tadi aku sudah berniat untuk melakukannya." Berhubung status Himuro adalah seorang ketua kelas dan juga ketua OSIS, sudah menjadi kewajibannya untuk menolong murid yang kesusahan, "tapi begitu bel berbunyi, ia langsung berlari pergi ke Gym. Katanya ingin mengurus pendaftaran klub basket yang sempat tertunda tadi pagi."
Melewati lorong penuh lautan siswa siswi dari berbagai kelas, menyapa beberapa orang yang mereka kenal, juga memberi salam pada guru yang sudah mulai keluar dari kantor menuju kelas yang akan mereka bimbing—melihat ini, mereka berdua langsung mempercepat langkah—dan sampai di depan pintu geser dengan papan putih berlabel [1-B]. Para murid di kelas itu masih asyik berseliweran—ada yang mengobrol ria seraya duduk di atas meja, memainkan game console atau membaca majalah yang dibawa secara diam-diam dari rumah, ada juga yang bermain kejar-kejaran tanpa memperdulikan keluhan murid lain. Hal biasa, yang sama sekali tak menarik minat untuk ia ikuti. Karenanya, ia akan memilih untuk duduk dan membaca buku untuk menghabiskan waktu sebelum guru pelajaran selanjutnya mengajar di kelas. Tapi mulai hari ini, kegiatannya akan sedikit berbeda.
Manik hitam berpencahayaan redup itu melirik, entah sudah berapa kali dalam hari ini. Hanya ada satu orang. Satu orang yang dapat mengalihkan perhatian seorang seperti Himuro yang tak pernah tergerak meski hal menarik berkumpul di hadapannya.
Lelaki itu duduk diam di tempat duduk nomor 2 dari belakang. Jari telunjuk mengetuk-ngetuk meja, sementara iris crimson red mondar-mandir menatap cerahnya langit biru di luar sana. Kadang kala ia memejamkan mata dan menghela napas panjang. Kadang mengernyitkan alis yang bercabang dua itu seraya menatap layar handphone. Terkadang juga, ia mengacak-acak rambut dengan warna bergradasi merah hitam miliknya, seakan frustasi dengan sesuatu. Dan setelah itu semua, ia akan kembali menatap keluar jendela, menikmati langit biru untuk yang kesekian kali.
Lelaki itu adalah Kagami Taiga.
Kagami Taiga yang sama dengan hari itu.
Himuro ingin menyapanya, ingin mengobrol walau hanya sebatas menyapa. Tapi apakah lelaki itu masih mengingatnya? Ia tak yakin akan hal itu. Ya...pikirkan saja. Kali pertama mereka bertemu itu sekitar 5 atau 6 tahun yang lalu, saat mereka masih berumur 10 tahun. Mana mungkin ia bisa mengingat anak kecil—yang langsung dinilai—lemah sepertinya, apalagi keesokan harinya Kagami langsung pergi meninggalkan kota ini. Dan lagi, satu hal yang benar-benar membuat Himuro mengurungkan niat untuk menyapa lelaki itu, yang masih saja bengong menatap keluar jendela.
Dia pasti...sedang memikirkan anak itu.
Anak yang berhasil menjadi teman pertamanya.
"Bukankah anda...yang waktu itu saya temui di bandara? Konbanwa..." helai demi helai biru itu bergoyang-goyang seirama saat anak itu membungkuk 45o kepada pemuda berpakaian gakuran SMA Seirin yang tak sengaja berpapasan saat sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Wajah itu masih sama seperti yang ia ingat dulu, meski 3 tahun telah lama berlalu. Soalnya lelaki surai hitam pekat itu menarik perhatiannya. Bukan hanya karena tingkah yang agak unik, tetapi juga kenyataan bahwa ia mengenal lelaki emosional satu itu.
.
.
"Kenalkan. Dia Chihiro Mayuzumi-san, senpai sekaligus senior di klub basket." Seraya berkata, tangan kurus itu bergerak ke anak laki-laki dengan surai hitam pudar—ah salah. Itu abu-abu—yang memiliki ekspresi tak kalah datar dengan dirinya, "Dan yang ini Akashi Seijuuro-kun. Teman setim dalam klub basket." Dan berpindah pada anak laki-laki dengan warna rambut merah juga iris mata sewarna yang—entah mengapa—memiliki aura intimidasi di sekelilingnya.
.
.
"Mereka berdua adalah temanku."
.
.
"Kagami-kun sudah pulang dari Amerika? Kenapa dia tidak mengabariku?" Kuroko mengeluarkan handphone dari balik saku blazer putih, memerika mail atau panggilan tak terjawab. Nihil. Tak ada apapun disana. Bibir mengerucut beserta gelengan kepala mengalir keluar dari diri sang anak, "maaf Mayuzumi-san, Akashi-kun. Sepertinya aku tak bisa ikut dengan kalian."
.
.
"Kenapa?" Akashi menyilangkan kedua tangan di depan dada. Mata merah itu memicing, "kau bisa bertemu dengannya lain waktu kan?"
.
.
Kuroko mengulas sebuah garis lengkung tipis. Senyuman itu sama sekali tak terlihat jika tak diperhatikan dengan seksama, hampir-hampir kasat mata. Tapi bola kaca biru muda yang berbinar-binar seakan terpantul cahaya matahari, juga rona merah yang samar-samar muncul di permukaan kulit putih itu, hanya ada satu kata yang bisa menjelaskannya. Ia senang, "Akashi-kun. Aku sudah mengatakannya berkali-kali bukan? Dia adalah temanku."
.
.
"Dan akan tetap menjadi teman meskipun ia telah lama melupakanku."
.
31 Januari pukul 05.45 dini hari...
Ia hanya bisa menghela napas sembari menatap keluar jendela kamar—uap putih menempel di kaca bening itu. Masih pagi, tapi hujan sudah turun lebat seperti ini. Padahal rencananya ia ingin jogging pagi untuk merilekskan pikiran dan badan. Akhir-akhir ini banyak sekali permintaan pembuatan klub baru yang diterima oleh para pengurus OSIS, membuat dirinya selaku ketua, kerepotan akan berkas yang tiap hari kian menumpuk. Ditambah lagi PR yang tak henti-hentinya dihadiahkan oleh sang guru kepada murid tercintanya, membuat kapasitas otak ini rasanya ingin meledak. Himuro—yang telah berpakaian training putih, lengkap dengan handuk kecil melingkari leher dan sepatu kets menyelimuti kaki—berjalan menjauhi jendela dan duduk di atas ranjang beralaskan seprai biru tua bergradasi hitam. Apa saja ia lakukan untuk mengusir kejenuhan yang terus menerus menerpa. Mulai dari membaca buku, memainkan handphone, sampai mengganti-ganti channel TV yang ditautkan tak jauh di depan tempat tidur.
TING TONG,
Hingga suara bel apartemennya yang nyaring mengagetkan sang pemilik.
Alisnya bertaut saat perasaan janggal merayapi sang pemuda. Siapa gerangan orang yang datang bertamu di pagi hari seperti ini? Tetangganya? Tak mungkin. Ia tahu benar para pemilik apartemen sekitar memulai aktifitas, paling cepat seenggaknya jam 07.00 pagi. Terlebih lagi, saat ini hujan deras masih mengguyur bumi. Sibuk menerka-nerka siapa yang akan ia temui, Himuro melangkah agak cepat dan membukakan pintu kayu jati yang memberi pembatas antara kamar dan lingkungan luar. Kalimat 'selamat datang' yang bahkan belum selesai terucap, harus berhenti ketika apa yang tersaji membuat mata hitam itu membundar penuh.
"K-Kagami...kun?"
Dengan tubuh basah kuyup dan celana penuh lumpur, seorang lelaki kekar dengan rambut crimson red yang langsung ia kenali dalam sekali pandang. Kagami Taiga, napas yang tak karuan dan tubuh bergetar karena menggigil kedinginan berdiri di depan pintu rumah.
Ini kali pertama setelah kedatangannya kembali dari Amerika, dan kali pertama setelah mereka berbincang di hari itu, Kagami datang berkunjung ke tempatnya.
Apakah ia harus merasa senang? Tentu saja ia senang. Sudah berapa kali dirinya mencoba mengajak lelaki itu berkunjung—berbekal alasan untuk mengakrabkan diri, Himuro memberikan data diri teman sekelas, lengkap beserta alamat pada Kagami di hari kedua ia sekolah—meskipun selalu ditolak, karena katanya ia banyak urusan. Tapi setelah hampir satu bulan lamanya, sang lelaki mulai berinisiatif untuk bergerak. Ya. Ia senang. Sangat senang.
.
Jika saja Kagami tak membawa pisau berlumuran darah di tangannya.
.
Himuro refleks melangkah mundur melihat benda tajam berkilat-kilat di tangan lelaki itu. Wajahnya memucat dan kini giliran dirinya yang bergetar hebat. Ia ingin berbicara, tapi kedua mulut yang kering itu mengatup rapat. Kagami masih diam mematung disana. Tak ada tanda-tanda ia akan melepaskan benda mengerikan itu dari tangan—malah genggamannya makin lama makin erat. Saat itu derai hujan masih turun dan petir bersahut-sahutan. Walau tubuh itu basah kuyup, Himuro bisa melihat bulir-bulir air yang menetes dari atas. Bukan air hujan yang terserap oleh helaian rambut, bukan juga air asin yang biasanya mengalir dari pelipis saat orang tengah kelelahan, tetapi air yang selalu tertampung tepat di dalam kantung air mata. Kepala itu terdongak, menampilkan iris mata merah yang terlihat makin merah karena urat-urat bermunculan di sekitar. Perlahan namun pasti, mulutnya terbuka, menceritakan semua kejadian yang dialami sang lelaki, "T-Tatsuya...apa yang harus kulakukan? A-Aku...aku—"
.
.
Himuro mengganti-ganti saluran dengan sedikit tak sabaran, berkali-kali hingga akhirnya jari jemarinya pegal sendiri. Setidaknya ia ingin memastikan bahwa berita itu sudah tak disiarkan di televisi lagi, berita mengenai seseorang pejalan kaki yang meninggal akibat kecelakaan truk pada pukul 5 dini hari. Meskipun wajah sang korban dapat terbilang tak berbentuk lagi dan isi perut yang keluar—entah mengapa siaran TV ini sama sekali tidak mensensornya—tapi rambut abu-abu itu dan juga postur tubuhnya, tidak salah lagi.
Dia Chihiro Mayuzumi, salah satu dari teman anak itu.
Hembusan napas berhasil lolos dari kedua bibir yang tadi terkatup rapat. Pikirannya kembali melayang pada kejadian saat itu, saat Kagami datang ke apartemennya tanpa diundang. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana keadaannya. Duduk di tengah ruangan—mengenakan baju Himuro yang agak kekecilan di tubuh kekar itu—diam, tak banyak bergerak. Ekspresinya begitu muram, lebih muram daripada seorang murid yang depresi akan nilai semester yang dibawah rata-rata. Kalau saja Himuro tak mendengar deru napas yang kebanyakan tak beraturan darinya, mungkin ia mengira sang lelaki sudah mati kedinginan.
Apalagi pisau yang masih 'kotor' itu tergeletak tak jauh darinya.
.
.
"T-Tatsuya...apa yang harus kulakukan? A-Aku...aku—"
.
.
"—aku telah membunuh mereka!"
.
.
Tak butuh waktu lama bagi Himuro untuk mengerti maksud dari perkataan lelaki itu. Apalagi setelah berita tentang kejadian naas yang diberitakan hari itu juga. Ya. Hanya ada satu jawaban. Kecelakaan yang terjadi dini hari seminggu yang lalu itu bukanlah kecelakaan. Ada orang ketiga yang menyebabkan kecelakaan itu bisa terjadi. Ya.
Lelaki yang datang ke apartemennya di pagi hari dengan membawa pisau berlumuran darah.
Tapi ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Meskipun saat itu Kagami sedang panik dan bicara terbata-bata, tapi jelas-jelas ia menangkap kata 'mereka'. Kalau begitu, korban yang ditimbulkan sang lelaki bukan hanya satu. Belakangan ini, Himuro tak henti-hentinya memasati tiap berita yang tampil di TV. Dirinya sedang mencari berita tentang pembunuhan seorang remaja SMA menggunakan pisau dapur—atau setidaknya yang agak mirip dengan itu. Apakah sang korban memiliki rambut warna scarlet atau baby blue, ia bisa memikirkannya nanti. Tapi tak peduli pagi, siang, ataupun malam, tak ada satupun yang memberitakan berita seperti diharapkan. Sekilas info pun tak menampakkan diri. Mengetahui fakta yang belum konkrit, ada dua kemungkinan terlintas di pikirannya.
Seseorang sudah membereskan apa yang terjadi disana.
Atau sang korban berhasil selamat dan sekarang sedang mencari keberadaan pelaku untuk balas dendam.
Saat ini Kagami sedang beristirahat di apartemennya. Lebih baik begitu daripada ia harus kembali ke rumah yang letaknya jauh dari Tokyo, bahkan menjadi tempat kejadian perkara dari kecelakaan yang menimpa salah satu penduduk disana. Himuro lebih memilih pindah ke apartemen lain—yang letaknya hanya beberapa kilometer dari apartemen lamanya—agar Kagami dapat sedikit menenangkan diri. Terkadang juga ia meminta dokter untuk memeriksa kedaaan fisik maupun mental teman sekelasnya satu itu. Seperti hari ini.
Sementara pemeriksaan berkala masih berlajut, Himuro mulai berjalan-jalan mengitari kamar miliknya yang kini ditempati oleh Kagami. Terdapat perbedaan kentara yang dapat langsung ia kenali dalam sekali pandang sejak terakhir kali ia mengunjungi tempat ini—kalau tak salah 3 hari yang lalu. Ada banyak poster pemain basket tertempel disana sini, rak buku berisikan buku-buku literatur klasik yang dibagikan oleh guru sejarah mereka—Furihata Kouki—secara cuma-cuma, juga kaca besar di depan ruangan. Himuro tahu Kagami menyukai basket dan ia juga tahu kalau setiap orang membutuhkan kaca yang cukup besar untuk melihat penampilan mereka secara keseluruhan, tapi tak pernah terpikirkan olehnya bahwa Kagami menyukai buku bertipe sejarah dan makhluk mitologi seperti ini. Sampai-sampai disusun begitu rapi di rak buku serta disampul dengan kertas minyak warna warni. Tapi entah mengapa Himuro tak bisa membuang perasaan mengganjal yang sesaat terlintas di dirinya. Walau perabotan dan pernak-pernik ruangan ini hampir sama dengan anak-anak SMA lainnya, ia tak bisa mengenyahkan pikiran yang ia sendiri tak yakin.
Bahwa sesuatu sedang disembunyikan disini, di ruangan ini.
Himuro mulai membolak-balik majalah olahraga yang digeletakkan begitu saja di atas meja kaca ruang tengah. Begitu ia sadari bahwa sebuah buku jurnal berwarna merah terselip diantara tumpukan majalah—dengan gembok emas yang seharusnya mengunci buku, kini sedang dalam keadaan terlepas.
Ini diary milik Kagami.
Memastikan bahwa sang pemilik diary sedang tak melihatnya, Himuro membolak-balik kertas yang masih terbilang baru—kalau tak hati-hati, ujung kertasnya pasti bisa melukai jari—dan sampai pada halaman tengah yang bagian atasnya dilipat seolah memberi penanda.
.
"Baiklah, pemeriksaan selesai." Suara tegas dokter berparas tampan dengan kacamata berbingkai hitam itu mengagetkan lamunannya. Bahkan belum sempat ia membaca apa yang tertera disana, refleks Himuro menyembunyikan buku diary milik lelaki kekar itu di balik baju—entah karena kekagetannya atau firasat bahwa diary itu tak boleh diketemukan oleh siapapun. Setelah memberikan resep dan saran yang cukup, Midorima Shintarou berjalan keluar kamar diikuti Himuro dengan tatapan harap-harap cemas. Sedikit mengintip ke dalam dari celah pintu yang terbuka, melihat keadaan Kagami yang saat ini tengah tertidur lelap. Midorima menghela napas sebelum berkata, "tak ada masalah dengan fisiknya, tetapi mentalnya belum membaik. Sepertinya akan butuh waktu 1-2 minggu lagi."
"Sebenarnya ada apa dengannya?" Midorima menaikkan kacamata miliknya yang sama sekali tak melorot dengan jari yang terbalut perban, "kalau hanya sebuah kecelakaan bermotor tak mungkin bisa membuat depresi berkepanjangan seperti ini."
Sebuah pertanyaan yang selama ini coba ia hindari. Tangannya mencengkeram erat baju bagian bawah—tepatnya ke buku diary yang ia sembunyikan. Selama ini ia terus berbohong kepada sang dokter, berkata bahwa Kagami terlibat dengan kecelakaan akibat kelalaian dalam bermotor. Tapi sepertinya cerita bodoh itu tak akan berlangsung lama. Pikirannya berkecamuk, antara memberitahukan yang sebenarnya atau tetap menjaga rahasia. Karena ia tak ingin, ia tak tak ingin Kagami, teman satu-satunya, mendekam di balik jeruji dingin disaat dirinya sedang stress seperti ini. Bibir pucat itu terbuka, hendak mengatakan sesuatu ketika—
BRAAAK
—sebuah gebrakan mengagetkan mereka.
Dan suara itu berasal dari kamar Kagami.
Perasaan buruk tiba-tiba menjalari kedua makhluk yang masih berdiri di sana. Seketika itu juga, pintu kayu menjeblak terbuka. Pandangan mereka langsung tertuju pada ranjang yang tadinya terisi, kini sudah kosong. Dan selanjutnya, cucuran air mengalir tertangkap di gendang telinga mereka masing-masing. Langkah lebar nan gaduh menghiasi kamar apartemen yang cukup luas itu, disusul dengan napas tercekat dan kedua mata terbelalak lebar. Di dalam kamar mandi, tepatnya disisi bathub, Kagami terbaring disana dengan pisau yang tergeletak tak jauh darinya—pisau yang sama dengan di hari itu—dan tangan kiri yang tenggelam dalam kolam air dingin dalam bathub.
Yang kini telah berubah menjadi kolam air darah.
.
.
.
"TAIGA!"
.
.
.
.
KAGAMI'S DIARY
Tanggal 31 January, pukul 05.00 pagi.
.
.
Akulah orang...yang telah membunuh Kuroko!
.
Himuro hanya bisa duduk dengan wajah pucat pasi seputih kertas, memandang temannya yang saat ini tengah terbaring di atas ranjang rumah sakit. Elektrokardiogram menampilkan garis hijau yang menukik tajam naik turun seperti rumput liar. Dari balik kain hijau pudar yang membalut tubuh kekar sang lelaki, ia bisa melihat perban putih melingkari pergelangan tangan.
Untungnya saat itu Midorima belum pulang sehingga ia dapat langsung memberikan pertolongan pertama pada Kagami-13 jahitan dikepala dan 10 jahitan di pergelangan tangan. Saat ini ia berada di rumah sakit milik sang dokter, untuk pemeriksaan lebih lanjut mengenai keselamatan nyawa satu-satunya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 11 tegas itu seketika pucat, mengingat bahwa ia telah cukup banyak kehabisan darah. Tak ada tanda-tanda Kagami akan bangun secepatnya. Dan tak ada tanda-tanda bagi Himuro untuk beranjak pergi tidur. Kantung mata sudah setia menghiasi wajah, bukan hanya karena faktor kantuk yang menyerang, tetapi juga faktor air mata yang sedari tadi terus mengalir meratapi nasib sang lelaki. Satu kata yang sejak tadi terucap dan terus menerus mengulang tanpa henti.
Mengapa?
Mengapa semua ini terjadi? Mengapa semua kesialan beruntun ini terus menimpa temannya, terus menimpa dirinya? Sejak sedari awal ia bertemu dengan Kagami, sejak sedari awal ia sudah memutuskan untuk berteman dengannya. Padahal ini kali pertama Kagami berkunjung ke rumahnya, kali pertama Kagami memanggilnya meskipun bukan dengan nada penuh persahabatan. Meskipun ia datang membawa bencana. Apakah salah baginya jika ia ingin menjalin sebuah tali persahabatan kecil di dunianya yang terasa terkekang ini? Apakah salah jika ia ingin merasakan sebuah kebahagiaan memiliki seseorang yang mengerti dirinya, seperti orang-orang normal di luar sana?
Tak terasa, air asin itu lagi-lagi mengalir. Diary milik Kagami ia cengkram begitu erat, membuatnya terlihat akan robek jika ia tak bisa menahan kekesalannya. Semuanya tertulis di diary itu. Semuanya. Perasaan aneh apa yang ia dapat ketika mengunjungi kamar Kagami. Alasan mengapa ia memilih bunuh diri setelah waktu telah lama berlalu.
Di diary itu tertulis bahwa Kagami telah menyiapkan misteri di ruangannya, agar ia tak pernah lupa dengan apa yang ia perbuat.
"Misteri...aku harus menemukan misteri itu sebelum Taiga terbangun." ia bergumam pelan, hampir-hampir tak terdengar. Meski saat ini pikirannya sedang berkecamuk, ia sudah memutuskan. Bahkan sejak awal Himuro bertemu dengan Kagami.
.
Ia...akan melindunginya.
.
.
.
.
"—Taiga? Apa itu namaku?"
.
.
.
Meskipun setahun telah berlalu, meskipun lelaki itu sama sekali tak mengingatnya.
.
.
.
.
"—tak akan kubiarkan kau membunuh temanku untuk yang kedua kalinya!"
.
.
.
Meskipun kesalahpahaman terjadi dan lelaki itu berbalik memunggunginya, ia tak peduli.
.
.
.
.
.
Aku pasti...akan melindungi temanku yang berharga.
.
.
~END~
Akhirnya selesai juga sekuel satu ini.
Saya sadar kalau cerita ini agak berbelit, soalnya sudut pandang Himuro saat masih kecil, SMP dan SMA kadang menyatu jadi satu. Maaf ya kalau ribet. Nanti bisa ditanyakan pada saya jika masih belum yakin alurnya bagaimana.
Kalau begitu, tanpa panjang lebar...
Mind to RnR?
Best Regards
Akabane Kazama
