Riko merasa Kuroko adalah orang yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang sudah menggelayuti pikirannya sebulan ini. Sedangkan Hyuuga merasa ia berbicara pada orang yang salah ketika bertemu Kagami secara tidak sengaja di Maji Burger. Junpei x Riko.


Disclaimer for Tadatoshi Fujimaki

Character: Hyuuga Junpei, Aida Riko, Kuroko Tetsuya & Kagami Taiga

Timeline: setelah final Winter Cup

~oOo~

Why is It So Hard to Say 'I Love You'?
by Little Hatake

.

.

"Ah, sumimasen."

Kuroko sedikit berlari untuk mengambil bola basket yang bergulir mengenai kaki seseorang yang sedang duduk di bench. Orang itu menunduk, mengambil bola tersebut dan menyerahkannya kembali pada Kuroko.

"Tidak apa-apa, Kuroko-kun," ucapnya halus.

"Doumo arigatou, Kantoku." Kuroko menerima bola itu. "Mengapa Kantoku belum pulang? Ini sudah hampir jam enam sore."

Riko hanya menjawab pertanyaan pemain bernomor punggung sebelas itu dengan senyuman tipis. Amat tipis, tetapi tidak luput dari mata sang pengamat Kuroko Tetsuya. Riko memandang jari-jari tangannya yang saling berkait dengan pandangan gusar. Tidak seperti Aida Riko yang biasanya. Ah, mungkin pelatihnya ini sedang memiliki masalah tetapi enggan mengungkapkan. Kuroko bukanlah tipe orang yang suka ikut campur masalah orang lain, ia akan memberikan saran hanya jika diminta.

Pemuda bersurai langit musim salju itu hendak melanjutkan latihan shooting-nya di lapangan indoor sekolah yang sudah sepi ini ketika pertanyaan sang pelatih menahan langkahnya.

"Kuroko-kun, apakah kau tahu rasanya kehilangan orang yang kau sayang?"

Dan Kuroko memutuskan untuk menghentikan latihannya.

.


.

"Oi, Kapten!" Kagami berteriak dengan mulut yang penuh burger.

"Kagami?" Pemuda berkacamata itu habis membayar hot coffee dan sebuah beef burger di kasir. Tadinya, ia ingin langsung pulang saja dan berpura-pura tidak kenal pemain bernomor punggung sepuluh itu karena teriakan Kagami membuat seluruh pengunjung Maji Burger memperhatikan mereka berdua.

"Sini! Sini!" Ah, sial. Hyuuga tidak bisa mengelak ajakan Kagami. Dengan langkah berat, ia mendekati meja Kagami dan duduk di seberangnya.

"Kau sedang apa, Kapten?" tanya Kagami polos.

"Dasar d'aho! Selain membeli makanan, untuk apa aku di sini?" Jawaban itu melayang dari mulut Hyuuga diiringi pukulan cukup keras di kepala Kagami.

"Aduh!" Kagami mengusap kepalanya. "Aku kan cuma bertanya."

Hyuuga merasa sedikit bersalah karena telah memukul Kagami yang sekarang sudah sibuk mengunyah burgernya yang entah ke berapa. Ia sendiri bingung, mengapa ia seemosi ini? Ia memang tipe tempramen, tapi seharusnya ia tidak langsung memukul kepala Kagami karena pertanyaan polosnya itu. Ada pemicu lain, mungkin?

"Kagami." Hyuuga mencoba memecahkan masalah yang sebulan ini menghantui pikirannya. Mungkin, jawaban polos pemuda bersurai merah ini justru bisa mengurai benang kusut di otaknya.

"Ada apa, Kapten?" jawab Kagami—lagi-lagi—dengan burger yang belum habis terkunyah.

"Kau tahu rasanya kehilangan orang yang kau..."

Kagami terdiam mendengar pertanyaan menggantung dari kaptennya.

"...sayang?"

Dan Kagami memutuskan untuk menghentikan makan besarnya beberapa saat.

.


.

"Maksud, Kantoku?" Kuroko duduk di samping Riko sembari mengelap keringat di lehernya.

"Hmm, begini maksudku... Jadi... Aduh, harus darimana aku memulainya?" Riko malah bingung sendiri ketika berusaha menjelaskan masalah yang membebaninya sebulan ke belakang. Sepertinya, sebuah keputusan yang tepat untuk berbicara dengan Kuroko mengenai hal ini, mengingat Kuroko selalu memiliki jalan keluar ketika Seirin sedang berada di pertandingan yang sulit. Tapi ternyata, Riko tidak membayangkan jika untuk memulai membahasnya saja sudah sesulit ini.

"Mulai saja dari nama orang yang sedang kaupikirkan."

"Baik—eh?" Riko langsung menoleh. Dari mana Kuroko tahu dirinya tengah memikirkan seseorang? Keahlian pengamat Kuroko sungguh mengerikan!

Riko menghela napasnya lalu berkata, "Hyuuga."

.


.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Kapten."

Hyuuga menepuk dahinya. Sepertinya, sebuah keputusan yang salah untuk mencari jawaban pertanyaan besar yang menggelayuti otaknya kepada power forward nya ini. Ternyata, memang bukan bualan semata di antara pemain kelas satu jika Kagami hanya bisa diandalkan dalam hal basket saja. Hyuuga menyeruput kopi hitamnya untuk menenangkan diri.

"Apakah ada hubungannya dengan pelatih?"

"Uhuk!"

Hyuuga tersedak. Dari mana Kagami tahu ini berhubungan dengan pelatih mereka? "Dari mana kautahu?"

"Mengamati," jawab Kagami enteng. Apakah hampir setahun bersama Kuroko sebagai partnernya membuat keahlian pengamat Kuroko sedikit menurun padanya? Meskipun baru sekedar pertanyaan, namun hal ini hampir mencengangkan sang kapten.

Hyuuga menyesap kembali kopinya lalu mengucapkan satu nama, "Riko."

.


.

Seorang siswi di kelasnya tiba-tiba mendekati Hyuuga yang tengah berkutat dengan soal matematika.

"Hyuuga-kun~ Apakah kau mengerti penyelesaian dari soal nomor dua?"

"Oh—hei, Kaoru!" Hyuuga menyapa gadis berambut panjang hitam itu. "Belum, aku sedang mencoba mencarinya." Hyuuga sibuk kembali dengan kertas-kertas yang berisikan soal matematika.

"Izuma-sensei jahat sekali yah, memberikan kita tugas sebanyak ini!" Kaoru merengut dengan nada manja.

"Sudah tugasnya sebagai guru memberi kita tugas."

"Oh iya, yah. Ya, sudahlah." Kaoru mengedikan bahunya lalu menggeser sebuah kursi agar di samping Hyuuga. "Hyuuga-kun~ Sepertinya akan lebih mudah jika kita berdiskusi~"

Hyuuga menatap Kaoru dengan berbinar. "Hei, mengapa tidak terpikir olehku?" Dengan semangat, Hyuuga mencorat-coret kertasnya, menuliskan berbagai rumus. Tidak peduli bagaimana caranya, yang penting ia harus cepat-cepat terbebas dari tugas sialan ini dan segera berlatih basket. "Kau mengerti soal yang ini? Rumus bangun..."

Dan Riko hanya mendengar diskusi itu berlanjut dengan wajah kesal.

.

.

"Hyuuga-kun~"

'Aduh, mengapa harus nada itu lagi yang aku dengar setiap hari?!' Riko menutup wajahnya dengan catatan latihan basket ketika Kaoru menyapa Hyuuga sewaktu istirahat. Sudah hampir dua minggu gadis bernama Kaoru itu mencari perhatian sang kapten basket Seirin. Entah itu bermodus diskusi mengerjakan tugas atau minta diajari menjelang ulang harian. Apa lagi kali ini?

"Bisa kau ceritakan padaku, bagaimana Tokugawa berhasil mengalahkan Yukimura pada Pertempuran Musim Panas Osaka, Hyuuga-kun~?"

Riko memukul-mukulkan pelan papan klip pada dahinya. Oh, gadis menyebalkan itu amat lihai membuat Hyuuga terkesan!

"Kautahu juga sejarah tahun 1615 itu?" Tidak peduli siapa yang bertanya, Hyuuga amat senang jika ada seseorang yang tertarik dengan sejarah Jepang yang menurut sebagian besar siswa membosankan. Bahkan, ia juga menjadi mentor khusus sejarah untuk Kagami untuk tes kemampuan bulan lalu.

Riko melirik sekilas ke arah bangku Hyuuga. Ia ingin sekali melemparkan tumpukan kertas-kertas di tangannya ke wajah Kaoru yang sedang tersipu malu. Untung saja ia masih ingat reputasinya sebagai siswa teladan.

Tanpa memperhatikan wajah merah Kaoru, Hyuuga langsung menulis di bagian belakang bukunya dengan antusias. "Bagaimana jika kita mulai dari klan Nobunaga dan Ieyasu yang berhasil menghancurkan klan Takeda?"

"Terserah kau saja, Hyuuga-kun~"

Riko bertanya curiga dalam hati, sejak kapan Kaoru tertarik pada sejarah Jepang? Yang ia tahu, gadis itu selalu menguap atau sibuk dengan ponselnya ketika guru sejarah mereka sedang menerangkan di depan kelas.

Akhirnya, Riko memilih untuk pergi ke perpustakaan dibanding harus terus-menerus mendengar pujian kagum dari gadis berambut hitam itu—Riko tahu itu hanya basa-basi, bahkan ia yakin seratus lima puluh persen jika Kaoru sama sekali tidak memperhatikan isi penjelasan Hyuuga—yang membuat Hyuuga makin bersemangat.

.

.

Riko sedang menyusun jadwal untuk latihan tanding akhir minggu ini dengan Touou sepulang sekolah. Tinggal ia dan seseorang lagi yang masih tersisa di kelas. Sementara Riko sibuk menuliskan rencana latihan-ekstra-ala-Aida-Riko di agendanya, Hyuuga membereskan buku-bukunya ke dalam tas.

Pemuda berkacamata itu mendekati bangku Riko untuk mengajaknya pergi ke gym bersama. Melihat kertas-kertas bertebaran, Hyuuga yang sudah hapal dengan kertas berisi tabulasi waktu buatan pelatihnya sedikit mengerenyit. Pasti ini ada hubungannya dengan tim basket mereka.

"Kantoku, ayo ke gym!"

Riko menoleh ke arah Hyuuga. "Ah, Hyuuga-kun! Siapkan diri kalian yah, kita akan latih tanding Sabtu ini."

Benar saja dugaan Hyuuga. "Latih tanding? Dengan tim sia—?"

Belum beres pertanyaan itu keluar dari mulutnya, sebuah suara sopran yang diiringi derap lari kecil memotong dialog antara Hyuuga dan Riko. "Hyuuga-kun~"

Tiga buah sudut siku-siku langsung tercetak di pelipis Riko.

"Oi, Kaoru. Ada apa? Apa ceritaku tentang sejarah Sepuluh Pendekar Sanada kurang jelas?" Kini, atensi Hyuuga beralih pada Kaoru yang menyerahkan sebuah bungkusan ke hadapannya.

"Ini," ucap Kaoru dengan muka merah padam.

Hyuuga menerima kantong kertas bermotif daun itu dengan heran. "Apa ini?"

Riko menonton adegan di depan matanya itu dalam diam, meski hatinya sudah panas dengan aura yang sanggup membuat seluruh anggota tim basketnya bergidik ngeri.

Kaoru tidak langsung menjawab pertanyaan Hyuuga. Ia membuang pandangannya ke lantai, mencoba menyembunyikan perasaan malunya. Selang beberapa detik, ia memberanikan diri menatap Hyuuga yang sedang membuka bungkusan itu. Sebuah jawaban meluncur dari mulut Kaoru. "I-itu handuk kecil untukmu, Hyuuga-kun. A-aku dengar dari temanku di Touou, Seirin akan latih tanding Sabtu ini." Lalu, lantai kelas kembali menjadi pelabuhan keping hitamnya.

"Kebetulan sekali handuk latihanku sudah jelek. Terima kasih, Kaoru!" Dan wajah Kaoru pun semakin memerah mendengar ucapan terima kasih dari Hyuuga.

Jika dianalogikan sebuah bom, maka Riko adalah peledak berkekuatan tinggi dengan radius sepuluh kilometer yang siap meledak. Tinggal menunggu seseorang untuk menyalakan api pada sumbunya.

'Mengapa Hyuuga-kun tidak bilang padaku jika ia butuh handuk baru?! Aku 'kan sudah mengakomodir seluruh kebutuhan anggota tim?!'

"Syukurlah kau menyukainya. Sabtu nanti, aku pasti datang untuk menyemangatimu, Hyuuga-kun."

Ah tidak, ternyata Kaoru yang tanpa sadar memantik api di sumbu peledak Aida Riko.

"Aku duluan ke gym!" Dengan kasar, Riko memasukkan semua kertas-kertas itu ke dalam tas. Ia keluar dari kelas dengan langkah kaki yang terhentak keras, pintu kelas yang tak bersalah menjadi korban bantingannya.

"Terima kasih lagi, Ka—Hei, Kantoku! Tunggu aku!" Hyuuga mendengar pintu yang dibanting cukup keras. "Aku latihan dulu, Kaoru!" Hyuuga pun segera berlari mengejar Riko yang tiba-tiba marah. Mengapa langkah Riko amat cepat sekali sehingga Hyuuga kesulitan untuk mengejarnya? Dan, mengapa ia yang ditinggalkan padahal ia yang pertama kali mengajaknya untuk pergi ke gym bersama?

Oh Hyuuga, kau amat tidak peka terhadap perasaan seorang wanita rupanya.

.


.

Lelaki aneh berbadan besar mantan ace timnya yang selalu tenang. Garis bawahi kata 'aneh' karena kata itu cukup untuk mendeskripsikan seorang Kiyoshi Teppei versi Hyuuga Junpei. Hyuuga sudah melabeli Kiyoshi itu aneh sejak 'pemaksaan' terhadap dirinya untuk masuk ke dalam tim basket. Nampaknya, keanehan Kiyoshi di mata Hyuuga semakin meningkat ketika clutch-three-pointer itu melihatnya pulang bersama pelatih mereka.

"Teppei, ayo kita pulang!" Riko menarik tangan Kiyoshi. Kiyoshi membenarkan posisi tas latihannya lalu berjalan keluar gym tanpa merasa terganggu dengan tangan Riko yang menggamit lengannya.

"Besok pagi kau juga mau berangkat denganku?"

"Tentu saja!" jawab Riko riang. "Tapi, jangan sampai kau telat seperti pagi tadi, Teppei!" Riko pura-pura merengut kesal.

'Riko berangkat bersama dengan Kiyoshi hari ini? Mengapa aku tidak tahu?' Hyuuga menghentikan kegiatannya membereskan bola basket.

"Hahaha, tenang saja, Riko. Besok bukan jadwal nenekku mengurus kebun, jadi aku tidak perlu membantunya."

"Baiklah, kau jemput aku seperti tadi, oke?"

"Siap, Pelatih!" Lalu Riko dan Kiyoshi menghilang di belokan menuju parkiran sepeda.

Tanpa Hyuuga sadari, rasa aneh mulai bergejolak di hatinya. Ia bingung kemana ia harus meluapkan emosinya ini. Matanya menangkap anak-anak kelas satu yang sedang mengepel lantai gym seusai latihan.

"Heh, pemain kelas satu! Kalian harus memastikan lantai ini bersih! Kalau tidak, bersiaplah untuk menerima latihan lima kali lipat!" teriaknya sangat keras.

Anak-anak kelas satu hanya bisa mengucurkan keringat mendengar ancaman 'latihan lima kali lipat' itu dan segera mengepel dengan teliti. Sedang Hyuuga mengawasi adik kelasnya dengan perasaan geram.

.

.

"Teppei, apakah kau sibuk hari Minggu ini?" tanya Riko di sela-sela latihan perdana mereka setelah seminggu libur sehabis final Winter Cup.

Kiyoshi menenggak minuman isotoniknya kemudian menjawab, "Kurasa tidak. Ada apa, Riko?"

Mendengar percakapan dua orang itu, Hyuuga tiba-tiba terdiam di posisi three point shoot-nya. Ia tetap mengangkat bola basket di atas kepala, namun mencoba mencuri dengar dialog mereka di antara suara decitan sepatu menggesek lantai gym.

"Aku mendapat tugas penelitian tentang pola makan lansia. Kupikir, kakek dan nenekmu bisa menjadi objek yang menarik. Kau keberatan?"

"Oh tugas biologi itu, boleh saja. Jadi, Minggu ini kau akan ke rumahku?"

"Begitulah, makanya aku bertanya kau sibuk atau tidak. Tidak mungkin 'kan aku tiba-tiba mewawancarai mereka berdua. Hahaha..."

"Hahaha, baiklah kalau begitu. Kau akan datang sendiri?"

Hyuuga menunggu jawaban Riko. Sebenarnya, ia dan Riko berada dalam satu kelompok untuk tugas ini. Tadinya, ia hendak mengajak Riko untuk pergi ke sebuah panti jompo di pinggir kota pada hari Minggu.

Riko berpikir sebentar. "Hmm, sepertinya iya, aku akan datang sendiri."

Trang! Lemparan Hyuuga meleset dan mengenai ring.

Kiyoshi sudah bersiap lagi untuk one-on-one dengan Kagami. "Oke, aku akan menjamumu seperti seorang putri, Riko."

"Aku menantikan hal itu, Teppei." Riko memberikan senyuman manisnya.

Trang! Lemparan Hyuuga meleset lagi.

Izuki yang sedari tadi mengamati temannya itu akhirnya mengutarakan keheranannya. "Oi, Hyuuga! Sudah dua kali lemparanmu tidak masuk, ada apa denganmu?"

"Aku tidak apa-apa!" sanggah Hyuuga ketus.

"Oi oi oi, sabar, Hyuuga..." Izuki memutuskan untuk berjalan mundur menjauhi Hyuuga dibanding terkena lemparan maut Hyuuga yang sudah mengarahkan bola kepadanya.

.

.

"Nee, Kiyoshi, Hyuuga, Mitobe, ayo kita pulang!" ajak Koganei sembari menjinjing keranjang belanjanya.

Mitobe mengangguk lalu mengikuti Koganei dari belakang menuju kasir dan diikuti oleh Hyuuga. Sepulang latihan malam ini, mereka berempat pergi ke sebuah supermarket atas ajakan Kiyoshi. Kiyoshi sendiri ingin membeli kebutuhan bulanan rumahnya yang sudah menipis. Dibandingkan tidak membeli apapun, Hyuuga, Mitobe dan Koganei membeli cemilan dan minuman ringan.

Kiyoshi berbelok ke arah bagian sabun. "Tunggu dulu, Koga!"

Langkah Koganei terhenti. "Ada apa, Kiyoshi?"

"Riko titip membeli sabun, sampo dan pasta gigi padaku. Baru saja ia mengirim pesan," sahut Kiyoshi sembari memilih sabun cair. "Riko bilang jika Kagetora-san tidak mengizinkannya pergi selarut ini. Sebentar. Hmm, wangi mint... lavender... Ah, ini dia stroberi!"

Mendengar nama Riko disebut, rasa panas itu kembali menguasai hati Hyuuga. 'Hei, mengapa Riko tidak menitip saja padaku seperti biasa?'

Center Seirin itu akhirnya beres membelikan titipan Riko dan menghampiri dua orang temannya. "Ayo, kita pulang sekarang!"

Terdengar suara pintu supermarket terbuka. "Terima kasih sudah berbelanja di sini. Sampai jumpa lagi!" salam seorang pegawai kepada seseorang yang keluar dari supermarket.

Melihat siluet tubuh seseorang dengan rambut hitam pendek dan berpakaian seragam khas Seirin di luar pintu kaca, Kiyoshi berteriak, "Itu, Hyuuga! Oi, Hyuuga! Tunggu aku!"

Mitobe dan Koganei pun terkejut Hyuuga sudah membayar lebih dulu. Mitobe pun hanya menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Koganei "Kapan ia membayar?"

Setelah selesai membayar di kasir, Kiyoshi langsung keluar menemui Hyuuga yang sudah cukup jauh berjalan. "Hyuuga, mengapa kau terburu-buru sekali?" Kiyoshi merangkul hangat bahu temannya ini. Rangkulan itu dibalas oleh tatapan tajam dari Hyuuga. "Bagaimana kalau kau temani aku ke rumah Riko? Aku masih takut menghadapi Kagetora-san sendirian." Kiyoshi tidak menyadari tatapan di balik lensa kacamata itu semakin menajam, seolah menghujam kepala Kiyoshi dan menembus hingga belakang.

Hyuuga melepaskan rangkulan Kiyoshi dengan kasar. "Pergi sana sendiri ke kandang macan! Kau tercabik-cabik pun aku tidak peduli!" Dan ia berjalan cepat menjauhi Kiyoshi yang sedikit kaget dengan sikap aneh kaptennya.

"Hyuuga, kau aneh akhir-akhir ini. Ada apa?" Kiyoshi masih berusaha mengejar langkah Hyuuga. Kiyoshi Teppei tidak akan dijuluki Iron Heart jika tidak gigih mencari tahu.

Melihat Kiyoshi sudah di sampingnya lagi, kedua alis Hyuuga mengerenyit. "Untuk apa kau mengikutiku, Kiyoshi?!" Hyuuga menghentikan langkahnya, masih berusaha menahan emosi.

Pemain bernomor punggung tujuh itu menjawab enteng, "Untuk memastikan kau baik-baik saja," lalu tersenyum.

"Dasar aneh! Sudah, aku baik-baik saja sampai kau menggandeng tanganku! Lepaskan atau kau ingin orang-orang menganggap kita pasangan homo?"

"Ah, maaf! Aku tidak sadar!" Buru-buru Kiyoshi melepaskan pegangannya dari lengan Hyuuga. "Aku benar-benar ingin memastikan kau tidak salah makan jadi emosimu cepat memanas, Hyuuga."

"Cepat pergi sana!" usir Hyuuga.

"Ya sudah, aku ke rumah Riko dulu. Mungkin aku akan minta ditemani oleh Koga dan Mitobe. Jaa ne!" Kiyoshi memutar arah dan meninggalkan Hyuuga.

Hyuuga mendecih kesal, ia kembali berjalan menuju rumahnya. Ah, ia baru sadar orang-orang sudah mulai jarang terlihat di jalanan. Hanya ada tiga orang berpakaian kerja, seorang kakek yang sedang mengayuh pelan sepedanya dan dirinya. Ketika ia ingin melihat jam berapa sekarang dari ponselnya, layar ponselnya itu hanya menunjukan warna hitam. Hyuuga baru ingat, baterai ponselnya sudah habis sejak pulang sekolah dan ia lupa mengisinya ketika latihan basket.

"Sial!"

.


.

Riko masih bercerita dengan penuh emosi. Beberapa kali papan klip menjadi sasaran gebrakannya. Ada saat tertentu suara Riko memelan—lebih tepatnya menahan perasaan—sehingga Kuroko harus sedikit mendekat untuk dapat mendengar jelas. Pemuda bermata biru cerah itu hanya mendengarkan dengan tenang seperti biasa, ia terkadang menjaga jarak agar tidak menjadi korban pelatihnya jika mulai meledak lagi. Sedari awal cerita, sebenarnya Kuroko sudah mengerti apa yang menjadi inti masalah, tapi biarlah pelatihnya meluapkan dulu apa yang ada di pikirannya sepuas hatinya.

Kali ini, kertas-kertas yang sudah tak jelas bentuknya harus pasrah menjadi pelampiasan Riko. Kuroko yang melihat bola-bola kertas yang berantakan hanya bisa menghela napas membayangkan Riko akan kelimpungan sendiri saat menyadari kertas itu berisi menu latihan mereka selama sebulan.

"...lalu ia bertanya kepada Hyuuga-kun jurusan apa yang ia pilih di universitas. Ketika Hyuuga-kun menjawab jurusan pendidikan sejarah, ia berteriak senang. Katanya, itu juga jurusan pilihannya. Kau ingat 'kan Kuroko-kun apa yang ia lakukan ketika Izanagi-sensei menjelaskan tahun-tahun penting di pelajaran sejarah?!" Riko kembali mengatur napasnya. Ia menerima botol minum yang disodorkan oleh Kuroko lalu menenggaknya perlahan. Emosinya mereda, Ia memandang botol yang ia genggam dengan pandangan yang sama saat ia memutuskan untuk bercerita pada Kuroko.

"Sebenarnya, apa yang aku rasakan pada Hyuuga-kun, Kuroko-kun? Apa aku benar-benar menyukainya atau sekedar tak ingin kehilangannya karena ia sahabatku dari SMP?"

Akhirnya, muncul juga kesempatan Kuroko untuk berbicara.

"Kantoku..." Riko menoleh ketika dirinya dipanggil. "Kau cemburu ketika Kaoru-san mendekati Hyuuga-senpai, bukan?"

'Cemburu?' Riko mengulang kata itu dalam hati. Ia bukanlah seorang gadis polos yang tidak mengerti definisi 'cemburu'. Ia pernah mengatakan pertanyaan yang sama dilontarkan oleh Kuroko pada hatinya sendiri. Tetapi, logikanya menolak dan mengukuhkan status Hyuuga hanya sekedar sahabatnya.

"Cemburu adalah gejala pertama seseorang sudah merasa memiliki orang lain. Dan perasaan itu dirasakan di sini, Kantoku." Kuroko menunjuk bagian dada sebelah kiri. "Bukan dipikirkan oleh logika. Logika tidak akan sanggup menguraikan apa yang dirasakan oleh hati karena perasaan sendiri itu abstrak." Riko tersentak, kata-kata Kuroko langsung mematahkan logikanya.

"Lalu, apa yang harus aku lakukan? Bilang pada Hyuuga-kun jika aku menyukainya?"

"Mengapa tidak?"

Riko lagi-lagi tercengang mendengar kata demi kata yang meluncur dari mulut Kuroko. "Jangan bercan—"

"Apa kau pernah melihatku bercanda, Kantoku?" Kuroko menatap serius kedua mata pelatihnya. Dan Riko tahu, selalu ada keseriusan saat Kuroko berbicara.

"Kautahu sendiri, aku sudah lama bersahabatnya dengannya. Aku tidak mau jika aku bilang tentang perasaanku yang sebenarnya, itu akan merusak persahabatan kita. Aku takut memilikinya karena suatu hari aku takut akan kehilangannya, Kuroko-kun."

"Jika Kantoku merasa takut dan tak perlu memiliki, berarti kaurela jika Hyuuga-senpai pergi bersama yang lain?"

"Bukan begitu maksudku... Tapi..." Riko kehilangan kata-kata. Pikirannya berkecamuk. Logika dan perasaannya seolah berperang mencoba mengambil alih. Mengapa perkataan Kuroko langsung tepat sasaran? Tentu saja ia tidak mau Hyuuga bersama gadis lain selain dirinya. Tapi, ia terlalu takut jika ternyata ia hanya bertepuk sebelah tangan. Mengapa urusan hati harus serumit ini? Jika Riko dapat memilih, ia lebih baik harus menyusun menu latihan intensif setahun penuh dibanding bergelut dengan urusan cinta.

Sebuah pertanyaan Kuroko membuyarkan lamunannya. "Bagaimana jika Hyuuga-senpai memiliki perasaan yang sama? Itu bukan hal yang mustahil, 'kan?"

Wajah Riko memerah mendengar pertanyaan itu. "Dari mana kautahu, Kuroko -kun?"

"Aku tidak tahu. Oleh karena itu, Kantoku sendiri yang harus mencari tahu. Aku rasa proses dari sahabat menjadi kekasih itu sepertinya menyenangkan. Kalian berdua sudah mengenal satu sama lain, sudah tahu kebiasaan masing-masing, hanya berganti status saja."

Riko membenarkan kalimat Kuroko. Tapi, tetap saja bagaimana jika Hyuuga hanya menganggapnya sekedar sahabat? Mau ditaruh di mana mukanya nanti? Apalagi, mereka masih akan terus bersama sampai mereka lulus. Itu pun jika universitas yang mereka masuki berbeda nantinya. Jika kebetulan sama?

Hei, tunggu dulu. Mencari tahu sendiri perasaan Hyuuga? Itu bukan saran yang buruk. Setidaknya, ia harus yakin dulu apa yang dirasakan oleh Hyuuga terhadap dirinya sebelum ia bilang yang sesungguhnya. Ya, misinya kali ini adalah membongkar rahasia hati sahabat sekaligus kapten timnya itu! Riko menepuk tangannya perlahan, sudah menentukan langkah yang ia ambil selanjutnya.

"Terima kasih Kuroko-kun, kau memang pemecah masalah terbaik." Riko berdiri dan merapikan bajunya, bersiap untuk pulang. "Aku pulang duluan, ya."

"Sama-sama, Kantoku." Kuroko pun bersiap untuk ke loker mengganti kaos latihannya. "Oh iya, lebih baik kau ambil dulu kertas-kertas yang di lantai."

"Eh?" Mendengar perkataan Kuroko, Riko langsung melihat ke arah lantai, mengambil salah satu kertas yang sudah teremas dan membukanya. Kedua matanya langsung terbelalak lebar. "AAA! JADWAL LATIHAN KITA SELAMA SEBULAN!"

Benar 'kan, prediksi Kuroko? Ia mendengar teriakan itu dari loker ganti dan tak lama terdengar derap langkah lari menjauhi gym.

.


.

Setengah cangkir kopi panas di depan Hyuuga sudah tidak mengepulkan uap, tanda sudah mendingin. Sedangkan burger-burger di hadapan Kagami sudah berkurang banyak. Kagami tidak akan pernah membiarkan burger kesayangannya dingin sebelum sampai di perutnya. Awal cerita, Kagami memang menghentikan ritual sorenya itu untuk mendengarkan cerita kaptennya. Tetapi, ia tidak menyangka jika cerita Hyuuga akan sangat panjang dan ia tidak tega melihat burger-burgernya berteriak—dalam imajinasinya—minta diperhatikan.

Meskipun terkadang terkena omel Hyuuga karena terus-terusan mengunyah, Kagami tetap mendengarkan Hyuuga sampai selesai.

"...sampai-sampai Riko meminta bantuan Kiyoshi untuk membawa buku yang akan dibagikan dari perpustakaan ke kelas. Padahal kelasku dan Kiyoshi berbeda, mengapa Riko tidak memintaku saja yang membantunya, Kagami?!"

Kagami menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal, bingung harus menjawab apa. Mendapati sang Hyuuga masih menunggu jawaban darinya, akhirnya ia berkata, "Jangan tanya aku, Kapten." Itulah kalimat pertama Kagami setelah setengah jam yang didominasi oleh Hyuuga ini berakhir.

Kapten Seirin itu langsung menghela napas mendengar jawaban Kagami. Kagami benar-benar tak bisa diharapkan! Percuma saja ia bercerita tentang kegelisahannya sepanjang ini. Ia memandang Kagami yang masih sibuk mengunyah entah-ke berapa-burgernya. Lalu, beralih ke cangkir kopinya. Direguknya minuman itu dalam beberapa kali tegukan. Hyuuga sedikit menggerutu karena kopinya sudah dingin. Tapi toh, ia tetap meminumnya.

Cangkir kopi itu kembali mendarat di meja bersamaan dengan kunyahan terakhir Kagami.

"Kapten..." Kagami memanggil Hyuuga setelah burger dalam mulutnya habis tertelan.

"Ada apa? Jangan bilang kalau kau ingin memesan burger lagi!" Tampang Hyuuga sudah bercampur antara kesal dan pasrah. Ia membuang pandangannya ke arah langit yang sudah menggelap.

"Ah, bukan, bukan... Aku hanya ingin bertanya."

"Apa?" tanya Hyuuga masih dengan nada ketus.

"Kapten cemburu pada Kiyoshi-senpai karena peran yang seharusnya kau mainkan diganti oleh Kiyoshi-senpai?"

Hyuuga langsung menoleh ke arah Kagami, mencoba mencari keseriusan di kedua keping black crimson itu. Ia memang tidak menemukan keseriusan, tapi tidak juga kepolosan. Hyuuga masih tidak percaya jika pertanyaan itu keluar dari anggota timnya yang pernah mendapatkan nilai nol hampir di seluruh mata pelajaran.

"Kagami, apa aku salah dengar jika kau bertanya aku cemburu?"

"Kau tidak salah dengar, Kapten. Aku memang bertanya seperti itu. Kau cemburu karena Pelatih lebih memilih Kiyoshi -senpai untuk mengantar dirinya, membantunya dan bahkan menitip belanjaan padanya yang biasanya kau lakukan, bukan?"

Baiklah, Kagami tidak sepolos yang dibayangkan Hyuuga. Hyuuga menyandarkan punggungnya di kursi dan melipat kedua tangannya di depan dada, memikirkan pertanyaan retoris Kagami.

Kagami mulai membuka sebuah bungkusan burger lagi. "Aku pernah mendengar cerita yang hampir sama dengan cerita Kapten saat aku masih di Amerika." Satu suapan burger masuk ke mulut Kagami. "Saat itu Alex menghubungi aku dan Tatsuya untuk bertemu di sebuah restoran. Sebuah urusan sangat penting katanya. Ternyata ia hanya ingin bercerita tentang kecemburuannya terhadap seorang gadis yang selalu membantu pacarnya untuk ini-itu. Jadi, pacarnya tidak pernah meminta bantuan Alex lagi meski hanya untuk memilih sepatu basket." Suapan kedua sudah meluncur.

Hyuuga mendengarkan cerita Kagami sembari berpikir. Apakah benar ia cemburu karena ia tidak ingin ada yang menggantikan posisinya di samping Riko atau ia hanya tidak ingin kehilangan Riko sebagai sahabat?

"Alex saat itu menjawab ketika aku bertanya mengapa ia cemburu, katanya jika kita cemburu saat ia dengan yang lain itu adalah pertanda jika kita memang mencintainya."

"Lalu, apakah Alex menunjukkan rasa cemburunya kepada pacarnya?"

Kagami menggeleng. "Tidak, sampai ia bercerita saat itu ia belum bilang bahwa ia cemburu dan benar-benar mencintai lelaki itu."

"Lalu?" Hyuuga sedikit bergidik melihat Kagami sudah membuka burger yang lain. Selebar apa perutnya sehingga dapat menampung burger begitu banyak?

"Aaa, sebentar..." Kagami memakan burger itu sembari berusaha mengingat kejadian selanjutnya. "Oh iya, aku ingat kata-kata Tatsuya. Ia berkata, hati itu tidak terlihat, maka tunjukanlah. Lalu, Alex tersenyum dan berterima kasih kepada Tatsuya atas sarannya. Sedangkan ia mengomeliku karena ia harus membayar sepuluh deluxe burger yang sudah aku makan dan tidak memberi saran apa-apa. Hei, mana mungkin aku mengerti urusan cinta begitu? Basket lebih menarik kemana-mana!"

Ya, Hyuuga dapat membayangkan ekspresi Alex saat itu. Kurang lebih sama seperti dirinya saat Kagami bertanya dengan polosnya.

Hati itu tidak terlihat, maka tunjukanlah.

Hyuuga menggumam perlahan, "Menunjukkan perasaan hatiku yang sebenarnya?" Ia masih tidak yakin atas saran tidak langsung Kagami. "Kagami, apa reaksi Riko jika aku bilang aku menyukainya?"

"Aku tidak tahu, aku bukan Pelatih, Kapten." Kepolosan Kagami kembali muncul. "Tapi, bukankah itu tidak penting? Yang penting, kau berani bilang dulu jika kau memang menyukainya."

"Bagaimana jika persahabatan kita hancur karena masalah ini? Aku takut Riko tidak memiliki perasaan yang sama denganku lalu kehilangan dirinya karena ia tidak akan dapat melihatku sebagai seorang sahabat lagi."

"Jika kalian cuma sahabat, mengapa Kapten takut kehilangan Pelatih?"

"Itu..."

"Apa kau mau jika Pelatih bersama Kiyoshi-senpai?"

"Tentu saja aku tidak mau!"

"Makanya sebelum terlambat, bilang saja. Pada dasarnya, seseorang jauh lebih takut mendengarkan jawaban daripada menyatakan perasaan itu sendiri."

Hyuuga tidak dapat berkata apa-apa lagi. Ia tidak menyangka akan kalah berdebat dengan Kagami dan Kagami bisa berkata seperti itu. Hati Hyuuga kembali berkecamuk. Haruskah ia menyatakan perasaannya pada Riko? Tetapi, ia tidak mau terlambat dan menyaksikan Riko bersama orang lain. Ia seorang laki-laki! Dan laki-laki itu berani mengambil resiko yang terburuk sekalipun.

"Oh iya, itu juga kata-kata Tatsuya ketika ada seorang teman yang menyukai seorang gadis sekaligus sahabat kecilnya di kelasnya tetapi takut untuk menyatakannya," tambah Kagami tanpa dosa.

Baiklah, hanya ada basket, basket dan basket di otak Kagami. Oh, jangan lupa burger. Tapi, Hyuuga memang mengakui perkataan Kagami ada benarnya juga. Ia bersiap untuk bangun dari duduknya dan sudah memutuskan tindakan yang akan ia lakukan.

"Nee, Kagami. Terima kasih atas saranmu. Aku pulang." Hyuuga berjalan ke arah pintu.

"Yoo, Kapten. Jika ada masalah lagi, bicarakan saja denganku."

Sebelum pintu otomatis itu menutup, Hyuuga berteriak. "Tidak akan!"

.

.

(1/2)

.

~oOo~

rgrds, LH


Akhirnya, jadi juga JunRiko pertama saya~ File ini udah cukup berdebu di laptop saya karena kerjaan yang terus numpuk dan ujian kuliah juga *sigh*

Nee, ada yang sadar dan tahu darimana kutipan yang banyak bertebaran di cerita ini saya ambil? Nanti saya kasih tau di bagian 2/2 yah, hehehe... Niatnya, saya mau bikin oneshot ajah, taunya terlalu panjang, jadi penyelesaian masalah antara Hyuuga dan Riko saya keep di bagian 2 ajah...

Oh ya, selamat berpuasa bagi yang merayakan dan jangan lupa klik tombol REVIEW di bawah yah, minna-san~ *ngilang di antara tumpukan es buah dan kolek pisang*