Doumo~ ini adalah fanfic kolaborasi pertama yang kami buat di fandom ini antara author Chi-chan dan Kyuushirou, mohon maaf bila banyak terjadi kesalahan :'3

Chapter ini dibuat oleh Kyuu, untuk chapter depan kuserahkan pada Chi-chan~ XD

Yoroshiku ne minna-san~ :D


Naruto © Masashi Kishimoto

Warning : AU, OOC, typo(s), EYD, bahasa baku dan non baku yang tercampur, yaoi dan kesalahan lain. Tidak suka? Jangan baca! :p

Pair : SasuNaru adalah yang utama, yang lain hanyalah selingan.


.

Amor vincit omnia

Bab I

Hajimaru toki—

.


Iris langitnya menatap sekumpulan awan yang bergerak lambat. Hari ini, lukisan langit nampak mendung dibalik kaca persegi di pinggirnya. Waktu telah menunjukan pukul tiga sore. Namun, cuaca terlihat nampak gelap tertutup awan kelabu. Sinar matahari yang seharusnya bersinar terang pun kali ini sama sekali tak terlihat eksistensinya. Bahkan hawa hangatnya sama sekali tidak terasa di kulit.

Menghela napas lelah, pemuda pemilik iris langit itu menundukan wajahnya. Meski dari luar ekspresinya nampak terlihat tenang, namun jika dilihat lebih jauh lagi ke dalamnya. Kita bisa melihat kepedihan berupa; rasa bersalah; rindu dan beberapa ekspresi bimbang lainnya.

Ia menggeser posisi duduknya dan mencoba untuk kembali fokus pada pelajaran di depannya. Remaja itu menyangga dagu dengan sebelah tangan. Manik birunya menatap seorang guru yang tengah menjelaskan pelajaran sejarah dengan rasa malas. Dirinya mendengus lelah, jika sang guru saja menjelaskan pelajarannya dengan malas, bagaimana dengan muridnya?

Pandangannya kemudian menyapu setiap sudut ruangan kelasnya. Seperti yang ia duga, teman-teman di kelasnya terlihat tidak memperhatikan apa yang sang guru terangkan. Karena posisi duduknya yang berada di pojok ruangan dekat jendela, dirinya bisa melihat berbagai tingkah teman-temannya dengan jelas; ada yang sedang makan sambil menutupinya dengan buku; tertidur dengan lelap; saling melempar kertas; memainkan ponselnya; bahkan ada seorang murid yang tengah menonton video—yang entah video apa—di laptopnya. Remaja itu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum geli, ia sedikit heran mengapa sang guru tidak menegur siswa yang seenaknya nonton video di tengah pelajaran. Maa, meski dirinya tidak terlalu peduli sih.

Bosan melihat tingkah dari teman-temannya, ia kembali menatap langit mendung yang seolah menggambarkan perasaanya sekarang. Awan yang terlihat kelabu menandakan sepi; kosong; kesepian; dan kehilangan sesuatu. Dirinya tahu kalau ia harus maju ke depan dan meninggalkan kehidupan lamanya. Namun apa daya, kenangan masa lalunya terlalu sakit untuk ditinggalkan.

Padahal, kenangan masa lalunya hanya terfokus pada satu orang saja. Tapi rasanya sulit sekali untuk melupakannya. Ia selalu saja terbayang-bayang akan kenangan di mana dirinya tertawa bersama, bermain bersama, berjuang bersama dan hidup bersama. Pemuda beriris biru itu tidak bisa melupakan 'dia' semudah membalikan tangan! Che! Padahal sudah tiga bulan dirinya meninggalkan dunia itu tapi—sudahlah, ia tidak ingin kembali tenggelam dalam jurang emosi yang selalu membuatnya terpuruk.

"Psst! Menma!—"

Sebuah suara berbisik pelan.

"Menma!"

Nada suara tersebut meninggi, namun pemuda yang terpanggil masih bergeming di tempatnya.

"Geez," suara itu menggerutu pelan.

"MENMA!"

Suara itu terdengar sangat nyaring disertai dengan gebrakan meja yang membuat seluruh penghuni kelas menatap pemilik suara itu. Sang pemuda yang baru sadar bahwa dirinya telah berteriak kencang hanya terkekeh sambil menggaruk kepalanya grogi. Ia kemudian menundukan kepalanya berkali-kali untuk minta maaf.

Suasana yang tadinya sempat hening pun kini kembali seperti semula.

Sang pemuda yang berteriak tadi mendelik sebal ke arah remaja yang dipanggilnya. Tempat duduk mereka itu berdampingan, tapi sang pemuda yang dipanggil masih tetap setia menatap langit seolah gebrakan meja tadi itu adalah skene yang tak terjadi sama sekali.

Si peneriak mendengus sebal saat melihat sosok yang dipanggil 'Menma' tetap saja terdiam meski ia sudah melemparkan beberapa gulungan kertas ke arah dia. Namun, 'Menma' masih asyik menatap langit di pinggirnya. Ia menyilangkan tangannya di dada. Dirinya bertekad bahwa ia akan membuat perhitungan dengan sahabatnya itu akibat membuatnya malu di tengah kelas gara-gara teriakannya tadi.

Tak terasa bel tanda pelajaran terakhir pun telah berbunyi. Berbagai sorakan dan desahan terdengar di seluruh ruang kelas. Sorakan yang menandakan mereka bisa pulang dan desahan lega karena pelajaran paling membosankan bagi mereka telah berakhir.

"Oi Menma! Kenapa kau tidak menjawab panggilanku tadi?!" pemuda yang memiliki surai cokelat disertai dengan tato segitiga terbalik dimasing-masing pipinya menggebrak meja 'Menma' dengan tak sabaran. Ia terkadang heran mengapa sahabat satunya itu sering tidak menoleh meski namanya sudah dipanggil ratusan kali.

Kesal karena dirinya terus diabaikan, pemuda brunette bernama lengkap Inuzuka Kiba itu menepuk pundak 'Menma' hingga sang remaja itu terlonjak kaget dan mengedipkan matanya berkali-kali.

Kiba terkekeh melihatnya. Sebegitu fokusnya 'Menma' melihat langit hingga tak mendengar panggilannya? Oh, great!

"Kau ini kenapa? Setiap dipanggil pasti tak menoleh!" iris hitamnya menatap jengkel pemuda di depannya. "Kau selalu saja begitu. Jika kau dipanggil Menma, kau terlihat seolah bahwa nama itu bukanlah namamu. Kau aneh sekali." Gerutu remaja itu dengan sedikit rengutan di wajahnya.

Sang pemuda yang baru sadar akan tepukan Kiba di bahunya hanya nyengir lima jari. "Warui na Kiba, aku tadi sedang melamun jadi tak mendengar ocehan berisikmu itu hahaha...,"

Kiba menatap 'Menma' tak percaya, seisi kelas saja mendengarnya tapi sosok di depannya tidak, apakah pendengarannya mengalami kesalahan? Dan tadi Menma cuma berpikir bahwa panggilannya itu adalah ocehan berisik? Sahabat macam apa dia!

"Ha?! Uso darou?! Maji ka yo omae!" pemuda brunette itu menepuk jidatnya tak percaya. Ia mendesah lelah akan temannya yang satu ini. "Sudahlah lupakan saja," Kiba yang sudah tahu kalau 'Menma' itu sedikit lemot dalam berpikir memilih untuk menghentikan argumen tak bergunanya.

Kiba menatap sebal 'Menma' yang terlihat masih terkekeh. Dirinya kembali menghela napas lelah. "Nde, kita jadi untuk bermain ke game center kan?" tanyanya mencoba mengubah topik pembicaraan.

Bola mata biru jernih milik 'Menma' berbinar cerah. Game adalah hal yang paling ia sukai di dunia ini.

"Atarimai—dattebayo!" riang 'Menma' semangat dan segera membereskan peralatan sekolahnya ke dalam tas sambil bersenandung riang.

Kiba tersenyum kecil melihat kegirangan temannya. Padahal beberapa detik yang lalu pemuda itu terlihat seperti sedang sedih, namun mood-nya bisa berganti dengan cepat hanya gara-gara mendengar kata game center. Dasar anak yang aneh.

"Ikuze, Menma!"

Tanpa Kiba sadari, bola mata biru yang tadinya berbinar kembali meredup karena panggilan namanya. 'Menma' dengan cepat kembali memasang wajah senang dan mengikuti Kiba dari belakang. Meski ia tahu kalau hatinya tak suka dipanggil dengan nama itu. Untuk sekarang ia hanya akan berpikir untuk kesenangan game-nya nanti dan melupakan rasa sedihnya.

Sebenarnya, nama asli pemuda berambut raven itu bukanlah Uzumaki Menma. Nama aslinya adalah Namikaze Naruto. Makanya, saat teman-temannya memanggil nama 'Menma' dirinya sering lupa kalau itu adalah namanya sekarang. Atas alasan itu pula Kiba sering mengoceh tak jelas jika dirinya tidak menoleh atau merespon jika sahabat penyuka anjing itu memanggil namanya.

Manik sapphire-nya menatap gerbang sekolah yang berdiri kokoh di depannya. Ia tersenyum kecil, setidaknya kehidupan barunya tidak seburuk apa yang ia bayangkan. Untuk kali ini, ia memilih untuk melupakan segala rasa negatif yang terus menusuk relung hatinya dan menggantinya dengan rasa positif tentang bayangan game yang akan ia mainkan sepuasnya.

Naruto dan Kiba kini telah sampai di depan sebuah game center favorit mereka. Karena tempatnya yang strategis—terletak di antara sekolah dan rumah mereka—membuat Naruto dan Kiba sering datang kemari sepulang sekolah untuk sekadar penghilang stres akibat otak mereka yang dipaksa untuk terus berpikir di sekolah.

Baru saja mereka memasuki tempat tersebut, pemandangan mereka telah disuguhi oleh berbagai orang yang tengah asyik memainkan beberapa game yang ada di sana. Naruto tertawa keras saat melihat orang yang dikenalnya gagal menembak sasaran dan malah mendapat skor terendah di sana. Padahal, game itu adalah game termudah yang pernah Naruto mainkan.

"Oh, Menma? Kau bisa menertawakan sesuatu yang tak ada humornya, kau baik-baik saja?" pemuda yang ditertawai Naruto tadi bertanya sambil tersenyum datar.

Naruto menghentikan tawanya lalu mengambil pistol yang dipegang pemuda tadi. "Huh, seperti biasa kau tidak pernah bisa membaca situasi, Sai." Dengus Naruto pada pemuda berkulit putih pucat di depannya.

Sosok yang dipanggil Sai menatap 'Menma' datar dan mengambil pose berpikir. Seingatnya dia memang tidak menemukan hal yang lucu tadi, lalu kenapa 'Menma' bisa tertawa?

"Hahahah, sudahlah Sai. Kemampuanmu untuk membaca situasi memang paling buruk." Kiba berjalan ke arah Sai sambil menepuk pundaknya. "Daripada berpikir terus, lebih baik main game!" lanjut Kiba yang langsung ngacir ke arah penukaran tiket dan koin diikuti oleh Sai di belakangnya.

Naruto kemudian menatap remaja gendut di depannya. "Kau tidak ikut bermain Chouji?"

Chouji menoleh seraya memakan keripik kentang yang ada di tangannya. "Aku akan menghabiskan keripik ini dulu baru main,"

Menggendikkan bahu, Naruto pun ikut pergi ke arah penukaran koin untuk bermain game. Dirinya memang tidak satu kelas dengan Sai maupun Chouji, tapi sejak sebulan yang lalu mereka selalu berkumpul di sini setiap sepulang sekolah dan menjadi teman akrab dalam waktu yang singkat.

Meski teman-temannya itu dikatakan sedikit unik di mana Sai—pemuda berkulit pucat bersurai hitam—yang selalu tidak bisa membaca situasi dan sering berbicara seenaknya, lalu Akimichi Chouji—pemuda bersurai cokelat karamel dan memiliki postur tubuh berisi, jika tidak ingin dikatakan gendut—yang selalu makan pada saat apapun dan selalu marah apabila keripik terakhirnya dimakan orang lain, dan terakhir adalah Kiba yang selalu mengoceh tak jelas di mana pun ia berada dan jangan lupakan tingkah fanatiknya pada anjing yang sangat ekstrim. Selalu saja membuat hari-hari Naruto penuh warna hingga ia perlahan bisa menyembuhkan luka di hatinya.

"Psst, sebaiknya kau gunakan ini agar kau menang dari si bodoh Menma itu!" bisik Kiba pada Sai yang terlihat mangut-mangut mengerti.

Naruto menyeringai lebar. Berani sekali mereka bekerja sama untuk mengalahkannya.

"Oi! Siapa yang kalian panggil bodoh!" protesnya tak terima—disertai dengan rengutan imut di wajahnya.

"Tentu saja kau, siapa lagi?" Kiba berkata pedas sembari mengabaikan tatapan imut dari lawan bicaranya.

Sai tersenyum canggung. "Diantara kami yang paling bodoh itu pasti kau, aku sampai saat ini masih bingung kenapa kau selalu menang saat taruhan game." Tambah Sai yang lagi-lagi menghasut emosi temannya.

"Aah! Jangan panggil aku bodoh!"

"Hanya orang bodoh yang akan marah jika dirinya dipanggil bodoh," timpal Chouji polos, masih memakan keripiknya.

Naruto mengembungkan pipinya kesal. "Awas saja ya! Aku pasti akan mengalahkan kalian habis-habisan!"

"Ou! Kami tidak akan kalah!"

Permainan game yang penuh dengan semangat pun dimulai.

.

.

.

Naruto melambaikan tangan pada Kiba saat mereka berpisah di persimpangan jalan—Sai dan Chouji sudah pulang menggunakan kereta di persimpangan sebelumnya.

Rasa senangnya akibat berhasil mengalahkan Kiba berkali-kali masih berbekas di hati. Ia melangkahkan kakinya menuju apartemen yang ia tinggali semenjak tiga bulan yang lalu. Tangan kanannya memutar kenop pintu dengan pelan.

Manik langitnya memandang koridor gelap di depannya. Dirinya memasuki ruang tamu seraya melepas sepatu yang dipakainya. Apartemen yang ia gunakan memang tak terlalu besar. Tapi Naruto sangat suka untuk tinggal di sini. Selain lokasinya tidak jauh dari SMU Konoha, masyarakat di sekitarnya juga sangat ramah dan baik padanya.

Pemuda yang memiliki tiga garis halus dimasing-masing pipinya itu melempar tasnya asal dan segera menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Ia memandang langit-langit kamarnya dengan pandangan datar. Tangannya terangkat ke atas seperti akan menggapai sesuatu hingga akhirnya tangan itu kembali ditariknya dan menempatkannya di kepala.

Mendesah bosan, Naruto mendudukan dirinya di kasur. Dia menatap tangannya sejenak lalu menjentikkannya pelan. Bersamaan dengan jentikan jari itu, kini di hadapan Naruto muncullah semangkuk ramen yang masih menguap. Ia tersenyum cerah, ramen adalah makanan favoritnya. Naruto pun memakan ramen itu dengan lahap.

Jika kalian penasaran mengapa Naruto bisa mengeluarkan ramen entah dari mana asalnya ibarat seorang pesulap saat melakukan pertunjukan, jawaban itu adalah salah besar. Pemuda berkulit tan itu bukanlah berasal dari dunia ini. Bahkan Naruto itu sudah mati, tapi karena ia memiliki kesempatan untuk hidup kembali sebagai warga Isekai setelah dirinya telah berhasil lulus ujian, Naruto pun bisa memiliki sihir atau energi yang di Isekai disebut dengan chakra.

Seharusnya jika Naruto sedang berada di dunia lain, ia tidak diperbolehkan untuk menggunakan chakra dan menyamar menjadi manusia biasa. Tapi, karena kasus Naruto agak sedikit berbeda. Remaja penyuka ramen itu diizinkan menggunakan chakra-nya kapan pun asal tidak di depan manusia biasa.

Alasan Naruto tidak bisa tinggal di dunia asalnya karena dirinya sedang berada dalam pelarian. Apapun yang terjadi, keberadaan Naruto tidak boleh sampai diketahui oleh sang Raja. Karena jika sampai ia ditemukan, nasib dunia asalnya akan tidak seimbang dan hancur.

Terkadang Naruto ingin membenturkan kepala sang Raja pada tembok terdekat karena keegoisannya itu. Akibat alasan sepele di mana sang Raja menolak untuk menjadi Raja karena tidak ingin meninggalkan dirinya sendirian, Naruto harus berpura-pura 'mati' di hadapan semua orang penghuni Isekai agar keseimbangan dunia tak hancur.

Karena dunia asalnya itu adalah tempat orang-orang yang seharusnya sudah mati bisa kembali hidup, mengakibatkan kondisinya yang sedikit unik. Di sana memiliki aturan khusus yang menyatakan bahwa harus ada seorang Raja dan Ratu yang senantiasa menyeimbangkan kekuatan chakra di Isekai.

Dan yang terpilih untuk menjadi Raja selanjutnya adalah teman baiknya; teman sedari kecil; teman yang pertama kali ia temui di Isekai setelah mati; dan teman yang paling ia sayangi.

Awalnya Naruto sangat bangga terhadap temannya karena bisa terpilih untuk menjadi Raja. Namun, temannya itu malah menolak mentah-mentah jabatan itu dengan alasan bahwa ia tidak ingin meninggalkan Naruto sendirian dan menggantikan posisi Naruto dengan Ratu yang tak ia sukai.

Naruto memang sangat senang saat temannya lebih memilih dirinya daripada posisi Raja yang sangat hebat. Tapi, semuanya tidak berjalan lancar seperti yang ia harapkan.

Suatu malam, sang Ratu menghampirinya dan memberitahunya bahwa keseimbangan dunia Isekai akan hancur dalam tiga hari jika temannya tak segera menempati posisi Raja. Naruto yang tak tahu harus apa dan dilanda kegundahan hanya bisa menggigit bibirnya.

Dengan satu hembusan napas panjang. Naruto pun mengangguk pelan dan mengikuti rencana sang Ratu untuk menjalankan sandiwara kematian 'palsunya' di depan sang calon Raja. Rencana itu pun berlangsung sukses tanpa ada seorang pun yang tahu kalau dirinya masih hidup—kecuali sang Ratu.

Beginilah kondisinya sekarang, berada di dunia asing dan harus membaurkan diri dikerumunan orang baru agar dapat diterima di masyarakat. Naruto sangat bersyukur pada kemampuan berkomunikasinya hingga dalam waktu tiga bulan dia bisa berteman dengan orang banyak dan memulai kehidupan baru sebagai Uzumaki Menma—meski Naruto sampai sekarang masih terus merutuk sang Ratu karena warna rambut pirangnya harus berganti menjadi hitam.

Hatinya sampai saat ini memang masih tidak menerima fakta kalau dirinya harus kehilangan orang yang paling ia sayangi. Naruto tidak bisa mengorbankan jutaan warga dunianya mati demi keegoisan dirinya sendiri. Ia lebih memilih mengorbankan dirinya untuk pergi daripada menerima konsekuensi dunianya yang bisa hancur.

"Yosh! Lupakan 'dia' dan hidup maju ke depan—ttebayo!" ia berkata semangat sambil meninju udara dengan kepalan tangan.

Saat bola matanya menatap tumpukan buku di atas meja, ia mendesah pelan. Satu-satunya hal yang ia benci di dunia ini adalah fakta di mana Naruto harus kembali mengerjakan tugas-tugas sekolahnya.

Padahal Naruto itu tak akan bertambah tua karena sudah mati, tapi dirinya harus kembali mengulang pelajaran yang sudah ia pelajari. Huft—menyedihkan.

.

.

.

Sementara itu di Isekai,

Kondisi di dunia ini pada umumnya sama dengan dunia biasa lainnya. Hanya saja di Isekai warga yang tinggal di sana memiliki chakra untuk melakukan berbagai aktivitas yang ada. Karena masayarakat di sana semuanya kekal dan tak bertambah tua, mereka bisa memilih wujud diantara umur 7 sampai 20 tahun. Karena manusia yang mati pada umur itulah yang bisa mendapatkan kehidupan kedua.

Masyarakat yang tinggal di sini memang terkesan bebas menggunakan kekuatan chakra-nya. Hebatnya, meski penggunaan chakra itu bebas, tapi kejahatan yang timbul di dunia ini mendekati nol persen, hal ini disebabkan karena tak ada seorang pun yang bisa menandingi kekuatan Raja dan Ratu. Sekali ada seseorang yang melanggar peraturan, kesalahan si pelaku akan langsung terdengar di istana dan akan mendapatkan hukuman otomatis dari langit. Alasan inilah yang membuat dunia ini bergitu damai dan terhindar dari perang.

Selain itu, masyarakat yang tinggal di sana sama sekali tidak keberatan akan peraturan sepihak dari istana. Mereka lebih merasa bersyukur dengan adanya hukuman tersebut sehingga mereka tidak perlu ikut turun tangan bila ada penjahat.

Berbicara mengenai sang Raja, kini remaja yang memiliki kedudukan tertinggi di Isekai itu tengah menatap beberapa paperwork yang hampir selesai. Ia kemudian melepar kertas-kertas itu ke atas meja seraya berjalan ke luar ruangan.

Jubah yang ia kenakan melambai lembut mengikuti gerakan pemiliknya. Rambut hitam gelapnya terlihat kontras dengan kulit putih yang ia miliki. Bola mata onyx-nya menatap tajam koridor di depannya.

Saat ini, sang Raja sedang dalam mood yang buruk. Para pelayan istana yang berada di sekitarnya pun langsung menunduk ketakutan dan segera pergi meninggalkan sang Raja. Mereka sudah sangat mengerti jika Raja-nya tengah memasang ekspresi 'membunuh' seperti saat ini, maka dia tidak bisa diganggu. Kalau ada yang berani menyapa pasti akan langsung terbang ke langit dan tak akan pernah kembali—kejam sekali.

Langkah sang Raja terhenti di sebuah ruangan. Saat ia menatap pintu di depannya bola matanya melunak sejenak lalu kembali menajam saat mendengar langkah seseorang terhenti di belakangnya.

"Sasuke-kun? Mau sampai kapan kau terus mengunjungi kamar tak berpenghuni ini? Daripada menyendiri di sana, lebih baik kita pergi ke pesta yang diadakan di kota sebelah, engkau bersedia?"

Sebuah suara feminim terdengar di telinganya dengan nada manja. Tangan sang Raja yang bernama lengkap Uchiha Sasuke itu mengepal erat. Sampai kapan pun dirinya tidak sudi menjadi seorang Raja jika saja 'dia' tidak memintanya.

"Hn,"

Sasuke mengabaikan perkataan sang Ratu dan membuka pintu tersebut. Sebelum sang Ratu bernama Haruno Sakura itu memprotes, pintu tersebut telah tertutup dan terkunci rapat oleh chakra tingkat tinggi milik Sasuke.

Gadis berambut merah muda itu mendecak sebal melihat perilaku Sasuke. Meskipun dirinya adalah seorang Ratu tapi Sasuke sama sekali tidak pernah mau berbicara atau menemaninya dalam pesta apapun. Sakura tahu kalau Sasuke masih dalam proses melupakan 'dia' tapi setidaknya sang Raja tak perlu mengurung diri seperti itu kan?

Iris hijau beningnya berkilat penuh ambisi, ia berjanji bahwa dirinya akan mendapatkan hati Sasuke karena penghalang terbesarnya sudah hilang. Menyeringai senang, Sakura pun membalikkan badannya dan berjalan menjauh dari ruangan yang paling ia benci keberadaannya.

Kamar Naruto.

Sasuke kini sedang terduduk di sebuah kursi yang dipinggirnya terdapat sebuah jendela yang besar. Ia memandang foto dirinya dan orang yang paling ia sayangi. Di foto itu nampak seorang pemuda blonde yang tengah merangkulkan lengannya pada remaja raven di sebelahnya. Ekspresi yang dikeluarkan sang blonde terlihat cerah seperti matahari, berbeda dengan sang raven yang terlihat datar dan dingin ibarat suasana malam.

Sasuke mengambil foto itu seraya menggenggamnya erat. Jika kondisi hatinya sedang tidak menentu, dia sering datang ke kamar ini untuk menenangkan diri—meski ia sering mendapatkan bayangan yang tak ingin dilihatnya jika mengingat sahabat dari kecilnya itu.

.

"Naruto! Bertahanlah! Aku akan mengobatimu!" suara Sasuke yang biasanya terdengar dingin dan cuek kala itu dipenuhi dengan rasa panik.

Naruto tersenyum kecil. "Tidak, Sasuke..., aku sudah tak bisa. Berjanjilah untuk menjadi Raja di dunia ini untuk menjaga keseimbangannya," sang blonde berucap pelan dengan nada serak.

"Tidak! Aku perintahkan kau untuk bertahan!" Sasuke tetap memaksa agar Naruto tidak menutup matanya. "Jangan tinggalkan—"

Sang blonde yang sudah tak bisa membuka matanya lebih lama, akhirnya menutupnya perlahan. "Sayonara..., Sasuke...,"

.

Sang raven menutup matanya sejenak, mencoba menghapus memori paling menyakitkan yang ia punya. Tangannya kembali menyimpan foto itu di atas meja. Kini pandangannya teralih pada langit yang terlihat nampak meredup diiringi dengan datangnya gumpalan awan kelabu.

Surai hitam miliknya bergerak lembut saat ia merasakan hembusan angin yang menerpa wajahnya. Bersamaan dengan hembusan angin itu ia mengkonsentrasikan pikirannya untuk tetap tenang. Ia membayangkan gambaran Naruto dibenaknya. Bagi Sasuke, sosok Naruto adalah cahayanya; seseorang yang paling mengerti dirinya; dan seseorang yang paling Sasuke butuhkan di seluruh dunia. Ia tidak bisa melupakan sosok yang sudah berada di hatinya sejak lama dalam waktu singkat.

Iris onyx-nya membola saat ia merasakan chakra yang tak asing berada di luar Isekai. Meski hanya samar dan setipis benang, namun Sasuke bisa merasakan chakra itu. Sebuah chakra hangat yang tak akan pernah Sasuke lupakan seumur hidup.

"Sudah kuduga bahwa cara matimu tiga bulan yang lalu itu cukup mencurigakan," sang Raja menatap langit yang mulai menjatuhkan ribuan air ke tanah dalam waktu bersamaan. "Aku pasti akan menemukanmu, Naruto...,"

.

.

.

Naruto terduduk di kelasnya tepatnya di kelas 2-A. Ia menatap bosan murid-murid yang hari itu nampak terlihat gila karena sesuatu. Tingkah mereka memang sama sekali tidak menggangu Naruto, tapi dirinya sedikit penasaran tentang perilaku aneh teman-teman sekelasnya yang terkesan heboh dari biasanya.

Baru saja Naruto akan menanyakan sesuatu pada teman di sampingnya, Kiba telah muncul seraya menggeser pintu kelas dengan kasar.

"Aku mendengarnya! Katanya akan ada murid-murid kerajaan yang pindah ke sekolah ini!" teriaknya sambil menyilangkan dada—tak lupa dengan seringaian khas miliknya.

Naruto mendesah lelah, ia pikir hal apa yang menarik sehingga membuat orang-orang begitu heboh. Nyatanya hanya murid baru saja. Kudaranai.

Iris langitnya kembali mendongkak ke atas langit sambil menatap rintikan hujan yang mulai turun dengan perlahan. Hari masih pagi, namun langit terlihat enggan untuk bersemangat dan malah memberi hujan yang nampak semakin besar seiring berjalannya waktu.

Dari balik jendela ia bisa melihat beberapa siswa yang sedang berlarian atau memakai payung agar baju yang mereka gunakan tak basah. Bahkan sekumpulan siswa laki-laki malah sengaja menginjak kubangan lumpur agar temannya ikut kotor seperti dirinya. Naruto terkekeh melihatnya, pemandangan barusan mengingatkannya pada waktu ia dan Sasuke dulu kalau mereka kehujanan.

"Oi Menma! Lagi-lagi kau tidak mendengarkanku!" gerutu Kiba—yang entah sejak kapan sudah duduk di depan Naruto.

Naruto menautkan alisnya. "Huh? Memangnya kau bilang apa?" tanyanya memastikan.

Kiba memutar bola matanya bosan. "Aku bilang, akan ada beberapa anggota kerajaan yang pindah ke sini. Mereka terlihat seperti bukan dari dunia ini lho!" katanya antusias.

"Whoah! Jangan bilang kalau kau sudah melihat mereka?" Naruto yang mendengarnya jadi ikut antusias, ia penasaran orang-orang seperti apa yang akan pindah ke sekolahnya.

Sang brunette menyeringai lebar. "Yups, mereka terlihat arogan sih, tapi ada perempuan yang cantik diantara mereka," Kiba mulai mengkhayal perempuan yang ia temui tadi. "Tapi aku tidak suka melihat seorang cowok berambut hitam mirip pantat ayam, dia terlihat ketus sekali!" gerutunya sebal.

Iris langit Naruto sempat melebar. "Huh? Pantat ayam?" perasaan Naruto entah kenapa menjadi tidak enak.

'Jangan bilang.'

Kiba mengambil pose berpikir, mencoba mengingat sosok pemuda yang ditemuinya tadi. "Iya, bola matanya sangat tajam hingga aku tak mau lama-lama melihatnya,"

'Oh tidak!'

"Kalau tidak salah namanya Sa—sasu? Entahlah aku lupa!"

Jantung Naruto terasa berhenti sesaat. Napasnya tercekat, keringat dingin mulai mengucur dari dahinya disertai dengan tubuhnya yang menegang. Tangannya bergetar pelan, mencoba menahan diri untuk tidak segera kabur.

Jika sosok yang dijelaskan oleh Kiba adalah Sasuke. Ia harus berbuat apa?

'Kuso! Aku harus bersembunyi!'


.

Tsudzuku,

.


[Amor vincit omnia = cinta mengalahkan segalanya / warui na = maafkan aku / uso darou!? = bohong kan? / maji ka yo omae! = kau ini, yang benar saja! / atarimai—dattebayo! = tentu saja! / ikuze = ayo berangkat! / kudaranai = tak penting / tsudzuku = bersambung]


Review kalian akan menentukan apakah fict ini layak untuk dilanjut atau tidak :'3

Mind to review?

.

.

.

ChiiKyuu