Set. Set.

Kedua tangan itu dengan lihai menjalin helai-helai indigo menjadi sebuah kepangan yang manis. Jangan tanya dari mana Sasuke mendapatkan keahlian tersebut. Ia sendiri lupa sebabnya ia bersedia melakukan hal itu. Di depannya Hinata duduk dengan tenang dengan jantung berdegup keras sedari tadi.

.

.

.

.

.

Kepang Rambut oleh Phi

.

.

.

.

.

Gadis yang sudah beranjak remaja itu tampak kebingungan. Baju seragamnya kaku berantakan. Tubuhnya bau matahari dan rambutnya yang semula dikucir, malang melintang sehabis dikeringkan. Mata Hinata berkaca-kaca. Ia tidak bisa pulang sekarang. Tidak dalam keadaan seperti ini. Apa yang mau ia kata, pada ayahnya? Di-bully teman sekelas? Hell, no!

Susah payah Hinata menata rambutnya supaya rapi. Tapi tetap saja gagal. Lorong sekolah sudah lama lengang. Sebuah langkah kaki terdengan berjalan semakin dekat. Hinata berdegup. Ia tak ambil resiko bertemu dengan teman-teman sekelasnya lagi.

Lalu sosok itu muncul. Sepasang mata Hinata menatapi sesosok pemuda berambut raven yang sepertinya baru bangun tidur. Ia menghela napas, hanya Sasuke. Preman sekolah yang punya otak di atas rata-rata.

Sasuke mengernyit, dipandangi Hinata. Ia tatap balik dengan bertanya-tanya. Pikirannya masih samar karena matanya baru terbuka beberapa menit lalu. Tentu saja, Sasuke mengangkat alis mendapati pemandangan di depannya. Hinata sedang berdiri dengan posisi miring menariki helai rambutnya. Matanya berkaca-kaca. "Sasuke, bantu aku merapikan rambut."

Seperti kerbau dicocok hidungnya Sasuke berjalan mendekat. Diturunkannya kedua belah tangan Hinata yang hampir frustasi. "Kau punya berapa kunciran?" tanyanya akhirnya setelah selesai mengepang yang sebelah kiri.

Hinata mengacungkan dua jarinya. Dan Sasuke melanjutkan tugasnya, menyempurnakan bagian lainnya. "Lebih baik seperti ini."

"Te-terima kasih banyak Sasuke." Hinata mengelap wajahnya, ingusnya hampir keluar meski air matanya tidak berleleran.

"Hn."

Mereka keluar gedung sekolah. Sasuke berjalan duluan. Di belakangnya Hinata mengejar lalu menyamakan setengah langkah di belakangnya. Kepalanya tertunduk, menghindari sinar matahari sore. Semburatnya yang kemerahan menyebar hangat, melingkupi kebisuan. Sasuke sibuk dengan pikirannya sendiri. Sementara Hinata masih berdegup, tidak mengerti. Kenapa tidak hilang-hilang. Ia mendongak kemudian.

"Cengeng." Sebuah tangan besar menangkup kepala Hinata sekilas, mengejutkannya. Dan warna senja telah berpindah ke kedua pipi gembilnya.

Fin

Proyek Dropbox Shaun-Unni, Mei 2015