Pair : SasuNaru/GaaNaru, ItaDei/SasoDei

Genre : Romance/General

Disclaimer : Kayaknya Kishimoto masih belum ngikhlasin Naruto pada saya..

Age : Sasuke, Gaara, Naruto : 16 tahun

Itachi, Sasori, Deidara : 18 tahun

.

Enjoy!

.

.

Cinta itu Gila

By Naara Akira

WARNING : OOC , AU, GaJe,

Don't like don't read!

Chapter 1

.

Pukul 21.47, Taman bermain kota

Angin dingin berhembus lumayan kencang malam itu. Suara hewan-hewan malam yang saling bersahutan kian mengeras, namun tetap terdengar bagai senandung merdu di telinga. Membuktikan bahwa malam semakin larut.

Dalam kegelapan malam, di bawah remangnya penerangan lampu yang seadanya di sebuah taman kecil, seorang gadis berparas cantik duduk di sebuah ayunan dan menggoyangkan kakinya perlahan hingga menimbulkan suara dencitan saat ayunan tua itu bergoyang.

"Jadi apa yang mau kau bicarakan, Itachi?" Wanita berambut pirang itu menatap pemuda tampan yang ada di hadapannya.

Si pemuda bernama Itachi merapatkan sedikit mantel hitam yang dipakainya, "Dei..."

"Hm?"

Itachi menatap wajahnya sekilas sebelum ia menutup kelopak matanya, lalu menghela nafasnya pelan.

"Aku mau kita pisah..."

.

Pukul 21.48, Halte bus

.

"Apa?" Mata biru gadis berambut pirang itu melebar, menatap pemuda bermata onyx yang ada di depannya dengan tatapan tak percaya, "pu−putus?"

Pemuda berambut raven itu menundukkan kepalanya, "kurasa ini jalan terbaik, Naruto."

Gadis bersurai blonde− Naruto− itu menggigit bibir bawahnya. Mata birunya mulai terasa panas dan pandangannya makin terlihat samar karena air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

"...Kenapa, Sasuke?" Suara isak tangisnya yang susah payah ditahannya sedikit terdengar, begitu lirih.

Sasuke menutup bias onyx di matanya.

.

"Karena kupikir kita sudah tidak cocok lagi." Itachi memasukan kedua tangannya yang mulai terasa membeku ke dalam saku mantelnya, "aku lelah. Aku selalu berjuang sendirian, Dei."

Deidara bangkit dari duduknya, membiarkan ayunan merah itu bergoyang liar ke sana kemari, "a−aku bisa berubah, Itachi! Aku akan berusaha! Kumohon.. jangan lakukan ini..." ucapnya dengan suara yang mulai serak. "Jangan tinggalkan aku."

Itachi menghela nafasnya. Kedua tangannya terulur, membawa tubuh mungil Deidara meringkuk dalam pelukannya.

"Maaf... tapi rasanya itu hanya akan sia-sia saja. Ini yang terbaik untuk kita."

Butiran bening yang sudah menumpuk di pelupuk mata birunya sudah tidak mampu membendung muatannya lagi. Perlahan gumpalan air mata pun menganak sungai, mengalir membasahi pipinya yang merona.

Itachi melepas pelukannya sebelum ia menggenggam tangan Deidara.

"Maafkan aku," bisik Itachi lirih, mengakhiri kata-katanya lalu berbalik pergi. Deidara jatuh berlutut, menangisi cintanya yang kini telah pergi.

.

Sasuke berdiri mematung, diam seribu bahasa. Tanpa berusaha menenangkan Naruto yang menangis dalam hening. Mata onyx-nya hanya dapat menatap kosong gadis berambut pirang itu. Kedua tangan kecilnya menutupi wajah mungilnya yang sudah dibanjiri oleh butiran-butiran hangat.

Sasuke menghampiri gadis itu, "ayo pulang. Aku akan mengantarmu."

Naruto segera menepis tangan Sasuke yang hendak menyentuh punggungnya yang sedikit bergetar. "Aku bisa pulang tanpamu!"

"Tidak akan ada angkutan umum malam-malam begini."

"Bukan urusanmu, Teme! Sudah.. sana pergi! Jangan pedulikan aku lagi!"

Sasuke kembali mematung dalam diam. Namun beberapa detik berikutnya dengan hembusan nafas kesal ia menghampiri motornya, kemudian menghidupkan mesin kendaraan roda dua tersebut. Pemuda itu sempat menolehkan wajahnya kembali ke arah Naruto yang masih belum mau membuka kedua telapak tangannya yang menutupi wajahnya. Setelah memakai helmnya, ia menarik gas dalam-dalam hingga menimbulkan suara raungan motornya yang menerobos kegelapan malam.

.

Suara isak Deidara terdengar pilu di atas ayunan merah yang kembali didudukinya. Sesekali pula ia memaki serta meneriaki nama Itachi di taman sepi itu. Hanya suara tangisnya yang membelah kesunyian malam yang terasa tanpa secercah cahaya penerang bagi Deidara yang tengah disaput rasa kecewa yang dalam.

Lama kelamaan tangisnya pun mereda, menyisakan isakan kecil yang membuat bahu gadis itu masih sedikit bergetar.

"Ayolah, Dei! Kau kuat!" Wanita itu mengepal tangannya, berusaha mengumpulkan lagi semangatnya yang menguap. Ia menyeka jejak air matanya, kemudian mengepalkan kedua tangannya. "Dia cowok membosankan! Kau bisa temukan yang lebih baik!" teriaknya lantang, membuat seorang gelandangan yang sedang pulas di sekitar sana terlonjak kaget.

"Kau baik-baik saja, nona?"

Deidara terperanjat kaget begitu ia menyadari akan kehadiran seorang pemuda yang tiba-tiba muncul dari arah pintu masuk taman, menatap wajah sembabnya dalam diam.

Deidara buru-buru menyeka genangan air mata yang masih menyisa di sudut matanya dengan punggung tangannya. "A─apa?" tanyanya agak sewot.

"Kamu habis nangis? Menangisi apa?"

Deidara memalingkan wajahnya cepat, "bu─bukan urusanmu!"

Pemuda itu menghela nafas sambil mengangkat bahunya, lalu melangkah menuju ayunan hijau yang ada di sebelah Deidara dan mendudukinya.

"Maumu apa, sih! Kenapa malah duduk di sini!"

"Kurasa Nggak ada larangan untuk menggunakan fasilitas umum selama kita nggak merusaknya," sahutnya cuek. Deidara bungkam dan tidak berani berkomentar, membenarkan argumen pemuda misterius itu.

Deidara kembali menundukkan kepalanya sambil memainkan jemari lentiknya. Ia berusaha menghiraukan eksistensi sosok jangkung yang ada di sisinya.

Pemuda itu melirik ke arah Deidara dengan ekor matanya, "kamu masih memikirkan−," Deidara menoleh dengan wajah bingung, "−pria berambut ekor kuda tadi?" lanjutnya lagi.

Kedua bola mata Deidara membulat sempurna, "k─kamu lihat?"

Pemuda itu tidak menjawab. Tangannya sibuk menggerayang di dalam kantong plastik putih yang dibawanya, "nggak sengaja," lalu ia membuka bungkus permen karet dan memasukan isinya ke dalam mulut.

Deidara menggeram kecil dengan wajah memerah, antara marah dan malu. Kedua tangannya menggenggam kuat rantai ayunan yang ada di kedua sisinya. Beberapa saat kemudian ia kembali menunduk. Toh ini memang jalanan umum yang biasa dilewati oleh siapa pun dengan bebas. Ia tidak punya kuasa yang cukup untuk menyalahkan pemuda itu yang tanpa sengaja mendengar percakapan mereka saat itu.

"Dengar semuanya?" tanya Deidara lesu.

Pemuda itu mengangguk sambil menggumam, lalu meniupkan balon besar dari permen karet yang dimakannya.

Deidara makin menunduk frustasi.

"Menyedihkan banget, ya?" gumamnya sembari tertawa hambar.

Pemuda itu menolehkan wajah tenangnya. Mata cokelatnya menyipit saat melihat wanita berambut pirang yang ada di sebelahnya lagi-lagi menunduk, terjebak oleh awan mendung.

Pemuda itu menarik nafas berat, hingga hembusan nafasnya terdengar tipis di telinga Deidara.

Deidara mengedipkan matanya beberapa kali saat merasakan kepalanya dihinggapi oleh sesuatu yang hangat. Ia mendongak, menemukan sebuah tangan besar menepuk-nepuk pelan kepala Deidara.

"Dunia ini nggak akan langsung kiamat hanya karena dia meninggalkanmu. Jalanmu masih benar-benar panjang, bodoh!"

Deidara terperanga memandangi wajah tampan pemuda itu dalam diam. Pemuda itu pun memisahkan telapak tangannya dari kepala Deidara. Kata-kata singkatnya tanpa terasa menyelinap masuk ke dalam relung hatinya yang gelap dan hampa, memberikan secuil cahaya di sana dan kehangatan pada dirinya. Hatinya yang galau kini terasa lebih tenang dan sejuk dari yang sebelumnya. Kata-kata pemuda itu bagai sebuah mantera sihir ajaib yang mampu menepis segala kegelisahannya.

Deidara meraba bagian kepalanya yang ditepuk oleh pemuda itu. Ia bisa melihat senyuman tipis di wajah pemuda itu, nampak sangat serasi dengan wajah tampannya. Mendadak Deidara merasakan suhu panas yang menjalari pipinya.

Ia langsung buang muka sambil melipat tangannya di depan dada, "kau ini menghibur atau sedang mengejekku, sih?"

"Cuma mau memberikanmu sedikit dorongan. Terserah kau mau anggap itu apa," sahutnya berbarengan dengan pecahnya gelembung balon permen karet yang ada di mulutnya.

Deidara menaikkan sebelah alisnya, "ternyata benar. Kau benar-benar orang aneh!" Ia menggoyang ayunan merah itu hingga membuat tubuhnya terayun di udara.

Pemuda itu nampak tidak memperdulikan pendapat Deidara terhadap dirinya. Mulutnya terus bergerak mengunyah permen karet beraroma blueberry.

Sudut bibir Deidara perlahan terangkat, mengukir sebuah senyuman tulus di sana. "Tapi terima kasih sarannya. Aku Deidara. Salam kenal!" ucapnya saat dirinya mengapung di sudut tertinggi.

Pemuda berambut merah itu ikut tersenyum, "Sasori."

.

"SASUKE TEMEE! DASAR JELEK! NORAK! FREAK! NYEBALIN! MUKA PANCI! KEPALA AYAAM!"

Naruto berteriak sejadi-jadinya. Suaranya menggema hingga ke seluruh pelosok jalan raya yang sama sekali sudah tidak dilalui oleh kendaraan lagi, mengingat waktu hampir mencapai tengah malam.

Setelah puas menumpahkan uneg-unegnya, ia kembali mendudukkan dirinya di atas kursi panjang yang ada di halte sepi itu dengan nafas tersengal-sengal.

Harum angin basah terasa kentara saat melalui jalan lengang itu. Penerangan yang sangat tak layak memperburuk suasana sekitar yang terasa sunyi.

Naruto menunduk lemah. Rambut pirangnya ia biarkan bergelung bersama angin. Ia meraba bagian dada kirinya dan meremas kausnya. "Kenapa... di sini masih terasa sakit?" bisiknya lirih pada dirinya sendiri.

Ingin rasanya ia kembali menangis, meraung sekeras-kerasnya hingga ia puas. Tapi ia sudah tidak mau menumpahkan air matanya lagi. Sebanyak apa pun air mata yang ia berikan, tak akan membuat pemuda Uchiha itu kembali padanya.

Naruto mengangkat tangan kirinya, melirik jam tangan kecil yang melingkar manis di lengannya. Ia menghela nafas berat saat matanya mendapati jarum jamnya hampir mengarah pukul tengah malam.

Dengan langkah gontai ia menghampiri sisi jalan raya. Yang nampak di sana hanyalah kekosongan dan kegelapan yang tak berujung.

Gelap...

Kini Naruto baru merasakan kengerian pada warna pekat itu, ketakutan dan khawatiran akan kegelapan yang perlahan dapat menyelusup ke dalam hatinya yang dingin.

Naruto memeluk tubuhnya sendiri, mencari kehangatan yang tersisa di sana. Getaran halus terasa pada saku rok yang ia kenakan. Naruto melirik sakunya lalu menarik keluar handphone merahnya.

Ada pesan masuk.

From : Nee-chan

Kamu sudah pulang? Aku masih di luar, jadi nanti pintunya jangan kau kunci! Pulang nanti aku mau menceritakan sesuatu padamu.

Naruto hanya menyunggingkan senyum kecut. Ia segera membalas pesan singkat dari kakaknya.

To : Nee-chan

Maaf, Nee-chan! Mungkin hari ini aku juga akan pulang telat. Sampai ketemu nanti! Jangan lupa ceritakan 'sesuatu' itu padaku nanti! :D

Setelah mengembalikan hendphone ke dalam sakunya, Naruto mendudukkan dirinya di atas aspal jalan raya, menunggu keberuntungan kalau-kalau tengah malam begini masih ada angkutan umum yang lewat.

Matanya sudah terasa berat. Kantuk pun mulai menggerayangi tubuhnya yang sudah terasa letih. Dengan sekuat tenaga, Naruto terus memperjuangkan kesadarannya agar tetap terjaga.

Selang beberapa menit kemudian, apa yang telah menjadi penantian yang sudah ia tunggu-tunggu akhirnya tiba. Dari kejauhan terdengar suara deru mesin motor yang kian mendekat. Cahaya dari lampu motor membelah kegelapan yang mengklaim sepenuhnya atas jalanan gelap nan sepi itu.

Mata yang sebelumnya sudah terasa ditarik paksa oleh keinginan untuk segera terpejam langsung membuka lebar dengan penuh suka cita. Naruto buru-buru berdiri dan berlari ke bagian tengah jalan tersebut sambil merentangkan kedua tangannya.

Sesuai dengan keinginannya, motor itu pun berhenti. Si pemilik motor melepaskan helm merah yang dipakainya. Rambut merah batanya ia kibaskan ke udara dengan bebas, lalu menatap sebal si gadis pirang yang langsung menghampirinya.

"Apa Anda berniat bunuh diri?" tanya pemuda itu polos dengan wajah datar.

Naruto mengembungkan pipinya, "uhh.. tidak!" lalu ia berlari ke arah belakang pemuda itu dan langsung menaiki jok penumpang di bagian belakang motor.

Pemuda itu menaikkan sebelah alisnya lalu menoleh ke arah belakang, "maaf─"

"Tenang! Kalau sudah sampai rumah nanti pasti aku bayar!" potong Naruto sambil menepuk punggung pemuda itu.

"Tapi ak─."

"Tolong antarkan aku ke taman yang ada di blok M, ya!" selaknya lagi tanpa membiarkan pemuda itu meneruskan kalimatnya.

Pemuda berambut merah itu diam, namun akhirnya ia pasrah dan mengangguk pelan.

Naruto tersenyum senang, "oke, ayo jalan!" serunya semangat.

Pemuda itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya pelan sebelum mengenakan helmnya. Setelah menghidupkan kembali mesin motornya, ia pun membawa motornya ke tempat tujuan sesuai perintah 'wanita tak dikenal' yang sedang duduk manis di belakangnya.

"Kalau sudah malam begini cari taksi di sini susah sekali, ya?" celetuk Naruto memulai topik, "untung masih ada tukang ojek dijam-jam seperti ini!" timpalnya lagi.

Pemuda yang sedang memegang kendali atas kendaraan yang dibawanya melirik motor ninja-nya sekilas. Dari sudut manakah motor kesayangannya yang setiap hari selalu ia sikat bersih itu terlihat seperti motor seorang tukang ojek?

Sang pengemudi hanya dapat menahan suara tawanya. Pundaknya yang agak bergetar terlihat jelas oleh Naruto yang persis berada di belakangnya.

"Kenapa?"

Pemuda itu hanya menggelengkan kepalanya. Naruto mengangkat kedua bahunya dengan alis yang saling bertaut.

Hening memeluk keduanya. Dua puluh menit dihabiskan oleh sunyi. Naruto sedikit menggigil saat angin menyapa lekuk lehernya yang tanpa perlindungan.

"Ah! Stoop!" Naruto menepuk-nepuk punggung pemuda itu, "itu tamannya!" Jari telunjuknya menunjuk sebuah taman yang ada di sisi kiri jalan.

Setelah tepat berada di depan pintu taman, pemuda berambut merah itu menghentikan laju motornya. Naruto turun dari kursi belakang dan merapikan kuncir rambutnya yang agak sedikit berantakan.

"Maaf. Aku harus bayar berapa?" tanya Naruto sambil mengeluarkan sebuah dompet animal unik berwarna hijau dari dalam sakunya. Dari balik helm merahnya pemuda itu terkekeh kecil. Naruto menaikkan sebelah alisnya, heran.

Pemuda itu melepas helmnya, "tidak perlu," jawabnya datar, "aku hanya seorang pelajar yang dituduh sebagai 'tukang ojek' yang melintas tengah malam."

Sesaat rahang Naruto hampir terlihat seperti lepas dari tempatnya. "HIIEE!" jeritnya lebay sambil menatap pemuda yang ada di hadapannya dengan tatapan horror.

.

Pertemuan kembali kita pasti hanyalah keisengan belaka malaikat saja

Semuanya dimulai bagaikan sebuah pertemuan di ujung jalan.

.

xXxXxXxXxXxXxXxXxXxXx

ToBeContinue

xXxXxXxXxXxXxXxXxXxXx

.

Huweeng.. kena WeBe lagiih!

Dan akhirnya malah jadi nunggak fanfic lainnya lagiih.. ToT

Gomen banget untuk 'My lil Brother is My Fiance' dan 'My Flat Senpai'-nya. Saya stuck di chapter itu aja, belum dapet bayangan yang cocok X,(

Tapi keduanya dalam masa pengerjaan, kok! Sekali lagi, maafkan saya :,Q

.

Minta review-nya, ya, minna!