New world
Naruto © Masashi Kishimoto
Harry Potter © JK Rowling
Pair: Naruto and Hinata, slight other pair
The story : New World is mine.
Warning: ooc, typo, gaje, dan sederet kecacatan lainya yang akan readers temui. Jika enggan, klik tombol 'back' jika suka lanjut aja. Jangan lupa review...
Genre: hurt/comfort, friendship,romance and sedikit adventure.
Don't like don't read! I have warn you!
Suffer...
.
.
Suasana begitu tegang. Bahkan, orang-orang yang memandangnya enggan membuka mata mereka. Semua telah hancur, harga dirinya hancur, ia telah dipermalukan didepan semua orang, termasuk orang yang ia anggap spesial. Kuso! Batinya marah.
Terdegar gelak tawa membahana memenuhi koridor, seorang gadis berambut merah sebahu dengan kacamata masih saja tertawa. Teman-teman yang menjadi pengikutnya juga tertawa lepas. Dasar gila! Umpatnya marah.
Mata amesthysnya memandang tajam kearah gadis berambut merah maroon itu. Tangannya terkepal erat, membuat buku-buku tanganya memutih. Ia masih diam tak bersuara. Surai biru keunguan cenderung gelap yang panjang sepinggang itu telah kotor dengan sampah yang baru saja dituangkan di mahkotanya. Serta telur basi, bahkan telah bersatu dengan rambutnya, menyebabkan bau tak sedap menguar darinya.
Semua mata memandangnya jijik dan beberapa diantaranya merasa kasihan. Sabarlah Hinata. Batinya sekali lagi. Menarik nafas lalu mengeluarkanya perlahan dari mulutnya, ia diam tak menanggapi. Matanya perih ingin mengeluarkan cairan itu tapi seakan habis.
"lihatlah! Si cupu Hyuuga ini hanya diam! Mana keberanianmu, Hyuuga!" si merah maroon itu menghentikan tawanya melihat musuhnya diam tak menanggapi.
"mungkin, dia bisu! Ngomong Hyuuga, dasar jalang!" umpat salah satu pengikut gadis berambut merah maroon itu.
"kau betul, Tayuya. Dia memang jalang!" matanya menatap melecehkan kerah gadis yang dipanggil hinata.
"hahaha...,kau benar Karin. Dia memang jalang murahan yang bisa dengan mudah kita temukan di rumah malam." Tayuya melirik kearah Karin. Karin hanya mendengus geli.
"jawab jalang! Bisu, eh?" hinata masih menunduk. Namun, setelah mengambil satu tarikan nafas kuat ia meninggalkan karin dan segerombolanya. Mengacuhkan rintangan yang sesekali meraihnya bahkan ingin menjatuhkanya. Diam adalah pilihan bijak.
_Diam bukan berarti bisu, dan aku juga masih memiliki mulut dan lidahku_
Mata karin nyalang memandang tak percaya. Hinata yang selalu menangis ketika ia kerjai telah kebal dengan siksaan yang ia beri. Sial! Anak itu, memang ingin mengajak aku perang!. Karin, Tayuya dan gengnya mendelik tajam. Alis mereka menyatu, giginya bergeletuk tajam. "Hyuuga! Aku belum selesai!" tukas Karin marah, namun sejurus kemudian ia mengontrol emosinya. Ia menyeringai lalu terkekeh, "mungkin dia ingin megajak kita perang, guys! Biarkan saja. Ada saatnya kita membuatnya menangis lagi, huuu!"
Mereka telah meninggalkan koridor menuju kelas. Waktu bersenang-senang mereka telah habis ketika bel baru saja berbunyi. Masih dengan tawa yang cetar membahana, mereka memasuki kelas tanpa berniat membersihkan kotoran yang mereka buat dikoridor.
Hinata melangkahkan cepat menuju kamar mandi, lalu menguncinya. Ia ingin membersihkan diri sekarang. Ia kotor dan bau. Melepaskan seragam hitam berdasi senada, berkemeja putih yang dilengkapi blazer, serta rok rimpel selututnya. Ia akan mandi, dirinya tak ingin masuk ke kelas kalau belum bersih. Sekolahnya ini memang yang terbaik. Kamar mandinya pun sangat besar untuk ukuran kamar mandi sekolah. Menghela nafas, ia memulai acara mandinya. Membuang daun dan sampah yang menyelinap dihelaian rambutnya yang kusut karena jambakan Karin tadi. Pelecehan dan penyiksaan yang sempurna.
Ditempat yang berbeda dan di waktu yang sama...
"profesor, apa maksud anda mengumpulkan kami semua?" perempuan agak keriput bertopi mancung hitam panjang bertanya ingin diperjelas alasanya. Matanya memandang heran kearah lelaki tua berjenggot perak panjang itu. Mulutnya hampir tertutupi kumisnya yang memanjang.
Lelaki tua itu tersenyum kilat, lalu berkata, " akan ada gadis yang tak di duga datang ke Hogwarts!"
Semua mata memandangnya yang membuat lelaki berjenggot perak panjang itu merasa risih. " gadis? Jika yang kau maksud sama menyebalkanya seperti Tunggal Potter itu, akan saya pastikan membuat keributan" ujar lelaki berhidung agak bengkok dengan jubah hitam serta rambut sedagu hitam panjangnya. Si lelaki tua itu hanya tersenyum seraya berkata, " kurasa kau akan mendapatkan jawabanmu ketika gadis yang kumaksud datang kemari, profesor Snape"
Hendak melanjutkan pertanyaanya yang selanjutnya, lelaki tua itu palah menyuruh semua guru Hogwarts meninggalkan ruanganya, segera.
Dengan langkah cepat semuanya pergi, meninggalkan ruangan yang terpajang berbagai foto bergerak kepala sekolah Hogwarts itu. Hanya tertinggal satu orang, karena sang lelaki tua itu memanggilnya, "Hagrid, aku ingin bicara kepadamu!" lelaki bertubuh tinggi besar dengan jenggot dan kumisnya yang semrawut mendekat kearah suara. " ya, profesor Dumbledor."
" takdir mengatakan lain. Kurasa" profesor Dumbledor melanjutkan, " dia akan datang tak lama lagi". Hagrid bingung, alisnya menyernyit heran. Siapa? Siapa yang dimaksud? "dia? Siapa profesor Dumledor? Apakah Dewan Kementrian mengetahui hal ini?"
"kau tenang saja, Hagrid. Dewan Kementrian sudah tahu, tadi". Hagrid tersenyum masam.
Perasaan was-was menyelimutinya. "kapan? Tadi? Tak salah!" Hagrid bimbang "ya begitulah"
Hagrid tambah bimbang dan bingung, "kapan kau mengetahuinya, profesor?" hagrid masih bertanya, meminta penjelasan. Dirinya terlalu kaget mendengarnya. "tadi siang aku menemui profesor Trelawney, dan yah.., ia berkata ' seorang gadis bermata aneh akan menjadi bagian dunia sihir melawan Voldemort bersama Harry. Kelembutanya akan hadir sebagai penenang keresahan yang akan tercipta oleh Dementor. Kedatanganya begitu dinantikan. Hinata, gadis dari Jepang, anak yang terbuang dari klanya dan santapan empuk bullyan temanya' begitulah..." jelas Dumbledor.
Hagrid membatu dengan kabar ini. Ia mengangguk lalu meninggalkan ruangan penuh foto itu, "baiklah..,kurasa aku harus pergi"
"baiklah Hagrid, silahkan" tersenyum.
.
.
.
Kelas telah sepi, matahari pun nampak mulai turun di depan bukit. Bayang-bayang pohon semakin memanjang dari arah jendela, cahaya jingga pun mulai menempatkan diri diawan. Mata Hinata memandang jauh melihat kekursinya. Tasnya masih tergeletak. Seharian ia tak mengikuti pelajaran, ia pun tidak menulis. Mungkin ia akan meminjam buku dari si penyuka anjing itu, temanya.
Ia memasuki kelas mengambil tasnya yang tak berdaya di kursi pojok dan menggendongnya. Ia akan pulang cepat. Melewati koridor yang kosong, melewati gerbang yang hampir dikunci oleh petugas, berjalan menuju halte bis sendirian. Ia selalu sendiri.
Dalam perjalanan dirumah ia terus memikirkan kenapa ia menjadi sasaran empuk senpainya – Karin. Tiada henti-hentinya Karin mengerjainya. Hinata kan tidak bersalah, ia juga tak tahu apa-apa yang ia buat ke Karin, karena ia jarang bertemu Karin. Jadi, wajarkan kalo penasaran.
"Hahaha..dasar Hyuuga lemah, Hyuuga buangan. Dasar jalang!"
Hinata mengingat sekilah kata-kata Karin. Dirinya yang lemahlah, dirinya yang buanganlah, dirinya yang jalang lah, eh! Jalang! Dirinya bukan jalang! Ia akui kalau kenyataan itu memang benar, tapi, jalang! Coret. Itu anggapan yang memuakan. 'kau yang jalang Karin-senpai, bukan aku!' pikirnya. Senyum pun terkembang. Lalu perkataan itu muncul lagi.
"hahaha...,kau benar Karin. Dia memang jalang murahan yang bisa dengan mudah kita temukan di rumah malam."
Apa? Jalang murahan yang bisa dengan mudah ditemukan dirumah malam?. Bahkan mereka mengatakanya begitu. Memang benar-benar mereka mencerminkan dirinya sendiri sebagai jalang yang menuduh orang lain dengan nama 'jalang'. Good, semuanya, Karin, Tayuya dan geng nya memang Kuso! Orang yang suka menuduh orang lain jalang adalah kaca terbalik yang mencerminkan kebenaran yang ada. Berarti yang jalang bukan Hinata tapi yang mengatakanya. Ia tersenyum lagi. Dia sampai di kompleks Hyuuga. Setelah membayar, ia menuruni bis dan berjalan menyusuri kompleks Hyuuga menuju rumahnya. Manshion Hyuuga.
_kau menuduhku jalang! Berarti kau adalah cerminan terbalik dari diriku yang kau sebut jalang. Karena kau adalah jalang yang sesungguhnya_
Langit menggelap, semburat awan jingga kemerahan telah mengilang dari pandangan mata. Lampu-lampu jalan menyala disepanjang trotoar, memperlihatkan padanya taman yang tak jauh dari kompleks perumahan Hyuuga begitu terang. Air mancur yang ada ditengah pun mengkelap-kelip karena lampu warna-warni. Angin semakin berhembus membawa suhu dingin, menurutnya. Ia semakin mengeratkan piyamanya.
Gadis bersurai gelap itu mengenakan piyama berwarna biru langit polos berlengan panjang. Rambutnya terurai basah karena ritual mandinya. Matanya menatap hamparan langit malam, bulan sudah ada diatas sana. Bibir kecilnya menyunggingkan senyum hangat. Sehangat senyum pria itu.
"kau terlalu sulit kuraih bahkan aku harus rela jadi penguntit senyumu" matanya menerawang langit. Ia memang bodoh. Dengan mudah ia terpikat oleh senyum pria itu, begitu mudah terpikat dengan keceriaanya, begitu mudah terpikat dengan pancaran mata biru langitnya yang selalu cerah tak berawan. Stalker sejati.
"Naruto-kun.." sedikit memanggil namanya adalah obat. Jika ia tak bisa meraih semangat itu mungkin menjadi stalker tak masalah hanya untuk melihat senyumnya. Pipinya merona hebat membayangkan hal konyol itu. Membayangkan dirinya membuntuti Naruto setiap hari, mengendap-endap bak pencuri.
"Hinata..." suara itu membuyarkan lamunanya. Suara bariton yang sangat dikenalinya. Ia menolehkan kepalanya kebelakang, tepat di ambang pintu, seseorang berusaha masuk dengan wajah bersemu merah menggumamkan namanya. Hinata mendekati sumber suara, menatap tak percaya, "ya ampun...,kau mabuk ni-nisan"
Hinata memapah Niisanya menuju kasur king zise nya. Alkhohol menguar menyusup masuk ke indra penciumanya. Menidurkanya, melepas sepatunya dan kaos kakinya, membuka kancing jas hitam mahal itu, melonggarkan dasi yang melilit leher niisanya. "Hinataaa..." gumaman itu lagi.
"sebentar Neji-nii, aku akan mengambilkan air hangat untukmu" dengan sopanya Hinata meninggalkan Neji yang terkapar di kasur . Tak lama setelah kepergian Hinata, Neji bangkit mendudukan dirinya, memegang kepalanya yang serasa berdenyut-denyut. Tapi, kesadaranya masih ada, layaknya orang biasa.
"sialan..aku dijebak!" Neji mengumpat, matanya sedikit redup. Merasa berada di tempat yang berbeda, ia tahu berada di kamar siapa? Pasti adiik sepupunya. Sedikit seringai muncul. Lantas ia melepaskan jas dan kemejanya menampilkan tubuh atletisnya. Tak peduli nanti mungkin Hinata akan menjerit melihatnya, toh suara teriakanya tak terlalu keras. Neji terkekeh.
Hinata datang dengan nampan berisi baskon dan air hangat serta sebotol obat 'aspirin' tertera di labelnya. "ni-nisan..." wajah hinata bersemu merah, matanya tak berani menatap Neji yang setengah telanjang. "kenapa, eh! Kau tersipu melihatku?" kekeh Neji melecehkan.
Hinata meletakan nampanya di nakas samping tempat tidurnya. Mengacuhkan Neji yang melecehkanya. "se-sebaiknya ni-nisan minum dulu" menyodorkan air minum yang ia bawa ke arah Neji, Neji menerimanya dan menengguknya dengan cepat menyisakan setengah. Lalu, mengambil aspirin dan mengunyahnya, melihat Hinata mematung dengan wajah tertunduk Neji menyeringai. Kedua kalinya dirinya menyeringai dikamar Hinata malam ini.
"harusnya kau menerima perjodohan itu?" hinata menatap Neji tak percaya, Neji menyambung kalimatnya "dengan begitu kau tak akan kehilangan gelar Heiress karena kau anak tertua!"
Hinata kecewa dengan ucapan Neji. Menerimanya adalah petaka. "ti-tidak mungkin" Hinata menggelengkan kepalanya pelan dengan pandangan nanar. Seringaian Neji hilang terganti dengan dengusan kecil. "jadi, kau menolakku,eh!"
Lagi-lagi hinata tak percaya. Yang ia tahu ia memang akan dijodohkan, tetapi bukan dengan Neji, sepupunya sendiri. Jika itu terjadi, langkah yang dapat hinata tempuh adalah seppuku*
"ni-nisan jangan bercanda..."
"aku serius Hinata. Harusnya kau menjadi istriku!" bentaknya marah. Emosi mengambil alih hatinya, pikiranya kalang-kabut."tapi..otousan tak pe-pernah memberitahuku. Jikapun a-aku tahu aku pasti a-akan me-menolaknya" air mata mengalir deras. Hinata ingin sekali berbaikan dengan Neji. Tapi, karena keluarganya, karena tradisinya hubungan saudara itu retak. Hyuuga memegang tradisi dengan baik. Neji diam tak melanjutkan bicaranya.
"ke-kenapa? Apa otousan sudah menyebarkanya? Berapa hari lagi? Meski aku menolak, aku tak menjamin akan selesai"
"ya begitulah. Kurasa dua tahun. Hanya menunggu dua tahun, dan kita sudah bertunangan tanpa sepengetahuanku" Neji tersenyum getir. Bagaikan burung yang terkurung disangkarnya, susah keluar karena pintunya terkunci. Seperti takdir yang mengikat namun sukar dirubah.
"du-dua tahun? Itu, berati, aku sudah lulus" Hinata lemas, ia jatuh terduduk dengan lutut sebagai tumpuan. Dirinya belum bisa meraih cintanya, bagaimana jika dirinya menikahi orang yang tidak sama dengan klanya? Mereka, para sesepuh Hyuuga pasti akan menolaknya. Memaksanya menikahi orang yang sudah di tentukan oleh keluarganya.
Merasa terlalu drama, Neji melangkahkan kakinya meninggalkan kamar Hinata menuju kamarnya. Pusing juga berurusan dengan remaja yang belum dewasa, namun tubuhnya terlihat begitu sempurna seperti perempuan dewasa. Beberapa bagian menonjol dengan jelas. Hanya menunggu waktu yang pas untuk dippanen.
Kepergian Neji ia gunakan untuk menangis. Dadanya sakit. Tak tahukah, Hinata menyukai Naruto, bukan Neji. Meninggalkan Naruto artinya meninggalkan setengah semangatnya yang sedang berkembang kembali. Selama ini Hinata hanya diam, menuruti semua keinginan ayahnya. Dirinya ingin bebas. Tak bisakah? Tak bisakah ayahnya mengizinkan dirinya menggapai cintanya. Nasib, takdir, terlalu kejam baginya.
Tubuhnya ia senderkan di pinggiran tempat tidurnya. Mendongakan kepalanya menatap lampu kamar. Hinata ingin berteriak tapi dirinya tidak diajarkan melakukan hal yang tidak mencerminkan seorang Hyuuga, yang ada hanya tata krama, kesopanan, keanggunan dan sederet peraturan yang tak boleh di langgar. Persetan dengan tata karama! Persetan dengan sopan! Persetan dengan keanggunan! Persetan peraturan! Harusnya dulu dirinya ikut pergi bersama kaasanya, meninggalkan dunia dan menjadi penghuni surga sebagai malaikat kecil. Bukan hidup terlantar menjadi pencundang yang takut akan kenyataan. Lama ia terisak, ia tertidur. Matanya bengkak, pipi dan Hidungnya memerah. Sangat kontras dengan kulitnya yang seputih bagaikan Mayat hidup tertidur. Kenyataan pahit selalu menang dari kebahagiaan, karena kebahagiaan telah hilang bersama dengan orang yang terkasih.
_. Kenyataan pahit selalu menang dari kebahagiaan, karena kebahagiaan telah hilang bersama dengan orang yang terkasih_
.
.
Gomen kalo jelek, untuk pair ai masih nyari yang pantes. Soalnya agak berpetualang sedikit sih..hehehe*plakk
Kepanjangan ya, maaf mungkin itu bagian prolognya.
Mohon review, biar tambah semangat bikinya. Karena review reader sangat membantu*kedip-kedip.
Salam kenal, Uzumakikiroi.
Khekhe...
Ai...
