Semoga tak bosan melihat kemunculan saya di Fandom Naruto, hehe... Lagi nyempetin diri menulis fanfict di tengah-tengah kesibukan (sibuk apa, coba?) eaa... *mikir*
Yah, dari pada kalian sibuk mikirin apa kesibukan saya, alangkah baiknya kalau simak fanfiksi berikut. #eh?
Looking for My Hero
.
Disclaimer: Masashi Kishimoto
.
###
Hinata menghimpun nafas panjang sebelum membenahi stetoscop di kedua telinganya. Telapak tangannya terasa mulai berkeringat dan oh, detak jantungnyalah yang paling tak tertahankan. Ia berusaha mengankat wajahnya, sekedar meyakinkan diri bahwa tak ada apapun yang terjadi. Ya, semua akan baik-baik saja, pasti segera berakhir.
"Ka-kau... kenapa, Sasuke?" tanya Hinata berusaha tenang, meski nada suaranya tetap bergetar. Onyx yang tajam itu menatap lavendernya. Astaga! Bertatap muka dengan remaja bercap paling 'sinis' di Konoha ternyata seperti ini rasanya. Dag. Dig. Dug.
Mengapa jadi seperti ini?
Entah mengapa kini rasanya Hinata kembali menjadi sosok belia yang mulai tahu apa yang namanya jatuh cinta. Jiah! Seharusnya ini bukan pertama kali ia rasakan. Tapi, mengapa perasaannya begitu kacau saat ini? Oh, ya, ya... Salahkan ia yang sampai jatuh cinta pada makhluk paling jutek tapi sangat cool itu. Siapa yang tak kenal Uchiha Sasuke? Laki-laki tanggung yang cueknya tak tertandingi. Meski begitu, tetap saja jadi incaran para gadis di sekitarnya.
Tapi masalahnya, Hinata petugas kesehatan (magang) di sini. Tak sepantasnya ia diam-diam memendam rasa pada murid yang tampan itu.
"Bu guru, sakitnya di sebelah sini." Uchiha Sasuke menyeringai tipis, perlahan kedua tangannya membuka kancing kemeja putihnya, memang tak semua kancing ia buka, hanya tiga biji saja, tapi cukuplah itu memperlihatkan dadanya yang putih nan bidang. Kurang ajar! Membuat Hinata bergairah untuk meremasnya saja. Oops! Rupanya kau mempermainkan aku, Sasuke! Batin Hinata menggerutu.
"Bu guru?" Sasuke menajamkan onyxnya, membuat gadis Hyuuga itu makin tergugup.
"Di sini." Sekali lagi Sasuke menunjuk dadanya dengan jemari kanan, namun Hinata tak juga sadar dari lamunan hingga jemari Sasuke meraih punggung tangan Hinata dan membawanya menyentuh dadanya.
"Oh, oya baiklah." Hinata menarik tangannya yang basah oleh keringat dingin, lantas buru-buru meletakkan sungkup stetoscop-nya di dada Sasuke, "coba tarik nafas."
Sasuke menurut.
"Hembuskan."
Menurut lagi.
"Apa yang kau rasakan?"
"Debar jantungmu."
Dieng!
Hinata sweatdrop, 'Apa-apaan bocah ini?' Lipatan tanya terbentuk di kening Hinata. Apa maksudnya, coba?
"Sasuke, kau benar-benar sakit atau tidak? Atau kau hanya malas mengikuti pelajaran Kakashi-sensei?" Hinata kembali mengalungkan stetoskopnya di leher dan duduk di kursi plastik samping ranjang pasien. Bukannya menjawab, Sasuke justru menyeringai setan sebelum bangkit dan melompat dari ranjang.
"Kurasa kau punya sentuhan ajaib. Aku merasa lebih baik sekarang."
Hinata hanya terdiam dengan sepasang mata mengerjap beberapa kali. Ia masih terpaku menatap kepergian Sasuke dengan langkah khas elegan seorang Uchiha, memasukkan kedua tangan di saku celana.
"Waaaaaaaaaa! Uchiha mempermainkan aku," miris Hinata dengan mengacak-acak rambut panjangnya dengan frustasi. Di saat yang sama, Anko muncul dari pintu masuk. Ia sempat memperhatikan Sasuke dan Hinata bergantian tadi, Pemuda nakal itu menyeringai, haa pasti ia melakukannya lagi, Anko sudah biasa dengan tingkah remaja itu. Dan jika ia perhatikan Hinata saat ini, sepertinya gadis itu sangat shock dengan tindakan salah satu muridnya itu.
"Dia memang begitu, jangan terlalu memikirkannya." Anko duduk di sebelah rekan kerja barunya itu, lantas menepuk-nepuk bahu Hinata yang kini terlihat kacau. Lavendernya berkaca-kaca, mungkin Hinata sudah menangis dan berteriak jika tak ada Anko di sisihnya.
"Kali ini dia sangat keterlaluan, ya?" Anko basa-basi, prihatin. Hinata hanya mengangguk setuju, dan tanpa Sadar airmatanya turut menetes ketika mengangguk.
"Eh? Kenapa menangis? Jangan berlebihan Hinata, dia hanya siswa nakal." Anko panik, ia meraba dan mengacak laci meja, berharap menemukan tisu di sana.
"Ah, sebenarnya... ini bu-bukan soal siswa nakal saja," jelas Hinata dengan suara sesenggukan. "Aku mencarinya sejak lama, bahkan bertahun-tahun aku berusaha menemukannya." Airmata itu makin deras mengalir.
"Hinata? Apa maksudmu?" Anko mengernyit heran. Ia urung mencari tisu karena yang ia temukan hanya kain kasa. Tak mungkin ia sodorkan benda itu pada temannya yang ditimpa muram durja, bukan?
"Dua tahun lalu..."
"Tolooooong..."
Hinata mengerang, berontak dan berteriak sekeras yang ia bisa. Berharap ada seseorang yang datang menolongnya dari gangguan berandal tengik yang terkenal cabul. Tapi percuma, hari sudah terlalu malam. Konoha sudah nyenyak saat ini. Tak akan seperti ini jadinya jika ia bisa sabar menunggu Neji menjemputnya dari kampus.
"Jangan takut nona manis..."
Hinata mundur, berusaha menjaga jarak dari pemuda-pemuda brandal itu.
"Tak akan menyakitkan jika kau menurut..."
Hinata mundur lagi, dan mereka terus maju. Gadis itu tak tahu harus berbuat apa, ia makin panik ketika sadar punggungnya membentur dinding. Jalan buntu, ia tak bisa lari lagi.
"Tenang saja! Ini akan cepat selesai..."
Dengan gerakan cepat Hinata mengobok-obok isi tasnya, berusaha meraih ponsel untuk menghubungi Neji. Tapi baru saja ponsel ia genggam, salah satu dari mereka sudah merebut dan mengantonginya di saku celana. Tanpa sadar, lelehan airmata sudah menggenangi wajah bersihnya. "Kembalikan!"
"Hey, kau sangat cantik saat menangis..."
Hinata merasa pandangannya mulai kabur, entah karena selaput airmata atau sebentar lagi ia akan pingsan saking takutnya.
"Ayo, Nona..."
Hinata menangis sejadinya. Seorang dari mereka mulai menggeret paksa tubuhnya yang gemetar hebat.
"Tidak! Lepaskan aku!" Ia mendorong dan memukul-mukulkan tas jinjingnya pada mereka.
"Hahaha, kau berani juga rupanya."
"Seperti kucing betina, kau manis tapi pemalu."
"Ayo, ikut aku!"
"Hey, aku yang lebih dulu!"
"Enak saja! Aku yang-"
JDUUAAKK!
"Waaaddaaaauuuhh!"
Hey, apa yang terjadi? Tiba-tiba saja salah satu dari mereka limbung dan akhirnya terjatuh sambil memegangi kepalanya yang mengeluarkan darah segar. Hinata mengerjap, begitu juga dengan beberapa preman di sekitarnya.
JDUUAAK!
Batu sebesar kepalan tangan mendarat di kepala salah seorang preman, dan lagi-lagi, satu dari mereka limbung.
"Dua kali tepat sasaran."
Hinata menengok kebelakang. Sosok pemuda berpakaian serba hitam dan juga topi berwarna senada tengah bertepuk tangan pelan.
"Siapa kau?" si preman yang ditubuhnya penuh tato berteriak.
"Ah, iya juga... kita belum kenalan ya?" jawab pemuda itu, tenang. Melangkah pelan menghampiri, Hinata mulai bisa melihat wajahnya meski topi yang dikenakannya sedikit menghalangi. Mata onyx dan wajahnnya sangat putih. Tampan.
Tiba-tiba saja ada rasa lega di benak Hinata. Ini seperti drama di tivi. Saat sang gadis dalam bahaya, maka hero tampan datang dari arah yang tak terduga. Aisshh...tak sepantasnya Hinata berpikir yang tidak-tidak. Iya kalau pemuda asing itu bisa mengalahkan preman yang jumlahya; satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh. Ya, tujuh orang. Astaga! Bagaimanapun jumlah mereka lebih banyak. Sebentar lagi pasti mereka akan mengeroyoknya dan tamat. Bisa saja komplotan lainnya akan datang membantu. Kabarnya di kota ini terkenal dengan kumpulan preman malam yang menyebut dirinya Akatsuki. Ya, Akatsuki yang paling ditakuti. Tapi, sepertinya mereka bukan bagian dari Akatsuki, karena komplotan preman itu tak memakai jaket hitam bermotif awan merah; khas Akatsuki. Tapi, namanya preman tetap saja berbahaya. Iya, kan?
"Bagaimana kalau aku yang lebih dulu bersama nona ini?" Lelaki misterius itu tersenyum. Senyum yang tak biasa menurut Hinata. Manis namun mengerikan. Dengan satu gerakan cepat Hinata telah diambil alih oleh si pemuda asing, merangkulnya erat dan kembali menjauh dari komplotan preman. Wajah garang mulai terlihat dari pemuda-pemuda penjahat ibu kota itu. Satu persatu dari mereka mulai mengeluarkan senjata apapun yang mereka bawa, cutter, pisau lipat, bahkan ada yang meraih batu yang berserakan di tanah. Apapun yang mereka lakukan tak menyurutkan nyali pemuda itu, ia justru mengeratkan dekapannya pada Hinata. Oh, shit! Apa jangan-jangan lelaki itu tak lebih dari para berandalan? Hinata merinding ketika tiba-tiba wajah pemuda itu mendekat ke wajahnya, hingga gadis itu dapat mencium aroma mint dari nafasnya yang hangat. Aissshh, itu membuat Hinata berdebar tak karuan. "Kuhitung sampai tiga. Larilah secepat mungkin, akan kutahan mereka semampuku," bisik pemuda itu. Hinata mengangkat wajahnya, tatap matanya menyiratkan tanya, 'bagaimana denganmu?'
"Tenang! Aku juga akan kabur setelah kau jauh. Jadi, lakukan yang kuperintahkan."
Hinata mengangguk singkat.
"Satu," bisik lelaki itu sambil memindahkan posisi Hinata dibelakang punggungnya.
"Dua," Ia melangkah maju, meraih botol minuman sisa yang tergeletak di jalan, mungkin saja itu milik para preman.
"Tiga."
PYAAARRR!
Ia membenturkan tubuh botol itu di permukaan tiang listrik, kemudian menyeringai dengan menyodorkan ujung runcing botolnya di wajah salah satu preman.
...dan pertikaianpun terjadi...
Sementara itu, Hinata sudah berlari jauh. Secepat yang ia bisa. Tanpa arah, tanpa tujuan. Yang pasti harus jauh, sangat jauh dari tempat para preman. "Hosh...hosh..." Hinata tersengal, dadanya naik turun. Entah berapa lama ia terus berlari. Lalu? Apa pemuda itu juga sudah kabur? Bagaimana kalau... ah, tidak! Ia pasti baik-baik saja. Harus. Karena Hinata akan mencarinya dan mengucap terimakasih, meski tak jelas kapan.
"Oh, itu sebabnya kau memohon agar bisa magang di sini? Meskipun belum waktunya?" Anko mulai paham dengan sikap Hinata yang aneh. Tepat sebulan lalu, gadis itu datang menemui Tsunade-sama (kepala sekolah) dan memohon agar ia diijinkan kerja magang di sekolah. Jadi apapun, guru, admin, atau petugas kesehatan. Beruntung gadis cantik berambut indigo itu putri dari Hiashi yang tak lain adalah teman kuliah Tsunade dulu.
"Iya. Sebulan lalu. aku tak sengaja melihat penolongku itu keluar dari gerbang sekolah ini." Hinata menyeka airmatanya. "Tapi, ternyata dia seperti itu... hiks, aku kecewa." Ia kembali menangis.
"Hahahaha, aneh kau! Jika benar niatmu mencarinya hanya untuk mengucap terimakasih, seharusnya kau tak perlu sampai bekerja di sini," tutur Anko. "Kau kan bisa menunggunya di gerbang sekolah dan langsung berterimakasih. Kecuali..."
"Kecuali apa?"
"Kau datang untuk PDKT!"
"? PDKT?" Hinata menaikkan sebelah sudut bibirnya, "yang benar saja, Senpai. Kau tahu sendiri, kan? Dia masih bocah, dan aku? Lebih tua darinya," tuturnya panjang lebar, sedangkan Anko tersenyum ketika melihat perubahan ekspresi Hinata yang begitu drastis. Entah, Anko sendiri tak bisa membaca raut wajah Hinata. Gadis itu memiliki beberapa raut emosi yang tercampur, antara; tersipu, malu, sebal, kesal, dan entahlah, mungkin saja jatuh cinta.
"Jangan sok tua, kau! Ingatlah, seharusnya kau juga masih belajar di kampus, kan?"
"Ah, iya juga." Hinata tersudut juga.
"Beda usia kalian juga pasti tidak seberapa, antara 2-3 tahun saja."
Hinata memutar bola matanya. Membiarkan seniornya itu mengatakan apapun yang ia mau. Dari dulu, Hinata tak pandai bicara, dan sama sekali tak punya bakat berdebat.
"Well, kau tak keberatan membelikanku makan siang? Aku sangat lapar," mohon Anko dengan tatapan anak anjing yang manja. Gadis Hyuuga itu mengangguk patuh, sebelum melangkah gontai menuju kantin.
Hinata duduk sejenak di bangku kantin sambil menunggu pecel pesanannya. Pikirannya menerawang, tentang pemuda bermata onyx yang membuatnya terjebak di tempat yang tak seharusnya.
"Apa aku berhenti saja?" Hinata bertumpu dagu. "Dan meneruskan kuliah seperti biasa."
Clik!
Hinata tersentak. Sebuah jentikan jari membuatnya tersadar jika dua porsi pecelnya sudah tersaji di meja.
"Melamun lagi eh, nona?" Menyeringai tipis, Sasuke duduk tepat di depan Hinata.
"Eh, sejak kapan kau ada di sini?"
"Sejak kau sampai di sini."
Hinata sweatdrop.
"Ah-ha... pesananku sudah siap rupanya, ya sudah, aku permisi dulu."
"Hinata tunggu!" cegah Sasuke. Gadis itu menoleh, rasanya ia lebih suka dipanggil dengan nama Hinata daripada Bu guru atau nona.
"Kau, bisa memeriksaku lagi? Kurasa dadaku sakit lagi."
Hinata memutar bola matanya. Acuh tak acuh. jangan harap bisa menipu sampai dua kali, hey bocah! Pikir Hinata, kesal.
Gadis itu berlalu, meninggalkan Sasuke yang meringis dan tetap mencengkram dadanya.
Tbc...
