You, Me and Our Memories
.
.
.
01
.
.
.
^_^ Happy Reading ^_^
.
.
.
"Kau sudah siap?" tanya seorang pria pada seorang gadis yang tengah duduk sambil memegang erat pasport dan tiket pesawatnya.
Gadis itu adalah Byun Baekhyun. Seorang gadis dengan perawakan mungil, berkulit putih bak pualam dan memiliki mata yang sipit. Dia seorang berkebangsaan Korea yang sudah sepuluh tahun ini tinggal dan menimba ilmu serta kemudian bekerja di salah satu rumah sakit terkemuka di Kanada.
Sedangkan pria yang bertanya padanya adalah Choi Minho, seseorang yang selalu merangkulnya selama sepuluh tahun terakhir ini. seseorang yang tak pernah memprotes tangisnya, seseorang yang sangat mengerti dia lebih dari dirinya sendiri. Dan juga, dia adalah pria yang membuat rasa percaya dirinya tumbuh. Lebih dari semua itu, Minho mencintainya dengan sangat tulus.
"Kau masih merasakan takut?" tanya Minho lembut sambil duduk disampingnya dan meraih tangannya untuk di genggam.
"Seharusnya aku tak perlu merasa takut, tapi Korea, terutama Gyeonggi-do, nyatanya masih menyisakan ketakutan dihatiku, Oppa."
"Aku akan selalu disampingmu, sayang." Minho membelai sayang pipi Baekhyun. Gadis itu tersenyum tipis dengan sikap dan perlakuan Minho terhadapnya.
"Tak bisakah kepergian kita di tunda?" ujarnya sambil menatap sepasang iris hitam milik kekasihnya itu. Minho kembali tersenyum lalu menggeleng pelan.
"Kita sudah menolak undangan itu lebih dari lima kali, haruskah sekarang lagi?"
Baekhyun berpikir sejenak. Ada salah satu rumah sakit di Seoul yang beberapa kali mengiriminya dan Minho surat permohonan agar keduanya bersedia untuk menjadi tenaga medis di rumah sakit itu. Tapi setiap kali surat itu datanga dan Minho meminta persetujuannya, dia selalu menolak.
Seperti yang tadi dia katakan, Korea, terutama Gyeonggi-do, memberinya satu kenangan yang sampai saat ini masih sering membuatnya sesak nafas bila mengingatnya.
Dan setelah lebih dari lima kali, Minho tak lagi meminta persetujuannya, pria itu memutuskan sendiri dan dia harus menerimanya.
Baekhyun mengeratkan genggamannya pada tangan Minho.
"Aku siap kembali ke negara kita oppa."
Minho mengembangkan senyum tampannya setelah mendengar jawaban Baekhyun.
"Kau tak perlu khawatir, ada aku yang akan selalu menemani menghadapi mereka yang pernah melukaimu sayang."
Baekhyun mengangguk, dia yakin Minho akan melakukan hal itu.
Sepuluh tahun lalu, dia bukan siapa-siapa dan tak memiliki apa-apa ketika datang ke negara bagian Amerika ini. Dia tiba di negara ini hanya berbekal uang seadanya dan secarik alamat milik Minho yang diberikan Sooyoung, kakak Minho padanya. Sooyoung adalah salah satu guru magang di sekolahnya dulu.
Entah apa yang dikatakan Sooyoung pada Minho saat itu, yang jelas, pria tampan itu sangat baik dalam segala hal padanya. Di negara ini, Minho yang bertanggungjawab atas dirinya.
Dan sejak hari itu sampai dengan saat ini, hidupnya bergantung pada Minho. Di samping pria itu, dia merasa nyaman, merasa disayangi dan merasa di cintai. Minho tak pernah lupa memberinya semangat agar airmata tak lagi membasahi kelopak matanya. Minho adalah satu alasannya untuk tetap berdiri tegak sampai dengan hari ini.
"Baiklah! Ayo kita pulang Baekhyunie."
.
.
.
REPUBLIK KOREA SELATAN
"Kyaaaaaaaaa!"
Semua mata tertuju pada gadis yang baru saja memekik kegirangan. Raut penuh tanya tergambar jelas di wajah-wajah itu.
"Kau tak tahu ini kantor Xiou Luhan?"
Luhan mengabaikan kalimat bernada dingin dari atasannya tadi, dia memilih asik dengan ponselnya sambil senyum-senyum sendiri. Persis seperti orang gila.
"Xiou Luhan!"
Luhan melirik sekilas pria tinggi berambut ikal itu, kemudian terdengar dengusan sebal dari mulutnya.
"Kenapa kau berisik sekali Chanyeol bujangnim. Hah!"
Chanyeol melirik Luhan sinis.
"Teriakanmu itu menganggu yang lain, tingkahmu juga."
Luhan melipat tangannya di dada, bibirnya terpout sempurna, matanya menatap Chanyeol dengan tatapan kesalnya.
"Aku punya alasan melakukan hal itu Chanyeol-ssi."
"Apapun alasanmu, tidak dibenarkan kau berteriak di dalam kantor. Kalau kau ingin berteriak, keluar dari tempat ini. Jangan menganggu kalau kau tak membantu pekerjaan temanmu."
Luhan semakin mempoutkan bibirnya dengan teguran Chanyeol.
"Jangan terlalu di pikirkan Luhanie. Dia memang seperti itu. Katakan padaku, kenapa kau tadi berteriak?"
Tatapan Luhan berubah saat sesosok gadis yang menjadi teman satu timnya disini, berbisik pelan padanya.
"Aku bahagia."
"Wae?"
"Akhirnya, setelah sepuluh tahun berlalu, aku akan kembali bertemu dengan Baekhyunie."
"MWO?"
Chanyeol mengalihkan tatapannya pada teman Luhan yang sudah berdiri dari duduknya. Sangat terlihat jelas betapa gadis itu saat ini sedang mengalami syok.
"Kau kenapa Kyungie-ya?" tanya Luhan polos.
"Apa yang sebenarnya sedang kau lakukan Luhanie. Tadi kau yang berteriak, sekarang kau membuat temanmu berteriak. Kau ini kenapa?"
"Aku tak melakukan apa-apa. Aku hanya mengatakan padanya, setelah sepuluh tahun berlalu, akhirnya dalam waktu dekat aku akan melihat Baekhyun lagi. Dia pulang hari ini dari Amerika, itu alasanku berteriak tadi. Aku bahagia, akhirnya aku akan bertemu lagi dengan sahabatku. Dari sini, ada yang salah dengan apa yang ku katakan?"
Gluk!
Kebahagiaan yang dirasakan oleh Luhan, tak serta merta membuat yang lainnya merasakan hal yang sama. Tatapan marah dan jengah yang tadi di lempar Chanyeol, sekarang berubah kelam dan gelap. Tak jauh beda denga keadaan Kyungsoo dan satu pria lainnya yang duduk tak jauh dari Chanyeol, yang dari name tagnya diketahui bernama Kim Jongin.
"Wae? Kenapa kalian bertiga memasang wajah seperti itu? Tidakkah kalian ikut senang dengan kabar ini?" tanya Luhan masih dengan tatapan polosnya.
Gadis mungil itu tak tahu gejolak luar biasa yang dirasakan ketiga temannya setelah mendengar kabar itu.
Baekhyun bukanlah nama yang baru mereka kenal. Sepuluh tahun yang lalu, mereka pernah mengukir kenangan di sekolah yang sama dengan gadis itu.
Tapi...
Bila Luhan mengukir kenangan indahnya dengan Baekhyun disana, lain halnya dengan Chanyeol, Kyungsoo dan Jongin serta beberapa teman mereka lainnya, mereka mengukirkan kenangan buruk terhadap gadis itu, yang pada akhirnya membuat gadis itu memutuskan untuk meninggalkan Korea.
"Satu juta won untukmu, Park Chanyeol-ssi. Lalu kapan kau akan memutuskannya?"
Chanyeol melirik temannya, yang kalau dilihat dari cara berpakaiannya, sangat mencerminkan bahwa dia anak orang berada. Senyum Chanyeol terkembang sinis. Sambil mengibaskan uang yang baru di terimanya, Chanyeol mendekati temannya itu, lalu berbisik.
"Hari ini mungkin. Kau tahu Kim Suho, berkencan dengannya selama satu bulan ini, membuatku sangat muak."
"Kau yakin? Yang ku lihat kau menyukai caranya memperlakukanmu?" komentar satu-satunya perempuan diantara tiga orang pria yang ada di tempat itu.
"Bukankah itu artinya aktingku sangat bagus chagi, hingga mata cantikmu itu bisa terkelabui." Chanyeol mengerling nakal pada gadis itu.
"Hyung! Apa kita tidak keterlaluan? Mempermainkan dia?"
"Wait! Siapa ini yang sedang bicara? Jongin-ssi! Bukankah kau yang memiliki ide ini. Aku hanya menyediakan uang untuk teman kita ini." Ujar Suho sambil merangkul Jongin.
"Tapi..."
"Dia pantas mendapatkan semua itu Jongin-ah. Seharusnya, saat Chanyeollie mengutarakan cintanya, dia berpikir cerdas, mana mungkin flower boy di sekolah kita ini jatuh cinta pada gadis cupu yang bau ikan seperti dia. Ish! Mengingatnya saja membuatku ingin muntah."
Tawa ketiga orang, selain Jongin meledak setelah apa yang dikatakan Kyungsoo. Mereka terlihat sangat bahagia, berbeda dengan seorang gadis berkacamata tebal yang rambut pendeknya terlihat lusuh, yang sejak tadi berdiri di balik pintu.
Hatinya hancur, tubuhnya bergetar hebata karena hinaan itu. Hingga tanpa sadar, kotak bekal yang sejatinya ingin dia berikan pada Chanyeol, jatuh menghantam lantai.
Prang!
.
.
.
Baekhyun menghirup dalam udara negera tempatnya dilahirkan ini.
Beberapa jam yang lalu, mereka mendarat dengan selamat di Incheon airport. Sekujur tubuh Baekhyu terasa bergetar hebat saat untuk pertama kalinya setelah sepuluh tahun, kakinya kembali menginjak Korea.
Tangisnya tak lagi bisa di bendung saat matanya menangkap sosok ibunya di lobi bandara. Wanita yang melahirkannya itu semakin terlihat tua dengan gurat lelah yang tercetak jelas di wajahnya.
Wanita paruhbaya itu, selama sepuluh tahun ini, mendapatkan kabar Baekhyun hanya melalui sambungan telpon. Baekhyun tak bersedia pulang, meski dia kadang memohon pada putrinya itu. Mungkin Baekhyun terkesan kejam, tapi bila menilik bagaimana masalalu gadis itu, semua pasti mengerti. Tak mudah bagi Baekhyun untuk kembali ke negara yang di sinilah kenangan paling buruk dalam hidupnya pernah terukir.
"Kau cantik dengan rambut coklat ini sayang." Puji sang ibu yang diamini Baekhyun dengan sebuah senyuman. Dengan manja, dia kemudian merebahkan kepalanya di pundak sang ibu.
"Bogoshippo eomma."
"Nado."
Tak ada pembicaraan yang terjadi setelah itu, Baekhyun memilih memejamkan matanya sejenak. Sedangkan Minho terlihat menikmati udara di sepanjang jalan menuju Gyeonggi-do.
Sekitar dua jam kemudian, Baekhyun tiba di kampung halamannya. Di depan sebuah rumah kecil dengan desaign seperti rumah tradisional Korea.
Tak banyak yang berubah dari rumahnya, selain catnya yang sepertinya baru di ganti. Halaman rumahnya masih sama seperti sepuluh tahun lalu, cukup luas dengan di hiasi rumput dan beberapa tanaman perdu.
"Aku langsung kembali ke Seoul ya." Minho menghampiri Baekhyun dan menyentuh lembut pundak gadis itu. Membuat gadis itu tersadar dari lamunannya.
"Tidak masuk dulu Minho-ssi?" ibu Baekhyun bertanya, dia berdiri di dekat Baekhyun, jadi tentunya mendengar apa yang dikatakan Minho pada putrinya itu.
"Tidak ahjumma. Mian... mungkin lain waktu saya bisa bergabung dengan anda dan Baekhyunie. Masih ada urusan yang harus saya selesaikan di Seoul."
Ibu Baekhyun tersenyum maklum dan mengangguk mengerti.
"Aku pergi dulu."
"Ehm... hati-hati. Jangan lupa mengabariku kalau kau sudah sampai Seoul."
Minho tersenyum dan mengangguk.
"Lusa aku akan menjemputmu." Ujar Minho sambil masuk ke dalam mobilnya. Lambaian tangan Baekhyun mengantarnya kembali ke Seoul.
Sepeninggal Seoul, ibu Baekhyun meraih pinggang putrinya itu lalu membawa Baekhyun masuk ke dalam rumah mereka.
Suasana haru kembali tercipta saat Baekhyun menginjakkan kakinya kembali ke dalam rumah tempat tumbuh.
"Eomma! Hari ini aku akan membuat sup ikan lagi."
"Lagi? Kemarin kau sudah membuatnya, sekarang kau akan membuatnya lagi?"
Baekhyun yang saat ini berusia sepuluh tahun, mengangguk dengan semangat. Dengan gesit dan cekatan, dia mulai menyiapkan bahan-bahan untuk membuat sup. Dia juga sangat mahir dalam memotong ikan yang akan menjadi bahan utama pembuatan supnya.
Ibu Baekhyun tersenyum dan mengelus pelan kepala putri tunggalnya itu.
"Eomma tahu, suatu saat nanti, aku akan menjadi pembuat sup terlezat di Korea ini. Setiap orang yang sudah mencicipi sup buatanku, mereka pasti akan kembali lagi nanti. Pokoknya, sup buatanku akan membuat semua orang ketagihan untuk memakannya eomma."
Sekelebat kenangan masalalu, menyapa Baekhyun tiba-tiba, saat kakinya menginjak dapur rumahnya.
Beberapa tahun silam, kegiatan membuat sup adalah kegiatan yang paling di sukainya. Meski saat itu usianya masih sangat muda, sup buatannya tak kalah enak dengan sup buatan ibunya. Tapi... sepuluh tahun lalu semua berubah.
"Kau bawa sup itu lagi? Wae? Kau ingin aku memakannya setiap hari? Demi Tuhan Byun Baekhyun, semua itu membuatku muak!"
Baekhyun tersentak kaget, saat kenangan buruk itu kembali menyapanya singkat, tangan ibunya menyentuh lembut lengannya.
"Kau pasti sangat lapar. Bagaimana kalau ibu buatkan makanan untukmu?"
Baekhyun menatap ibunya, lalu mengangguk pelan. Dia memang sangat lapar di waktu menjelang siang ini.
"Duduklah!" Baekhyun menuruti ibunya, dia duduk di ruang makan yang letaknya tak jauh dari dapur. Kedua matanya menatap kesibukan sang ibu, menyiapkan bahan makanan untuk dimasaknya.
"Bagaimana kedai sup kita eomma?"
Ibu Baekhyun menatap putrinya sekilas, lalu kembali sibuk dengan bahan makanannya.
"Berjalan dengan lancar dan sekarang semakin ramai."
"Shin ahjumma masih membantu eomma?"
"Tentu saja sayang. Eomma juga menambah dua orang lagi untuk membantu kami." Ujar ibu Baekhyun menjelaskan.
Baekhyun menatap punggung tua itu. Lalu dia berdiri dari duduknya dan menghampiri ibunya. Tanpa di komando, Baekhyun langsung memeluk ibunya dari belakang.
"Hyunnie sangat menyayangi eomma. Mian, sepuluh tahun terakhir ini, Hyunnie terpaksa meninggalkan eomma seorang diri." Baekhyun tak lagi bisa menyembunyikan tangisnya. Airmata gadis itu jatuh membasahi bahu ibunya.
Ibu Baekhyun juga merasakan hal yang sama, perempuan berusia hampir lima puluh tahun itu, berbalik lalu memeluk erat putrinya.
"Eomma juga sangat menyayangimu Hyunnie. Eomma sangat menyayangimu."
Pasangan ibu dan anak itu saling berpelukan dengan erat. Mereka kembali melepaskan rindu yang tertahan selama sepuluh tahun terakhir ini.
"Oh ya! Temanmu, dia sering datang ke kedai kita. Paling tidak seminggu dua kali. Bahkan meski sekarang dia tinggal di Seoul, dia masih menyempatkan diri untuk mengunjungi kedai kita."
"Nuguya?" tanya Baekhyun sambil mengusap sisa airmata di wajah ibunya.
"Park Chanyeol."
Baekhyun merasakan sekujur tubuhnya kaku saat ibunya menyebut nama itu. Matanya bergerak gelisah. Berbagai macam pertanyaan menghampiri pikirannya. Kenapa? Ada apa? Bagaimana bisa pria itu datang ke tempat ibunya?
"Dia mengatakan pada eomma, kalau dia teman sekolahmu. Awalnya dia datang untuk mencarimu, tapi begitu eomma mengatakan kau sudah pergi, dia menjadi cukup sering datang ke kedai kita, hanya untuk sekedar makan sup ikan buatan eomma."
Baekhyun masih diam. Semua pertanyaan yang tadi terlintas di pikirannya, terjawab sudah.
Yang harus diketahui, Baekhyun tak bercerita pada ibunya tentang kejadian buruk yang dialaminya di sekolah. Dia pergi ke Kanada dengan mengatakan pada ibunya bahwa dia mendapatkan bea siswa untuk melanjutkan sekolah disana, saat itu, dia di bantu Sooyoung untuk berbicara pada ibunya pada saat itu. Awalnya sang ibu menolak, tapi Sooyoung tak putus memberi pengertian pada ibunya, hingga kemudian sang ibu melepasnya.
Kisah kelamnya selama di bangku sekolah tinggi itu, hanya dia yang tahu dan kisah itu, akan tetap dia simpan sampai dia mati. Ibunya tak perlu tahu dan tak perlu ikut merasakan kesedihan yang dia rasakan.
"Kau mengenalnya 'kan sayang?"
Pertanyaan ibunya menyadarkan Baekhyun, dengan senyum tipisnya, gadis itu mengangguk. Chanyeol memang temannya, bahkan mereka pernah memiliki hubungan singkat atas nama taruhan. Dan bodohnya, saat itu dia benar-benar jatuh cinta pada pria itu.
Tak ingin terlalu larut dalam ingatan masa lalunya, Baekhyun kemudian merengek pada sang ibu untuk segera di buatkan makanan.
"Aku sangat lapar sekarang eomma."
.
.
.
Dua hari berlalu dengan sangat cepat. Pagi ini, Minho kembali datang ke rumah Baekhyun, dia menjemput kekasihnya itu untuk diajak ke rumah sakit. Bukan karena Baekhyun sakit, tapi karena mulai hari ini, kekasihnya itu juga akan bergabung di rumah sakit yang sama dengannya.
"Kami pergi dulu eomma." Pamit Baekhyun pada sang ibu.
"Sesekali kau harus pulang kesini sayang." Baekhyun tersenyum dan mengangguk pelan.
Pasangan ibu dan anak itu kemudian saling berpelukan. Ibu Baekhyun tak sanggup menyembunyikan kesedihannya, baru dua hari putrinya itu kembali ke pelukannya, sekarang dia harus kembali melepaskan sang putri demi tugasnya.
"Jangan menangis eomma, kita sangat dekat sekarang ini. Hyunnie janji akan pulang setiap akhir minggu."
Ibu Baekhyun mengangguk sambil menyusut airmatanya.
"Kami pergi dulu ahjumma!" pamit Minho kali ini.
"Tolong jangan bosan untuk terus menjaganya Minho-ssi."
"Nde." Minho mengangguk dan tersenyum sopan.
Mereka berdua kemudian masuk ke dalam mobil. Lambaian tangan perempuan paruh baya itu, menghantar kepergian Baekhyun dan Minho menuju Seoul.
"Ada yang menganggu pikiranmu sayang?" tanya Minho yang merasa sedikit aneh dengan sikap pendiam Baekhyun kali ini.
"Ehm." Baekhyun tersenyum kecil, lalu menggeleng pelan.
"Kau tahu, kau sangat buruk dalam hal berbohong Baekhyunie. Jadi jangan mencoba melakukan hal itu."
Baekhyun menarik nafas pelan, lalu mulailah dia menceritakan hal yang menganggu pikirannya dua hari terakhir ini. Tak banyak yang dapat dia ceritakan sebenarnya, selain tentang kedatangan Chanyeol ke kedai ibunya seminggu dua kali selama sepuluh tahun terakhir ini. dan hal itu cukup menganggu pikirannya. Apa maksud semua ini?
"Dia datang ke kedai eommonie seminggu dua kali selama sepuluh tahun terakhir ini?" tanya Minho begitu Baekhyun mengakhiri ceritanya.
"Ehm. Aku tak mengerti kenapa dia melakukan hal itu, tapi yang pasti hal ini sangat mengangguku."
Minho meraih tangan Baekhyun, lalu digenggamnya erat jari-jari ramping itu.
"Tenanglah sayang."
"Aku tak bisa tenang oppa. Setelah dia membuatku seperti orang tak berguna, lalu untuk apa dia melakukan hal itu? apa yang dia harapkan dengan melakukan hal itu?"
"Mungkin dia menyesali perbuatannya padamu. Dan menurutnya ini adalah cara terbaik untuknya agar bisa menemuimu."
"Aku tak ingin bertemu dengannya."
"Sayang!"
"Aku memaafkan tindakannya dan juga teman-temannya yang lain, sudah. Hanya itu, aku tak ingin lagi mengenal mereka sebagai teman."
"Baekhyunie!"
"Teman tak akan menyakiti temannya oppa. Seorang teman tak akan mentertawakan duka temannya."
Minho mengurangi kecepatan mobilnya, lalu kemudian meminggirkan mobil itu dan berhenti kemudian.
Dengan penuh kasih dia menarik kekasihnya itu masuk ke dalam pelukannya.
"Jangan menangis lagi sayang. Kau berjanji padaku untuk lebih banyak tersenyum 'kan?" Minho menepuk-nepuk pelan punggung sempit Baekhyun, seolah ingin membuat kekasihnya itu tenang dalam dekap hangatnya.
Sepuluh tahun lalu, keadaan Baekhyun jauh lebih mengenaskan dari sekarang. Saat pertama kali masuk ke sekolah barunya, gadis itu menjadi sangat penyendiri, dia juga banyak menghindari interaksi dengan teman-temannya. Gadis itu juga lebih banyak menundukkan kepalanya. Dan setiap kali mendengar suara orang tertawa keras, Baekhyun akan panik dan langsung menutup telinganya.
"Sssstttt... aku tahu kau marah dengan semua keadaan ini. Tapi, seperti yang pernah ku katakan padamu dulu, jangan siksa dirimu dengan dendammu sayang. Yakinlah mereka sudah mendapatkan hukuman setimpal atas perbuatan mereka padamu."
Minho melonggarkan pelukannya pada Baekhyun, kemudian dengan mesra dia mencium bibir tipis kekasihnya itu.
"Aku mencintaimu Baekhyunie."
"Aku juga mencintaimu, oppa."
.
.
.
"Selamat datang di rumah sakit pusat Seoul Byun Baekhyun-ssi. Senang akhirnya anda bersedia menjawab undangan kami untuk bergabung di sini." Sambut Direktur utama rumah sakit pusat Seoul saat menerima Baekhyun dan Minho di ruangannya.
Baekhyun membungkuk sebentar dan kemudian mengembangkan senyum cantiknya.
"Saya merasa sangat tersanjung dengan sambutan ini Daepyeonim. Terimakasih untuk kesabaran anda menghadapi sikat keras kepala saya yang tak kunjung mengiyakan undangan anda."
Pria paruh baya itu tersenyum lebar.
"Saya bisa memakluminya."
"Gomawo." Baekhyun kembali membungkukkan badannya.
"Hmm... Baekhyun-ssi! Sebenarnya saya tak enak mengatakan hal ini. Saya memanggil anda untuk bergabung di sini, tapi kemudian saya tak bisa memberikan posisi yang nyaman untuk kalian, terutama anda Baekhyun-ssi."
Baekhyun menatap Minho tak mengerti.
"Saya sudah menempatkan Minho-ssi di bagian UGD. Dan untuk anda, saya mohon kesediaan anda untuk di tempatkan di salah satu klinik di perusahaan properti ternama di Seoul ini."
Baekhyun belum menjawab, dia tahu sang direktur masih ingin melanjutkan apa yang dikatakannya.
"Rumah sakit kita ini, menjalin kerjasama dengan beberapa perusahaan, termasuk perusahaan properti itu. Dokter yang biasanya bertugas disana, sedang mengambil cuti untuk melahirkan, jadi selama dia cuti, saya harap anda tak keberatan untuk menggantikan posisinya. Hanya sampai dia melahirkan."
Baekhyun tersenyum kecil.
"Kenapa anda terlihat segan mengatakan hal ini, daepyonim. Bagi saya, tugas seorang dokter tak hanya berada di rumah sakit bukan? Saya tak masalah di tempatkan dimana pun."
"Saya merasa tak enak. Jauh-jauh saya memanggil anda tapi pekerjaan yang bisa saya berikan hanya di sebuah klinik."
"Tak perlu merasa seperti itu." Baekhyun tersenyum menenangkan. "Kapan saya mulai bekerja disana?"
"Hari ini. Saya akan memberitahukan pada mereka tentang kedatangan anda."
"Baiklah. Kalau seperti itu, mungkin saya harus undur diri dari sini. Senang bertemu anda Kim daepyeonim." Baekhyun berdiri dari duduknya, lalu membungkuk. Hal yang sama juga dilakukan Minho. Mereka kemudian pamit keluar dari ruangan direktur itu.
Sepanjang berjalan di koridor, Minho tak melepas cekalan tangannya. Yang terjadi sama sekali tak disangkanya. Dia pikir, Baekhyun juga akan berada di bagian yang sama dengannya, sama seperti ketika mereka masih tinggal di Kanada. Tapi kenyataannya tidak. Baekhyun bertugas di luar rumah sakit ini.
"Apa kita akan terus seperti ini sampai keluar rumah sakit, oppa?"
"Kenapa? Kau tak suka?" Baekhyun tersenyum mendapati nada merajuk pada suara Minho. Jarang-jarang Minho bersikap seperti ini padanya.
"Sangat suka. Tapi ... oppa tahukan kalau aku harus segera berangkat ke perusahaan itu?"
"Aku tak membayangkan kita akan berbeda tugas kali ini sayang."
"Berarti Tuhan sedang mengajariku untuk bisa mandiri."
"Kau sepertinya tak terbebani dengan tugas baru ini?"
Baekhyun menatap Minho dan kembali tersenyum.
"Ini tugas kemanusiaan oppa. Lagi pula aku tak di kirim ke negara konflik, aku hanya dikirim ke sebuah perusahaan yang jaraknya hanya dua kilometer dari sini. Kalau oppa mau dan ada waktu, bukankah oppa bisa mengunjungiku?"
"Hmm... tapi melihatmu ada di sekitarku sudah menjadi candu untukku. Kalau sekarang kita di tempatkan di bagian yang berbeda, bagaimana kalau aku kejang-kejang karena tak melihatmu. Kau mau bertanggungjawab?"
Baekhyun tersenyum lebar.
"Aigo... kenapa kau jadi sangat manja Minho-ssi." Baekhyun mencubit gemas pipi Minho.
"Aku begini karena dirimu sayang."
Minho hampir meraih pinggang Baekhyun ketika dengan cepat gadis itu menolaknya.
"Ini Korea, bukan Kanada, kalau kau ingin memelukku, nanti di apartemen kau bisa melakukannya sampai puas. Sekarang aku harus pergi."
"Jaga dirimu baik-baik. Begitu sampai, hubungi aku dan nanti kalau kau pulang kau juga harus memberitahuku. Aku akan menjemputmu."
"Arraseo oppa. Bye!"
.
.
.
Sekitar pukul setengah sebelas, Baekhyun tiba di perusahaan yang dimaksud. Bangungan tinggi berlantai tujuh itu terlihat ekslusif, dibandingkan dengan bangunan yang lainnya, yang berada dikawasan yang sama, perusahaan ini terlihat lebih asri dan sepertinya akan menjadi tempat kerja yang nyaman untuknya.
Dengan penuh percaya diri, Baekhyun masuk ke lobi perusahaan dan mendekati meja informasi.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" sambut petugas informasi ramah.
"Saya Byun Baekhyun dari rumah sakit pusat Seoul. Saya di minta untuk menemui Hwang bujangnim."
"Ah ya! Hwang bujangnim baru saja menginfokan pada saya tentang kedatangan anda. Mari saya antar menemui beliau." Petugas itu tersenyum, lalu keluar dari tempatnya dan menghela Baekhyun untuk mengikuti langkahnya.
Sementara itu, di salah satu ruang meeting di Exordium Corp, tengah berkumpul sekitar tiga puluh orang yang memiliki jabatan penting di perusahaan ini. Mulai dari level kepala bagian hingga level general manager. Mereka berkumpul disana atas permintaan Tiffany Hwang, manager HRD di perusahaan ini.
"Nunna! Tidakkah ini terlalu berlebihan? Hanya untuk menyambut dokter sementara untuk klinik kita saja, kau sampai harus mengumpulkan kami di tempat ini. Kau tahu ini sangat membuang waktu."
"Ya benar, apa yang dikatakan Chanyeol benar. Haruskah dengan penyambutan seperti ini, dia disini sifatnya hanya sementara, sampai dokter Kang melahirkan. Kenapa jug..."
"Chanyeol-ssi dan juga Donghae-ssi. Mungkin dia disini memang sifatnya hanya sementara, tapi meski begitu prosedur perusahaan harus tetap dilakukan bukan? Tujuan kita hadir disini bukan hanya untuk haha hihi berkenalan tapi untuk memberitahunya siapa-siapa orang yang harus dia hubungi ketika ada pasien dari divisi manapun, anda-anda semua mengerti? Lagi pula ini tak akan lama, hanya sekitar tiga puluh menit."
Tok...tok... tok...
"Masuk!" balas Tiffany.
Pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok perempuan dengan setelan kantor rapi.
"Dokternya sudah datang Hwang bujangnim!" beritahu petugas itu.
"Suruh masuk!" perintah Tiffany yang langsung diangguki petugas tadi.
"Silahkan masuk Nona Byun!"
Petugas itu membuka pintu ruang meeting selebar mungkin. Baekhyun tersenyum kecil lalu melangkah masuk ke ruangan itu.
Tap
Tap
Tap
Suasana yang tadi sempat gaduh, hening seketika saat Baekhyun masuk dan berdiri di tengah-tengah antara meja yang tertata rapi di sisi kanan dan kiri. Tak ada satu orang pun disana yang tak melihat ke arah Baekhyun. Dari tatapan mereka, terpancar jelas kekaguman. Hari ini Baekhyun memang terlihat cantik dengan kemeja biru bermotif garis vertikal dengan ukuran over size, yang dipadu dengan rok span sebatas lutut. Rambut pendek berwarna kecoklatan di tata sedemikian. Memberi kesan lain pada dirinya, Baekhyun tak hanya terlihat cantik, tapi juga sexy di waktu yang bersamaan.
"Annyeonghashimika! Byun Baekhyun imnida."
Baekhyun membungkuk sembilan puluh derajat, lalu kembali menegakkan tubuhnya berselang sepuluh detik kemudian. Pada saat itulah, dia menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan itu.
Dengan tindakannya itu, tampaknya di sangat menyesalinya. Karena pada saat itulah, matanya menagkap sosok Chanyeol berada di antara orang-orang itu. Dari balik jas dokter yang di letakkan diantara kedua tangannya, jari-jari Baekhyun terkepal seketika.
Pria itu, pria yang dihindarinya selama ini. Tapi hari ini, Tuhan mentakdirkan dia kembali bertemu dengan orang yang sudah menancapkan pisau dihatinya.
"Kau tak perlu takut menghadapi mereka Baekhyunie. Mereka bukan orang yang pantas kau takuti. Kau harus percaya diri, karena itulah cara terbaik menunjukkan pada mereka, bahwa kau tak mudah jatuh karena sebuah penindasan."
Ucapan Minho beberapa tahun yang lalu kembali terngiang di telinganya. Benar! Dia tak perlu memiliki rasa takut. Dia orang yang berguna saat ini, dia tak perlu takut di tindas lagi. Baekhyun berusaha mengatur nafasnya sepelan mungkin. Hatinya yang tadi sempat terbakar dendam, kini mulai terasa tenang.
Tiffany menghampiri Baekhyun, lalu memperkenalkan dirinya.
"Saya Tiffany Hwang. Manager HRD untuk perusahaan ini. senang bertemu dengan anda Baekhyun-ssi." Tiffany membungkuk sopan, yang di balas Baekhyun dengan tak kalah sopan.
"Mari saya kenalkan pada beliau-beliau ini. mereka adalah kepala bagian dan general manager dari berbagai divisi di perusahaan ini. Mereka adalah orang yang harus anda hubungi, bila anda mendapatkan pasien dari salah satu divisi yang mereka naungi." Baekhyun mengangguk mengerti.
Dia kemudian mulai diperkenalkan pada satu persatu dari tiga puluh orang itu. tersenyum, membungkuk dan berjabat tangan rasanya sudah menjadi keharusan saat acara perkenalan terjadi. Baekhyun melakukan hal itu pada setiap orang yang diperkenalkan padanya oleh Tiffany.
Namun rupanya hal itu tak berlaku untuk Chanyeol.
"Dia general manager untuk divisi Arsitek, Park Chanyeol." senyum Tiffany tak disambut baik Baekhyun.
Gadis itu tak memamerkan senyumnya, seperti yang tadi dia lakukan pada yang lainnya. Tatapan matanya lurus menatap Chanyeol yang salah tingkah.
"Baekhyun-ssi!" panggil Tiffany.
"Apa anda bahagia, Chanyeol-ssi?"
.
.
.
TBC/END
YUHUUUUUUU...
Ini ff baru ya, yang mungkin akan segera menggantikan Love is Never Wrong.
Semoga kalian masih mau menerima dan tak keberatan membaca cerita baru ini.
Untuk segala kekurangan yang terdapat di cerita awal ini, saya sebagai penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Thor Learn to Loving You di lanjut dong? Pasti di lanjut, sabar ya
Jejak cinta kalian untuk cerita baru ini, aku tunggu... #Bow
Big Love For You Guys 3
.
.
.
^_^ Lord Joongie ^_^
