-Saat salju terakhir itu turun, saat itulah aku akan melupakanmu-


The Last Snow

.

Chapter 1: One

.

A BTS Fanfic

.

TaeGi/YoonKook

.

©Siwgr3

.

Cast: BTS, Other

.

Pair: TaeGi or YoonKook/KookGa, Bott!Suga, Uke!Suga

.

Genre: Hurt/Comfort, Romance

.

Rated: T

.

Warn: BL(BoyxBoy), Cinta segitiga, saya pemula jadi akan ada banyak kesalahan


Terima kasih sudah mau membaca!^^


"Hyung, kau suka Tae 'kan?"

Pulpen di tangan Yoongi sontak terjatuh.

"… Hah…?" hanya bisikan itu yang lolos dari bibirnya.

Jungkook memandang punggung hyungnya itu. "… Tidak perlu berbohong, hyung."

"…"

"Sekali lihatpun aku sudah bisa tahu."


:::

Aku jarang jatuh cinta.

Tapi sekalinya aku merasakannya,

Aku merasakannya pada orang yang salah.

:::


Suasana masih hening di dalam studio.

Yoongi menggigit bibirnya.

Sekentara itukah…?

"… Ani. Bicara apa kau?" dia membungkuk untuk meraih pulpennya di lantai.

"Kau selalu melihat ke arahnya sambil tersenyum. Tapi saat dia menoleh padamu, kau langsung memasang wajah datar. Selalu mengkhawatirkannya dari jauh. Bersikap dingin padanya padahal kau ingin melihat tawanya. Memendam perasaanmu seperti orang bodoh. Bukankah kau terlalu jelas, hyung?"

Yoongi kehabisan kata-katanya. Jungkook tidak salah satu halpun. Semuanya benar. Dia selalu mencintai namja rubah itu. Senyumnya. Tawanya. Suaranya. Gerak-geriknya. Jemarinya. Juga ketika Yoongi bisa menemukan ribuan bintang di mata namja Kim itu.

Semuanya tentang namja itu sempurna.

Keidiotannya. Kekonyolannya. Keanehannya. Kepolosannya. Bahkan ketidak pekaannya.

Dia tak pernah menyadari perasaan Yoongi.

Yoongi yang selalu memberikan botol airnya kepada Taehyung tanpa menatapnya. Yoongi yang selalu merona saat tangannya tanpa sengaja bersentuhan dengan milik Taehyung. Yoongi yang memeluk Taehyung di depan kamera, berusaha terlihat biasa, padahal jantungnya melompat-lompat bahagia.

Taehyung yang tak pernah lelah tersenyum padanya, tertawa bersamanya, memeluknya dari belakang, mengistirahatkan kepalanya di bahu Yoongi, membuat Yoongi jatuh semakin dalam padanya.

Taehyung yang sangat dicintainya.

"… Hyung."

Mulut Yoongi terasa kering. Dia ingin bersuara, tapi seakan semua kata-kata yang tersusun di otaknya hanya tertahan di tenggorokannya. Dia tak bisa mengeluarkannya.

"Jawab aku, hyung."

"… Arraseo." Yoongi meraih pulpennya di lantai lalu kembali meluruskan posturnya. "… Aku memang menyukainya." Tangannya kembali bergerak, menari-nari di atas kertas putih itu. Berharap Jungkook akan berhenti bicara.

Tapi Jungkook belum puas.

"… Kau masih menyukainya?"

Yoongi diam. Membiarkan Jungkook mengatakannya.

Nama itu.

"Meski ada Irene?"

:

:

Sore yang tenang di dorm BTS…

"Jimin ah~! Lihat~! Irene mengirimiku emoji hati~!"

Taehyung.

Jungkook melirik namja yang lebih tua darinya itu melalui pintu kamar yang terbuka lebar. Dia melompat-lompat girang sambil memamerkan pesan Irene pada Jimin. Jimin yang sedang membaca buku tampak terganggu. "Yakkk! Arra arra! Kau sudah mengatakan itu sepuluh kali!"

Taehyung cemberut. "Kau tidak asyik." Dia berbalik lalu melangkah keluar dari kamar Jimin. Wajahnya jadi cerah saat melihat Jungkook. "Jungkookkieeeeeh~!" panggilnya dengan nada sing-a-song sambil mendekati magnaenya yang sedang duduk di sofa ruang keluarga.

Jungkook memutar matanya jengah. "Aku harus mengerjakan pr."

Usaha Jungkook untuk kabur gagal saat lengan Taehyung dengan sadis menggaet lehernya –membuatnya sedikit tercekik.

"Dasar! Kau kira aku idiot!? Kau sudah lulus, babbo!" Taehyung mendengus kesal. Jungkook hanya menggeram meminta namja yang lebih tua darinya itu untuk melepaskannya.

"Ayolah Kookieee~! Kau tidak mau berbagi kebahagiaan dengan sahabatmu ini~?"

Jungkook mendengus. "Sahabat gundulmu. Sejak kau pacaran dengan Irene sebulan lalu, kau selalu membicarakannya. Tidak memperhatikanku atau Jimin sama sekali."

"Yak! Magnae! Panggil aku hyung!"

Jungkook tak memperdulikan teriakan Jimin. "Aku sudah bosan mendengar soal dia."

Taehyung memasang wajah shock yang membuat Jungkook ingin memukulnya. "Bagaimana bisa kau bosan dengan Irene, Kookie ya?! Dia cantik~! Baik~! Elegan! Manis! Belum lagi-"

Kicauan Taehyung kembali berkumandang. Namja itu tak pernah kehabisan kata pujian untuk Irene. Jungkook hanya memandang bosan ke segala arah. Namun tubuhnya menegang saat maniknya menangkap sosok Yoongi yang baru berjalan keluar dari kamarnya dan Seokjin. Namja pucat itu melangkah ke dapur, tak melirik ke arahnya dan Taehyung sama sekali.

Jungkook memperhatikan Yoongi yang mengambil gelas kemudian menuangkan air ke dalamnya. Jungkook tak bisa melihat ekspresi Yoongi karena namja itu membelakanginya.

"Pokoknya dia seperti dewi~!" Jungkook memutar matanya jengah. "Bagaimana bisa kau bosan dengannya? Hanya namja gay yang tidak menyukainya!"

Hentikan.

"Kalau kau normal, tentu kau juga akan memuja Irene sepertiku~!"

Hentikan!

"Jangan salah jalan ya, Kookie! Gay itu aneh da-"

"DIAM!" bentak Jungkook –membuat Taehyung menghentikan ocehannya.

"M-mwo?! Kenapa kau membentakku, Kookie?!"

Jungkook tidak peduli dengan pertanyaan Taehyung. Yang menjadi pusat pandangan Jungkook kini hanya Yoongi hyungnya yang seakan membeku di tempat. Bahunya tampak bergetar. Apa dia menangis?

Yoongi meletakkan gelasnya di atas counter, lalu tanpa sepatah katapun kembali melangkah masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan Jungkook yang hanya bisa menggigit bibir.

Yoongi tidak menangis.

Tapi dia terluka.

"Yak, Kookie!" Jungkook melirik Taehyung kesal. "Kenapa kau jadi marah begitu?"

Kedua manik Taehyung melotot, merasa kaget dengan pemikirannya sendiri. "Seolma…!? Jangan-jangan kau menyukaiku?!"

Tamparan kecil Jungkook berikan di pipi Taehyung. Idiot.

"Hell no!" desis Jungkook. "Aku hanya mencoba menjaga perasaan seseorang…"

Taehyung melotot untuk kedua kalinya. "J-Jimin menyukaiku?!"

Sebuah buku meluncur cepat dan mendarat dengan keras ke kepala Taehyung –berbuah pekikan tertahan namja tampan itu. Saat Taehyung menoleh, dia menemukan wajah jijik Jimin yang melangkah keluar dari kamarnya.

"Amit-amit! Kalaupun aku jadi gay, aku akan lebih memilih Yoongi hyung daripada alien bodoh sepertimu!"

Taehyung merengut kesal.

"Aku juga."

Gumaman Jungkook menarik perhatian kedua hyungnya itu. Mereka menoleh, dan menemukannya yang seperti orang melamun.

"Aku akan lebih memilih Yoongi hyung…"

Hening

Sampai Taehyung angkat bicara. "K-kenapa kita malah bicara hal begini sih~!? Ayo bicara yang lain!"

Taehyung kembali membahas Irene, sementara Jimin hanya memandangnya bosan.

Jungkook membaringkan tubuhnya ke atas sofa. Tidak tertarik mendengar ocehan Taehyung.

Kedua matanya tertutup rapat. Benaknya kembali memutar kejadian di studio seminggu lalu.

:

:

"Meski ada Irene?"

Yoongi merasa seperti ada yang menusuknya dengan pisau berkali-kali. Nama itu. Namja yeojachingu Taehyung. Yeoja yang cantik. Sangat cantik. Dia juga baik dan sopan. Sangat cocok dengan Taehyung yang tampan.

Pintar memasak… rajin bersih-bersih rumah… bahkan sangat suka menyetrika pakaian. Benar-benar calon istri sempurna.

Dibandingkan dengan Yoongi yang pemalas, kasar, juga tidak ada manis-manisnya. Wajahnya juga jelek. Akan sangat lucu jika dia berdiri di samping Taehyung.

Seperti si cantik belle yang bersanding dengan beast si buruk rupa.

Pikiran-pikiran itu membuat Yoongi semakin membenci dirinya sendiri.

Jungkook memperhatikan hyungnya yang hanya diam. "… Hyung, boleh kau berbalik sebentar?" tanyanya sambil berdiri dari duduknya dan melangkah mendekati Yoongi. Kakinya berhenti tepat di belakang kursi Yoongi.

"… Untuk apa…?" suara Yoongi terdengar serak.

"Sebentar saja, hyung."

Yoongi menghembuskan napasnya pelan. Dia kemudian berbalik, dan terpaku melihat Jungkook yang sudah berlutut di depannya. Namja yang lebih muda itu berlutut sambil memandangnya dengan kilatan serius yang mampu membuat Yoongi merinding.

"Aku menyukaimu hyung." Jungkook memulai. "Ani… lebih tepatnya, aku mencintaimu."

Yoongi diam.

"Aku mencintaimu sejak dulu hyung…"

Tidak.

"Aku mencintai segalanya tentangmu, hyung."

Hentikan.

"Matamu yang menyipit saat tersenyum, tawamu, perhatianmu, kecanggunganmu, ketulusanmu, kepedulianmu…" Jungkook tersenyum padanya. "Aku mencintai kulit pucatmu. Pipi gembilmu. Jemari dinginmu. Bahkan kantung matamu, hyung. Aku mencintainya."

Diam.

"Aku namja normal, hyung. Tapi saat bersama denganmu, jantungku berdebar lebih kencang, wajahku memanas, seluruh tubuhku terasa kaku."

Berhenti bicara!

"Aku mencintaimu, hyung."

Dalam keheningan yang lama itu, Jungkook tetap memandang intens kedua manik Yoongi, menunggu jawaban namja yang lebih pendek darinya itu.

Yoongi masih diam, wajahnya seperti orang melamun, tapi Jungkook tahu hyungnya itu sedang berpikir.

Mulut Yoongi perlahan terbuka –membuat Jungkook menahan napasnya.

Kemudian satu kata itu terdengar.

"Keluar."

Begitu dingin menusuk.

Dan itu menghancurkan dunia Jungkook.

:

:


"Gay itu aneh"


Kata-kata Taehyung tadi masih terngiang di benak Yoongi.

Sungguh, Yoongi membenci tawa Taehyung saat mengucapkannya.

Yoongi tahu gay itu aneh.

Sangat tahu.

Karena itu… Yoongi harap Taehyung tidak akan mengatakan itu lagi.

Kata-kata itu.

Kata-kata yang semakin menghancurkan harapannya.

Harapannya untuk dilihat Taehyung.

Apa-apaan dirinya ini…? Sudah jelas sejak awal. Dirinya yang jatuh cinta pada Taehyung adalah pendosa. Yoongi tidak tahu apa dia bisa menginjakkan kakinya lagi di gereja.

Dia kotor.

Bahkan meski dia mandi dan membersihkan dirinya dengan seribu macam sabun, tubuhnya akan tetap kotor. Meski dia menggulung dirinya di dalam selimut, berusaha tidur, seperti saat ini, semuanya tetap sama.

Dia kotor.

Yoongi sudah bertekad tidak akan menangis. Apapun yang terjadi. Dia sudah berjanji hanya akan menangis saat BTS mendapat penghargaan tertinggi Daesang. Karena itu, dia tidak akan menangis.

Apalagi hanya karena alasan konyol ini. Cinta.

Oh please. Yoongi lebih kuat dari rasa terkutuk itu. Yoongi tidak akan menangis.

Karena air matanya sudah kering sedari dulu.

Dia sudah terbiasa hidup seperti anjing liar yang diludahi semua orang, mengais sampah, menggonggong tanpa sebab, membuat orang-orang membencinya,

… Karena itu.

Dia tidak akan menangis.

Hanya hatinya yang terluka. Hatinya yang retak.

Hancur karena cinta.

Benar-benar konyol.

BRAK

Yoongi terperanjat saat mendengar pintu kamarnya dibuka kasar. Selimut yang tadinya memenjarakannya ditarik paksa, menampilkan wajah Jeon Jungkook.

Magnaenya marah.

"M-mwo?! Apa yang kau lakukan?!" bentak Yoongi marah sambil berusaha merampas kembali selimutnya, namun Jungkook malah melempar selimutnya ke sudut kamar.

"Ikut aku, hyung." Tanpa mendengar jawaban Yoongi, Jungkook sudah menggendongnya ala bridal style. Hal itu sontak membuat Yoongi berteriak.

"YAAK! TURUNKAN AKU!"

Jungkook tidak memperdulikannya. Dia melangkah keluar kamar dengan Yoongi dalam gendongannya.

"Jungkook! Apa yang kau lakukan?!" Tanya Jimin kaget, Taehyung di belakangnya ikut melotot. Mereka sedang berbicara ketika Jungkook melompat dari sofa dan berlari ke arah kamar Yoongi.

"Kami mau makan sate." Jawab Jungkook pendek tanpa menghentikan langkahnya.

"Mendadak…?" Jimin mengernyit.

Yoongi yang tadinya berontak, buru-buru menyembunyikan wajahnya di dada Jungkook. Tidak. Dia tidak bisa melihat wajah Taehyung saat ini.

Kata-kata namja tampan itu masih terus berputar di benaknya, seperti kaset rusak yang menyebalkan.

Jungkook melirik Yoongi sebelum kembali memandang lurus ke depan.

BLAM

Jimin masih bengong.

"… Apa mereka pacaran…?" Tanya Taehyung.

Jimin mengedikkan bahunya. "… Entahlah… mungkin saja."

"… Oh…"

:

:

"YAK JEON JUNGKOOK!"

Jungkook menulikan diri. Dia tetap melangkah menelusuri lorong bangunan dorm mereka, tak memperdulikan tatapan-tatapan aneh yang terlempar ke arah mereka.

Dia sudah tidak tahan lagi.

"JUNGKOOK!" Yoongi mengeluarkan seluruh tenaganya dan memberontak. Akhirnya dia berhasil lepas dari gendongan Jungkook. Dia kemudian memandang magnaenya itu kesal bercampur heran. "Apa maumu?!"

Jungkook menggigit bibirnya. Tangannya menyambar lengan Yoongi dan menariknya masuk ke dalam lift. Kemudian dia tetap diam –tak menjawab pertanyaan Yoongi. Cengkramannya tidak mengendur. Tak sedetikpun dia melepaskan Yoongi.

Yoongi sendiri sudah pasrah. Dia benar-benar tak bisa menebak isi pikiran magnaenya ini. Yoongi memperhatikan tombol lantai yang ditekan Jungkook. Lantai teratas gedung mereka.

TING

Tepat setelah pintu lift terbuka, Jungkook menarik Yoongi keluar. Suasana di lantai teratas itu sepi karena memang lantai ini hanya digunakan sebagai gudang berisi barang-barang tua yang sudah tidak dipakai. Jungkook lalu membawa Yoongi mendekati sebuah lemari baju yang terlihat sangat tua di sudut ruangan. Tangannya membuka salah satu pintu lemari dan melangkah masuk melewati pakaian-pakaian yang digantung dengan tetap menarik tangan Yoongi.

Ternyata lemari itu luas juga.

Jungkook kemudian menggeser tumpukan pakaian yang menutup sebuah lubang berukuran besar. Yoongi hanya mengikutinya.

Setelah mereka melalui lubang itu, Yoongi terpana. Ternyata ada sebuah balkon berukuran lumayan besar di sana. Di tengahnya ada bangku besar berbentuk persegi.

Jungkook kemudian menuntun Yoongi untuk duduk di bangku itu. Yoongi hanya menatapnya penuh tanya, terlebih Jungkook tidak mengeluarkan sepatah katapun.

Suasana kemudian hening untuk beberapa lama.

Yoongi memperhatikan Jungkook yang duduk di sampingnya. Namja itu terengah, tangannya bergerak menyeka keringatnya.

Yoongi benar-benar tidak mengerti pola pikir Jungkook.

Baru saja Yoongi hendak berdiri, suara Jungkook mengurungkan niatnya.

"Menangislah, hyung."

"… Apa?"

Suara Jungkook serak. Yoongi bisa melihat napasnya di malam bersalju ini. "Tak ada yang akan mendengarmu di sini. Kau bisa menangis sepuasnya."

Yoongi diam. Jungkook mengkhawatirkannya?

Kedua sudut bibir Yoongi perlahan terangkat. Manis sekali magnae mereka ini.

"Aku tidak akan menangis."

Jungkook menatap kosong ke kejauhan. "Kenapa?"

"Karena aku kuat."

"Tapi kau terluka."

"Aku tahu." Yoongi menengadahkan kepalanya, menatap salju-salju putih yang perlahan gugur. Cantik sekali.

"Kalau begitu menangislah."

Yoongi melirik magnaenya, kesal. "Yak! Kau kira kau siapa, menyuruhku menangis?" ujarnya sambil memukul pelan bahu Jungkook. "Pakai acara menculikku segala. Jimin pasti akan khawatir. Dan kenapa kau menarikku keluar di malam sedingin ini? Aku hanya pakai piyama tahu!"

"…"

"Jungkook?"

"Aku memang hanya dongsaengmu."

Napas Yoongi tertahan. Jungkook menoleh ke arahnya lalu mendekatkan wajah keduanya. Tatapan dalamnya juga.

Yoongi merasa seperti sedang ditelanjangi.

"A-apa?" Yoongi berusaha mendorong bahu Jungkook, tapi namja itu bergeming. Tetap menatapnya dalam, membuat wajah Yoongi memanas. Padahal sekelilingnya dipenuhi salju.

Tapi dia merasa tubuhnya memanas.

Hell, bagaimana bisa Yoongi bersikap biasa saja setelah insiden pernyataan cinta Jungkook tempo hari?!

"Aku akan memulainya dari sana, hyung. Dongsaengmu."

Jungkook tersenyum.

"Aku akan menghapusnya. Perlahan. Sampai kau bisa mencintaiku, hyung. Sepenuhnya."

Tangannya terangkat dan membingkai wajah dingin Yoongi.

"Lukai aku, hyung. Aku akan tetap di sini. Mencintaimu."

Yoongi membeku di tempatnya, tak tahu harus berkata apa.

"Aku akan membuatmu melihatku, hyung. Karena itu…" dia semakin mendekatkan wajahnya, membuat Yoongi bisa merasakan napas hangat Jungkook di wajahnya. "Ijinkan aku menggantikannya."

Setelah itu Yoongi bisa merasakan sesuatu menempel di bibirnya. Sesuatu yang hangat dan lembut –membuatnya seakan melupakan kedinginan yang sempat dia rasakan.

Itu bibir Jeon Jungkook.


TBC


Halo, maafkan saya, tiba-tiba bikin FF baru begini. Padahal USS belum selesai. Salahkan tangan saya yang terlalu gatal ingin mengetik.

Saya benar-benar ingin membuat FF TaeGi!

Ya, awalnya FF ini fokusnya TaeGi, tapi memang dasar pikiran kurang ajar saya, saya suka banget karakter Jungkook di sini. Saya jadi dilemma. Apalagi saya sudah membuat chapter selanjutnya, dan Jungkook terasa manis sekali pada Yoongi. Saya jadi bingung endingnya nanti TaeGi atau YoonKook.

Tapi saya harap saya akan menemukan jawabannya seiring berjalannya waktu.

Soal tempat di scene terakhir yang Jungkook membawa Yoongi itu, saya mengambil referensi tempat seperti yang di drama Fight For My Way (kalau tidak salah, maaf kalau keliru). Saya bingung nyebutnya apaan, semacam atap, terus ada tempat duduknya gitu. Kalau yang sudah pernah nonton pasti tahu.

Drama itu sangat bagus menurut saya. Recommended.

Dan maaf, saya sudah mulai kuliah, jadi ngetiknya sepertinya bakalan sulit. Tapi saya akan berusaha melanjutkan FF-FF saya. Semoga ditunggu!^^

Sekali lagi, terima kasih banyak!^^

-Siwgr3_/8-9-2017/