Hai :D hehe, sudah lama ya? dihitung-hitung, terakhir saya post di sini adalah sekitar Agustus. sekarang sudah November, rasanya lama juga...
saya kembali buat memenuhi request dari yuminozomi. saya masih ingat persis, kamu yang minta GgioSoi dulu, hehe :D tapi rencana saya, ini bakal jadi multichapter yang beda pair, cerita sama makna di chapter2-nya. oke, silahkan salahkan saya yang terlalu lambat ngerjakannya =w=
Sebuket bunga. Kau pikir artinya sesimpel itu? Hanya sebagai pernyataan cinta? Bukan.
. . .
A Bouquet of Flower
.
Bleach, everything related aren't mine. They're Tite Kubo's
I just own the plot, and the weird theory of 'colour' =w="
.
Part 1
. . .
Sekali lagi Ggio pandang siswi yang di sudut sana. Tetap seperti pertama kali ia datang ke sini empat hari lalu; murung dan terdiam sendiri.
Tunggu. Kalau dilihat lebih dalam lagi—rasanya ia mengenal orang ini.
Namanya. Oke, sekarang ia sedang berusaha keras mengingat namanya. Aduh, ia baru hafal nama siswa yang duduk di depannya, di samping serta di belakangnya.
Soi—ah, siapa ya? Namanya berbau Mandarin, seingatnya. Berkebalikan dengan namanya yang over-Eropa—menurutnya.
Soi Fon!
"Kau memanggilku?" toleh gadis itu.
Ups, Ggio terlalu keras mengucapkannya. Kelas sedang kosong karena jam istirahat.
"Ada apa?" tanya Soi Fon datar. Mungkin lebih mengarah pada nada dingin.
"Tidak. Bukan apa-apa," Ggio merapat pada tembok di sebelah kanannya, kembali berkonsentrasi pada PSP. Pura-pura tapinya.
Benar, ia ingat. Soi Fon. Ia dulu pernah mengenalnya di waktu lampau. Sewaktu ia tinggal beberapa saat di sini sebelum kembali ke Swiss lagi.
Ah, tapi ia tidak bisa mengingat apapun tentang kenangannya. Terlalu tertutup, tertimbun dengan berbagai macam hal yang membuatnya pusing.
Terus ia perhatikan. Bahkan ketika jam pelajaran dimulai lagi, sampai berakhir pada pukul dua siang.
Tetap sama. Gadis itu cenderung pendiam, hemat bicara—atau mungkin sangat pelit? Ia hanya diam, sangat jarang berinteraksi pada orang di sekitarnya.
.
"Hei, Abarai-san!" panggil Ggio pada pemuda dengan rambut merah yang sedang berjalan di depannya. Itu orang yang pertama kali ia kenal ketika memasuki sekolah ini.
"Ada apa?"
Ggio menyelaraskan langkah kaki mereka berdua. "Soi Fon."
"Heh? Ada apa dengan gadis pendiam itu?"
"Tidak. Cuma mau bertanya sedikit."
Abarai—sebut sajalah Renji—terlihat mengerutkan keningnya.
"Dia dimusuhi ya?"
"Dimusuhi? Kupikir tidak juga. Dia tidak pernah membuat masalah. Aku satu kelas dengannya semenjak di tingkat satu."
"Lalu? Kenapa dia seperti tidak bisa berinteraksi dengan sekitar seperti itu? Agak aneh, menurutku."
"Memang aneh," celetuk Renji. "Kau pikir cuma kau yang berpikir seperti itu? Satu kelas bahkan tidak ada yang tahu dimana alamat rumahnya karena ia terlalu tertutup."
"Rasanya... dulu ia tidak seperti itu..."
"Dulu? Kau pernah bertemu dengannya?"
"Rasanya aku mengenal orang dengan nama yang sama waktu aku kecil, sebelum aku pindah kembali ke Swiss. Dan aku yakin, orang dengan nama Soi Fon cuma ada satu di dunia ini."
"Heh," kekeh Renji. "Aku cuma tahu sedikit tentangnya. "Itu pun karena aku mencuri dengar pembicaraan wali kelas dengan guru konseling."
"Apa?"
"Aku kurang yakin, tapi katanya dia itu berasal dari keluarga kaya yang terlalu sibuk. Orang tuanya tidak pernah datang padanya hanya sekedar menyapa atau mengucapkan 'selamat makan'. Apalagi mengatakan kata 'sayang'."
"Hng? Kurang yakin bagaimana?"
"Soalnya aku mendengarnya kurang jelas. Lagipula aneh, bukan, kalau dia kesepian di rumah, kenapa dia juga harus pendiam di sekolah? Harusnya kan dia supel pada teman-temannya?"
"Benar juga, ya..."
"Hanya itu yang kutahu, lho. Belum tentu teman sekelas yang lain tahu tentang ini."
"Baiklah. Terima kasih, Abarai-san!" tepuk Ggio pada pundak Renji, sebelum ia berlari mendahului pemuda berkepang itu.
.
xxx
.
"Apa ya..." gumam Ggio. Monolog yang sepertinya tidak terlalu berarti banyak. Siapa juga yang mendengarnya? Siapa juga yang mau peduli dan memberi jawabannya?
Satu malam, hingga terbangu di pagi hari, ia selalu terpikir pada si gadis mendung yang duduk di sudut kelas. Oke, sebuah pemandangan yang ganjil itu tidak bisa membuatnya tenang. Selalu terasa tidak tenang kalau mengingatnya.
Begini, andai saja orang yang—entah bagaimana—kau rasa dekat denganmu, malah terlihat menyedihkan seperti itu? Bukannya itu akan terasa mengganjal? Dna itu berlaku sesuai untuk Ggio.
Ia melangkah santai di jalan yang masih lumayan sepi itu. Ia sudah terbiasa berjalan kaki untuk pulang-pergi ke sekolah. Dan berangkat di jam yang masih begitu pagi ini adalah semacam kesenangan baginya. Dan yang lebih enak, menurutnya Jepang sedikit lebih hangat daripada Swiss.
Sedikit-banyak ia putar bola matanya. Mungkin saja hal-hal random yang ia lewati bisa menjadi ide untuk pertanyaan batinnya, kan?
Tap. Ia berhenti. Matanya menumbuk pada seorang ibu paruh baya yang sedang menyirami bunga pada pot-pot kecil di depan rumah sederhananya.
"Ah! Bagus!"
Segera Ggio tinggalkan tempatnya berpijak tadi dengan langkah seribu. Ia tahu dimana bisa mendapatkannya.
Sebuah senyum lebar tersungging di bibirnya.
"Tunggu, masih sempat! Baik!" dalam larinya ia melirik jam tangan sport yang terlilit di pergelangan tangan kirinya.
.
xxx
.
"Huh?" Soi Fon mendapati sesuatu yang tidak biasa di dalam laci meja belajarnya. "Apa ini?"
"Itu sebuket bunga. Jangan bilang kau tidak tahu," timpal Ggio dari sudut lain. Sedari tadi rupanya ia perhatikan gadis itu, semenjak awal ia tiba di pintu kelas hingga ke tempat duduknya.
"Untuk apa?" Soi Fon mengambil benda itu. Keningnya terkerut heran. Diputar-putarnya buket bunga mawar yang merah merekah itu.
"Kau akan tahu nanti."
"He? Maksudmu?"
Tidak terlalu pelit juga, batin Ggio. Seulas senyum kecil terlihat.
Soi Fon masih memandangi buket itu. Seperti orang lain pada biasanya, ia dekatkan bunga-bunga itu pada organ penciumannya. "Wangi..."
Ia pandangi lagi lekat-lekat. Tidak buruk. Satu buket kecil berisi lima bunga itu cukup menarik hatinya. Tidak ia pedulikan pertanyaan kenapa-bisa-ada-di-meja-milikku.
Soi Fon tersenyum.
"Yes! Berhasil!"
"Ng? Kau bilang apa?" Soi Fon mengangkat pandangannya dari bunga itu.
"Bukaan, bukan apa-apa," elak Ggio seadanya.
"Kau tahu siapa yang memasukkannya ke laci mejaku? Sepertinya kau yang datang paling awal?"
"Aku."
"Kamu?"
"Memangnya kenapa?"
"... Tidak apa-apa. Terima kasih. Ini bagus," senyumnya lagi. "Tapi kalau boleh tahu, apa artinya?"
Ggio terkekeh. "Merah artinya keberanian untukku. Sejujurnya aku ingin kau menunjukkan keberanianmu pada orang lain," Ggio bangkit dari tempat duduknya, dan menghampiri Soi Fon.
"Keberanian?"
"Ayo, tersenyum dan berbicaralah pada mereka, seperti yang kau lakukan padaku tadi. Kulihat kau kurang percaya diri, selalu diam dan seorang diri."
Soi Fon tertunduk. Tepat sasaran sekali.
"Mengerti?" tunduk Ggio. Menyamakan posisinya dengan Soi Fon yang—ehm—lebih pendek dari dirinya.
"Baiklah, baiklah," jawab Soi Fon datar, dan memutuskan untuk duduk di bangkunya kembali.
"Ayolah, teman-teman yang lain akan senang melihatmu kalau kau berani menunjukkan dirimu. Seperti mawar ini yang berani tampil dengan warna cerah diantara warna lain yang lebih pudar."
Soi Fon untuk ketiga kalinya tersenyum. Sepertinya matahari akan bersinar lebih cerah untuknya hari ini.
.
xxx
.
"Ini apalagi?" seru Soi Fon. Buket bunga dengan warna oranye itu sedikit memenuhi lacinya. Jika yang merah sebelumnya hanya ada lima tangkai, sekarang yang oranye meningkat dua kali lipat. "Ggio! Kau lagi?"
Ggio tersenyum dahulu sebelum menjawab. Jelas sekali ia rasakan perubahan pada Soi Fon setelah ia berikan sebuket bunga mawar merah minggu lalu. Gadis itu sedikit-sedikit mau berbicara dengannya, dan beberapa yang duduk di sekitarnya.
"Kalau ya kenapa, kalau tidak kenapa?"
"Untuk apa?"
"Untuk memenuhi lacimu."
"... Jangan main-main."
Ggio tertawa. Rasanya asyik juga menggoda gadis itu. "Ambillah. Taruh di kamarmu. Ganti saja yang merah kemarin."
"Sekarang artinya apa?" Soi Fon mengelilingi bagian dari buket itu. Mungkin saja ada petunjuk yang bisa ia gunakan?
"Semangat, ya. Orange is passion!"
"Hey!"
Soi Fon tidak lagi ingin memanggil. Ggio sepertinya sudah asyik dengan Renji. Hm, sudahlah. Ia memasukkannya kembali ke laci.
Semangat ya? Baiklah.
Merasa bunga itu terlalu manis untuk sekedar disimpan di laci saja, Soi Fon mengeluarkannya kembali. Eh, ada satu yang luput dari perhatiannya tadi. Kertas yang tertempel di pengikat buketnya.
Warna oranye baik untuk menstimulasi semangatmu! Lihat ini kalau kau sedang malas!
Err—Soi Fon hanya tertawa membacanya. Sok akrab sekali, gelinya.
Tapi ada benarnya juga. Belum pernah ada yang peduli dengannya dengan cara seperti ini. Mereka berdua belum banyak saling berinteraksi. Tapi pemuda itu bisa membuatnya tersenyum dengan cara yang unik seperti ini.
Belum pernah. Belum pernah ada. Dan ini yang pertama.
"Soi Fon-chan, kau cantik kalau tersenyum seperti itu."
Soi Fon mengangkat pandangannya. Rukia, Hime bersama Momo. Ia menatap agak heran.
"Ah, gomenasai! Aku tidak bermaksud hal-hal aneh!" Hime terlihat panik. Astaga.
"He?"
"... Gomen, tapi kami senang bisa melihatmu tersenyum seperti itu," Rukia berusaha meredakan kesalahpahaman.
Soi Fon hanya terkekeh, pandangannya tertunduk kembali, memperhatikan jemarinya sendiri yang bermain dengan kelopak-kelopak bunga tulip cerah itu.
"Terima kasih..."
Ketiga gadis itu sebentar saling berpandangan, tapi kemudian senyum terkembang di masing-masing bibir.
"Dia sudah berubah," bisik Momo.
.
xxx
.
"Dan harus melakukan ujian ulang untuk kalkulus dasar ini hanya dua orang," guru itu membenarkan letak kacamata berbingkai besarnya. "Soi Fon, Ggio Vega. Dua hari lagi, setelah pulang sekolah, temui saya untuk tugas tambahan."
Ggio melirik ke sudut. Gadis itu tetap dengan pose langganannya, menunduk dengan menopangkan keningnya pada kedua telapak tangannya—pada tangan yang terbentuk 90 derajat pada meja.
"Ggio Vega, aku tahu kau masih belum terbiasa dengan sistem mengajarku. Kuharap kau bisa menyesuaikan diri. Dan Soi Fon, kulihat kau tidak banyak menampakkan peningkatan di mata pelajaran ini. Tolong belajar lebih lagi."
Kh.
.
"Hei, kamu."
"Ng?" Ggio menoleh ke beberapa arah. "Aku?" tunjuknya pada dirinya sendiri.
"Iya," Soi Fon berjalan agak ragu mendekati Ggio. "Bisa minta bantuan?"
"Bantuan?"
"Setelah pulang sekolah... bisa ikut aku ke perpustakaan?" ucap Soi Fon agak terpatah-patah.
"... Hee? Ka-kau mau apa?" Ggio dengan wajah yang dibuat-buat mencoba melangkah mundur.
"A—ano, ah maksudku... Gomen. Aku selalu susah mengatakan atau meminta sesuatu dengan benar," alih Soi Fon.
"Hehehe, aku tahu, aku tahu," tepuk Ggio pada kepala Soi Fon yang sebatas dagunya. "Mau belajar bersama kan? Tenang, aku masih ingat pelajaran kalkulus dasar di tingkat pertama dulu."
"Tingkat pertama? Kalkulus?"
"Hyea, entahlah," Ggio mengangkat bahunya. "Guruku yang dulu aneh. Dia malah mengajarkan kalkulus yang belum seharusnya diterima murid tingkat satu. Sekarang aku sudah lupa dan malas mempelajarinya lagi. Jadilah nilaiku turun," lanjut Ggio enteng.
"Huh?"
"Oke, nanti kita belajar bersama, ya! Aku mau makan dulu!" Ggio berlari menjauh, melambaikan tangannya sementara kakinya melangkah menuju tempat makan siang.
Terkadang semaunya seperti itu, ya Soi Fon? Tapi kau merasa beruntung mengenalnya, bukan?
Tak terasa satu senyum lagi terkembang.
.
xxx
.
"Gomen! Aku terpaksa menemani Abarai-san tadi!" seru Ggio ketika bisa ia lihat seseorang tengah menunggunya di sudut.
Soi Fon melirik dari sudtu mata tajamnya. Kerutan pada keningnya menambah ekspresi dingin yang terbias dari wajahnya. Sudah lebih dari setengah jam ia di sini. Menahan lapar, bosan, kantuk, dan rasa kesal.
"Tanggung jawab."
"Iya, iya, baiklah," Ggio berjalan padanya dengan langkah yang biasa. Tangan kanannya tersembunyi di balik punggung.
Soi Fon menutup buku tebal bertemakan kalkulus itu. "Aku capek. Mau pulang. Belajar bagaimanapun rasanya... aku tidak akan pernah bisa."
"Hey!" seru Ggio mengejutkan, face-to-face dengan Soi Fon.
Soi Fon memundurkan kepalanya. Agak terkejut Jarak yang sekecil ini tidak biasa.
"Ambil," Ggio menyodorkan sebuket bunga yellow daisy. Kuning cerahnya menyala sekali.
"Hah?"
"Ambil. Untukmu," senyum Ggio.
Soi Fon mengulurkan tangannya, ingin mengambilnya—namun dengan agak ragu. Tapi Ggio meyakinkannya dengan menyodorkan bunga itu lebih dekat.
"Kuning. Senang, ceria. Ayo, bersenang-senanglah!" tarik Ggio pada tangannya. Hinga menyebabkan gadis itu bangkit paksa dari duduknya.
"... Hei! Mau kemana?" Soi Fon ingin menolak, namun tubuh mungilnya terus saja dibawa oleh Ggio.
"Jangan terlihat sedih seperti itu ah. Tidak lucu tahu. Ayo bersenang-senang dulu! Belajar hanya membuatmu tambah pusing. Istirahatlah dulu sejenak~"
"Baka!" Soi Fon berhenti, memaksa menarik tubuhnya dari tarikan Ggio. "Aku belajar saja akhirnya nilaiku seburuk itu. Apalagi kalau tidak?"
"Tenang sajalah. Ikuti caraku saja, kau tahu, aku belajar dengan cara ini, aku tetap bisa mempertahankan peringkat kelimaku di Swiss dulu," cibir Ggio, sekali lagi berusaha ia tarik tangan Soi Fon. "Bawa tasmu. Bereskan semuanya."
"Bakayaro! Kapan jadinya kita belajar?" Soi Fon menarik dirinya lagi.
"Jangan cerewet."
Soi Fon akhirnya mau menurut. Dibereskannya buku-buku, serta kertas-kertas berisi konsep dasar kalkulus yang dibuatnya setengah jam lalu.
.
"Mau yang mana? Kau suka cokelat, vanilla atau apa?" Ggio memperhatikan satu-persatu dari deretan menu yang tertulis di kedai es krim itu.
"Choco banana plus strawberry topping. Satu setengah porsi," ucap Soi Fon langsung pada maid.
"Hng? Hei, itu yang termahal!"
"Tapi kau mau membayarkan untukku kan?" senyum Soi Fon kecil terkembang.
Ggio hanya bertopang dagu, masam. "Iya, iyaaa... Satu porsi chocolate ice cream."
Tidak lama, apa yang mereka pesan telah diletakkan dengan sopan oleh maid. Satu setengah porsi untuk Soi Fon, dan Ggio hanya bisa berharap kalau gadis ini tidak memiliki niat untuk menambah lagi. Memangnya berapa uang yang ia bawa saat ini?
"Nah, sementara itu, ayo lihat ini," Ggio mengangkat selembar kertas kecil ke depan mata Soi Fon yang sedang menikmati es krimnya.
"Kal—kulus?"
"Tapi kau sedang senang dengan es krimmu kan? Ayo, belajar di saat mood-mu sedang senang itu bagus," senyum Ggio, dengan digoyang-goyangkannya kertas itu.
"Ya, baiklah," Soi Fon menyerah, tapi mengambil kertas itu dengan senyuman balasan untuk Ggio.
.
xxx
.
"Dia sudah berubah, ya."
"Baguslah. Ggio Vega itu hebat juga, bisa membuatnya berubah seperti itu. Sekarang, dia sudah bisa ikut berbicara dengan kita."
"Memangnya dia pakai cara apa, ya?"
".. Entahlah. Tapi itu cara paling manjur yang bisa berhasil. Dibandingkan dengan cara kita yang terlalu klasik. Mengajaknya mengobrol tidak mesti berhasil."
Dua orang sahabat yang berbicara tadi—Momo dan Hime—mengiyakan. Sembari memperhatikan dari dekat pintu menuju sudut kelas sana.
.
"Lavender? Indigo?" kerutan-kerutan halus muncul perlahan seiring pertanyaan Soi Fon.
"Kau tahu?" Ggio meletakkan tiga tangkai lavender itu ke genggaman Soi Fon. "Indigo. Unik."
"Unik?"
"Tunjukkan keunikanmu pada mereka, ya? Dengan ini, ini, dan ini," berikut Ggio memberikan masing-masing satu tangkai mawar merah, tulip oranye dan yellow daisy.
Soi Fon sepertinya mengerti. "Tunjukkan dengan keberanian, semangat dan kebahagiaan?"
"Pintar. Nah, ayo," dorong Ggio pada punggung Soi Fon. Gadis itu semakin paham, disingkirkannya tangan Ggio dari sana. Dan memberi tatapan 'tenang-saja-aku-pasti-bisa'. Dan di tangan kirinya ia pegang erat satu buku desain yang tampaknya sudah terisi.
.
"Ini kau sendiri yang menggambar?" terbentuk satu lingkaran dari bibir Hime.
"Iya," angguk Soi Fon dengan malu-malu.
"Wah, bagus sekali!" Momo turut mengagumi gambar di tangan Hime. Gambar itu hanyalah sketsa sederhana, bertemakan fashion. Rancangan sebuah busana yang manis, tepatnya. "Heei, kau punya selera fashion yang tinggi! Mau berbagi denganku? Aku senang mengikuti berita fashion Hollywood!"
"Benarkah? Kau tahu banyak?" Soi Fon mulai berani mengangkat kepalanya, gembira sekali raut yang dikombinasikan otot wajahnya.
.
Ggio mengamati dari kejauhan. Senang, dan bangga. Benar sekali caranya.
Memberikan sebuket bunga pada orang yang kesepian, dengan cara unikmu sendiri, kau pasti bisa membuatnya lebih banyak tersenyum .
..
.
part 1: done
.
..
berubah ya? iya iyaa saya tahu saya udah lama ga nulis di sini. silahkan lakukan apa yang anda mau(?)
bagaimana dengan yang pertama ini? tolong bilang kalau ada yang kurang, ya. makasih banyak :DDD
