"Ore to tsukiatte kure! (Pacaranlah denganku!)"

Pemuda itu membungkuk, menunggu jawaban dari sang lawan bicara. Sedangkan ia yang mendapat pernyataan cinta terdiam menatap kepala pirang itu menunduk. Ia akhirnya mengangkat tangannya hanya untuk mengorek telinganya sembari berkata, "Ha? Apa maksudmu, Kise?"

Kepala kuning itu terangkat, menunjukkan wajah yang bersemu merah. Mata coklatnya menatap pemuda berkulit gelap di hadapannya—orang yang ditembaknya. Kegugupan terlihat jelas di kedua iris cantik itu.

"Ku.. Kubilang, maukah kau jadi kekasihku, Aominecchi?" Kise mengulang kembali pernyataan cintanya. Kini tak bisa ia sembunyikan lagi wajahnya yang lebih merah dari seekor udang rebus.

"Ha? Iya da yo! (Haaa? Nggak mau!)"

"Na-nande?"

"Nande tte.. omae to tsukiaitakunai kimatterundarou (Kenapa kau bilang.. tentu saja karena aku tak mau pacaran denganmu)," satu kalimat dari lelaki ganguro yang selama ini dikaguminya cukup untuk menghancurkan hatinya menjadi berkeping-keping. Tubuh jangkung itu bergetar. Matanya berair, siap untuk meluncurkan bulir bening.

"Da-dattara.. isshukan dake mo ii..Ore to- (Ka-kalau begitu.. seminggu pun tak apa.. Jadilah-)"

"Hmm.. Apa sebegitunya kau suka padaku? Sampai memohon seperti itu.." ujarnya pada lelaki yang menyatakan cinta padanya.

"Aku.. selalu mengaggumi Aominecchi. Selalu mengejar punggung Aominecchi dan ingin dianggap setara. Lalu tanpa aku sadari, rasa kagumku berubah. Aku.. menyukai Aominecchi," tuturnya panjang mengungkapkan betapa ia ingin dilihat oleh pemuda bermarga Aomine itu.

"Aku mengerti.. seminggu, oke?"

Wajah cantik itu mencerah. Bahkan semu merah di kedua belah pipinya semakin menambah kilau manis wajah yang tengah melebarkan senyuman secerah mentari itu. Kepala kuning itu mengangguk semangat.

.

Disclaimer :

黒子のバスケ藤巻忠俊

このフィクションウェンです(^^)

このフィクションから、僕は何も貰いません。これはただ個人的な満足なんです。

Warning :

Shounen ai, MalexMale, Misstypo (s), Alur Cepat, OOC, SMU!Teiko, Yasashii!Haizaki, Slight!KagaKuro, Slight!NijiHai, menyisipkan percakapan dalam bahasa jepang.

.

Ichi Nichi Me

Bel istirahat sudah berbunyi beberapa saat lalu, tapi sayang Kise belum bisa menikmati waktu istirahat siangnya. Salahkan fans-fansnya yang terus-menerus mengerubungi dirinya dan memintanya makan siang bersama mereka. Dengan susah payah sang model menolak ajakan mereka yang bisa dibilang memaksa, hingga akhirnya ia berhasil lepas dari kerubungan para gadis itu.

Kise segera bergegas pergi ke kelas 2-D. Tujuannya satu, yaitu mencari sosok cowok yang sejak kemarin resmi menjadi pacarnya. Ia ingin mengajak pemuda itu makan siang berdua.

Kepala pirang itu melongok ke dalam kelas. Pandangannya terhenti ketika warna biru gelap yang sedikit berkibar karena angin yang masuk melalui jendela tertangkap biji coklatnya. Dengan senyum mengembang, di dekatinya pemuda yang tengah menyembunyikan wajahnya dalam telengkupan kedua lengannya.

"Aominecchi," panggilnya dengan suara khasnya yang kekanakan. Tak ada respon.

"Nee, Aominecchi tteba, okiro yo.. (Hei, Aominecchi, bangun..)" Kini gantian suaranya yang mengalun manja yang terdengar. Diguncangkannya badan kokoh itu. Sebuah erangan terdengar membuat senyum Kise melebar karena usahanya berhasil.

"Ayo bangun Aominecchi! Aku mau ngajakin makan siang bareng.." lanjut si Kise.

Kepala biru itu terangkat, menatap Kise dengan mata yang terlihat mengantuk. "Nandayo, Kise?" tanyanya ogah-ogahan.

"Makan siang bareng, yuk!" ajaknya. "Aku sudah bikin bento untuk Aominecchi."

"Ha? Malas.. kau makan sendiri saja sana."

"E.. eh.. tapi ini untuk Aominecchi."

"Kalau begtu tinggalkan saja bentonya di sini, kau makan sendiri saja," Aomine kembali menelungkup di atas meja, tak melihat senyum cemerlang si pirang yang mulai memudar.

"Mou Aominecchi.." bibirnya mengerucut. Nada suaranya ngambek yang menurut telinga Aomine hanya suara yang dibuat-buat yang sukses membuat pemuda gelap itu semakin mengeratkan telengkupan tangannya tanpa tahu bahwa nada itu hanya untuk menutupi kekecewaannya.

"Ya sudah, tapi besok makan siang bersamaku, lho.." kata Kise sembari meletakkan sebungkus kotak makan di meja sang kekasih.

"Hmm.."

"Yakusoku suru yo ne? (Janji lho ya?)"

"Hei hei..*"

Setelah mendengar jawaban itu, Kise langsung berpaling. Langkahnya pelan, berjalan menuju pintu. Kepalanya tertunduk, bahkan poni rambutnya sampai menutupi matanya. Ia menatap sebungkus bento lain di tangannya, dan sebuah senyum kekecewaan muncul menghiasi wajahnya.

Langkah Kise tak berhenti sampai ia tiba di depan pintu atap. Ia menghela napas sebelum membuka pintu itu. Menggelengkan kepala sebentar untuk sekedar menghilangkan kekecewaannya, Kise mulai keluar dari gedung.

Dia tak menyangka bahwa di sana—di depan matanya—dua pemuda yang begitu dikenalnya sedang makan berdua. Dengan senyum bak mentari dan suara cempreng khasnya, ia menyapa keduanya. Tak lupa sebuah pelukan maut diberikannya pada lelaki imut berwajah datar—Kuroko—yang tengah menyantap sebungkus roti melon yang membuahkan hasil deathglare dari pemuda lain bersurai merah—Kagami—padanya.

Pemuda itu lalu mengambil duduk di sebelah Kuroko. Dibukanya kotak bentonya yang langsung dia pamerkan pada dua pemuda di depannya walau respon yang mereka berikan hanya sebatas "oohh".

Derit pintu atap yang terbuka menghentikan obrolan mereka. Ketiga kepala beda warna itu menoleh ke satu-satunya pintu keluar. Terlihat seorang pemuda bertubuh besar masuk, di belakangnya ada seorang pemuda lain dengan kacamata menggantung apik membingkai kedua iris emeraldnya. Keduanya berjalan santai ke arah ketiganya duduk. Tak lama, dua orang yang lain menyusul. Seorang berambut merah dan seorang berambut biru gelap. Lalu seorang pemuda lain dengan warna rambut abu terlihat mengikuti di belakang mereka.

"Aaa, minna.. tumben kalian ke atap?" tanya Kise heran melihat teman-teman satu klubnya berkumpul di atap.

"Di suruh Akachin, Kisechin.." jawab si tubuh besar, Murasakibara.

"Apa ada sesuatu Akashi sampai menyuruh semuanya kumpul?" kali ini Kagami yang bertanya.

"Apa tidak boleh aku menyuruh anggota timku untuk makan siang bersama, Taiga." jawaban Akashi terdengar mengintimidasi. Kagami menggeleng cepat. Walaupun masih sepupunya, entah kenapa Kagami tidak pernah berani menentangnya.

"Aa, kenapa kau memaksaku ke sini, Akashi.. aku masih ingin tidur tahuu.." protes pemuda berkulit gelap yang datang tepat berbarengan dengan Akashi. Bisa dipastikan pemuda itu datang ke atap dengan ancaman.

"Walau kau sudah menyiapkan bekal, Daiki."

"Haah, bento ini bukan..." ucapannya terhenti saat tak sengaja sepasang safirnya bertemu dengan sepasang iris coklat. "Aaggh, lupakan." Ia langsung mengambil duduk sesukanya. Segera dibukanya tutup bekalnya yang langsung mengundang lirikan lapar dari 2 pemuda pemakan segala.

"Woi! Jangan bengong, teme!" sebuah tangan jatuh di surai Kise yang tengah memperhatikan perebutan bekal milik Aomine vs Kagami plus Murasakibara. Kise mendongak, menemukan osananajiminya mengusap-usap rambut kuningnya.

"Shougocchi... jangan rusak tatanan rambutku, mooouuu...!" Kise cemberut. Yang dipanggil Shougo malah menambah kecepatan usapannya membuat surai pirang itu semakin berantakan. Rengekan segera saja keluar dari mulut Kise dan ia sukses mendapat tatapan bermakna 'Kise, berisik! Diam nggak Lu!' dari seluruh teman-teman klub basketnya.

(。ì _ í。)(。ì _ í。)

Sinar terang matahari sudah tak nampak lagi. Bahkan warna jingga di ufuk barat pun telah hilang tertelan gelapnya malam. Di saat itu, beberapa siswa SMU Teiko terlihat keluar dari gerbang sekolahnya. Mereka baru saja selesai dengan kegiatan klub masing-masing.

Di waktu yang sama, anak-anak klub basket baru saja menyelesaikan latihannya. Mereka masih bergelimpangan di tempat terakhir mereka berdiri. Terlalu lelah dengan latihan porsi spesial dari Kapten merah mereka hari ini.

Namun berbeda dengan seorang lelaki berambut pirang itu. Walau kulit putih susunya telah ternoda dengan keringat yang tak bisa dibilang sedikit, dia masih bisa mengeluarkan energinya untuk mengeluarkan suara cempreng khasnya. Langkahnya setengah berlari mendekati sang Ace klub basket.

"Ne, ne, Aominecchi," panggilnya semangat. Yang dipanggil tak bergerak dari posisi bersandar di tempoknya.

"Kalau mau ngajakin one on one, aku pass," katanya.

"Bukaaan.. hari ini pulang bareng yuk," ajak Kise.

"Kenapa aku harus pulang bersamamu?"

"Mouu.. Aominecchi, kita ini kan—"

"Hoe, Kise! Lagi ngapain lu!? Ayo cepetan pulang!" teriakan dari arah pintu gym memotong perkataannya. Pemuda pirang itu pun menoleh ke arah sang pemanggil.

"Sebentar Shougocchi.. aku—"

"Cepet! Gue mau nerusin nonton film kemarin!"

"Mouu.. Dasar Shougocchi seenaknya saja," kesalnya yang membuatnya tanpa sadar mengerucutkan bibir. Teringat bahwa ia tadi sedang berbicara dengan orang lain, Kise segera berpaling pada orang yang ia ajak pulang. "Gomen ssu.. Aku nggak jadi bareng Aominecchi." Kise berpose minta maaf—mengatupkan kedua tangannya di depan muka.

Mengerti bahwa ia tak akan mendapat respon, lelaki itu segera berpamitan. Setelahnya ia setengah berlari menyusul sahabat sejak SDnya yang sudah berjalan keluar gym.

(。ì _ í。)(。ì _ í。)

Futsuka Me

Siang itu langit terlihat biru dengan awan putih menggantung menghiasinya. Anginnya berhembus semilir, membuat mereka yang merasakan hembusannya merasa nyaman. Terkadang masih bisa terlihat kelopak-kelopak pink yang ikut menari bersama angin.

Namun, kenyamanan itu tak bisa membuat seorang remaja bersurai emas menenangkan hatinya. Ia takut, ia akui itu. Kaki yang tadi ia selonjorkan, kini ditekuknya. Sedangkan punggung yang sempat bersandar pada pagar pembatas atap itu, sekarang melengkung. Kepala pirangnya ia letakkan di atas lulutnya dengan kedua tangan melingkar manis menutupi wajahnya.

Sudah lebih dari setengah jam ia duduk di tempat itu, menunggu seseorang yang kemarin berjanji untuk makan siang bersamanya. Namun nyatanya, pemuda ganguro itu tak kunjung datang, membuat hati si pirang itu tak nyaman. Rasa kecewa merambat ke dalam hatinya.

Cairan bening itu hampir tumbah kalau saja telinganya tak menangkap suara pintu terbuka. Ia tegakkan kepalanya dan senyumnya lembali mengembang saat irisnya menangkap sosok berkulit gelap—orang yang semenjak tadi ditunggunya.

"Aominecchi, kocchi ssu, kocchi!" dengan semangat ia melambai. Pria gelap itu tak merespon, hanya terus berjalan ke arahnya.

Keduanya duduk berhadapan. Dengan senyum mengembang, Kise menyerahkan satu kotak makannya pada Aomine sambil tersenyum cerah. Mereka membuka kotak makan itu bersamaan.

"Hehe.. Aku senang Aominecchi datang."

"Soalnya kalau aku tak datang kau pasti tambah cerewet."

"Iya tentu saja donk! Kan janji itu harus ditepati."

"Ck.. Iya iya.."

Acara makan siang itu dihiasi dengan ocehan Kise dan jawaban singkat Aomine. Tapi Kise tak keberatan. Setidaknya lelaki itu mengacuhkannya.

Obrolan dan kegiatan mereka terhenti saat suara khas untuk menunjukkan sebuah panggilan terdengar dari speaker yang terletak di dekat pintu yang menghubungkan atap dengan tangga masuk menuju gedung sekolah. Tak berapa lama suara seorang wanita sampai ke telinga mereka.

"Panggilan untuk Kise Ryouta dari kelas 2-C. Panggilan untuk Kise Ryouta dari kelas 2-C. Kise Ryouta diharapkan segera datang ke ruang kepala sekolah. Ditunggu saat ini juga." Dan panggilan itupun berakhir.

Merasa dirinya harus pergi, pemuda pirang itu langsung memberesi dan menutup kotak bekalnya. Dengan wajah tak enak hati, ia menatap pemuda biru gelap di hadapannya.

"Maaf, Aominecchi, aku harus pergi," ungkapnya pelan. Tak ada jawaban dari Aomine hingga punggung tegap Kise menghilang di balik anak tangga.

(。ì _ í。)(。ì _ í。)

Mikka Me

Kise berjalan riang melewati koridor yang menghubungkan gedung sekolah dengan gedung ruang guru dan staff. Pemuda itu baru saja menemui Kepala sekolahnya, membicarakan tentang keberangkatannya lebih lanjut. Ia sudah menunggu-nunggu hari itu sejak lama dan ia juga sudah berhasil mengumpulkan uang untuk kepergiannya, jadi informasi yang diberikan kepala sekolahnya bahwa ia bisa berangkat hari minggu nanti benar-benar membuat wajahnya terus-menerus menyunggingkan kebahagiaan. Salah satu keinginan besarnya akan tercapai dalam 3 hari ke depan.

Kaki-kaki lincah itu terus,melangkah dengan ringan. Ia menaiki tangga dari lantai satu menuju kelasnya di lantai 3. Senyum masih menemani wajahnya saat itu, hingga sebuah suara yang begitu dikenalnya mengusik perhatiannya.

Ia melongokkan kepalanya pada ruang kelas di sampingnya. Ruang persiapan IPS tertulis di sebuah kayu yang tertempel di atas pintu ruangan itu. Kise diam, mendengarkan percakapan apa yang akan terjadi.

"Ada perlu apa denganku?" tanya suara yang dikenal baik oleh si pirang.

"A.. aku.. aku menyukai Aomine kun," kata sebuah suara yang Kise yakini sebagai suara seorang wanita.

Tanpa sadar, Kise mengangkat tangannya, menutup mulutnya agar tak mengeluarkan kata apapun. Matanya terbelalak menunjukkan sebuah keterkejutan.

"Aku menyukai gadis sepertimu. Kau punya badan sexy.. sesuai tipeku." Suara lelaki itu terdengar lagi. Kise meremat dada kirinya saat telinganya menangkap kalimat itu. Sakit. Ia merasa bahwa ia harus benar-benar pergi dari tempat itu saat itu juga, sebelum suara—apapun bentuknya—keluar dari bibirnya.

Kaki jenjang itu berjalan cepat, menjauh. Tujuannya saat itu adalah UKS, tempat tersepi di sekolah itu kala jam makan siang. Ia bahkan tak bertemu dengan pengawas UKS saat masuk ke sana. Tanpa berucap apapun, ia membawa dirinya ke salah satu tempat tidur, membaringkan tubuhnya di sana. Ia ambil selimut di bawah kakinya, memasangkannya hingga menutupi kepala, menyembunyikan bulir-bulir bening yang mulai mengalir dan bibir plum yang mulai terisak.

(。ì _ í。)(。ì _ í。)

Kise tak juga kembali ke kelas sejak jam makan siang. Guru UKS yang menemukan dirinya berbaring di salah satu ranjang di ruangan serba putih itu sempat menanyainya dan dengan jawaban 'tidak enak badan' guru itu membuatkan surat izin untuknya.

Bel usai sekolah berbunyi. Pemuda berwajah cantik itu mulai bangun dari posisi tidurnya. Ia harus ikut kegiatan klub. Ia tahu itu. Karenanya ia segera beranjak.

"Kau sudah bangun? Bagaimana keadaanmu?" suara seorang wanita membuatnya menoleh. I menemukan guru UKSnya tengah duduk di belakang meja, melihatnya dengan wajah cemas yang kentara. "Wajahmu masih pucat, sebaiknya kau izin dari kegiatan klubmu dulu," anjur sang guru.

"Arigatou, sensei. Mou heiki ssu (Terima kasih, sensei. Aku sudah tidak apa-apa)," ujarnya dengan senyum yang dipaksakan.

"Heiki janai deshou. Hora, sono kaoiru.. (Bukan 'tidak apa-apa' kan. Wajahmu masih pucat..)" wanita itu berdiri dari duduknya. "Kyou bukatsu o yasuminasai, ne (Hari ini kau libur saja dulu dari kegiatan klubmu)," ucapnya lembut. Tak berselang lama, pintu putih yang menjadi satu-satunya akses masuk ke ruang kesehatan bergeser. Haizaki Shougo dengan rambut berantakan dan wajah garangnya masuk.

"Ryouta, daijoubu?" tanyanya dengan nada kasar namun sarat dengan kekhwatiran yang hanya diketahui Kise.

"Daijoubu ssu yo Shougocchi," jawabnya dengan sebuah senyuman lemah.

"Penjemputmu?" guru wanita itu bertanya. Kise mengangguk untuk membalasnya. "Tolong bilang padanya untuk istirahat ya," katanya menatap Haizaki. Matanya kemudian menatap jam kecil yang ia letakkan di mejanya. "A, mou jikan (Ah, sudah jam segini)," ujarnya. Ia lalu kembai menatap kedua muridnya. "Sensei harus segera pergi. Kau boleh di sini kalau masih merasa butuh sedikit istirahat lagi, sensei titipkan kunci ruangan ini padamu, oke?" Dan perempuan itupun bergegas pergi.

"Doushita, Ryouta?" tanya Haizaki. Melihat keadaan Kise saat ini, dia tidak percaya dengan 'daijoubu' yang tadi dikatakan Kise. Lihat saja tubuh lemas itu. Dan yang paling mengganggunya adalah mata Kise yang sembab.

Haizaki menarik Kise untuk duduk di tepi tempat tidur. Lelaki itu terus menatap teman masa kecilnya yang masih menunduk. Haizaki menunggu.

"Dia..." Kise mulai membuka suara. "Seorang wanita menembaknya.." bulir bening mulai jatuh dari pelupuk mata indah itu—lagi. "Dia menerimanya.. hiks.." sebuah bayangan tentang kejadian tadi siang merasuki benaknya. "Padahal.. hiks.. dia denganku saat ini.. huhu.."

Haizaki tak perlu tahu siapa 'dia' yang dimaksud. Dia sudah tahu betul tentang lelaki yang selama ini disukai osananjiminya, seorang lelaki bodoh dan tidak pernah peka akan perasaan seorang Kise Ryouta.

"Aku.. makin sadar.. hiks.. dia.. dia.. huhuhu.. dia tidak pernah menyukaiku, Shougocchi. Dia hanya kasihan padaku dan menerimaku. Dia tak pernah..." Kise,meremat dada kirinya. "Dia tak pernah... mencintaiku.."

Haizaki langsung merengkuh tubuh itu, membiarkan Kise menangis sejadi-jadinya. Dielusnya lembut punggung yang bergetar itu tanpa suara, berharap bisa memberikan sedikit ketenangan.

(。ì _ í。)(。ì _ í。)

Lelaki itu diam. Ia tak begerak dari posisi tidur terlentangnya. Kedua tangannya memeluk bantal berbentuk bola basket sedangkan tatapannya kosong mengarah pada langit-langit kamarnya. Pikirannya lagi-lagi kembali pada pernyataan cinta yang tadi siang didengarnya.

Ia meremas erat bantal kesayangannya saat dirasanya rasa sakit itu menghampiri dadanya. Membuatnya merasakan sesak yang berakhir dengan matanya yang memanas.

"Daijoubu, Ryouta.. daijoubu.." ucapnya lirih pada dirinya sendiri. "Saisho kara aitsu, ore ga suki janai nante shitteru darou. Dakara naite mo imi nai ssu yo (Kau tahu bahwa sejak awal dia tak mencintaimu. Jadi, tak ada gunanya kau menangis.)" Ia mencoba menenangkan dirinya walau air mata itu tetap lolos dari pelupuk matanya.

"Dai.. hiks.. joubu.. ki.. tto.."

"Bukannya dari dulu gue udah bilang, kenapa lu masih aja nembak dia," suara yang berasal dari arah pintu kamarnya berhasil menyita perhatiannya. Seseorang yang merupakan sahabatnya berdiri di sana.

"Jangan bicara begitu, bodoh." Satu geplakan jatuh di kepala abu-abu itu membuat si pemilik kamar sadar bahwa tamunya tidak sendirian.

"Niji..mura sen..pai.."

Seulas senyum dari si pemilik nama merespon panggilan Kise. Dia pun berjalan masuk, diikuti oleh Haizaki. Kise membenarkan posisinya menjadi duduk memberi ruang pada dua orang itu untuk duduk di tepi ranjangnya.

"Ada apa? Tumben senpai kemari?" tanyanya penasaran setelah mengusap air matanya.

"Hanya mengantar seseorang yang sejak tadi galau karena seharian ini tak melihat wajah bodoh seorang Ryouta," jawabnya santai sambil mengerling ke arah si pemuda abu yang langsung menatapnya dengan deathglare.

Ryouta tertawa kecil, lalu menatap sang sahabat. "Maaf, membuatmu khawatir, Shougocchi."

"Ha?! Siapa juga yang ngawatirin elu?"

"Ehehe.. Dasar Shougocchi tsundere.. kalau kau begitu terus nanti Nijimura senpai meninggalkanmu, lho," entah muncul dari mana, sifat iseng Kise mendadak keluar.

"Ap-?! Hey kenapa jadi nyambung ke dia?!" protesnya sambil menunjuk satu-satunya lelaki bersurai hitam di kamar itu. Tak bisa dihindarinya, warna merah yang telah besarang di wajahnya.

"Hooo... ada seseorang yang tak mau kutinggalkan rupanya," Nijimura ikut ambil suara.

"Hey! Sudah cukup! Gue ke sini bukan untuk membicarakan elu, Niji bodoh!" Haizaki terengah-engah karena berteriak. Ia lalu kembali duduk setelah sempat emosi. Ia lalu menatap Kise.

"Jadi.. apa yang mau lu lakuin sekarang?" tanyanya to the point.

Kise diam kemudian tersenyum simpul menatap Haizaki. "Nggak ada yang bisa aku lakuin kan. Toh, hari Minggu nanti aku akan pergi."

"Setelah lu ngelakuin rencana bodoh macam 'aku ingin berpacaran dengannya walau hanya seminggu', lu mau nyerah gitu aja!?"

"Memang aku bisa apa, Shougocchi?" katanya kalem. Mungkin benar dia sudah mnyerah mengejar lelaki itu. "Hari minggu nanti aku berangkat ke Indonesia, dan kamu tahu kan itu sudah menjadi keinginanku. Aku tak mau meninggalkan kesempatan itu hanya untuk terus mengejar Aominecchi yang bahkan tak pernah menganggapku. Tapi..." Kise menggantungkan kalimatnya. Seulas senyum menghiasi wajahnya. "Aku ingin membuat kenangan yang bagus dengan Aominecchi sebelum pergi. Aku ingin berterima kasih atas seminggu ini."

Sebuah tangan jatuh di atas kepala pirangnya lalu lengobrak-abrik tatanannya. "Tapi berjanjilah kau tak akan menangis lagi setelah itu." Kise mengangguk.

(。ì _ í。)(。ì _ í。)

Yokka Me

Lelaki itu celingak celinguk menatap lautan manusia di hadapannya. Waktu makan siang memang selalu membuat kantin penuh dengan manusia-manusia kelaparan. Namun sesaknya tempat itu tak membuat dia menyerah untuk mencari sosok cowok bersurai abu semrawut.

"Jangan berdiri di tengah jalan, Ryouta. Kau menghalangi," suara absolut itu menyapa gendang telinganya membuat ia refleks berbalik. Kise menemukan Kapten klub basketnya berdiri di belakangnya.

"Akashicchi.."

"Ikut aku." Sepasang kaki itu mulai melangkah. Tanpa kata sepasang kaki lain mengikuti. Mereka berjalan menuju meja yang terletak di bagian ujung kantin.

Meja yang mereka datangi telah diisi oleh beberapa orang dengan rambut sewarna pelangi. Sapaan langsung mengarah pada keduanya dari orang-orang yang telah menghuni menja itu. Akashi tak menjawab, ia hanya menarik sebuah kursi lalu mendudukinya.

Kise mengikuti jejaknya. Diletakkannya nampan berisi nasi karenya lalu menarik sebuah kursi di samping Akashi untuk dia duduki.

"Kise chin, tumben ke kantin sendirian?" tanya si raksasa ungu.

"Shougocchi masih ada urusan katanya, Murasakicchi, jadi kami janjian ketemu di kantin. Tapi sepertinya Shougocchi belum datang," jawab yang bersangkutan sembari mengambil sendok, siap menyantap makan siangnya.

"Kau tak bawa bekal sendiri, Kise?" celetuk Kagami. Ia ingat beberapa hari belakangan Kise membawa bekal.

"Ehehe.." hanya cengiran dari model itu yang menjawab.

"Ryouta, bagaimana persiapanmu." Pertanyaan yang tanpa nada tanya itu keluar dari mulut sang Raja. Kise sontak menoleh ke arahnya sebelumnya menjawab dengan sebuah senyuman.

"Zenbu okke ssu (Semuanya sudah siap)." Ia mengacungkan ibu jarinya.

"Jangan bikin ulah yang tidak-tidak di sana, apalagi kalau sampai mencoreng nama Teikou Koukou," nasehatnya. Kise mengiyakan saja.

"Kise chin, aku pasti akan kangen traktiranmu~" ungkap si ungu.

"Murasakicchi hidoi ssu. Masak yang dikangenin cuma traktiranku," Kise menggerutu gemas.

"Tenang saja Kise kun," kali ini pemuda mungil yang duduk di samping Kagami yang bersuara. "Aku pasti tidak akan kangen dengan pelukan Kise kun," lanjutnya sambil menghela napas lega.

"Kurokocchii~ mooouu.. pelukanku kan bukti sayangku padamu~~" ujarnya nyaring.

"Dan aku tidak akan kangen dengan suara cemprengmu itu," Kagami menambahi.

"Uugg.. Kagamicchi jangan ikut-ikutan~~"

"Aku jelas tidak akan merindukanmu, Kise, tapi aku akan menunggu sampai kita bisa main basket bersama lagi," ucapan tsun itu berasal dari lelaki berambut hijau yang sedang membenarkan letak kacamatanya yang tak melorot.

"Huaaa Midorimacchi aku senang kau akan kangen padaku~"

"Hei, ap!? Siapa yang bilang aku akan meridukanmu, tsk!"

"Midorimacchi tsundere ssu. Nanti aku adukan ke Takaocchi aah~"

"Hoee Kise!"

Keributan kecil itu pun berlanjut. Mereka bahkan melupakan satu sosok lain yang semenjak tadi hanya diam mendengarkan pembicaraan mereka tanpa tahu maksudnya.

(。ì _ í。)(。ì _ í。)

Bukatsu* sudah diakhiri Akashi beberapa waktu lalu. Para anggotanya bahkan sudah selesai mandi dan beberapa sudah meninggalkan sekolah. Saat itu, Kise terlihat sedang mencari-cari seseorang. Ia menengok ke kanan kiri untuk menemukan sosok pemuda bertubuh tinggi, ganguro, dan memiliki rambut biru yang segelap langit malam.

Kemudian mata coklat itu menemukannya. Sosok yang ia cari baru saja keluar dari gerbang sekolah. Pemuda pirang itu pun menatap punggung itu sejenak. Ia menarik napas dalam, mengeluarkannya perlahan, mencoba menenangkan hatinya sekaligus mencari sebuah keberanian.

"Egao de egao de (Senyum.. senyum)," batinnya. Ia lalu berlari menuju sosok itu sambil berteriak cukup keras.

"Aominecchi," panggilnya. Yang dipanggil menoleh. Mata biru gelapnya menemukan si remaja pirang berisik sedang berlari ke arahnya dengan sebelah tangan melambai padanya.

"Apaan sih, Kise!?" tanyanya malas dan sirat tidak suka dapat Kise lihat di dalam bola mata safir itu.

"Ehm.. besok Aomineccchi luang kan?" jawabnya setelah meyakinkan dirinya untuk meneruskan niatnya yang sempat luruh ketika matanya menatap iris Aomine.

"Kenapa memangnya?"

"Aku mau mengajak Aominecchi kencan," jawabnya polos.

"Haaa!?"

"Datte oretachi tsukiatterundeshou (Soalnya kita ini pacaran, kan)," ujarnya.

"Iya da yo."

"Pokonya besok kita kencan."

"Hoi! Dengerin kalau—"

"Besok, aku tunggu di taman di depan stasiun jam 10 pagi," memotong perkataan Aomine, Kise menentukan waktu dan tempat ketemuan mereka.

"Sudah kubilang aku nggak mau, Kise!"

"Aku akan menunggu," katanya lirih. "Aku akan menunggu sampai Aominecchi datang," lanjutnya yang kali ini dihiasi dengan senyuman indah—palsu. "Jaa ne."

Kise langsung berlari menjauh. Ia tak sanggup lagi untuk lebih memaksa orang itu. Ia tak ingin bersikap lebih egois lagi, walau sebenarnya ia ingin menjadi egois untuk mrndapatkan orang itu.

(。ì _ í。)(。ì _ í。)

Itsuka Me

Lelaki itu berdiri di depan cermin kecil di kamar mandi kamarnya. Dirapikannya tatanan rambutnya yang berantakan. Ketika ia rasa cukup, disambarnya jaket warna hitam yang tergantung di dalam lemarinya. Setelah itu, ia membawa dirinya keluar, melewati anak tangga menuju lantai satu rumahnya.

"Kau mau kemana?" lelaki bersurai raven yang tengah duduk di ruang tengah sambil menonton sebuah acara variety show itu bertanya.

"Bukan urusan lu," jawab si lelaki yang akan pergi singkat.

"Jangan lakukan sesuatu yang merugikan mereka," nasehatnya, mengerti kemana tujuan sang kekasih pergi.

"Wakatta yo. Ittekuru." Pemuda itu membuka pintu rumah. Tepat letika ia keluar, pintu rumah teman masa kecilnya pun terbuka. Ia tak menyapa dan tak berniat untuk menyapa. Dipandanginya pemuda seusianya itu berjalan menjauh dari rumah. Ketika ia merasa jaraknya dan orang itu aman dia mulai mengikuti pemuda itu.

.

.

つづく


*hei hei : berasal dari kata 'hai' yang berarti iya.

*bukatsu : kegiatan klub

HAPPY AOKI DAYS MINNA!

walau bikinnya mevet, akhirnya fic buat AoKi ini jadi juga dan bisa terpublish.. yeeeii!

o ya ini fic 2 shot tapi baru chap satunya yang kelar, chap duanya belum kelar.. hehe /ditampar

mungkin chap duanya bakal wen publish bulan depan di AoKi Days Teiko ver, tapi kalau ada yang minta buat chap duanya di publish sesegera mungkin, mungkin bakal wen publish setelah kelar.. /ngarep

oke, ijou desu.

minna, yonde kurete arigatou.. (^^)

minna kanshashiterun ssu yo..

tsugi no chaputaa de, mata nee~~

^wen^