Seventeen belong to God, Pledis and their parents

When I Fall © Bianca Jewelry

Choi Seungcheol X Jang Doyoon (GS)

Hong Jisoo X Yoon Jeonghan (GS)

Kim Mingyu X Jeon Wonwoo (GS)

Kwon Soonyoung X Lee Jihoon (GS)

Yao Mingming X Wen Junhui

Rating: masih T

Warning: GS. Boys Love. AU. OOC.

.

Malam itu, Seungcheol yang sedang sumpek memutuskan untuk mengunjungi sungai Han untuk mencari udara segar. Ditambah Jeonghan yang terus menghubunginya membuat suasana hati lelaki berumur 22 tahun itu semakin buruk—entah kenapa Seungcheol sedang tidak ingin berbicara dengan Jeonghan. Seungcheol menyusuri sungai Han dengan dengan sekaleng soda di tangan kirinya, sementara tangan kanannya ia masukkan ke dalam saku celananya. Dengan menyusuri sungai Han, Seungcheol berharap keadaan hatinya membaik. Tapi sepertinya tidak demikian setelah melihat dua orang yang dikenalnya duduk menghadap sungai Han. Jang Doyoon dan Lee Myunghoon. Seungcheol berdecak kesal, lalu meminum sodanya hingga tandas dan membuang kaleng kosong itu ke tempat sampah terdekat. Setelah itu, Seungcheol menghampiri kedua orang itu. Ia mendorong Doyoon dan Myunghoon ke arah yang berlawanan lalu Seungcheol mendudukkan diri di antara mereka.

"Hai sayang," kata Seungcheol sambil merangkul Doyoon.

Doyoon membalas sapaan Seungcheol sekenanya. "Hai."

"Oh, ada Myunghoon-hyung juga. Aku tidak menyangka akan bertemu kalian di sini," ujar Seungcheol dengan nada pura-pura terkejut sambil melirik Myunghoon.

"Uh, ya," kata Myunghoon kikuk.

Lalu ketiganya terdiam. Doyoon memainkan kaleng kopi yang ada di tangannya, Seungcheol mengambil kaleng kopi itu dan meminumnya.

Myunghoon berdeham. "Bisa ikut aku Do? Ada yang ingin kubicarakan."

Seungcheol melirik Myunghoon. "Kenapa tidak bicara di sini saja?"

"Aku cuma ingin bicara berdua dengan Doyoon, Seungcheol-ah," kata Myunghoon sambil berdiri. "Ayo Do."

Doyoon mengangguk dan berdiri.

Seungcheol merengut. Ia menahan tangan Doyoon yang hendak meninggalkannya.

"Cuma sebentar," kata Doyoon.

Seungcheol menggeleng.

"Sebentar saja Cheol. Ya?" Doyoon melepas tangan Seungcheol dengan tangannya yang lain dan menggenggamnya.

Akhirnya Seungcheol mengangguk dengan ekspresi tidak rela. Doyoon tersenyum dan melepas tangan Seungcheol lalu menyusul Myunghoon yang bersandar pada pagar pembatas di dekat tempat mereka duduk.

"Mau bicara apa oppa?" tanya Doyoon.

"Kau masih menyukai Seungcheol?"

Doyoon menghela napas lalu mengangkat bahunya. "Entahlah."

Myunghoon diam, lalu ia meminum kopi kalengnya. "Menikahlah denganku Do."

"Kapan kau akan berhenti menyerah oppa?"

"Entahlah."

Lalu keduanya terdiam.

"Jadi, jawabanmu tetap tidak?" tanya Myunghoon sambil melirik Doyoon.

Doyoon mengangguk.

"Tidak bisakah kau membuka hatimu untukku?"

"Terkadang aku ingin menyerah oppa. Tapi apakah tidak terasa jahat jika aku menerimamu sekarang?"

"Tidak apa-apa jika kau menganggapku sebagai pelarian."

Doyoon menggeleng dan tersenyum. "Mana bisa aku melakukan itu padamu."

Myunghoon terkekeh lalu menepuk kepala Doyoon. "Jangan membuatku semakin jatuh cinta kepadamu, Doyoon-ie."

"Sorry."

"Don't be sorry."

Myunghoon menghela napasnya. "Sepertinya aku memang harus menyerah."

"Aku yakin di luar sana ada perempuan yang lebih baik dariku yang menjadi jodohmu oppa." Doyoon menatap Myunghoon dan tersenyum.

Myunghoon membalas senyuman Doyoon. "Sudah malam, ayo kuantar pulang."

Doyoon menggeleng. "Tidak perlu. Aku akan minta tolong sopir untuk menjemputku."

"Baiklah, kalau begitu. Sampai jumpa Doyoon-ie. Salam untuk Seungcheol."

Doyoon mengangguk dan tersenyum. "Sampai jumpa."

Lalu keduanya berjalan ke arah yang berlawanan. Myunghoon meninggalkan Doyoon sementara Doyoon membalikkan badannya dan berjalan menuju Seungcheol.

"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Seungcheol setelah Doyoon kembali dan mendudukkan diri di sebelahnya.

"Bukan apa-apa," jawab Doyoon. "Masih ada?" tanyanya sambil menunjuk kaleng kopi yang dipegang Seungcheol.

Seungcheol memberikan kaleng kopi itu. Doyoon menerimanya dan meminum kopi yang tersisa.

"Lain kali jangan pergi berdua saja dengan lelaki lain, apalagi dengan oppamu itu," kata Seungcheol dengan nada tidak suka dan penekanan pada kata oppa.

Doyoon menghela napas. "Kapan sih kau akan berhenti bersikap egois? Sejak kecil selalu saja tidak boleh membiarkanku berteman dengan orang lain," gerutu Doyoon dengan suara pelan.

Seungcheol menoleh mendengar penuturan Doyoon.

"Aku pulang dulu," kata Doyoon dan berdiri dari duduknya.

Seungcheol ikut berdiri dan menahan bahu Doyoon. "Apa maksudmu?"

Doyoon mengerjap bingung. "Apa?"

"Kau bilang sejak kecil? Bukankah kita pertama kali bertemu saat kau datang ke rumahku?"

Doyoon dan Seungcheol saling bertatapan.

Ups, sepertinya Doyoon keceplosan. "Um…" Doyoon melirik ke kanan dan ke kiri. Ia bimbang untuk memberi tahu Seungcheol atau tidak, jadi ia hanya berkata, "Kau bisa melihat album fotomu mungkin? Agar kau ingat siapa aku. Permisi."

"Aku antar."

"Tidak perlu, aku sudah dijemput sopir," kata Doyoon sambil tersenyum.

Seungcheol mengendurkan cengkeraman tangannya dan membiarkan Doyoon pergi. Setelah Doyoon pergi, ia langsung melesat pulang ke rumah dan melakukan apa yang Doyoon katakan, mencari album fotonya dan melihatnya.

.

.

"Dodo!" seru Seungcheol yang berlari dari arah dapur dengan suara riang dan mendekati Doyoon yang sedang mewarnai gambarnya. "Eomma memberiku permen. Untukmu satu," kata bocah kecil berumur lima tahun itu sambil memberikan salah satu permen yang dipegangnya kepada Doyoon.

"Terima kasih," kata Doyoon sambil tersenyum manis lalu ia membuka bungkus permen dan memakannya.

Seungcheol balas tersenyum hingga lesung pipinya tampak lalu berbaring tengkurap di sebelah Doyoon dan mewarnai gambarnya. Keduanya asyik mewarnai gambar masing-masing sampai Seungcheol mendengar Doyoon menguap. "Dodo ngantuk?"

Doyoon mengangguk sambil mengucek matanya.

"Tidur saja yuk. Ayo dibereskan," kata Seungcheol sambil membereskan peralatan menggambarnya. Doyoon juga melakukan hal yang sama lalu Seungcheol menggandeng Doyoon ke kamarnya.

Kedua bocah kecil itu naik ke tempat tidur kemudian Seungcheol berbaring dan merentangkan satu tangannya. Doyoon berbaring dan menjadikan tangan Seungcheol sebagai bantal. Lalu Doyoon akan memeluk Seungcheol dan tangan Seungcheol yang bebas akan mengelus kepala Doyoon sampai mata anak perempuan itu terpejam. Selalu seperti itu jika mereka tidur siang bersama.

.

Awal tahun ajaran baru dimulai. Seperti biasa, Seungcheol dan Doyoon akan berangkat sekolah bersama seperti hari-hari sebelumnya. Hari itu, mereka diantar oleh Tuan Jang, esoknya Seungcheol dan Doyoon akan diantar oleh Tuan Choi, Tuan Jang dan Tuan Choi selalu bergantian mengantar anak-anak mereka ke sekolah.

"Seonsaengnim!" seru Seungcheol setelah mengangkat tangannya.

"Ya Seungcheol-ah?" Lee-seonsaengnim mendekati Seungcheol.

"Dodo mana?" tanya Seungcheol dengan wajah cemberut.

"Dodo di kelas sebelah. Hari ini 'kan tahun ajaran baru dimulai. Jadi Seungcheol tidak sekelas sama Dodo karena murid-murid diacak," jelas sang guru dengan penuh pengertian.

"Aku tidak mau belajar kalau tidak ada Dodo," ucap Seungcheol dengan nada merajuk.

"Jangan begitu Seungcheol-ah."

"Pokoknya aku cuma mau belajar kalau ada Dodo!"

"Seungcheol-ah, ada atau tidaknya Dodo, kau harus tetap belajar," kata Lee-seonsaengnim sambil mengelus kepala Seungcheol.

Seungcheol mulai menangis keras hingga Lee-seonsaengnim panik dan teman-temannya melihat Seungcheol. Akhirnya Lee-seonsaengnim membawa Seungcheol keluar dari kelas untuk menenangkannya.

Dari kelas sebelah, Doyoon yang sedang mengerjakan tugas yang diberikan guru terkejut ketika mendengar suara tangis yang familiar. Lalu ia meminta izin untuk ke toilet kepada gurunya.

"Seungcheol-ie?" ujar Doyoon setelah ia keluar dari kelasnya dan melihat bocah cilik yang sangat dikenalnya.

Seungcheol yang menangis mendongakkan kepalanya dan langsung berlari memeluk Doyoon dan menangis di bahu gadis kecil itu. Doyoon mengusap punggung Seungcheol beberapa kali lalu mendorong Seungcheol.

"Cheol-ie kenapa menangis?" tanya Doyoon sambil menghapus air mata Seungcheol.

"Aku mau sekelas sama Dodo," ucap Seungcheol lirih.

"Cheol-ie tidak boleh egois."

"Tapi aku mau sekelas sama Dodo~" rengek Seungcheol.

Doyoon menangkup wajah Seungcheol lalu mencium keningnya. Hal yang selalu dilakukan Doyoon ketika Seungcheol merengek agar bocah laki-laki itu mau menuruti apa katanya. "Dengarkan Dodo oke? Seungcheol tidak boleh egois dan harus patuh sama Lee-seonsaengnim."

Seungcheol tidak protes lagi dan mengangguk dengan wajah cemberut.

"Kita masih bisa bermain nanti waktu istirahat kok," hibur Doyoon.

"Janji ya?" tanya Seungcheol sambil menunjukkan jari kelingkingnya.

Doyoon mengangguk. Lalu menautkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Seungcheol. "Sekarang minta maaf sama Lee-seonsaengnim karena Cheol-ie telah merepotkannya."

"Mianhae ssaem," ucap Seungcheol sambil membungkukkan badan pada gurunya.

Lee-seonsaengnim tersenyum. "Sekarang kembali ke kelas ya?"

Seungcheol mengangguk. Ia melambai pada Doyoon dan kembali ke kelasnya.

.

Seungcheol jengkel. Semenjak dirinya dipisahkan dari Doyoon, Doyoon mendapat teman baru. Namanya Choi Minki. Walaupun Doyoon masih mengajaknya bermain pada jam istirahat, tapi Doyoon lebih sering mengajak Minki berbicara dan mengabaikan Seungcheol. Sampai akhirnya Seungcheol mendorong Minki yang sedang bermain dengan Doyoon karena lagi-lagi Seungcheol diabaikan.

Doyoon menatap Seungcheol marah lalu gadis kecil itu memukul Seungcheol. "Kenapa kau mendorongnya?!"

"Dia menyebalkan! Dia merebut Dodo dariku!"

Doyoon menunjukkan wajah tidak sukanya pada Seungcheol lalu membantu Minki berdiri dan membawanya ke ruang kesehatan untuk mengobati lutut Minki yang berdarah.

Seungcheol mengikutinya lalu menarik tangan Doyoon.

Doyoon menepis tangan Seungcheol. "Cheol-ie nakal! Aku tidak mau bermain denganmu lagi!" serunya lalu meninggalkan Seungcheol yang mematung mendengar ucapan Doyoon.

Sepulang sekolah, Tuan Choi sudah menunggu di depan gerbang sekolah Doyoon dan Seungcheol, hari itu adalah jadwalnya untuk menjemput anaknya dan Doyoon. Biasanya Doyoon dan Seungcheol akan keluar dari sekolah dengan bergandengan tangan, namun Tuan Choi dibuat bingung ketika ia melihat Doyoon memasuki mobilnya terlebih dahulu kemudian Seungcheol menyusulnya. Biasanya juga, mereka berdua akan berceloteh tentang pengalaman mereka di sekolah, tapi hari itu, keduanya diam seribu bahasa. Dan hari itu adalah jadwal Seungcheol bermain di rumah Doyoon, Tuan Choi makin bingung ketika Doyoon berlari masuk ke rumahnya setelah mengucapkan terima kasih tanpa menunggu Seungcheol.

"Seungcheol-ie tidak masuk ke rumah Dodo?" tanya sang ayah.

Seungcheol menggeleng pelan.

"Sedang bertengkar ya?"

Seungcheol mengangguk dan memajukan bibir bawahnya. "Dodo marah padaku," curhatnya.

"Memang Seungcheol-ie melakukan apa?"

"Aku mendorong Minki karena aku kesal Dodo terus bermain dengannya dan mengabaikanku."

Tuan Choi mengelus kepala anaknya. "Kalau begitu cepat minta maaf ya. Tidak baik bermusuhan lama-lama."

Seungcheol mengangguk.

"Kita pulang sekarang ya?" tanya Tuan Choi yang dibalas anggukan lagi oleh Seungcheol. Lalu Tuan Choi mengemudikan mobilnya menuju rumah mereka.

Keesokan harinya, gantian Tuan Jang yang mengantar Seungcheol dan Doyoon ke sekolah. Sesampainya di depan rumah keluarga Choi, Tuan Jang membunyikan klakson dan menunggu Seungcheol keluar dari rumahnya.

"Eomma, boleh minta mawarnya satu?" tanya Seungcheol ketika berada di depan rumahnya.

"Untuk apa Cheol?" tanya Nyonya Choi bingung.

"Mau minta maaf sama Dodo," kata Seungcheol sambil cengar-cengir.

Nyonya Choi tersenyum, lalu ia memotong satu tangkai mawar dan memberikannya kepada Seungcheol. "Hati-hati ya, banyak durinya."

Seungcheol mengangguk. "Aku berangkat eomma," katanya lalu memasuki mobil Tuan Jang setelah ibunya membuka pintu pagar.

Sesampainya di mobil, Seungcheol memberikan bunga berwarna merah itu kepada Doyoon yang duduk di kursi depan. "Untukmu."

Doyoon menerimanya tanpa mengatakan apapun.

"Mianhae Dodo-ya," kata Seungcheol. "Cheol-ie janji akan jadi anak baik dan menuruti semua perkataan Dodo."

Doyoon memiringkan badannya dan menatap Seungcheol. "Dodo juga minta maaf karena telah memukul Cheol-ie."

Seungcheol tersenyum. "Jangan abaikan Cheol-ie lagi."

Doyoon mengangguk dan menunjukkan senyum manisnya.

Tuan Jang yang sesekali melirik keduanya tersenyum melihat tingkah laku Seungcheol dan Doyoon.

.

"Appaa~ aku mau foto dengan Doyoon pakai baju seperti orang tadi," rengek Seungcheol kecil sambil menarik celana ayahnya.

Keluarga Choi dan keluarga Jang sedang berada di studio foto dan tadi Seungcheol melihat pasangan yang mengenakan pakaian pengantin. Dan tiba-tiba ia juga ingin berfoto dengan mengenakan pakaian seperti itu dengan Doyoon.

"Nanti kalau sudah besar, Seungcheol boleh foto dengan baju itu dengan Doyoon-ie."

"Maunya sekarang~" rengek Seungcheol. Wajahnya cemberutnya semakin menjadi.

Tuan Choi menghela napas melihat tingkah laku putranya. Lalu ia membicarakannya dengan orangtua Doyoon. Orangtua Doyoon tidak keberatan dan malah tertawa mendengar permintaan Seungcheol. Kemudian mereka bertanya kepada pegawai di studio foto itu apakah mereka memiliki baju pengantin ukuran kecil atau tidak. Dan ternyata mereka punya dan pas di tubuh Seungcheol dan Doyoon. Seungcheol memakai jas warna putih dan Doyoon memakai gaun warna senada dengan jas Seungcheol dengan buket bunga imitasi di tangannya. Lalu semuanya bersiap dan mereka melakukan sesi pemotretan sebagai kenang-kenangan.

Tanpa Seungcheol ketahui, bahwa itu adalah hari terakhirnya bertemu dengan Dodonya.

.

"Eomma, Dodo mana? Kok belum datang?" tanya Seungcheol sambil mencoret-coret kertasnya dengan krayon.

Nyonya Choi mendekati Seungcheol dan mengelus kepala putranya. "Hari ini Doyoon pergi. Pergi ke tempat yang jauh sekali."

"Kapan Dodo pulang?" tanya Seungcheol lagi.

"Eomma tidak tahu. Tapi mungkin Cheol-ie tidak akan bertemu Dodo dalam waktu yang lama."

"Kok Dodo tidak pamit pada Cheol-ie?"

"Mungkin Dodo lupa."

"Dodo tidak mungkin lupa," lirih Seungcheol. Matanya mulai berkaca-kaca.

Nyonya Choi terus membelai kepala anaknya dengan sayang.

Lalu tiba-tiba Seungcheol membanting krayonnya dan memukul ibunya. "Dodo akan pulang 'kan? Dodo tidak akan meninggalkan Cheol-ie 'kan?"

Walaupun saat itu masih berumur lima tahun, Seungcheol tahu, Doyoon meninggalkannya dan mereka tidak akan bertemu dalam waktu dekat. Lalu Seungcheol menangis di dalam pelukan ibunya hingga ia tertidur.

Sementara itu di bandara Incheon, Doyoon mendongak untuk menatap ibunya yang duduk di sebelahnya. "Kita mau ke mana eomma?"

"Ke tempat yang jauh sayang," kata Nyonya Jang.

"Cheol-ie tidak ikut?"

"Cheol-ie tidak bisa ikut."

"Kapan kita akan pulang eomma?"

"Tidak tahu sayang. Mungkin kita akan pergi dalam waktu yang lama, jadi Doyoon-ie tidak bisa bertemu Cheol-ie dalam waktu dekat."

"Oh," ujar Doyoon. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan air matanya yang siap turun kapan saja.

"Doyoon-ie, ayo berangkat. Pesawatnya sudah siap," kata Nyonya Jang yang sudah berdiri dan hendak menggandeng putrinya setelah mendengar pengumuman melalui speaker.

Doyoon memeluk kaki ibunya dan menangis. Nyonya Jang berjongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan putrinya lalu memeluk gadis kecil itu.

"Bo-boleh menelepon Cheol-ie?" tanya Doyoon di sela isakannya. Tuan Jang yang melihat putrinya menangis, mengelus kepala Doyoon.

"Pesawatnya sudah datang Doyoon-ie. Tidak ada waktu untuk menelepon Cheol-ie. Kita pergi sekarang ya?"

Doyoon hanya mengangguk dan tetap menangis.

Nyonya Jang tersenyum sedih kemudian menggendong Doyoon dan mengelus punggung anak itu untuk menenangkannya. Lalu keluarga itu meninggalkan ruang tunggu dan menuju ke pesawat yang siap untuk diberangkatkan dalam beberapa menit.

.

.

Seungcheol melempar album foto itu ke dinding. Memori masa kecilnya terulang lagi di dalam kepalanya bagai roll film ketika ia melihat beberapa foto di dalam album itu. Ia menjambak rambutnya frustasi. Bagaimana bisa ia melupakan Doyoon, teman masa kecilnya yang selalu disayanginya dulu, teman masa kecilnya yang selalu dimonopolinya. Bagaimana bisa ia tega melukai Doyoon dengan berapacaran dengan Jeonghan. Seungcheol jadi merasa ia adalah manusia paling bodoh, paling tidak berguna dan paling brengsek di muka bumi. Adakah hal yang bisa dilakukannya untuk menebus semua kesalahannya pada Doyoon? Sekarang, Seungcheol cuma bisa berharap dan berdoa, semoga Tuhan masih berbaik hati untuk membiarkan Doyoon tetap bersamanya.

.

Keesokan harinya, Seungcheol menekan bel apartemen itu lalu tampak seorang perempuan dengan rambut sebahu membuka pintu apartemennya. Tidak ada senyum manis yang menghiasi wajahnya, hanya ekspresi dingin dengan sedikit kebencian yang dapat Seungcheol tangkap dari wajah itu.

"Masuklah," kata si gadis pemilik apartemen—Yoon Jeonghan.

Seungcheol memasuki apartemen itu lalu mendudukkan dirinya di sofa.

"Mau minum apa?" tanya Jeonghan.

"Tidak perlu. Bisa langsung ke inti saja? Aku tahu kau juga ingin membicarakan sesuatu."

Jeonghan mengangguk dan duduk di hadapan Seungcheol. "Kita putus saja Cheol."

"Ide bagus."

Jeonghan menatap Seungcheol dengan pandangan tidak percaya, ia masih sedikit berharap kalau Seungcheol memacarinya karena memang menyukainya. "Aku dengar kau dijodohkan."

"Oh, kau sudah tahu?" kata Seungcheol tanpa ada maksud menutup-nutupi.

Jeonghan mengangguk.

"Dengan temanmu, Jang Doyoon," kata Seungcheol.

Jeonghan mendengus. "Jadi aku hanya pelarian, eh?"

"Ya," jawab Seungcheol.

Hati Jeonghan terasa nyeri, walaupun ia sudah tahu. Tapi mendengar jawaban langsung dari Seungcheol ternyata sakit juga. "Kau brengsek."

"Ya, aku memang brengsek."

Mata Jeonghan terasa panas sekarang.

"Apakah kau tidak menyukaiku? Sedikit saja?"

"Aku tertarik kepadamu. Tidak lebih."

Lalu air mata Jeonghan mengalir begitu saja tanpa bisa ia tahan. Hatinya benar-benar sakit. Kemudian keduanya terdiam.

"Kau menyukai Doyoon?" tanya Jeonghan di sela isakannya.

"Ya. Ah tidak, mungkin aku telah jatuh cinta kepadanya. Entah sejak kapan hanya Doyoon yang memenuhi pikiranku dan bukan dirimu."

"Kau benar-benar brengsek Cheol," ujar Jeonghan dengan nada penuh kebencian sambil menghapus air matanya.

"Maaf, Han. Jangan menangis karena orang sepertiku."

Jeonghan menutup wajahnya dengan kedua tangan dan berusaha menghentikan tangisannya.

"Aku minta maaf, atas semua yang pernah kulakukan kepadamu. Semoga kau mendapat lelaki yang lebih baik dari diriku dan mencintaimu apa adanya. Aku pulang dulu," pamit Seungcheol lalu meninggalkan apartemen Jeonghan.

.

Doyoon menekan bel apartemen itu, namun sang empunya belum juga membuka pintunya. Ia menatap angka pada jam tangannya, setengah tujuh lebih. Setelah pulang dari kantor, ia pulang ke rumah untuk makan dan mandi lalu langsung melesat ke apartemen Seungcheol untuk membicarakan sesuatu yang sudah diputuskannya. Doyoon duduk di depan pintu apartemen Seungcheol sambil memainkan game di ponselnya agar tidak bosan.

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh namun Seungcheol belum juga kembali. Akhirnya Doyoon melangkahkan kakinya menuju jendela besar di lantai itu yang memperlihatkan jalanan kota Seoul. Ia mendudukkan dirinya di kusen jendela dan menatap kendaraan yang berlalu-lalang. Setelah bosan menatapi kendaraan, Doyoon mengecek ponselnya lagi, tak terasa sudah pukul delapan lebih.

Doyoon kembali berdiri di dekat pintu apartemen Seungcheol dan memainkan ponselnya lagi. Hingga jam menunjukkan pukul sembilan kurang, Doyoon berdiri di depan pintu apartemen Seungcheol dan menatapnya.

"Do?" panggil seseorang yang sejak tadi ditunggunya—Choi Seungcheol.

Doyoon menoleh dan tersenyum. "Hai, Cheol."

Seungcheol mendekati gadis itu dan mengusap wajahnya. "Sudah lama? Kenapa tidak meneleponku?"

"Um, lumayan. Nanti aku mengganggu, mungkin kau sedang bersama Jeonghan."

Seungcheol mendengus. Ya tidak salah sih, tadi dia memang bersama Jeonghan. Tapi bagaimana bisa gadis itu menyebut nama Jeonghan dengan enteng.

Seungcheol menggandeng tangan Doyoon lalu menekan beberapa tombol hingga pintu apartemen terbuka. Lelaki itu menarik Doyoon masuk dan menundudukkannya di sofa sementara ia pergi ke dapur untuk membuat secangkir teh untuk Doyoon.

"Ada apa?" tanya Seungcheol setelah meletakkan cangkir teh di hadapan Doyoon.

"Ini tentang perjodohan kita."

"Kenapa?"

"Kita batalkan saja?"

"Aku sudah putus dengan Jeonghan," kata Seungcheol santai, walau dalam hati ia takut setengah mati Doyoon tetap pada pendiriannya untuk membatalkan perjodohan mereka.

"Oh, begitu," kata Doyoon sambil mengangguk paham.

"Jadi?"

"Kita batalkan? Sejak awal 'kan kau memang tidak setuju. Kau bisa mencari perempuan lain."

"Tidak bisakah kau memberiku kesempatan? Sekali saja?"

Doyoon hanya diam.

"Please?" tanya Seungcheol dengan nada memelas.

Doyoon masih diam dan menatap Seungcheol. Seungcheol mendekati Doyoon dan berlutut di depan gadis itu dan menggenggam kedua tangannya. "Cheol-ie selalu menuruti apa kata Dodo 'kan?" tanyanya lalu menangkup wajah Doyoon dan mengecup kening Doyoon. "Ya 'kan?"

Doyoon langsung memeluk Seungcheol dengan erat dan menyembunyikan wajahnya pada perpotongan leher Seungcheol. "Jangan mengecewakanku lagi."

"Tidak akan," kata Seungcheol dan mengusap kepala Doyoon dengan sayang. "Maafkan aku telah melupakanmu. Jangan tinggalkan aku."

Doyoon mengangguk. "Tidak akan," gumamnya. Lalu keduanya tetap dalam posisi itu selama beberapa menit.

"Sudah malam. Aku antar pulang?" tanya Seungcheol setelah diam yang cukup lama.

Doyoon melepas pelukannya dan mengusap air matanya yang sudah berkumpul di ujung matanya. "Boleh… Menginap di sini?"

Seungcheol mengangguk. "Kau bisa tidur di kamarku, aku akan tidur di sofa. Aku bereskan kamarku dulu," kata Seungcheol lalu beranjak ke kamarnya untuk merapikannya.

Doyoon memajukan bibir bawahnya dan menggerutu dalam hati, dasar tidak peka! Lalu ia menghabiskan tehnya dan pergi ke dapur untuk mencuci cangkirnya.

Setelah itu, Doyoon mencuci mukanya dan duduk di tepi kasur Seungcheol. Ia sudah siap tidur dengan baju putih kebesaran dan celana training hitam milik Seungcheol. Doyoon duduk di tepi tempat tidur Seungcheol dan mengedarkan pandangannya lalu ia menolehkan kepalanya ke pintu ketika pintu kamar itu terbuka.

"Eh, maaf. Aku lupa ambil selimut," kata Seungcheol sambil berjalan menuju lemarinya dan mengambil selimut.

"Cheol," panggil Doyoon saat Seungcheol sudah menggapai gagang pintu.

"Ya?"

"Sini."

"Ada apa?" tanya Seungcheol sambil mendekati Doyoon.

Doyoon menarik Seungcheol ke kasur dan mendorongnya agar berbaring lalu ia menjadikan lengan Seungcheol sebagai bantal dan memeluknya.

Seungcheol terkekeh. "Dodo mau tidur bersama?"

Doyoon mengangguk.

"Aku kembalikan selimut dulu. Setelah itu, kita tidur."

Doyoon melepas pelukannya lalu mendudukkan dirinya lagi dan membiarkan Seungcheol mengembalikan selimut ke dalam lemari. Kemudian Seungcheol berbaring di tempat tidurnya, disusul Doyoon yang berbaring di sebelah Seungcheol. Seungcheol menarik bed cover hingga menutupi tubuh keduanya dan mereka berdua berbaring saling berhadapan.

"Sudah izin sama eomma?"

Doyoon mengangguk.

"Bagaimana izinnya?"

"Menginap di apartemen Jeonghan-ie," jawab Doyoon sambil terkekeh.

Seungcheol tersenyum lalu mengacak rambut Doyoon. "Dasar."

Doyoon beringsut mendekati Seungcheol lalu memeluknya. "Aku merindukanmu."

"Aku juga. Sangat sangat merindukanmu," balas Seungcheol dan membalas pelukan Doyoon. Lalu sebelah tangannya terulur untuk mengelus kepala Doyoon hingga keduanya pergi menuju ke alam mimpi.

.

Setelah Seungcheol meninggalkan apartemen Jeonghan, Jeonghan terdiam sebentar di ruang tamunya untuk menenangkan diri. Lalu ia mengambil ponsel dan pergi dari apartemennya. Bagai menemani Jeonghan yang patah hati, gemuruh petir mulai terdengar lalu tak lama kemudian hujan pun turun. Setengah berlari, Jeonghan menyusuri jalanan menuju apartemen seseorang di bawah rinai hujan yang semakin deras hingga ia sampai di depan pintu apartemen itu dan menekan belnya.

Tak lama kemudian, pintu apartemen itu terbuka. Jeonghan langsung menabrakkan dirinya dan memeluk si pemilik apartemen.

"C-Cheonsa?" panggil si pemilik apartemen yang bernama Hong Jisoo dengan nada khawatir sekaligus bingung. "Kau kenapa hujan-hujanan?" tanyanya lalu menjauhkan Jeonghan.

Jeonghan menjauh dengan wajah tertunduk dan tidak menjawab pertanyaan Jisoo.

"Ayo masuk," ajak Jisoo dan menggandeng Jeonghan ke kamar mandi. Lalu ia mencarikan baju dan celananya dan memberikannya kepada Jeonghan. "Cepat ganti. Jangan lama-lama di dalam," ujar Jisoo lembut sambil mendorong Jeonghan ke dalam kamar mandi. Lalu Jisoo mengganti bajunya yang agak basah kemudian pergi ke dapur untuk membuat segelas cokelat untuk Jeonghan dan menyiapkan hair dryer.

Setelah Jeonghan mengganti pakaiannya, Jeonghan menghampiri Jisoo yang duduk di ruang tamu dan duduk di seberangnya. Jisoo beranjak dari tempatnya lalu memberikan segelas cokelat panas kepada Jeonghan.

"Terima kasih," ucap Jeonghan dengan suara pelan.

Jisoo tersenyum lalu duduk pada sandaran sofa dan mulai mengeringkan rambut Jeonghan dengan hair dryer yang sejak tadi sudah disiapkannya. Selama mengeringkan rambut Jeonghan, Jisoo cuma diam, Jeonghan pun tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Setelah rambut Jeonghan kering, Jisoo menyimpan hair dryer dan kabel olornya lalu ia duduk di sebelah Jeonghan.

"Kau kenapa?" tanya Jisoo dengan suara lembut.

"Patah hati," balas Jeonghan sambil terkekeh.

Jisoo menepuk kepala Jeonghan beberapa kali.

"Maaf," lirih Jeonghan.

"Untuk apa?" tanya Jisoo.

"Karena sudah merepotkanmu. Aku juga tidak tahu kenapa aku berlari ke apartemenmu."

Jisoo tersenyum. "Tidak masalah." Jisoo memainkan jarinya. "Kau mau menunggu hujan reda atau menginap di sini?"

"Boleh menginap di sini saja?"

"Boleh."

Jeonghan menghela napas panjang dan tertawa pelan. "Lagi-lagi aku merepotkanmu."

"Tidak kok. Sudah malam, lebih baik kau tidur," ujar Jisoo dan mengelus kepala Jeonghan. "Ayo aku antar ke kamar."

Jeonghan mengangguk lalu ia mengikuti Jisoo ke kamarnya.

"Selamat malam, Cheonsa," ujar Jisoo setelah mengantar Jeonghan ke kamarnya dan hendak meninggalkan kamar itu.

"Kau tidur di mana Soo?"

"Di sofa. Kenapa?" tanya Jisoo dengan ekspresi kebingungan.

"Lho, tidak tidur bersamaku?"

Wajah Jisoo memerah sampai ke telinga. Tidur dengan Jeonghan yang tidak memakai pakaian dalam karena seluruh bajunya basah karena hujan? Wah— eh?! Ya Tuhan maafkanlah pikiran kotor Jisoo. "Eh, itu… Anu, aku permisi, se—" kata Jisoo panik.

Jeonghan tertawa geli melihat Jisoo yang panik dengan wajah memerah. "Aku bercanda Soo."

Jisoo mengusap tengkuknya dan tersenyum kikuk. "Kalau begitu, aku tinggal dulu. Selamat malam," ujar Jisoo dan hendak membuka pintu kamarnya.

"Jisoo," panggil Jeonghan.

Jisoo membalikkan badannya. "Ya?"

"Terima kasih," kata Jeonghan dengan senyum malaikatnya.

Jisoo mengangguk dan balas tersenyum. Lalu ia meninggalkan kamarnya dengan dada berdesir.

.

TBC

.

Halo~ ada yang merindukan cerita ini? Next chapter masih 95line~ see you! /wink