Tittle : GET DOWN SEQUEL (THE SERIES)

Author: Hani Hwang

Casts: Get down and amy's casts

Genre: Romance, Yaoi

Disclaimer: Plot ceritanya punya author, Wonwoo juga punya author

Rated: T

DONT LIKE DONT READ!

.

.

.

.

.

PRAK!

Roti dan susu kotak itu terjauh begitu saja kelantai. Melayang karena terlepas dari sebuah genggaman. Dan jatuh menghantam lantai tepat didepan kaki orang yang tadi menggenggamnya. Ruangan yang sepi itu semakin senyap. Waktu seolah berhenti berputar, dan detik berikutnya terdengar isakan. Pemuda berambut merah muda seperti permen kapas itu menangis. Bibirnya yang mungil bergetar dan pipinya berlelahan air mata. Tidak ada kata yang terucap, namun isakan sendu itu cukup menjelaskan apa yang dirasakan pemuda mungil itu. Tangannya yang kosong terhempas hampa di udara. Bahunya yang mungil bergetar hebat. Menandakan seberapa berusahanya ia menahan tangis, namun sia-sia. Air mata bukanlah sesuatu yang dapat ia kontrol. Butiran bening itu menetes begitu saja

Sementara di seberang sana, dua pasang mata itu menatapnya. Sepasang menatapnya datar dengan wajah tak bersalah dan acuh tak acuh. Sementara sepasang lagi terbelalak melihatnya, dengan cepat pemilik sepasang mata yang terbelalak itu bangkit dari duduknya, dan segera berlari menghampiri pemuda berambut merah muda itu.

"Jinwoo-ah!" Panggilnya.

Namun pemuda bernama Jinwoo itu berbalik, menghapus air matanya kasar dan pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah terburu. Kakinya tampak gemetar ketika ia berlari.

"Jinwoo-ah, tunggu!" Seru pemuda berjas itu lagi.

"Kyungwon-ah!" Wanita yang tadi menatap datar itu berseru, melipat tangannya dan kemudian mematri seringaian iblis disudut bibirnya.

Kyungwon tak menghiraukan panggilan itu, dan terus berlari mengejar Jinwoo yang berada didepannya.

"Jinu-ya, dengarkan hyung dulu!" Teriak Kyungwon lagi.

Jinwoo tetap membisu, tapi larinya semakin dipercepat. Ia menuruni tangga dan meninggalkan Kyungwon dengan lebih cepat lagi tanpa menoleh sedikitpun.

Tubuh Kyungwon yang jangkung membuat kakinya yang panjang melangkah dengan lebar, berbeda dengan Jinwoo yang langkahnya sempit. Kyungwon berlari, dan beberapa saat kemudian ia sudah berhasil eraih tangan Jinwoo. Menghentaknya dan membuat pemuda itu berhenti. Jinwoo menghentikan langkahnya, menatap Kyungwon dengan mata berlelahan air mata. Raut wajahnya menyiratkan kekecewaan yang begitu dalam. Napasnya memburu dan dadanya tersenggal. Pundaknya masih bergetar hebat. Matanya yang sipit menatap tajam Kyungwon.

"Apa? hyung? apa lagi? aku ingin pulang! lepaskan aku!" Teriak Jinwoo meledak-ledak, tangannya menepis pegangan Kyungwon kasar.

Kyungwon menghela napas gusar dan meraih Jinwoo kedalam pelukannya. Jinwoo menangis semakin keras dan memukuli dada Kyungwon brutal.

"Tenanglah, Jinu-ya, kita bicara baik-baik ya." Kyungwon menumpu dagunya dipundak Jinwoo dan mengusap punggung mungil itu dengan lembut.

Jinwoo mendorong bahu Kyungwon hingga pelukan mereka terlepas.

"Tenang? baik-baik? aku yang tak baik-baik saja!" Bentak Jinwoo histeris, ia berbalik hendak melangkah pergi.

Kyungwon kembali menahan tangannya. "Jinu-ya, dengarkan hyung dulu!" Seru Kyungwon lagi.

"Apa? hyung mau bilang kalau itu untuk eksperimen-mu? kau mau bilang kalau kau sedang menguji 'reaksi seorang pria yang sudah bertunangan terhadap french kiss dari orang ketiga' begitu?" Sembur Jinwoo, tanpa jeda sedikitpun. Jinwoo berbalik dan berlari lagi sambil menghapus air matanya yang berlelahan.

"Hong Jinwoo!"

.

.

.

.

Jinwoo berlari melewati parkiran dan meninggalkan gedung itu. Dengan cepat ia menghentikan sebuah taksi dan masuk kedalamnya. Mengabaikan Kyungwon yang berlari sambil meneriaki namanya.

"Ahjussi, tolong lebih cepat!" Suruh Jinwoo pada supir taksi. Sementara yang disuruh hanya mengangguk sambil menaikan kecepatan taksinya.

Taksi melaju membelah jalanan Seoul yang padat. Jam menunjukkan pukul sembilan malam, dan Jinwoo masih belum berhenti menangis. Kepalanya menyender dikaca taksi itu, menatap hampa keluar dengan air mata yang tak hentinya menangis. Mengutuki semua yang dilihatnya, lampu-lampu, pertokoan, rambu lalu lintas, bahkan orang yang lewat seolah mereka Kyungwon. Sumpah serapah menumpuk begitu saja didalam benaknya, dan ingatkan Jinwoo untuk mengatakan semua sumpah serapah itu pada Kyungwon nanti.

"Apa masalahnya begitu berat? kau sudah menangis sejak tadi." Gumam supir taksi itu, merasa iba pada Jinwoo. Sungguh sangat disayangkan sosok semenggemaskan Jinwoo menangis terisak selama setengah jam lebih.

"Tidak."

"Begitu?"

"Hm, aku hanya habis melihat tunanganku berciuman dengan orang lain." Sahut Jinwoo, sebuah senyum tipis tergurat dan ia tampak putus asa.

"Itu tidak terdengar baik. Tapi menurutku, kau tidak boleh begini. Aku teringat puteraku dirumah. Dia terlalu sibuk kuliah sampai tak sempat berkencan. Tapi setelah melihatmu begini, ada baiknya juga dia tak berkencan." Celoteh ahjussi itu lagi. Kebetulan lampu merah sedang menyala.

"Benar." Balas Jinwoo. Meremat dadanya sebelah kiri. Setelah tangisnya mereda, rasa sesak itu mulai memenuhi dan mencekiknya. Jinwoo benci ini.

Lampu merah berganti hijau, dan taksi kembali melaju. Membawa Jinwoo menuju rumahnya.

.

.

.

.

"Kita sudah sampai."

Suara itu membuat Jinwoo tersadar dari lamunannya, dan kemudian ia segera mengeluarkan beberapa lembar uang untuk membayar ongkos taksi. Jinwoo turun dan melangkah menuju rumahnya. Sesaat setelah taksi pergi, dan ketika Jinwoo membuka kunci pagar rumahnya, sebuah suara kembali memanggilnya. Suara yang ia hapal betul siapa pemiliknya.

"Jinwoo-ya!"

Kyungwon menghampirinya. Tapi Jinwoo justru bergegas masuk dan bahkan tak menoleh sedikitpun. Ia buru-buru membuka pintu depan dan kemudian membantingnya kasar. Membuat orang tua nya yang duduk diruang tamu terkejut.

"Ada apa Jinu-ya?" Tanya Jihoon, ibunya cemas. Tak biasanya Jinwoo pulang seperti ini. Dengan wajah kusut dan jejak air mata sepanjang pipinya.

"Kau tak apa, Jinu-ya?" Kali ini Ayahnya yang bertanya.

"Aku tak apa." Singkat Jinwoo sambil menyeret langkahnya. Ia terus melangkah menuju kamarnya, melewati ruang keluarga dan menaiki tangga.

"Oh! Jinu hyung sudah pulang, ayo kita tanyakan!" Suara Seungjun-adiknya Seunghyub dan juga sekelas dengan Minki.

"Hyung! jelaskan soal limit trigono-"

"Tanya saja pada Junho. Aku tak ingin menjawab apapun." Potong Jinwoo datar.

Seungjun dan Minki berpandangan, lalu keduanya mengangguk bersamaan dan kembali duduk ditempat semula. Mereka tahu benar kalau mood Jinwoo sedang amat-sangat- buruk, mereka bahkan bisa merasakan aura kelam yang menguar dari Jinwoo.

"Hong Jinwoo!"

Minki dan Seungjun kembali menoleh, mengerutkan kening. Setelah Jinwoo, kali ini yang datang adalah Kyungwon, tunangannya Jinwoo. Minki menggeleng prihatin. Kalau sudah begini, ia dapat memprediksi masalahnya. Sudah jelas kalau Jinwoo memergoki Kyungwon bersama orang lain. Minki sudah tak aneh dengan hal ini. Dia tahu betul kalau Kyungwon adalah tipe pria yang dikerubuti dan diincar semua gadis. Dan Minki juga tahu betul, kalau kakaknya-Hong Jinwoo- itu seorang pencemburu dan sensitif jika miliknya disentuh orang lain.

Kyungwon berlalu mengejar Jinwoo tanpa mempedulikan Minki dan Seungjun. Yang ia pedulikan saat ini hanyalah bagaimana memperbaiki mood Jinwoo yang sedang kacau. Atau masalah ini akan semakin kacau, apalagi jika Eommanya-Wonwoo- tahu, bisa-bisa Wonwoo membuang atau mungkin membakar, laboratorium pribadi milik Kyungwon yang ada disebelah kamarnya. Kyungwon bergidik. Ia lebih takut pada Wonwoo eommanya dari pada Mingyu, Appanya.

"Jinu-ya~ buka pintunya sebentar." Kyungwon mengetuk pintu didepannya. Pintu bercat putih dengan sebuah stiker yang membentuk nama 'Hong Jinwoo' dengan gambar Pororo disebelahnya. Tidak, kartun kekanakan itu bukanlah kesukaan Jinwoo, tapi itu kartun yang selalu Kyungwon tonton saat kanak-kanak. Jinwoo selalu suka apa yang Kyungwon sukai. Karena dia menyukai Kyungwon secara utuh, Jinwoo suka semua yang ada pada Kyungwon. Tapi hari ini, entah kenapa Jinwoo benci sekali pada Kyungwon.

"Jinu-ya, buka sebentar, hyung ingin bicara." Kyungwon kembali mengetuk dengan lembut, mencoba bersabar.

"Pergi! hiks. . . untuk apa kau kesini! sana tunangan saja dengan wanita bejat itu!"

Kyungwon menarik napas panjang. "Hong Jinwoo. . . kenapa kau seperti ini? kau sudah janji takkan kekanakkan lagi, kan?"

"Masa bodoh!"

Kyungwon menurunkan tangannya dari ketukan pintu, ia lalu berbisik pelan sebelum pergi. "Aku mengerti, kau renungkan dulu hal ini sendiri. Kalau sudah temukan keputusan yang baik, kabari aku. Jaga dirimu yang baik, Jinu-ya." Kyungwon mengusap pelipisnya yang serasa pening.

Kemudian menyandar sejenak. "Jangan membuatku khawatir, Hong Jinwoo." Dan ia berjalan menuruni tangga.

.

.

"Jaga dirimu yang baik, Jinu-ya."

Jinwoo melengos. Menghapus air matanya kasar lalu berjalan menuju jendela. Menyibak tirainya sedikit. Dan terlihatlah olehnya Kyungwon yang berjalan lesu meninggalkan rumahnya, menuju rumah pemuda itu yang berada persis didepan rumahnya.

"Bukan diriku yang harus dijaga baik-baik, tapi kesetiaanmu." Gumam Jinwoo. Menutup kembali gordennya dan berjalan menuju ranjang. Merebahkan tubuhnya disana.

.

.

.

.

"Aku pulang."

Kyungwon dengan lesu memasuki rumah dan begitu saja berjalan melintasi orang tuanya yang sedang duduk mengobrol dengan Seunghyub dan orang tuanya. Tanpa mengucap salam, Kyungwon pergi kekamarnya begitu saja.

"Kyungwon-ah, beri salam pada Seungcheol Appa dan Jeonghan Eomma." Ucap Wonwoo, menegur anak sulungnya.

"Selamat malam." Gumam Kyungwon lirih, dan tetap berjalan menuju kamarnya.

Samar-samar Kyungwon mendengar mereka membicarakan soal pernikahan dan sebagainya mengenai hubungan Minwoo dan Seunghyub.

Kyungwon menutup pintu kamarnya, lalu melempar jas putihnya kedalam keranjang pakaian kotor yang ada didekat pintu. Tanpa melepas sepatunya, Kyungwon melempar tubuhnya kekasur. Menarik napas panjang. Hari yang melalahkan, dan diakhiri oleh insiden kecil yang memusingkan.

Kyungwon mengamati langit-langit kamarnya. Fikirannya menerawang. Tiba-tiba ia teringat percakapan orang tuanya tadi tentang hubungan adiknya.

"Minwoo dan Seunghyub sudah semakin serius, mereka bahkan sudah mulai membicarakan pernikahan dengan orang tua. . . "Lirih Kyungwon. Merogoh ponselnya perlahan, menekan layarnya dan membuat benda itu menyala menampilkan wallpapper ponselnya, foto Jinwoo yang sedang tersenyum lebar dengan sebuah tangan melingkari pinggang mungil pemuda itu. Kyungwon tahu betul, tangan itu adalah tangannya. "Tapi hubunganku dan Jinwoo malah semakin kacau. Huft. . . Kim Mina benar-banar gila." Gumam Kyungwon lagi.

Kyungwon memejamkan matanya. Kejadian beberapa saat lalu berputar lagi dalam benaknya. Saat ia dilaboratorium bersama Kim Mina, rekan kerja selaboratoriumnya.

Bukannya Kyungwon percaya diri atau apa, tapi ia tahu betul kalau Mina berusaha mendekatinya. Kyungwon bahkan sudah mencoba menghentikannya dengan cara mengenalkan Jinwoo tunangannya pada gadis itu, tapi Mina pantang menyerah. Ini bukan sekali dua kali kejadian begini. Sudah sering Jinwoo salah paham karena adanya seorang wanita didekat Kyungwon, tapi ini yang terparah.

Tadi itu Kyungwon sedang mengistirahatkan sejenak bahunya yang pegal setelah mengamati beberapa unsur kimia, dan ia merebahkan tubuhnya di sofa single yang ada dilab, kemudian Kyungwon menutup matanya dengan masker tidur. Berencana untuk sejenak terlelap. Dan, demi apapun, Kyungwon sama sekali tak tahu kalau Mina menciumnya. Yang ia ingat, ia tersadar karena ada sesuatu yang menekan bibirnya. Dan disusul suara benda jatuh yang tiba-tiba saja terdengar. Maka Kyungwon bergegas membuka masker tidurnya, dan yang didapatinya adalah, Jinwoo yang menangis dan Mina yang berada didepannya. Detik berikutnya, Kyungwon baru paham apa yang terjadi.

Dan sekarang, ia harus berfikir bagaimana cara menjelaskannya pada Jinwoo sebelum Wonwoo atau Jihoon tahu, bisa-bisa ia dipenggal oleh dua orang itu.

Kyungwon menarik napas, mengacak rambutnya asal lalu memejamkan mata.

.

.

.

.

"Kyungwonie!"

Wonwoo melepas terburu masker tidur bergambar pororo yang dipakai Kyungwon. Kemudian mengguncang tubuhnya pelan. Namun pemuda tampan itu tak juga membuka matanya.

"Kim Kyungwon." Panggil Wonwoo lagi.

Kyungwon membuka matanya, lalu menguceknya dan menjawab dengan serak. "Eomma?"

"Ini sudah siang, cepat bangun dan bersiap bekerja. Kalau sudah selesai segera turun." Perintah Wonwoo dengan lembut, mengusak surai Kyungwon yang berantakan lalu tersenyum lembut keibuan. Membuat Kyungwon tertegun, dia sudah lama tidak diperlakukan begini. Dan memang dia sudah terlalu dewasa untuk seperti ini.

Wonwoo berjalan meninggalkan kamar berbau bahan kimia itu, tapi saat hendak menutup pintu, Wonwoo berucap lembut. "Dan jangan lupa untuk menjelaskan kenapa kau membuat Jinu menangis." Sebuah senyuman lembut lagi, yang diiringi oleh debuman pintu.

Kyungwon tercekat. Dia sudah menduganya. Pasti ada apa-apanya kalau Wonwoo sudah semanis itu.

"Heol. Apa secepat itu Jihoonie Ahjussi mengadu?" Gumam Kyungwon sebal. Ia mendengus, lalu beranjak meninggalkan ranjang dan masuk kamar mandi.

.

.

Kyungwon menuruni tangga sudah rapih dengan kemeja putihnya dan celana panjang berwarna biru muda. Rambutnya sudah tertata rapih dan wajahnya sudah tampan seperti biasanya. Berjalan menuju ruang makan tempat orang tua dan adik-adiknya sarapan.

Setelah Kyungwon duduk disebelah Minwoo, sarapan dimulai. Semuanya makan dengan tenang. Sampai kemudian Wonwoo berucap,

"Jinu bilang kau kemarin berciuman dengan seorang wanita dilab, benar?" Tanya Wonwoo datar, dia sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Kyungwon bukan playboy, namun wajahnya yang tampan dan tubuhnya yang atletis memaksanya menyandang gelar playboy bahkan sejak sekolah menengah.

"Uhuk!" Kyungwon terbatuk dan meraih gelas susunya.

"Bukankah kau sudah janji akan menegurnya setelah sarapan?" Mingyu melirik Wonwoo.

"Dia pasti langsung kabur kalau setelah sarapan." Balas Wonwoo. Kyungwon cemberut. Minwoo mengulum senyum, sementara Junho acuh tak acuh.

"Dan apakah Appa sudah bilang untuk jangan makan sambil mendengarkan musik?" Mingyu melirik Junho. Mingyu tahu kenapa Junho secuek itu. Nyatanya, Junho menyumpal telinganya dengan headset tanpa kabel yang sudah disembunyikannya dibalik helaian rambutnya yang agak gondrong.

Junho tetap cuek, tentu saja dia tak mendengar teguran Mingyu, karena lagu yang didengarkannya adalah musik underground yang ribut. Dan disetel dengan volume yang diperuntukkan bagi orang tuli.

"Ehem, Kim Junho!" Tegur Mingyu lagi. Namun Junho tetap bergeming.

Minwoo yang paham situasi, berinisiatif menegur Junho yang duduk disebelahnya. Menepuk pundaknya pelan.

"Apa?" Junho menatap polos pada Minwoo.

"Headsetmu, Appa tak suka kau memakainya saat makan." Ucap Minwoo, sambil menunjuk headset yang menyembul dihelain rambut Junho.

Buru-buru pemuda itu melepas headsetnya dari telinga. "Maafkan aku, Appa." Ucap Junho sambil menunduk.

Mingyu mengangguk dan kembali melanjutkan makannya.

"Jaa, sekarang giliran Kyungwon. Jadi benar kau melakukannya, uri Kyung-playboy-Won?" Tanya Wonwoo lagi.

"I-itu salah paham, Eomma. Dan sudah berulang kali kubilang aku ini bukan playboy jadi jangan menyelipkannya dalam namaku." Balas Kyungwon kesal. Ini masih terlalu pagi untuk membahas hal itu. Tapi mau bagaimana lagi.

"Salah paham?" Kali ini Mingyu yang bertanya.

"Akan sangat menjengkelkan untuk menjelaskannya." Sahut Kyungwon.

"Bukankah yang seharusnya jengkel itu Jinwoo?" Celetuk Junho sambil melirik Wonwoo, minta perlindungan kalau-kalau Kyungwon melemparnya dengan gelas minum.

"Jangan ikut-ikutan." Bisik Minwoo memperingati, menyiku perut adiknya pelan. Junho cemberut, lalu pura-pura acuh kembali.

"Junho benar, yang seharusnya jengkel itu Jinu, bukan kau, Kyungie-ya." Balas Wonwoo kemudian.

Kyungwon menarik napas panjang. "Ah, sudahlah. Eomma dan Appa pasti sudah tahu dari Jihoon atau Jisoo ahjussi, kan? jadi untuk apa bertanya lagi." Kyungwon bangkit. Meraih tas kerjanya dengan wajah masam. "Aku berangkat!"

"Duduk, Kim Kyungwon. Eomma-mu belum selesai bicara." Tegur Mingyu.

"Jaa, aku buru-buru, ada banyak koloni yang harus kuhitung untuk vaksin TBC!" Kyungwon buru-buru pergi meninggalkan ruang makan. Beberapa saat kemudian terdengar suara deru mobil yang meninggalkan halaman.

Wonwoo mengurut dada dan menarik napas panjang.

.

.

.

.

"Jinu-ya, keluarlah, ini ada temanmu. Katanya ada tugas yang diberikan dosen hari ini." Jihoon mengetuk pintu kamar Jinwoo berulang kali. Sementara disebelahnya berdiri seorang pemuda seumur Jinwoo, teman kuliahnya. Namun Jinwoo tak juga menyahut.

"Jinu-ya!" Jihoon kembali berseru, kali ini lebih kencang. Ingatkan Jinwoo kalau Eommanya bukanlah seorang penyabar.

Tetap tak ada jawaban.

"Hong Jinwoo!" Kali Ini Jihoon berteriak tak sabar. Pemuda yang berdiri disebelah Jihoon terlihat agak tersentak. Ini pertama kalinya ia melihat Jihoon meneriaki anaknya.

"Hng,, tak apa Eomeonim, biar aku yang panggil saja." Ucap pemuda itu canggung. Jihoon menatapnya sekilas.

"Yak1 Hong Jinwoo, jangan paksa Eomma untuk memotong uang jajanmu selama setahun kedepan!" Ancam Jihoon, wajahnya memerah.

Beberapa saat hening. Sampai kemudian terlihat knop diputar dan Jinwoo menyembulkan kepalanya dari balik pintu.

"Aku tak lapar Eomma." Gumam Jinwoo sambil menunduk.

"Eomma tak menawarimu makan. Ini ada temanmu!" Jihoon berucap ketus sambil berbalik.

"Dan jangan terus-terusan menangis. Ingatlah kalau matamu sipit." Dan Jihoon pergi dari depan kamar anaknya.

"Jinu-ya." Kali ini giliran pemuda tadi yang menyapa Jinwoo.

"Hng,, masuklah. Changkyun-ssi." Jinwoo mendahului Changkyun masuk kedalam kamarnya.

Changkyun masuk mengikuti Jinwoo.

Dan begitu kakinya menapaki kamar Jinwoo, seketika dia merasa naik kedalam kapal sewol yang karam. Semuanya hancur berkeping-keping. Dimulai dari tisu yang bertebaran dimana-mana, juga kelopak mawar yang acak-acakan diberbagai sudut. Buku-buku dan berbagai macam barang berserakan dilantai. Dan jangan lupakan pecahan kaca juga tetesan darah dibeberapa sudut. Changkyun merinding. Kamar Jinwoo benar-benar tak layak disebut kamar.

"Maaf berantakan. Aku belum sempat beres-beres." Gumam Jinwoo datar sambil mendudukkan dirinya disofa panjang yang ada dekat jendela.

"Akh- tak apa-apa, kamarku juga tak lebih baik dari ini." Sahut Changkyun tersadar dari ketertegunannya. Tapi diam-diam dia juga miris dan sedih. Changkyun sudah tahu apa yang terjadi, karena Jihoon sudah memberitahunya begitu ia bertanya kenapa Jinwoo membolos kuliah.

"Duduklah." Dan Changkyun duduk disebelah Jinwoo.

Ia membuka plastik yang dibawanya, dan mengeluarkan sebuah nasi kotak pada Jinwoo. "Ini, kudengar kau sakit dan kufikir kau pasti belum makan." Ucap Changkyun, menyodorkan nasi kotak itu pada Jinwoo.

Jinwoo menatapnya sejenak, menarik lengan sweaternya hingga terjulur agar bisa menutupi luka goresan yang ada ditangannya yang kurus, meraih pemberian itu. Menatap label restoran favoritnya yang menempel dibagian atas kotak itu. Changkyun mulai merogoh-rogoh isi tasnya dan mengeluarkan beberapa buku dari dalam sana.

"Ini semua materi yang dipelajari jurusan kita hari ini, dan ini soft copy bahan ajaran lainnya." Changkyun menyerahkan sebuah buku tulis dan sebuah flashdisk pada Jinwoo, lengkap dengan senyuman manisnya. "Aku tadi mencatatkannya untukmu. Kau tak boleh ketinggalan pelajaran." Lanjut Changkyun lagi, masih dengan senyum manisnya yang tulus.

Jinwoo menatapnya dalam-dalam. "Terima kasih, Changkyun-ah." Kemudian menerima buku dan flashdisk itu. Menaruhnya dimeja nakas yang ada didekatnya.

"Bagaimana kalau kita makan bersama? sebenarnya aku berniat makan bersama-mu, makanya aku beli dua nasi kotak. Dan. . ." Ucapan Changkyun terputtus ketika terdengar suara yang cukup memalukan.

Grrr. . .

Suara perut Changkyun yang kelaparan. Changkyun menggaruk tengkuknya yang tak gatal dan menampilkan cengirannya.

Jinwoo mengulum tawa, dan kemudian ia tak dapat menahan untuk tidak tertawa kecil. "Kkkk~ Seharusnya kau makan dulu sebelum kesini." Ucap Jinwoo.

"Habisnya, aku kan ingin makan denganmu." Changkyun pura-pura cemberut.

"Ya, ya, karena kau sudah baik membawakan materi kuliah, aku akan membiarkanmu makan bersamaku." Jinwoo meraih nasi kotak yang tadi ditaruhnya, lalu membukanya dan meraih sumpitnya.

"Yeay!" Changkyun bersorak dan buru-buru meraih nasi kotaknya. Lalu mereka mulai makan bersama.

Tanpa mereka sadari, ada dua pasang mata yang diam-diam mengintip mereka dari celah pintu.

"Fiuh, untunglah. Akhirnya Jinu makan juga." Jihoon berbisik sambil mengusap dada.

"Benar, aku sampai tak fokus dirumah sakit karena ingat luka ditangannya." Sahut Jisoo, teringat luka ditangan Jinwoo yang semalam diam-diam ia obati.

"Awas saja, Kyungwon takkan kubiarkan mendekatinya lagi. Ini sudah keterlaluan." Jihoon mengepalkan tangan, sebagai seorang Eomma, jelas Jihoon jengkel.

"Tak boleh begitu, Jihoonie." Jisoo mengingatkan.

.

.

.

.

"Kim Mina-ssi. Kita perlu bicara. Kau punya waktu senggang?" Tanya Kyungwon datar.

Wanita bernama Mina itu melirik jam tangannya, lalu tersenyum lebar. "Tentu, ini waktunya makan siang. Bagaimana kalau kita bicara sambil makan.?" Tanya wanita itu, dengan senyum yang kian lebar.

Kyungwon memutar bola mata nya jengah. "Terserah."

.

.

"Aku pesan yang ini dan ini. . . Kyungwon-ah, kau mau makan apa?" Mina bertanya dengan nada suara yang dibuat-buat dan senyum lebarnya.

"Terserah." Sahut Kyungwon, dingin dan ketus.

"Baiklah, samakan saja denganku."

Pelayan itu pergi, meninggalkan mereka berdua.

Kyungwon menegakkan duduknya. "Aku akan langsung saja." Ucap Kyungwon.

"Apa begitu terburu-buru?" Mina balik bertanya.

"Terserah. Tapi kelakuanmu yang kemarin itu benar-benar keterlaluan, aku tak suka." Kata Kyungwon, sarkas.

"Bukankah hal yang wajar kalau seorang wanita mencium pria yang disukainya?" Tanya Mina.

Kyungwon tertawa remeh. "Kau murahan sekali kalau begitu. Seharusnya kau pastikan dulu pria itu menyukaimu juga atau tidak." Balas Kyungwon.

Mina menggeram rendah, tapi menyembunyikan kemarahannya. "Lalu, memangnya ada pria yang tak menyukaiku?" Tantang Mina penuh percaya diri.

"Ada, dan itu aku orangnya. Jangan pernah lakukan lagi, kau terlihat menjijikan dimataku sekarang." Kyungwon beridiri.

"Aku duluan." Dan berbalik pergi.

"Satu lagi, pastikan kau yang bayar makanannya karena aku tak makan dan tak memesan. Juga jangan merusak hubungan orang lain." Dan Kyungwon pergi meninggalkan restoran itu.

Mina menggeram marah. Lalu menghentak kakinya marah. "Sialan!"

.

.

.

.

Keesokkan harinya, Kyungwon memutuskan untuk menjemput Jinwoo kuliah dan bicara dengannya. Tadi ia lihat sendiri Jinwoo berangkat kuliah dianttar Ayahnya, bersama dnegan adiknya yang berangkat sekolah. Kyungwon sudah membuat keputusan, ia harus menyelesaikan masalah ini sekarang. Kyungwon ttak ingin semuanya semakin parah. Dan selain itu, Kyungwon tak terbiasa menjalani hari tanpa direcoki Jinwoo. Rasanya aneh.

Kyungwon menghentikan mobilnya dihalaman kampus Jinwoo, dan kemudian melangkah masuk. Menatap sekeliling mulai mencari Jinwoo. Seingatnya, hari ini Jinwoo pulang jam segini. Ketika Kyungwon masuk, para mahasiswi yang berada sekitar situ langsung menatap kearahnya dan diam-diam mengaguminya. Diam-diam mereka saling berbisik, ada apa pria setampan itu berkeliaran dikampus mereka.

Kyungwon melangkah, dan kemudian ia bertanya pada seorang pemuda yang lewat disitu.

"Maaf, apa kau tahu dimana kelas Hong Jinwoo berada?" Tanya Kyungwon.

"Hngg, Hong Jinwoo dari jurusan kedokteran?" Tanya pemuda itu.

"Benar."

"Oh, tadi aku melihatnya di sana." Pemuda itu menunjuk kebawah pohon rindang yang ada disalah satu sudut halaman kampus.

Kyungwon mengikuti arah tunjuk pemuda itu. Dan memang benar, Jinwoo sedang duduk disana, bersama seorang pemuda yang tak Kyungwon kenal.

"Terima kasih atas informasinya." Ucap Kyungwon, pemuda itu mengangguk lalu kembali melangkah pergi.

Kyungwon berjalan menghampiri Jinwoo. Dan ketika berada beberapa langkah didepannya, Kyungwon memanggilnya.

"Jinu-ya." Panggilnya lembut.

Jinwoo berhenti mengobrol dengan Changkyun, dan menutup buku pelajaran yang sedang mereka diskusikan. Menoleh kearah Kyungwon. Menatapnya sinis.

"Apa?" Judesnya. Kyungwon tersenyum kecil.

"Pulang, yuk. Dan makan malam dengan hyung." Ajak Kyungwon kemudian.

"Tidak, ajak saja pacar barumu itu." Sahut Jinwoo masih dengan ketusnya. Changkyun memilih bungkam, ini bukan wilayahnya untuk campur tangan.

"Aku tak bisa punya pacar baru ketika masih bertunangan denganmu." Balas Kyungwon, masih tetap sabar.

"Benarkah?" Jinwoo bangkit, menghampiri Kyungwon.

Tanpa diduga, ia melepas cincin yang tersemat ditangan kirinya. Cincin pertunangannya dengan Kyungwon. Cincin yang selalu dipakainya kapanpun, dan cincin yang selalu dijaganya.

Jinwoo menarik tangan kanan Kyungwon, lalu menaruh cincin itu ditelapak tangan Kyungwon.

"Kalau begitu, kita akhiri saja pertunangan kita. Agar kau bisa segera meresmikan pacar barumu." Ucap Jinwoo, dengan nada yang datar dan tatapan yang menusuk.

"Ayo, Changkyun-ah." Ajak Jinwoo pada Changkyun. Yang diajak segera bangkit karena tak mau terlibat.

"Ya-baiklah." Sahut Changkyun dan mengekori Jinwoo.

Kyungwon mengepalkan tangannya. Apa ia baru saja dicampakkan? tidak. Ini tak boleh terjadi. Fikir Kyungwon.

Baru beberapa langkah, Kyungwon mencekal pergelangan tangan Jinwoo. "Kita harus bicara, dan selesaikan semuanya dengan benar. Jinwoo-ya." Ucap Kyungwon dengan suara yang berat.

"Apa yang harus diselesaikan ketika semuanya sudah berakhir?" Jinwoo menepis tangan Kyungwon, lalu menarik Changkyun pergi meninggalkan tempat itu.

"Hong Jinwoo!" Seru Kyungwon.

Tapi Jinwoo tetap berjalan meninggalkannya. Kyungwon merasa darahnya menggelegak naik keubun-ubun. Bisa-bisanya Jinwoo mencampakanku? padahal dulu dia yang merengek minta ditunangkan dengan Kyungwon pada orang tua mereka. Dan sekarang, dia mencampakanku lalu pergi dengan pria lain? Geram Kyungwon. Tangannya semakin mengepal erat urat-uratt wajahnya menonjol karena menahan amarahnya.

.

.

.

.

"Aku pulang." Jinwoo melangkah masuk kedalam rumahnya dengan langkah gontai.

"Oh, Jinu-ya. Kau pulang telat, jadi yang lain makan malam duluan." Ucap Jihoon, menyambut kedatangan anaknya.

"Tak apa, Eomma. Aku sudah makan, tadi." Jawab Jinwoo, dengan senyum tipis.

"Coba Eomma lihat lukamu." Jihoon menarik tangan Jinwoo dan melipat lengan sweaternya, lalu memeriksa bekas luka yang ada disana.

"Kau seharusnya tidak menyapu meja rias dengan tanganmu, dan membuat serpihan kaca menggores kulitmu. Hahhh. . . kulitmu yang canttik jadi begini rupa." Gumam Jihoon. Mengamati lengan anaknya baik-baik. Tapi kemudian, Jihoon menangkap sesuatu yang janggal.

"Dimana cincinmu, Jinu-ya?" Tanya Jihoon.

Jinwoo buru-buru menarik tangannya. "Oh, ada ditasku. Tadi aku harus praktikum sehingga melepasnya saat jam kuliah tadi." Bohong Jinwoo.

"Aku kekamar dulu, Eomma." Dan buru-buru pergi.

Jihoon tahu, dia hapal betul gelagat anaknya

.

.

.

.

"Eomma!"

Terdengar teriakan kencang dari depan rumah yang membuat bising keadaan.

"Eomma!" Lagi, dan kali ini terdengar lebih jelas dan lebih dekat.

Wonwoo terlonjak dan melempar katalog digenggamanya. Bergegas menghampiri sumber suara saat dia yakin kalau itu suara anak bungsunya, Junho. Wonwoo berjalan keteras, dan dia terbelalak melihat Junho yang kewalahan memapah Kyungwon yang mabuk.

"Eomma! aku menemukan Kyungwon hyung mabuk dipinggir jalan, dan mobilnya entah ada dimana." Lapor Junho dengan cepat.

"Apa?!" Wonwoo tersentak, dengan cepat dia memeriksa suhu tubuh Kyungwon. Dan suhunya panas sekali. Sepertinya demam, apalagi Kyungwon mulai meracau ttak jelas.

"Seokmin-ah! Seokmin-ah!" Panggil Wonwoo. Dan beberapa detik berikutnya, Seokmin muncul dengan senter yang menyala ditangannya.

"Ada apa?"

"Tolong bawa Kyungwon kekamarnya." Ucap Wonwoo. Seokmin mengangguk, dan dengan sigap mengambil alih Kyungwon. Mempahnya kedalam.

"Junho-ah kau tak apa?" Wonwoo memeriksa keadaan Junho yang basah kuyup berkeringat.

"Aku tak apa, Eomma. Tapi sebaiknya Eomma urus Kyungwon hyung dulu sebelum Appa pulang." Junho mengingatkan.

"Kau benar, Appamu akan mengamuk kalau tahu Kyungwon begini." Dengan cepat Wonwoo masuk kedalam rumah, disusul Junho.

.

.

.

.

Wonwoo masuk kedalam kamar Kyungwon, dengan sebuah wadah berisi air hangat. Dan didapatinya Seokmin yang sedang berusaha merebahkan Kyungwon dikasurnya.

"Seokmin-ah, kau boleh pergi. Terima kasih. Sisanya biar aku yang urus." Ucap Wonwoo, pada Seokmin yang baru saja meraih handuk, hendak mecari kompresan bagi Kyungwon.

"Ah, ya. Aku permisi dulu." Dan Seokmin berlalu pergi.

Wonwoo kemudian mulai mengompres Kyungwon dengan air hangat. Menaruh handuk basah dikeningnya. Dan beberapa menit kemudian harus menggantinya lagi karena suhunya yang begitu tinggi.

"Huft. . . kau tak pernah mabuk dan begini jadinya." Gumam Wonwoo.

Lelah mengompres dengan handuk, Wonwoo memutuskan untuk menggunakan plester demam. Dibukanya laci nakas samping tempat tidur Kyungwon. Wonwoo ingat, dia terakhir menaruh kotak p3k didalam laci itu.

"Jinu-ya~ jangan. . . pergi. . ."

Wonwoo terdiam. Tangannya yang sibuk mencari plester terhenti. Ia kemudian menatap sendu anaknya. "Kau bahkan sampai mengigau begini." Kemudian Wonwoo segera membuka plestter demam itu dan menempelnya dikening Kyungwon. Lalu dengan perlahan mengusap dan membersihkan wajah serta leher Kyungwon menggunakan handuk basah. Wonwoo merasa sedih. Kyungwon pasti sangat terpukul karena ini. Wonwoo menyesal sudah menegurnya kemarin.

Tadi Jihoon menelponnya, dan berkata bahwa pasti sudah terjadi sesuatu yang lebih parah antara Jinwoo dan Kyungwon.

.

.

.

.

Esok, dan besoknya lagi, sakitnya Kyungwon bertambah parah. Demamnya tak kunjung turun dan bahkan sekarang mulai disertai muntah-muntah. Dokter bilang, Kyungwon merusak pola makannya. Dia minum alkohol ketika perutnya kosong. Padahal sistem pencernaannya sensitif, dan sekarang ditambah stress, keadaannya semakin parah. Kyungwon juga menolak makan dan minum obat. Wonwoo bahkan sampai menangis memaksanya makan. Dan Mingyu sampai harus turun tangan menyuruh Kyungwon minum obat. Terlebih lagi, Kyungwon tak pernah berkata sepatah katapun.

Dan saat malam hari, Kyungwon menangis saat tertidur. Dia terus-terusan meracau dan mengigau. Sementara tubuhnya demam tinggi tiap malam.

.

.

.

.

Seminggu berlalu setelah kejadian dikampus itu. Jinwoo jadi lebih pendiam setelahnya. Ia agak menutup diri dari dunia luar. Dan saat inipun, dia hanya duduk diperpustakaan. Bukannya membaca, yang Jinwoo lakukan hanya menatap kelapangan dibawah sana dari jendela yang ada didekatnya. Buku yang dibacanya dibiarkan terbuka lebar tanpa dibaca. Dan Changkyun dibiarkannya tertidur pulas karena bosan menemaninya.

Jinwoo merasa ada yang hilang, tidak. Ia merasa sangat kehilangan. Jinwoo merasa hampa dan putus asa. Dan hal itu dieluhkan Changkyun. Sahabatnya itu bilang kalau Jinwoo jadi terlalu pendiam dan tidak ceria lagi, ditambah Jinwoo jadi kaku dan mudah tersinggung. Entahlah, Jinwoo hanya ingin melewati harinya begitu saja, tanpa terjadi apa-apa lagi. Karena sebenarnya ia pun takut.

Setelah keadian itu, hampir tiap malam dia menangis dan merasa sesak. Jinwoo tahu dia egois, dia meninggalkan Kyungwon ketika dirinya bahkan tak mampu pergi. Tapi Jinwoo juga tak ingin tersakiti. Dia hanya ingin mereka berhenti saling menyakiti untuk sementara. Kalau Tuhan berkehendak, Jinwoo takkan menolak jika harus kembali lagi pada Kyungwon.

Jinwoo menarik napas dalam. Matanya menatap kosong beberapa mahasiswa yang sedang berlatih baseball dilapangan.

"Jinwoo-ah."

Jinwoo menoleh, dan didapatinya Junho berdiri didepannya.

"Apa?"

"Bisa ikut denganku sebentar?"

Jinwoo terdiam. Tapi kemudian dia mengangguk.

.

.

"Ada apa, Junho-ya. Tumben kau mengajakku bicara." Ucap Jinwoo datar. Sekarang mereka duduk berhadapan disebuah kafe yang masih area kampus.

"Aku tak bisa basa-basi. Jadi aku hanya ingin bilang. Berhentilah seperti ini." Kata Junho, kalimatnya serius.

"Berhenti seperti ini bagaimana maksudmu?" Tanya Jinwoo balik.

"Berhenti menyakiti hyungku dan berhenti menyiksa dirimu sendiri." Ucap Junho, lebih serius dan penuh penekanan dari yang tadi.

Jinwoo terdiam mendengarnya. Mengaduk moccachino-nya dengan gugup dan mereguknya sebentar. Jinwoo menarik napas panjang-panjang dan menatap lurus-lurus kedepan.

"Saat seseorang kecanduan narkoba, jika dia ingin sembuh maka harus menjalani serangkaian rehabilitasi yang menyakitkan. Benar?" Jinwoo menatap Junho.

Junho menaikan sebelah alisnya. "Aku bukan orang yang mengerti kalimat umpama begitu." Junho meraih gelas latte-nya, menyeruputnya sejenak.

Jinwoo menarik senyum tipis sambil mengangguk. "Anggap saja aku kecanduan Kyungwon, dan saat in"i aku sedang dalam masa rehabilitasi." Ucap Jinwoo akhirnya, meski ia berusaha terdengar senormal mungkin, tetap saja tersirat keputus asaan dalam raut wajahnya. Dan Junho tahu itu.

Junho tertawa hambar. "Kau menyamakan Hyung-ku dengan narkoba? yang benar saja." Gumam Junho, seolah pada dirinya sendiri.

"Sudah ya, aku pergi dulu. Aku masih ada kelas lima belas menit lagi." Jinwoo bangkit dan meraih ranselnya. Hendak berlalu dari tempat itu.

"Jinu-ya, fikirkan baik-baik. Dulu kau yang meminta Kyungwon hyung untuk jadi tunanganmu. Kau mendapatkan hatinya dengan susah payah, kan? lagipula hubungan kalian sudah jauh. Apa tak mubazir diakhiri begitu saja? jangan biarkan dirimu menyesal." Kata Junho.

Jinwoo menghentikan langkahnya. Tanpa berbalik dan bungkam.

"Oh ya, dan sekarang Kyungwon hyung sedang sakit. Kalau kau masih punya hati untuknya, jenguk dia."

Jinwoo masih mematung ditempatnya. Junho bangkit, dan berjalan menuju pintu keluar. Saat berpapasan dengan Jinwoo, ia menepuk bahunya pelan. "Lakukan dengan benar, Jinu-ya." Dan pergi meninggalkan Jinwoo.

Jinwoo masih mematung dan berkutat dengan fikirannya.

'Kyungwon hyung sakit? kenapa aku merasa secemas ini?'

.

.

.

.

Jinwoo melempar tubuhnya diranjang dan memejamkan matanya sejenak. Mengistirahatkan punggungnya yang pegal dan kakinya yang lelah setelah seharian ia kuliah dan juga mengerjakan tugas. Jinwoo mengingat-ngingat kembali apa yang sudah terjadi hari ini. Dan. . . ah. Ia teringat kembali kalimat Junho tadi. Ini pertama kalinya Junho menegurnya begitu. Jinwoo hapal betul, Junho itu sebelas dua belas dengan Kyungwon. Cuek dan dingin bukan main. Apa yang ada pada kakak beradik itu sama. Ketampanan, fisik yang sempurna, penampilan, dan kepopuleran. Bedanya, kalau Kyungwon mendapat gelar playboy karena banyak dikerubuti gadis-gadis padahal dia bukan playboy, maka Junho sebaliknya. Para gadis mengerumuninya karena ia playboy. Jinwoo juga tahu betul, kalau Junho mengencani gadis-gadis itu memperalat mereka. Karena sebenarnya, ada orang lain yang sudah Junho sukai. Yaitu Choi Jaejoong, anak tunggal dari Vernon Chwe dan Boo Seungkwan.

Terlepas dari itu, Jinwoo mulai merasa khawatir lagi. Kyungwon sakit? apa mungkin itu karena dirinya? Jinwoo jadi merasa bersalah.

Ia memang sempat dengar Eommanya dan Wonwoo berbicara soal Kyungwon. Katanya, Kyungwon merusak pola makannya dan meminum banyak alkohol. Padahal, alat pencernaannya sangat sensitif terhadap apa yang ia konsumsi. Dan sejak dulu, Jinwoo sudah tahu masalah itu.

Bagaimanapun, Jinwoo khawatir. Ia ingin melihat keadaannya.

Selain khawatir. . .

. . . Jinwoo juga merindukannya. Demi apa. Mereka sudah bersama bertahun-tahun. Bohong rasanya kalau ia tak rindu.

Jinwoo menerawang. Mengingat-ngingat bagaimana mereka berawal. Saat itu Jinwoo baru saja masuk SMA dan itu hari pertama Kyungwon kembali ke Korea setelah menimba ilmu di Inggris. Mereka berttemu di pesta penyambutan Kyungwon yang diadakan di rumah keluarga Kim. Karena keluarga mereka dekat, jelas saja Jinwoo sekeluarga diundang.

Sebelumnya, Jinwoo memang sudah mengenal Kyungwon. Ia mengenalnya sebagai kembaran dari Minwoo yang memang cukup dekat dengannya. Meskipun ia dekat dengan Minwoo, bukan berarti ia dekatt dnegan Kyungwon. Karena Kyungwon itu tertutup dan tidak suka diganggu.

Mereka bertemu, dan kebetulan duduk berhadapan saat makan malam. Meskipun pesta itu dilakukan untuk menyambutnya, Kyungwon justru tidak berkata apapun dan bertahan dengan wajah datarnya. Seperti kebanyakan remaja yang baru puber, Jinwoo menganggap kalau dinginnya Kyungwon itu keren.

Dan sejak itu ia mulai mencari tahu tentang Jinwoo.

Setahun setelahnya, ia mendengar percakapan antara Eommanya dan Wonwoo, mereka membicarakan tentang mencari jodoh yang cocok bagi Kyungwon. Dan malam harinya, Jinwoo memberanikan diri memohon dan merengek pada ibunya agar dijodohkan dengan Kyungwon.

Lalu, semuanya terjadi begitu saja. Kyungwon itu gemar memberontak pada Ayahnya, tapi pada Eommanya, ia benar-benar penurut. Makanya ia setuju saja saat disuruh Wonwoo bertunangan dengan Jinwoo.

Mereka sangat canggung. Dan kesannya, bukan seperti sepasang kekasih, tapi lebih seperti kakak dan adik. Bahkan ketika Jinwoo menemani Kyungwon ke mall, dan bertemu teman SMA Kyungwon, Jinwoo disangka adiknya. Tapi lambat laun, Kyungwon mulai bisa menerima pertunangan itu. Dia orang yang simpel, dari pada mencari lagi yang lain, lebih baik mencoba menerima apa yang ada. Dan itu terjadi. Mereka mulai menjalani hubungan seperti tunangan pada layaknya. Jinwoo tak tahu persis kapan Kyungwon mulai menerimanya. Karena kata cinta tak pernah terucap. Namun ia tahu kalau Kyungwon membalas perasaannya.

Dan sekarang. . . tiba-tiba saja ia mengakhiri segalanya. Hanya karena sebuah adegan yang tidak ia ketahui asal mulanya. Dan tak pernah dengar kejelasannya dari Kyungwon.

Jinwoo membuka matanya, menatap langit-langit kamar. Kalimat Junho kembali mengiang ditelinganya.

"Berhentilah menyakiti hyungku dan berhenti menyiksa dirimu sendiri!"

Jinwoo bangkit, meraih parka tipisnya dan pergi meninggalkan kamar.

.

.

.

.

"Ya! Kim Kyungwon, kalau kau tak makan pencernaan mu akan makin buruk!"

"Biar saja."

"Eomma tidak main-main, Kyungwonie. Berhentilah membuatku cemas."

"Kalau begitu berhenti saja mencemaskanku." Kyungwon masih dengan acuh dan dingin mengabaikan kalimat Wonwoo.

Disinilah Wonwoo menyesal membiarkan Kyungwon tumbuh dengan sifat keras kepala.

"Kyungwonie. . . Eomma mohon. . ." Wonwoo sudah mulai menangis.

Kyungwon menarik napas panjang. "Aku akan memakannya nanti kalau lapar." Ucap Kyungwon akhirnya.

"Dari kemarin kau terus bilang begitu, tapi kau tak makan!" Berang Wonwoo.

Ceklek.

Pintu terbuka, mengalihkan pandangan Wonwoo dan Kyungwon.

Seorang pemuda berambut merah jambu masuk dalam balutan parka tipisnya yang kebesaran.

"Selamat malam, Wonu Eomma." Jinwoo membungkuk memberi hormat.

"Ah! Jinu-ya! kau disini. Tolong bantu Eomma, Kyungwon belum makan apapun sejak kemarin. Kau lihatt tubuhnya itu sekarang sudah seperti tiang!" Adu Wonwoo pada Jinwoo.

Begitu bertemu pandang dengan Jinwoo, Kyungwon langsung merebahkan diri dan menaikkan selimut hingga menutupi wajahnya.

"Baiklah Eomma, aku akan berusaha membujuknya."

Wonwoo menepuk bahu Jinwoo, lalu pergi meninggalkan kamar itu.

Setelah kepergian Wonwoo, perlahan Jinwoo menghampiri Kyungwon. Menarik kursi dan duduk disamping ranjangnya.

"Hyung, Maafkan aku."

Tak ada jawaban.

"Maaf karena menolak penjelasanmu."

Kyungwon masih tak bergeming.

Jinwoo menarik napas panjang.

"A-aku . .. . aku tak ingin berpisah denganmu. . . maafkan aku, hyung." Jinwoo menunduk dalam-dalam. Menyesali betapa kekanakanya dia. Setetes air matta mengalir dan sebuah isakan lolos.

"Jaga kesehatanmu, hyung. Dan makanlah dengan teratur, hiks. . . aku permisi. . ." Jinwoo berdiri, berusaha meredam isakannya. Dan membungkuk sebelum pergi.

Perlahan, Kyungwon menarik selimutnya, dan mendudukan diri. Menatap punggung sempit Jinwoo.

"Ya! Hong Jinwoo, apa kau mau pergi begitu saja?"

Jinwoo menghentikan langkahnya.

"Maafkan aku, hyung." Isak Jinwoo.

"Kemari, kau!"

Jinwoo berbalik, dan memperlihatkan wajahnya yang menahan tangis. Kyungwon mengigit bibirnya.

Jinwoo menghampiri Kyungwon.

Setelah mereka berhadapan, Kyungwon menarik tangan Jinwoo dan memeluknya. Membiarkan Jinwoo menangis dibahunya.

"Kau tak apa-apa, bocah?"

"Hiks. .. hyung. . .jahat. . ." Isak Jinwoo.

"Aku tak jahat. Wanita ittu yang menciumku saat aku tertidur." Ucap Kyungwon menjelaskan.

Jinwoo melepas pelukan mereka.

"Begitu? bagaimana rasanya?" Jinwoo mengahpus air matanya kasar dengan ujung parkanya, lalu memanglingkan wajah.

Kyungwon tertawa kecil. "Biasa saja."

Jinwoo melebarkan matanya "Jadi maksudmu kau sudah biasa berciuman dengan wanita lain, begitu?" Jinwoo kembali cemberut.

"Tapi aku lebih suka dicium olehmu. Hey, cium aku!"

Jinwoo memasang ekspresi enggan. "Ihhh no way!"

"Ya! Hong Jinu! dulu bahkan kau yang selalu merengek minta cium. Dasar bayi!"

"Berhenti mengataiku bayi!"

"Haahhh benar-banar, akan kusiram bibir wanita itu dengan asam klorida!" Gerutu Jinwoo, seolah bicara sendiri.

Kyungwon tersenyum. Menarik tangan Jinwoo cepat. Membuat pemuda itu membungkuk dan agak hilang keseimbangan.

Kyungwon dengan cepat menarik rahangnya. Mempertemukan bibir mereka. Dan saling melumat satu sama lain. Lalu, melepasnya dengan perlahan.

"Jangan begitu lagi, mengerti?"

"Aku mengerti, hyung. . ."

"Aku hanya mencintaimu, itu yang harus kau ingat."

Mereka bertatapan sekali lagi. Dan kemudian, mempertemukan mereka sekali lagi. Kali ini, dengan durasi yang lebih lama.

.

.

.

.

END

Tadaaaa waktu liat review di ff amy, ada yang minta pengen cerita Kyungwon dan Jinu, makanya saya buat ini. Ini buat selingan aja ya. . . mungkin akan ada versi pair yang lain juga. . . boleh request kok, nanti saya pertimbangin :')