LovEspresso
Story © Hanyo4
Katekyo Hitman Reborn! © Amano Akira
Tidak ada keuntungan komersil yang didapatkan oleh penulis. Fanfiksi ini dibuat hanya untuk kesenangan semata.
Adult!Reborn x Tsuna (R27)
Alternative Universe.
Romance, Drama.
[part 1/2]
Hari-hari belakangan ini adalah hari-hari paling suram dalam hidupnya. Rumah menjadi tempat yang paling ia hindari saat ini. Hatinya serasa kosong. Hidupnya tak lagi berwarna.
Di tengah malam musim gugur, Reborn terdampar di kota cahaya yang tak mati suasana. Sempat terpikir untuk mengunjungi distrik merah di ujung kota untuk melampiaskan nafsu duniawinya. Namun entah mengapa, pria berumur duapuluh tujuh tahun itu merasa tak minat untuk menggerayangi tubuh-tubuh montok wanita murahan.
Kedai kopi di ujung jalan menjadi destinasinya.
Di malam-malam sebelumnya, mungkin ia akan mengunjungi bar kemudian menegak Vodka atau Tequila. Tapi ada yang berbeda pada malam ini. Dirinya merasa jenuh dengan segala minuman beralkolhol itu. Toh bukannya lebih baik, ia malah mendapatkan sakit kepala di pagi harinya.
Pintu masuk dibuka, manik onyx Reborn berkeliling meneliti tempat itu. sungguh kedai kopi yang sederhana. Mungkin kebanyakkan pengunjungnya adalah remaja karena tempatnya yang terkesan cozy dan hangat. Lagu-lagu dari The Beatles menyapa pendengarannya. Reborn sempat tersihir untuk menggumamkan lagu Let it be yang sedang diputar.
"Mau pesan apa, tuan?" seorang pemuda berambut coklat menyapanya di meja kasir. Wajahnya terlihat manis, mata coklat hazelnya yang besar menjadi daya tarik tersendiri. Kalau lebih teliti, ada lingkaran hitam kecil di bawah matanya. Wajahnya yang menampilkan senyum cerah terasa seperti kelelahan. Dan mungkin, dari semua orang yang ada di ruangan itu, hanya Reborn lah yang menyadari bahwa orang yang ada di hadapannya sedang berada dalam kondisi tidak baik-baik saja.
"Satu Espresso. Dan bisakah kau merekomendasikan aku minuman hangat terbaik yang ada di sini?" tanya Reborn.
Pemuda bername tag Sawada Tsunayoshi itu memutar tubuhnya untuk melihat daftar menu yang tertempel di atas dinding. "Cappucino dengan ekstra krim menjadi andalan kami…"
"Aku minta pendapatmu, bukan menu andalan yang ada di sini."
Tsuna terkekeh kecil. "Kurasa coklat hangat adalah menu terbaik. Rasanya tidak terlalu manis karena kami menggunakan coklat bubuk pilihan. Dan menurutku pribadi, coklat hangat adalah minuman yang dapat mengurangi stress."
Kening Reborn menyernyit. "Ya, kau benar. Coklat memang bisa mengurangi stress."
"Jadi, pesanan anda, tuan?"
"Satu espresso dan satu coklat hangat."
"Totalnya delapan ratus empatpuluh tujuh yen, tuan." Reborn mengeluarkan uang lembaran seribu yen dari dompetnya kemudian memberikannya ke Tsuna. Ketika Tsuna hendak memberikan kembalian, Reborn menolak. Pria itu bilang Tsuna bisa menyimpan kembaliannya sebagai tip.
Tsuna tersenyum lembut. Lagi-lagi Reborn tersihir untuk tidak mengalihkan pandangan dari senyum itu. "Maaf tuan, tapi kami tidak menerima uang tip."
Memilih mengalah, Reborn menerima kembaliannya.
Tsuna pun beranjak untuk membuatkan pesanan Reborn. Di tengah malam seperti ini, hanya ia satu-satunya pegawai yang bekerja. Biasanya kalau pagi sampai malam hari, setidaknya ada tiga orang yang berjaga satu bertugas sebagai kasir, dan dua lainnya bertugas untuk membuatkan pesanan. Namun karena jumlah pengunjung di tengah malam dapat dihitung dengan jari, tempat itu hanya mempekerjakan satu pegawai.
Reborn mengambil posisi duduk di kursi yang paling dekat dengan meja kasir, matanya meneliti sosok berambut coklat yang sedang menuangkan air hangat ke mesin khusus pembuat kopi espresso. Lima menit kemudian, pesanannya jadi. Reborn kembali ke meja kasir untuk mengambil espressonya.
Tsuna sempat kebingungan ketika Reborn tidak mengambil coklat panas yang dipesannya.
"Untukmu. Aku tidak suka hal-hal yang berbau coklat." Ujarnya datar. Pemuda itu sempat menolak, namun tatapan Reborn seolah-olah memaksa Tsuna untuk menurutinya.
Tsuna mengucapkan terima kasih. Reborn membalasnya dengan anggukan.
"Bagaimana kalau kau membalas ucapan terimakasihmu itu dengan menjadi teman mengobrolku sejenak?" tawar Reborn. Tsuna mengangguk, menyetujuinya. Walau baru bertemu beberapa saat yang lalu, insting Tsuna mengatakan bahwa Reborn bukan lah orang jahat—meski wajahnya terkesan galak dan tidak bersahabat.
Tsuna meninggalkan meja kasirnya, kemudian mengambil posisi duduk di depan Reborn sembari membawa coklat hangatnya. Lagi pula di jam segini Tsuna ragu ada orang lain yang akan datang lagi selain Reborn dan tiga orang—yang masing-masing duduk berpencar dan sibuk dengan urusan mereka.
"Jadi… ada apa, tuan? Kami tidak menawarkan pekerjaan plus-plus. Kedai ini bukan tempat pijat mesum." Ucap Tsuna dengan tatapan bersahabat.
Reborn mendengus geli. "Ya, aku tahu. Aku juga tidak minat untuk memintamu melakukan pekerjaan plus-plus. Aku tidak buta untuk menyadari kalau kau itu laki-laki tulen." Ia meminum sedikit espressonya. Sensasi minuman itu tak segan-segan menyerang lidahnya. Espresso yang dibuat Tsuna membuatnya sedikit bernostalgia. "Ngomong-ngomong rasanya lumayan."
"Terima kasih atas pujiannya, tuan."
"Reborn."
Alis Tsuna menanjak.
"Itu namaku."
"Tsuna, Sawada Tsunayoshi. tuan Reborn."
"Ya aku tahu. Nama itu tertulis jelas di name tag-mu."
Lagi-lagi Tsuna terkekeh. Mesi terkesan kaku, tapi Reborn adalah orang yang lucu menurutnya. "Jadi, apa yang ingin anda bicarakan, tuan—"
"Panggil Reborn saja. Aku mulai jengah ketika kau menambahkan kata tuan di depannnya, Tsuna." Reborn meminum espressonya lagi lalu menyenderkan punggungnya.
"Baiklah, apa yang ingin anda bicarakan, Reborn-san?"
Kening Reborn mengkerut. Ia masih tak suka dengan panggilan yang Tsuna lontarkan. Tapi setidaknya itu lebih baik dari pada panggilan yang sebelumnya. "Apa kedai ini buka duapuluh empat jam sehari?"
Tsuna menggeleng. "Biasanya kami hanya buka sampai pukul dua dini hari dan buka kembali pukul delapan pagi, tapi kalau akhir pekan buka sampai pukul empat."
Sepasang manik onyx melirik jam di pergelangan tangan. Masih pukul setengah satu dini hari. "Oh… kukira tempat ini buka seharian penuh. Setidaknya menemani mini market di ujung sana." Jarinya menunjuk sebuah toko yang ada di luar.
"Ini hanya kedai kopi, Reborn-san. Bukan toko serba ada."
"Ya, aku tahu."
Keduanya kembali meminum minuman mereka. Rasa hangat yang turun lewat kerongkongan seolah menyebar keseluruh tubuh, memberikan sensasi tersendiri.
"Kurasa anda mengajakku mengobrol bukan hanya membicarakan jam buka tempat ini."
"Memang, hanya untuk membunuh waktu. Kadang aku mengajak ngobrol barista-barista di bar. Obrolan random mungkin tentang resep koktail atau berita-berita hangat di sekitaran."
"Kalau anda bertanya tentang resep espresso yang anda minum, jawabannya sederhana. Cara pembuatannya pun sama seperti espresso lain. Yang membedakan hanya bahannya. Kedai kami memilih biji kopi andalan," Reborn mengangguk, mendengarkan. "Tapi kalau anda bertanya tentang berita-berita hangat yang ada di sekitaran, maaf aku tidak tahu. Well, aku tidak memiliki waktu untuk mendengarkan gosip atau berita politik. Sebut saja aku orang yang apatis terhadap berita."
Reborn menyeringai. Orang yang ada di depannya sungguh menarik. "Jadi, kau mau bilang kalau kau ini orang sibuk?"
"Hmm, begitu lah. Aku ini tulang punggung keluarga sekaligus mahasiswa. Di pagi hari aku belajar, malamnya bekerja."
"Tidak istirahat?"
"Aku mengidap insomnia akut. Baru bisa tidur kalau matahari sudah terbit. Makanya kadang aku tertidur di kelas." Tsuna tertawa kecil.
"Pantas saja matamu seperti mata panda."
"Ya… musim ujian. Untung saja sudah selesai." Pemuda itu menaruh cup kertas yang berisi coklat hangatnya ke atas meja. "Kalau anda sendiri? Berminat untuk menceritakan diri anda, Reborn-san?"
"Well, aku dosen matematika di universitas dekat sini…"
"Universitas Namimori?" Anggukan sebagai jawaban. "Kebetulan aku juga kuliah di sana. Tapi ambil jurusan sastra."
Reborn terkekeh. "Kalau kau muridku, kau pasti akan sungkan untuk duduk bersamaku."
"Wah, dosen killer rupanya?"
"Bisa dibilang begitu… Ngomong-ngomong rasa kopimu ini sama seperti rasa buatan istriku."
"Aku jadi merasa tersanjung mendengarnya, Reborn-san."
"Beberapa hari belakangan ini aku sudah tidak minum espresso buatannya lagi."
Tatapan Tsuna menyiratkan rasa khawatir. "Anda bertengkar dengan istri anda? Makanya anda terlihat murung sekarang ini?"
"Apa terlihat jelas?"
Tsuna mengangguk.
"Dia meninggal sebulan yang lalu. Beserta bayi yang di kandungnya."
"Aku… turut berduka cita," sepasang manik coklat madu memancarkan sorot simpati. Reborn rasanya ingin menertawai dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia mengumbar-umbar permasalahan pribadinya ke orang asing? Tapi entah mengapa, Reborn butuh tempat untuk mengeluarkan segala keluh-kesahnya. Dan beruntung Tsuna adalah pilihan yang baik, meski keduanya baru bertemu beberapa saat yang lalu.
Awalnya Tsuna merasa sungkan untuk membahas kehidupan pribadi Reborn, makanya sesekali ia berusaha untuk mengalihkan topik. Reborn mengikuti alur obrolan mereka yang tenang bak aliran sungai itu. sesekali keduanya tertawa jika ada hal yang lucu. Tak terasa obrolan mereka menyita waktu yang lama. Isi gelas masing-masing sampai habis tak bersisa.
"Sepertinya sudah saatnya kau menutup tokomu. Semua pengunjung sudah keluar, entah sejak kapan." Reborn berdiri, Tsuna mengikutinya.
"Ya. Senang berkenalan dengan anda, Reborn-san." Pemuda itu mengulurkan tangannya, mngajak Reborn untuk berjabat tangan.
Ia membalas uluran tangan itu. "Ya, senang juga berkenalan denganmu, Sawada Tsunayoshi."
"Anda tidak perlu sungkan untuk datang kembali."
"Tentu saja. Memangnya kau siapa melarang pengunjung untuk datang?"
"Kalau anda mencariku—maksudku ingin bertukar cerita lagi seperti tadi, jadwal shiftku dari selasa sampai sabtu dari jam sembilan malam. Ah, kalau anda butuh nomor ponsel, maaf tapi aku tidak punya ponsel. Ya… walaupun Fuuta dan Lambo selalu memarahiku karena tidak bisa dihubungi."
"Fuuta dan Lambo?"
"Adik-adikkku. Yang tadi kuceritakan."
"Ohh…"
Tsuna mengantar Reborn sampai pintu keluar. Setelah punggung pria itu tak terlihat, Tsuna menurunkan tirai-tirai untuk menutup toko. Kemudian membersihkan tempat itu sebelum dirinya pulang.
Malam musim gugur seperti ini adalah malam-malam yang anginnya paling dingin. Kedua adiknya sempat memberikannya sepasang sarung tangan rajut buatan mereka di hari ulang tahunnya beberapa minggu yang lalu.
Kedua matanya menatap ke arah telapak tangan yang tertutupi sarung tangan putih dengan tulisan angka duapuluh tujuh berwarna merah. Hangat rasanya.
Sesekali Tsuna terbatuk ketika angin berhembus menerpa wajahnya. Makin lama, batuknya terasa makin parah. Dirinya jadi sulit untuk bernapas. Tsuna berhenti sejenak kemudian menyandarkan dirinya pada dinding bangunan terdekat.
Ini tidak bagus. Sangat tidak bagus.
Tsuna ingin tertawa miris. Menertawai takdirnya yang kadang lebih pahit dari pada kopi hitam yang dijual di kedai.
Tetapi di sisi lain, Tsuna ingin bersyukur. Mungkin di luar sana, masih banyak orang yang lebih susah. Contohya seperti orang yang berbicara dengannya tadi di kedai, Reborn.
Di antara segala kesempurnaan yang ada di pria itu, ia harus mengalami kehilangan yang amat besar. Tsuna juga pernah merasakannya. Hari dimana kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan lalu lintas saat dirinya masih duduk di bangku SMA. Tapi karena hal itu lah Tsuna tumbuh menjadi sosok yang dapat diandalkan oleh kedua adiknya.
Meski tergolong serba pas-pasan, Tsuna tak pernah mengeluh. Yang penting ia masih bisa bahagia dengan apa yang ia miliki.
Setelah merasa dirinya lebih baik, Tsuna melanjutkan perjalanan pulangnya. Mungkin sebelum tidur nanti ia harus memasak bekal untuk Fuuta dan Lambo besok.
.
.
"Bagaimana ini? Sepertinya demamnya belum turun-turun juga." Fuuta menunjukkan raut wajah khawatir. Tangannya telaten memeras kompres kemudian menaruhnya kembali di dahi sang kakak.
"Apa aku harus pergi ke tempat paman Fon? Kurasa mungkin ia punya obat tradisional untuk Tsuna-nii." Ujar Lambo yang juga cemas.
Fuuta menangguk kemudian menyuruh adiknya untuk pergi meminta bantuan.
Sepulang kerja kemarin, Tsuna jatuh sakit. Kalau saja Fuuta dan Lambo tidak pamit sebelum berangkat sekolah, keduanya pasti tidak menyadari keadaan kakak mereka. Fuuta dan Lambo memang terbiasa berangkat sekolah ketika Tsuna sedang tertidur. Keduanya tahu kalau sang kakak lelah bekerja dan tidak tega untuk membangunkannya. Namun tadi pagi, Fuuta mendapatkan firasat buruk. Ketika ia dan Lambo masuk ke kamar Tsuna, keduanya terkejut mendapati pemuda itu tak sadarkan diri di lantai.
Fuuta mengecek suhu tubuh kakaknya. Sangat panas. Tubuh Tsuna sesekali menggigil. Dengan sigap, Tsuna menyelimutinya.
"Fuu… ta…? Ti… dak seko… lah?" tanya Tsuna lemah.
"Tidak. Kalau aku sekolah siapa yang menjaga Tsuna-nii?"
"Tapi…" Tsuna kembali terbatuk. Fuuta membantunya untuk duduk kemudian memberikannya segelas air putih.
"Coba jujur padaku, Tsuna-nii. Kapan terakhir kali kau tidur? Tiga hari belakangan ini kau terjaga terus kan? untuk belajar dan bekerja?"
Tsuna tersenyum tipis, merasa malu.
"Kau selalu memarahi aku dan Lambo kalau begadang semalaman. Sementara kau sendiri malah melakukan hal yang sama. Aku akan bicara dengan Lussuria-san untuk meminta izin kalau kau tidak bekerja hari ini." Fuuta mengganti lagi kompres Tsuna. Ia merasa cemas setiap kali melihat wajah kakaknya itu. sangat pucat dan terlihat lelah. Mungkin belakangan ini Tsuna bekerja sangat keras untuk mengejar nilai akademik serta memenuhi kebutuhan keluarga. Terkadang Fuuta merasa dirinya terlalu bergantung pada Tsuna.
"Tsuna-nii, mungkin setelah lulus nanti aku akan bekerja…" gumamnya lemah.
Tangan Tsuna menyentuh bahu sang adik. "Tidak boleh, Fuuta... Kata Okaa-san dan Otou-san… pendidikan itu nomor satu…"
"Tapi—"
"Fuuta-nii, ini obat dari paman Fon." Lambo membuka pintu kamar Tsuna. "Eh? Tsuna-nii sudah bangun?"
Tsuna menghadiahi adik kecilnya sebuah tatapan tajam. "Jadi… Lambo juga bolos sekolah?"
"Bu—bukan be—begitu Tsu—" Air mulai menggenang di pelupuk mata si bungsu.
Tatapan itu melunak, menyiratkan rasa kasih sayang. "Kemari lah, kalian." Tsuna merentangkan kedua tangannya. Fuuta dan Lambo langsung memeluk kakak kesayangan mereka itu. di dalam pelukannya Tsuna bisa merasakan tetesan air hangat membasahi pundaknya. Walau Fuuta sudah menginjak tingkat akhir bangku SMA dan Lambo di tingkat dua SMP, tapi tetap saja Tsuna memperlakukan mereka layaknya anak-anak kecil.
"Maafkan kami, Tsuna-nii."
"Ya…, Fuuta… Lambo…"—maafkan aku juga karena telah merepotkan kalian.
Setelahnya, Fuuta menyuapi sang kakak dengan bubur sederhana buatannya. Tak lupa Lambo sesekali memijat bagian tubuh Tsuna. Beberapa saat kemudian, Tsuna tertidur. Dengan hati-hati Lambo menyelimuti kakak kesayangannya itu. Sementara Fuuta izin keluar untuk berbicara dengan Lussuria, manajer Kedai Kopi tempat Tsuna bekerja.
.
.
Pukul sebelas malam, Reborn menyempatkan diri untuk mengunjungi kedai itu lagi. Namun harapannya terpupuskan begitu melihat sosok yang menjaga kasir.
"Pesan apa, tuan?" tanya Lussuria dengan nada manja.
Bulu kuduk Reborn berdiri. Kenapa rasanya lain ketika yang menyambutnya bukan Tsuna?
"Espresso, satu."
"Okay~ Totalnya empat ratus limapuluh yen~"
Pria berambut hitam itu mengeluarkan selembar uang seribu yen dari dompetnya. Berbeda dari malam yang kemarin, Reborn kini menerima kembalian apa adanya. Ketika pesanannya jadi Reborn langsung pergi keluar. Tak minat untuk mengajak Lussuria berbicara.
.
.
Malam selanjutnya masih sama seperti malam kemarin.
Lussuria yang berjaga. Lagi-lagi Reborn memesan satu gelas espresso untuk dibawa pulang. Namun ketika pesanannya jadi, Reborn memilih untuk melepaskan rasa penasarannya.
"Kemana pegawai kecil berambut coklat itu?" tanyanya.
Lussuria memberikan pesanannya. Meski terlihat nakal dan manja tapi tetap saja pemuda melambai itu menjunjung tinggi sifat profesionalitasnya. "Oh? Sawada Tsunayoshi maksud anda?"
Reborn mengangguk. Tangannya meraih gelas kertas bertuliskan namanya.
"Kemarin adiknya datang kemari. Katanya Tsuna-chan sedang sakit. Aku memberinya cuti selama beberapa hari."
Pantas saja wajahnya kemarin terlihat lelah. Gumam Reborn.
Kepala Lussuria menyender pada sikutnya di atas meja. "Kasian anak itu, masih muda tapi sudah harus menghidupi dua adiknya. Mana masih harus kuliah pula. Kadang aku salut karena dia tidak pernah mengeluh dan selalu optimis."
Reborn tahu itu. Semangat hidupnya tergambar jelas di sorot matanya. Reborn pergi setelah Lussuria berhenti bicara dan melayani pengunjung yang lain. Keinginannya untuk bertemu dengan orang itu, entah mengapa memonopoli pikirannya.
Pria jangkung itu mendesah kecewa begitu mendapati esok adalah hari minggu. Dan Tsuna tak memiliki shift keja di hari minggu maupun hari senin.
Ponsel dalam saku dirogoh, Reborn menggulung layar, mencari nama yang ia inginkan di kontaknya kemudian menekan tombol panggil.
"Halo, Lal? Tidak, aku tidak akan mengajak Colonello ke bar malam ini. Boleh minta bantuan? Apa kau kenal mahasiswa jurusan sasta bernama Sawada Tsunayoshi?"
Seringaian terukir di paras tampan.
.
.
Setelah beberapa hari beristirahat total dirumah—Ya, total dimana Fuuta dan Lambo pasti akan memarahinya jika ia turun dari kasur, Tsuna merasa tubuhnya turun jauh lebih bugar. Mungkin benar kata adik-adiknya itu, Tsuna terlalu memaksakan diri sampai lupa untuk beristirahat. Padahal istirahat adalah hal yang penting.
Hari seninnya selalu dimulai dengan jam kuliah pagi, kelas Lal Mirch-sensei. Dosen killer namun berwibawa. Tsuna mengambil kuliah jurusan sastra Itali. Jurusan yang kurang diminati banyak orang. Selain minim pesaing, ia memang memiliki ketertarikan mempelajari budaya lain.
"Sawada Tsunayoshi," Tsuna melirik ke arah Lal yang sedang memanggilnya. "Cosa ne pensate? (Apa yang anda pikirkan)"
"Niente (Bukan apa-apa), Lal-sensei."
"Kalau begitu, perhatikan dengan baik."
"Si (Ya)."
.
.
Jam kuliahnya berakhir pukul satu siang hari ini, tidak ada tugas yang harus ia kerjakan. Tsuna memilih untuk langsung pulang kemudian mencuci pakaian yang menumpuk atau mungkin berbelanja untuk makan malam nanti.
Jarak antar apartemen dengan kampusnya sekitar delapan kilometer. Lumayan memang—tidak terlalu jauh pun tidak terlalu dekat. Jika tidak kepepet, ia memilih untuk berjalan kaki.
Ketika Tsuna berjalan keluar dari gedung fakultasnya, sebuah mobil sedan hitam mengklaksonnya dari belakang. Tsuna menoleh, mobil itu mensejajarkan diri dengan posisi Tsuna
"Sawada Tsunayoshi." Panggil sang sopir.
"Reborn-san?" dahi Tsuna menyernyit.
"Masuklah kuantar kau pulang."
"Tapi—"
"Aku tidak menerima penolakkan. Cepatlah. Apa aku harus membukakan pintumu seperti tuan putri?"
Wajah Tsuna terasa panas. Kedua telapak tangannya menggenggam erat tali tas selempangnya, kemudian berjalan menuju sisi pintu penumpang. "Anda ingin mengantarku pulang, Reborn-san?" tanyanya.
"Ya, begitulah. Ngomong-ngomong aku mencarimu di kedai beberapa hari ini. Kata yang jaga kau sakit." mobil sedan itu melaju dengan kecepatan sedang.
"Lussuria-san? Ah iya, adikku sempat mengabarinya. Ia memaksaku untuk mengambil cuti beberapa hari tapi gajiku tidak dipotong sama sekali." Tsuna menghembuskan napas panjang. Punggungnya bersandar ke kursi.
Reborn tersenyum. "Bukannya itu lebih bagus? Rumahmu belok mana? Kanan atau kiri?"
"Kiri, terus saja ke arah kuil Namimori."
"Baiklah." Roda kemudi diputar ke sisi kiri.
"Aku tidak suka berhutang budi ke orang lain, Reborn-san." Gumam Tsuna pelan.
"Kurasa pria melambai yang menggantikanmu itu tidak berpikir demikian."
"Maksudnya?"
Pandangan Reborn lurus ke depan. "Ya maksudnya, sesekali terimalah bantuan dari orang lain tanpa merasa berhutang budi. Lagipula mereka pasti ikhlas melakukannya."
"Bukan begitu… aku hanya merasa sungkan…"
"Jadi kau merasa sungkan padaku juga?"
"Hu-um."
Reborn melirik sekilas pemuda mungil di sampingnya. Bibirnya membentuk sebuah seringaian. "Lalu kenapa menerima ajakanku ini dengan begitu mudah?"
"Anda kan tadi yang memaksa…"
"Benarkah?" goda si pria dewasa
Tsuna tertunduk malu. "A—aku hanya merasa tidak enak… untuk menolak…"
"Bingo! Jawaban yang mudah sekali ditebak, Dame-Tsuna."
"Da—Dame?"
"Kenapa, Da-Me-Tsu-Na?" Reborn sengaja mengejanya untuk menggoda sosok di sampingnya. Wajah Tsuna merah, entah karena malu atau marah.
"Reborn-san… boleh aku bertanya?" Tangannya mengerat pada tali tas selempangnya.
Alis Reborn menukik. "Ya, silahkan."
Konflik batin berkecambuk dalam diri si mungil. Mungkin rasanya tidak sopan jika langsung bertanya, tapi Tsuna tahu Reborn bukanlah orang yang suka berbasa-basi. "Er… kenapa anda mau mengantarku pulang? Maksudku, kita kan baru bertemu satu kali… dan…"
Kekehan kecil keluar dari mulut lawan. Tsuna memberanikan diri untuk manatap wajah Reborn. Sebuah senyuman hangat yang belum ia lihat menyambutnya. "Kau itu sama seperti Luce ya…"
"Maaf?"
"Mendiang istriku. Kau mirip dengannya. Tidak suka bergantung dengan orang lain dan punya ambisi yang kuat…"
Perasaan kecewa menjalar di relung hatinya. Tsuna merasa dirinya adalah objek substitusi. Tapi… kenapa ia harus berharap lebih? Toh dirinya dan Reborn hanya orang asing. Dan Tsuna tak berhak untuk mengubah sudut pandang Reborn terhadap dirinya.
"Dan… seperti yang kubilang kemarin, espresso buatanmu dengannya itu hampir sama…"
Tsuna tertawa. "Kalau begitu… seharusnya espresso buatan Lussuria juga mempunyai rasa yang sama dong?"
"Tidak… rasanya berbeda."
"Eh?"
"Espresso buatanmu, nyaris sama seperti buatan Luce. Hangat dan menenangkan, namun terkesan misterius…"
Kening Tsuna mengkerut. "Benarkah?"
Reborn mengangguk. "Aku dapat membaca sifat dari seseorang melalui gerak-geriknya."
"Lalu menurut anda… sifatku ini bagaimana?"
"Kau, Sawada Tsunayoshi," Reborn menoleh, mendapati sepasang manik coklat sedang menatapnya lekat-lekat. Onyx dan Hazel bertemu, keduanya mencoba untuk saling memahami lewat jendela dunia mereka masing-masing. Reborn yang pertama memutuskan kontak, pandangannya teralih ke jalan raya. "Kau menyimpan banyak rahasia."
"Masing-masing orang pasti memiliki banyak rahasia, Reborn-san."
"Ya, aku tahu."—dan rahasiamu ini, kelak akan membuat orang-orang terdekatmu sedih. Makanya kau menyimpannya sendiri kan?
Kau membiarkan dirimu menderita sendirian.
.
.
Tsuna melepaskan sabuk pengamannya ketika mobil sedan itu berhenti di tepi jalan, sebrang apartemennya. "Terima kasih telah mengantarku pulang, Reborn-san. Apa anda mau mampir untuk makan siang? Kebetulan kemarin aku memasak kare lumayan banyak."
"Tidak usah. Aku sudah makan siang tadi."
"Kalau begitu, aku akan memaksa, Reborn-san. "
Reborn menghela napas kemudian mematikan mesin mobil dan melepaskan sabuk pengamannya. Tsuna tersenyum. Pemuda itu menuntun Reborn menuju apartemennya di lantai tiga.
Apartemen itu nampak terlihat sederhana, tidak ada lift atau penjagaan ketat. Tidak seperti penthouse miliknya. Ketika masuk, kesan pertamanya adalah kecil. Tempat itu berisi dua kamar tidur, satu dapur sekaligus ruang makan, serta satu kamar mandi. Di luar ada balkon pribadi yang cukup sempit dan diisi dengan jemuran baju.
Tempat ini memang sempit. Namun terkesan luas karena barang-barangnya sedikit. Reborn tidak melihat banyak barang elektronik selain mesin cuci, kulkas kecil, dan mesin penanak nasi.
"Jangan sungkan-sungkan Reborn-san. Ah yak kau mau minum apa? Susu atau teh hitam? Maaf tapi di rumah ini tidak ada yang doyan minum kopi… Jadi ya, kami tidak pernah menyetoknya."
"Terserah kau saja, tidak usah repot-repot." Reborn melonggarkan simpul dasinya. Walau di matanya rumah ini terkesan sangat sederhana, namun ia dapat merasakan kehangatan ketika berada di sana. Sama seperti dengan kehangatan yang ada di rumahnya ketika Luce masih hidup.
Tsuna menyajikan secangkir teh hitam hangat ke hadapannya. Aromanya seperti teh kayu manis, menenangkan. "Aku menambahkan sedikit kayu manis bubuk dan madu." Ujarnya.
Reborn meneguknya sedikit. Rasa khas kayu manis menyerang indra perasaannya, namun kemudian tergantikan oleh rasa manis dari madu.
"Bagaimana?" tanya Tsuna sambil meletakkan sepiring nasi kare ke hadapan Reborn.
"Enak juga. Baru pertama kali aku coba ini."
Tsuna mengambil posisi duduk di sisi lain meja makan itu. di depannya juga ada secangkir teh kayu manis hangat dan sepiring nasi kare. "Selamat makan." Ia menyuapkan sesendok nasi kare ke dalam mulutnya.
Reborn menyusul setelahnya.
"Bagaimana karenya, Reborn-san?"
"Masih agak amatir. Tapi lumayan lah." Ujar Reborn.
Bibir Tsuna mengerucut. "Anda jago masak, Reborn-san?"
Reborn menyeringai. "Tentu saja. Kau pikir siapa aku?"
.
.
Tepat pukul tiga, Lambo pulang. Anak itu terkejut begitu mendapati sesosok pria dewasa asing di dalam rumahnya.
"Tsuna-ni, tadai— Siapa kau? Penagih hutang ya?!" tanyanya ketus. Di tangan, Reborn sudah bersiap membawa raket nyamuk yang ia ambil entah dari mana.
Reborn melirik anak itu dengan tatapan risih.
"Eh? Lambo? Sudah pulang?" Tsuna keluar dari kamar mandi, melihat adik bungsunya yang baru pulang sedang berada di posisi siaga.
"Tsuna-nii… siapa orang itu?" Lambo menunjuk Reborn. Manik zamrudnya menatap nyalang ke sosok asing di depan.
"Lambo, yang sopan. Reborn-san bukan orang jahat." Tsuna berjalan mendekati dua orang itu. "Reborn-san, ini adik bungsuku, Lambo. Dan Lambo, ini Reborn-san. Dia—" kening Tsuna berkerut. Sulit rasanya menentukan kata yang menggambarkan hubungannya dengan Reborn.
"Kenalan?" tanya Lambo polos.
"Ah ya, kenalan."
Sebenarnya Tsuna merasa tidak enak hati dengan Reborn. Tapi kelihatannya Reborn tak ambil pusing. Memang benarkan keduanya hanya sekedar kenalan? Tidak lebih.
Ponsel Reborn berdering. Pria itu meminta izin untuk mengangkatnya di balkon luar, Tsuna memperbolehkannya. Tak lama setelah menerima telepon, Reborn pamit pulang ia bilang ada keperluan mendadak. Tsuna mengajaknya untuk makan malam bersama kalau Reborn tidak sibuk. Tapi ia menolaknya. Reborn bilang mereka bisa bertemu kembali di kedai kopi besok malam ketika Tsuna bekerja.
.
.
Pukul sebelas malam, kota Namimori dituruni hujan yang lebat. Tubuh Tsuna sesekali menggigil. Padahal kedai itu memiliki mesin penghangat dan suhunya sudah disetel dengan suhu yang pas. Beruntung saat ini ia menggunakan sweater di balik apron kerjanya.
Pintu masuk dibuka. Sesosok pria dengan setelan kasual masuk. Tubuhnya basah kuyup.
"Reborn-san," Tsuna mengambil handuk kecil kering di bawah meja kasir. "Anda hujan-hujanan?"
Reborn tersenyum. "Ya begitu lah. Payungku terbang terbawa angin." Ujarnya. Ia menerima handuk pemberian Tsuna untuk mengeringkan kepalannya.
Tsuna sempat terpana sesaat begitu melihat tubuh Reborn di balik baju basahnya yang menerawang. Tubuh idaman semua laki-laki, tegap dan berbentuk.Tsuna jadi merasa gagal menjadi seorang pria.
"Ok, aku tidak akan bertanya karena aku sudah tahu apa pesanan anda." Tsuna mulai meracik espresso. Reborn memilih duduk di spotnya.
Setelah pesanannya jadi, Tsuna mengantarkannya langsung ke meja Reborn. Ia mengambil posisi duduk di hadapannya.
"Tidak masalah meninggalkan stasiunmu? Tidak takut kena potong gaji?" Reborn meminum sedikit espressonya.
"Tidak. Sepertinya hanya anda satu-satunya orang yang rela hujan-hujanan untuk membeli kopi di tempat ini." Ucap si kecil sambil terkekeh.
Reborn mendengus. Ya, kenapa pula ia harus menembus hujan demi secangkir kopi di tempat ini? Apa karena sebelumnya ia sudah berjanji untuk datang hari ini? Atau mungkin memang ia sudah tidak sabar untuk bertemu Tsuna?
"Yang kemarin itu adikmu yang kau ceritakan?"
"Hu-um. Lambo namanya. Dia masih SMP."
"Tapi kelihatannya kau kalah tinggi dengannya."
Wajah Tsuna memerah. Di antara Lambo dan Fuuta, ia lah yang paling pendek. Sering kali ia dikira sebagai adik mereka. Padahal pada kenyataannya Tsuna yang paling tua. Walau berumur duapuluh satu tahun, karena tubuh pendeknya ia suka dikira anak SMP. "Ya, mereka mengambil gen tinggi yang seharusnya jadi milikku." Ucapnya.
Reborn tertawa. "Jadi? Empat ratus limapuluh yen?"
"Tidak usah. Anggap saja bonus gratis karena sudah mengantarku pulang kemarin, Reborn-san."
"Hmm? Baiklah kalau begitu."
Di dalam kedai sederhana, keduanya kembali bertukar kisah. Tsuna seolah melupakan udara dingin yang menerpanya. Walau tanpa secangkir coklat panas, tubuhnya terasa hangat. Mungkin karena kehadiran Reborn? Atau karena dirinya terlalu menikmati kebersamaannya dengan pria itu? Tsuna tidak tahu.
Walau Reborn adalah orang asing yang kadang terlalu pemaksa, namun Tsuna merasa nyaman di dekatnya. Dan Tsuna tak sungkan-sungkan untuk membuka diri pada pria itu.
.
.
Di hari berikutnya, Reborn datang agak larut. Tsuna nyaris tertidur karena menunggu pengunjung. Sudah sewajarnya jika di tengah malam seperti ini, kedai itu sepi.
"Kau bisa dipecat kalau tertidur seperti tadi, Dame-Tsuna." Ujar Reborn. Sambil menyerahkan selembar uang.
Tsuna tersenyum. "Ya, maaf. Sepertinya aku mudah sekali ngantuk akhir-akhir ini."
"Sedang banyak tugas?"
Tsuna menggeleng. "Aku ambil shift kerja sore di tempat lain. Makanya waktu tidurku terpangkas."
Mata Reborn menyipit tidak suka. "Kau mengambil double job?"
"Ya. Karena beberapa hal sih, tapi cuma sementara." Tsuna menuliskan nama Reborn di cup kertas.
"Tidak capek?"
Air panas dituangkan ke dalam mesin peracik kopi. "Lumayan… tapi tidak terlalu lelah sih."
Reborn menghela napas. Ia tahu kalau Tsuna adalah orang yang keras kepala. Mulutnya sudah gatal ingin menasehati orang itu macam-macam. Tapi di sisi lain Reborn tahu kalau Tsuna sedang berjuang sekuat tenaga. Ia tidak memiliki hak untuk melarang.
"Ah iya, ini." Reborn memberikan sebuah paper bag ke Tsuna.
"Apa ini, Reborn-san?"
"Ponsel. Untukmu dan dua adikmu."
Tsuna membuka paper bag itu dan melihat isinya. Matanya melebar begitu mendapati tiga kotak ponsel pintar keluaran terbaru. "Ta—tapi barang seperti ini—"
"Buatmu. Aku tidak menerima penolakan. Toh barang murah seperti itu tak membuatku jatuh miskin. Anggap saja bayaran atas kopi kemarin."
"Tapi—"
"Terima saja, Dame-Tsuna. Kau tahu kan jaman sekarang, ponsel adalah kebutuhan primer manusia? Kau mau adikmu itu repot-repot datang kemari kalau ada hal penting yang ingin ia sampaikan"
Tsuna menggeleng. "Terima kasih banyak, Reborn-san."
Reborn menyeringai penuh kemenangan. "Sama-sama, Dame-Tsuna."
Reborn mengajarinya menggunakan ponsel itu. Tsuna merasa kikuk karena tidak bisa menghadapi kemajuan teknologi. Bisa dibilang ia ini gaptek. Pria itu menjelaskan hal-hal dasar seperti tombol panggilan darurat di nomor satu—yang sialnya nomor itu adalah nomor ponsel Reborn pribadi. Kemudian juga cara-cara untuk mengirim pesan lewat aplikasi yang sedang populer.
"Bagaimana caranya aku bisa mendapatkan stiker seperti itu, Reborn-san?" tanya Tsuna sambil menunjuk stiker singa yang dikirim Reborn.
"Kau harus membelinya, Dame-Tsuna."
"Beli? Aku tidak tahu kalau hal seperti ini bahkan bisa menghasilkan uang." Ujarnya polos.
Reborn tertawa. "Untuk mencari uang di jaman sekarang, kau harus kreatif. Tidak usah repot-repot bekerja seperti ini. Tinggal duduk depan komputer saja, kau sudah bisa menghasilkan uang."
"Benarkah?"
Pria dewasa itu mengangguk.
Ketika jam tutup toko, Reborn setia menunggu Tsuna menyelesaikan pekerjaannya. Tsuna merasa tak enak hati karena perlakuan baik Reborn yang agak berlebihan itu. Reborn mengantarnya pulang. Di mobil, ia mengatakan kalau sebulan ke depan ia akan keluar negeri untuk tugas dinas. Tsuna agak kecewa mendengarnya.
"Makanya kuberi kau ponsel agar mudah dihubungi. Ingat jangan dijual." Ucap Reborn.
Tsuna terkekeh. "Tidak akan, Reborn-san. Hati-hati ya, semoga selamat sampai tujuan." Ia turun dan menutup pintu mobil ketika keduanya sudah sampai di depan apartemennya.
"Hn," Reborn mengangguk. "Ya, jaga diri selama aku pergi, Dame-Tsuna."
Mobil sedan hitam itu kemudian melaju, meninggalkan Tsuna. Entah mengapa, Tsuna bisa merasakan dadanya terasa sesak. Tidak bukan sakit, tapi rasanya seperti ia sedang kehilangan. Rasa yang sungguh tidak mengenakkan.
Angin malam menerpanya. Tsuna kembali terbatuk. Mungkin ia belum benar-benar sembuh. Sebelum keadaan tubuhnya makin buruk, Tsuna berjalan masuk ke dalam kompleks apartemennya.
Jika saja Tsuna memiliki hak, ia pasti sudah melarang Reborn untuk pergi. Karena perasaannya mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi.
Bersambung ke part 2...
hay! saya penghuni baru di fandom ini xD entah kenapa saya kepincut pair R27 dan G27 walau kadang suka juga sih berburu allx27
btw itu bahasa italinya modalan gugel translate ;; entah benar atau salah wkwkwk
well, see you in next chapter!
mind to review?
sign,
Hanyo4
