Disclaimer : Masashi Kishimoto
Genre : Romance
Tittle : Pretty
Pairing : KakaHina
Warning : typo berserakan, gaje, abal, ga menarik, kritik saran are welcome
Ini entah disebut apa, just one shoot.
Saya tidak pernah menulis NaruHina, jadi jika yang tidak suka silahkan minggir jauh2.
.
Happy reading
Cantik. Kata yang sangat klise, semua orang punya presepsi masing-masing tentang cantik, karena tidak ada kesepakatan pasti itulah, cantik bukan anggota himpunan matematika yang kebenarannya absolut. Namun cantik bagiku, seperti saat aku memandang gadis dengan surai indigo membelai punggungnnya. Cantik saat dia dengan takut-takut memegangi sosok identik dengannya, cantik saat dia begitu gugup memainkan kedua jari telunjuk di depan dada, cantik saat kulihat sorot khawatir dalam iris lavendernya memandang dunia, cantik begitu malu untuk hanya sekedar melihat sekelilingnya, memilih berkutat pada pikiran kekhawatirannya yang tak kunjung sirna. Dia terus menoleh kearah lift tempat kembarannya pergi, berharap segera kembali.
Cantik saat kulihat kekhawatiran membuatnya menggigit bibir berkali-kali, mengintip adakah ancaman yang dapat membuatnya merana, jarinya memainkan lembaran kertas, berharap rasa takutnya lenyap, mata itu fokus pada deret alphabet yang disusun rapih menuliskan kalimat-kalimat sarat makna.
Bibirnya bergetar tanpa mampu menutupi kegelisahan. Hatinya semrawut menatap lift. Saat lift itu terbuka, bola matanya membesar menangkap sosok identik, rasa takutnya sirna berganti kelegaan, sang penenang tiba, semua akan baik-baik saja.
Aku tidak tahu apa yang membuatnya begitu khawatir, tidak ada satu kecacatanpun yang kutemukan dari analisis sempurnaku atas dirinya, tidak pada rupa anggunnya, tidak dengan penampilannya yang menunjukkan dia sangat terawat, tidak juga dengan uang yang mungkin membuatnya minder, karena barang yang dikenakannya walaupun terlihat casual, namun aku tahu itu barang branded.
Mungkin dia bisu? Selama ini yang kulihat hanya ekspresi-ekspresi ketakutannya, jika ya, jelas itu beralasan, ingin kubuktikan asumsiku, berharap aku salah. Aku masih tidak berani mendekatinya, mengamati gadis itu sekarang sudah menjadi rutinitasku, rutinitas mingguan. Melihatnya tak pernah berubah, selalu menunjukkan kekisruhan hati, sama sepertiku. Membuatku terhibur.
Hinata, kini kutahu namanya, nama seorang gadis yang memerangkapku pada sejuta spekulasi, asumsi,dan afeksi. Gadis yang selalu bersama kakaknya itu punya satu kekurangan, yaitu tidak punya tunangan, usia 19 tahunnya tak mampu melatih wajahnya untuk tenang, entah apa yang dia khawatirkan, apalagi jika sang penjaga sudah menjauhinya, matanya seperti ingin menangis, ah, Hinata andai saja aku yang kau pandang begitu.
Sejak setahun lalu aku memandanginya, di pojok yang sama tempatku berpura-pura membaca. Kuulangi rutinitas seperti biasa, membuka majalah khusus dewasa, mencuri-curi pandang lewat lembaran yang kubuka, ia selalu ada di korner yang sama, Novel Sastra. Tempat itu hanya terlihat jelas dari korner ini, untung Hinata tidak melihatku, melihat lelaki berumur sepertiku yang jadi stalker untuk sekedar curi-curi pandang seperti anak muda, kalau iya, maka harga diriku bisa ambruk.
Bagaimana bisa majalah yang menyajikan kemolekan tubuh para yanke itu dilewatkan, entahlah, aku juga tak tahu, semakin ditutup semakin menarik, dan itu hanya ada pada Hinata. Hinata menoleh gelisah, merasakan pandangan tajam di punggunya, kepalanya bergerak, dia melihatku mencuri-curi pandang, dia menggigit bibir, aku berpura-pura membaca.
Begitu kulirikkan mata, seorang Hyuga sudah berdiri di depanku.
"Kakashi senpai, sedang apa?" tanya kembaran Hinata. Aku menggaruk-garuk belakang kepalaku yang tidak gatal.
"Eh, aku tentu saja sedang membaca, kau bersama siapa Neji?" mantan adik kelasku itu menatap tajam.
"Orang yang kau pandangi dari tadi." Lugas sekali, kebiasaan Hyuga. Untung kau baru tahu sekali, aku malu mengakui sudah berkali-kali aku memandanginya.
"Oh, gadis itu adikmu?" Neji jenius Hyuga itu mengangguk. Tatapannya mengatakan 'mau apa kau?'
"Adikmu itu…. Buatku saja ya?" Neji melotot, menjengit sengit, entah apa yang mengisi otaknya.
"Tidak, cari yang lain saja," Hyuga berlalu, aku reflex memegangi pundaknya,
"Kenalkan aku ya?" Neji mengendikkan bahu, ada raut kesal di wajahnya, aku menangkupkan kedua tangan tanda memohon.
"Baiklah, tapi lepaskan dulu buku kotor yang kau pegang, bisa pingsan dia melihatmu." Neji nyinyir, aku melirik icha-icha-ku, terlalu berat melepaskan buku ini, demi apapun, ini pengarang favoritku. Akhirnya kurelakan buku itu teronggok di tempat biasa.
Mata itu menyiratkan rasa takut dan malu yang jelas, begitu kami berdua mendatanginya yang sedang menikmati sastra.
"Dia, stalkermu ini adalah kakak kelasku," aku bersumpah mendengar Neji setengah mengejekku, masa bodoh, yang terpenting bisa melihat rona kemerahan yang tergurat di wajah innocent itu.
"Hajimemashite, watashi wa Hatake Kakashi desu" aku mengulurkan tangan, Hinata merona, memandang tanganku yang menggantung beberapa lama sebelum aku menariknya dan meletakkan kembali ke kantong.
"Kenapa Hinata? Kau takut ya? Tenang. Walaupun dia membaca icha-icha, memakai masker, dan punya rambut aneh berwarna perak, dia lumayan baik.." apa maksudnya? Lumayan baik? Hey, seenaknya saja menghina seleraku atas buku itu, dan lagi, ayahku ini dari London, jangan salahkan aku punya rambut indah ini. Hinata mengangguk-angguk kecil karena ucapan Neji.
"Nah, berhubung aku masih mencari buku di lantai tiga, aku titipkan sebentar Hinata padamu," aku merasa beruntung hari ini, Neji menatapku, "Jangan macam-macam!" tepuknya di bahuku. Adik kelas yang menyebalkan.
Hinata menekuri tiap jengkal kata di bukunya, namun aku tahu itu hanya sia-sia, itu ekspresi kegugupannya yang lain, apalagi semeja dengan orang yang baru saja tertangkap basah menguntit. Aku berdehem, menetralisir tenggorokanku, berharap mendapat ketenangan sebelum kulancarkan aksiku.
"Hm, kenapa kau begitu terlihat gugup?" mendengar pertanyaanku gadis ini mengangkat wajahnya, memandang mataku, pipinya merona.
"A-Aku… ti-tidak ta-hu.." ujarnya patah-patah, aku mengangguk. Aku ingin sekali bilang bahwa aku terapis yang bisa menebak sebab dari kegugupannya, dan ingin kukatakan bahwa aku bisa menyembuhkannya, untuk sekedar medapatkan kesempatan, namun aku pikir itu cara yang bodoh.
"Aku tahu terapi yang tepat.." ujarku ponggah, Hinata menatapku perlahan, mencoba mengeluarkan suaranya yang bagai lonceng kecil.
"Jangan, coba mem-be-tulkanku, a-ku ti-dak rusak" dengan susah payah dia bicara, aku mengangguk,menyadari dia punya selera bagus dalam musik.
"Don't try to fix me coz I'm not broken, Hello, Evanescence right?" dia mengangguk malu-malu.
"Hatake-san tahu? aku jadi malu" ada senyum yang terkembang dibibirnya, tentu saja aku tahu, kau selalu mendengarkannya disini.
Gemas sekali melihatnya malu-malu, tetapi saat dewi fortuna hendak melemparkan panah, gangguan datang.
"Arigato senpai" Neji berlalu membawa adiknya serta. Seminggu lagi ya? Bertemu dengannya disini? Rasanya akan sangat lama.
.
.
Buku yang hampir seperti napas untukku ini kehilangan pesona dihadapan gadis itu, ah, Kakashi, tidak malu? Ingat sekarang usiamu, 27! Akan seperti pedofili kalau kau menginginkannya.
Dia memang cantik, setiap orang cantik dengan caranya sendiri, dia terlihat sangat indah dimataku, cantik memang karunia, namun yang menentukan cantik itu bukan hanya kulit lahir saja, Hinata, aku akui aku sangat tertarik pada sikapnya, itulah yang membuatnya terlihat sangat menawan, gadis rapuh.
Begitu banyak wanita cantik lahir, ketika menentukan mereka cantik atau tidak, maka ajaklah bicara, akan keluar sifat aslinya, ceplas-ceploskah, ceroboh, berisik, apapun yang keluar dari bibirnya menggambarkan dirinya, karena kecantikan lahir hanya kulit setebal 5 centi, maka yang menentukan sebenarnya adalah kepribadian. Hinata? Tipe kecantikan yang sangat kusuka, begitu polos dan pemalu, aku jadi ingin menjahilinya.
Jam istirahat makan siang sudah hampir habis, aku harus segera kembali kekantorku, aku melewati etalase-etalase yang menyajikan berbagai benda-benda kebutuhan wanita, aku tertarik melihat kalung yang dipajang, berwarna perak, tipis serupa benang, dengan bandul berbentuk bulat, sederhana, entah kenapa kakiku melangkah masuk untuk membelinya. Aku bersiul merepresentasikan kesenanganku, sepertinya hari-hari bujangku harus berakhir.
Aku masih menatap etalase, melihat hal yang mungkin menarik, dan benar saja, kulihat pemandangan menarik, Hinata sedang duduk di suatu coffee shop, sendirian, catat! Mataku mencari-cari mana kembar sialnya, namun tak kutemukan, tapi Hinata tak mungkin berani sendiri, apa penilaianku terhadapnya salah?
Kakiku melangkah maju, menyantroni tempat duduknya, barulah kusadari, dia memmang tidak sendiri, bangku di depannya terisi oleh bocah kuning yang mengesalkan, Naruto. Aku ragu-ragu melangkahkan kaki, apa alasan yang kupunya jika ingin menegurnya?
Ah masa bodoh dengan jam kantor itu, masa bodoh dengan alasan, aku tiba di meja itu, Hinata menatapku, dan Naruto mencibir.
"Apakah kursi ini kosong?, kulihat kursi lain sudah terisi," tanpa ada jawaban aku duduk di samping pak kusir #plak! Hinata maksudnya.
"Ngapain senpai kesini, jam kantormu sudah habis tuh!" sial! Naruto no Baka! Kenapa dia harus membocorkan rahasiaku? Tetapi bukan Kakashi jika tidak bisa stay cool.
"Apa tidak boleh mengunjungi gadis cantik di etalase? Aku jadi ingin membelinya.." Hinata memainkan ujung blouse biru mudanya.
"Ka-kalian, saling kenal" dia masih menunduk,
"Tch, tentu saja, dia kan kakak kelasku di Kyoto university, dan dia sangan menyebalkan!" Naruto sepertinya masih marah dengan kejadian saat ospek.
"Kau tahu Hinata, dia ini menyuruhku menyatakan cinta pada seorang gadis yang mengerikan! Dan setelah saat itu aku dikejarnya terus!" Naruto menyangga kepalanya dengan tangan.
"Itu sudah lama berlalu, apa yang kau lakukan disini?" tanyaku datar.
"Yah tentu saja membawa tunanganku jalan-jalan.." Naruto mengedipkan mata kearah Hinata, Hinata menggeleng cepat. Aku tak tahu apakah yang dikatakan bocah duren ini benar, ada rasa kecewa saat tak ada sanggahan dari Hinata.
"Baiklah, aku pergi dulu, jam istirahatku habis." Aku meloyor pergi tanpa ada tangan yang menahanku seperti yang sering kubaca di icha-icha. Harusnya saat sang lelaki ingin beranjak, maka tangan wanita akan menahannya, dan menghambur ke pelukan, sekarang yang memelukku malas rasa dingin. Kudengar Naruto terkikik dibelakangku, menyebalkan. Hari-hari lajangku akan panjang, gadis yang kuimpikan ternyata tidak senggang, terlalu berlebihan jika aku meratapinya, jadian saja belum, bertegurpun baru sekali, mana mungkin dia tahu aku memperhatikannya.
.
.
Kupandangi kalung perak yang tadi siang kubeli, besok adalah hariku ke toko buku biasa, memandanginya, tapi setelah kutahu dia sudah punya Naruto, rasanya besok aku malas keluar, yah mereka memang cocok, Naruto ceria dan tidak terpaut jauh dengannya, cocok sekali. Jika Hinata itu lembut, dan Naruto hangat yang bisa kubayangkan adalah sensasi makan bubur.
Tiba-tiba deringan ponsel menyadarkanku, kulihat nama kembar sial Hinata menelepon, tumben sekali.
"Ada apa?" ujarku tak ingin basa-basi.
"Besok kau akan ke toko buku itu kan?" lugas, seperti biasa.
"Tidak tahu, mungkin ya, mungkin tidak." Neji tertawa, entah kenapa.
"Ada kabar bagus untukmu, aku tidak bisa mengantar hime, karena ada urusan yang butuh kuselesaikan, dan itu rutinitasnya yang tidak dapat diubah, jadi maukah kau.." Hatiku sudah melonjak-lonjak mendengarnya, namun tidak perlu kuperlihatkan di depan orang menyebalkan ini, tunggu kenapa bukan Naruto?
"Kenapa bukan tunangannya?" Aku bertanya seolah tidak mau tahu lebih lanjut.
"Oh, yang kau maksud Naruto? Dia ada kerjaan lain, dan dia tidak suka toko buku." Hm, jadi aku hanya ban serep? Kakashi, Kakashi. Tak apa selama bisa memandangnya aku tidak peduli dia akan menikah dengan siapa, lagipula ini permintaan resmi kembar sialnya, bukan salahku jika Naruto tahu.
.
.
TBC.
saya tidak pernah nulis Naruhina atau Sasusaku, karena saya tidak suka, kalau di animenya okelah, tapi author lain juga sudah banyak nulis naruhina, dan di fanfic itu hanya untuk bersenang-senang. Jadi para naruhina lovers jauh2 dari fic saya jika tidak menghargai imajinasi lain.
Kritik dan saran are welcome.
