Hai. Lagi-lagi saya meramaikan fandom Tenipuri. Kali ini saya ingin menyorot trio yang selama ini hanya berdiri di pinggir lapangan. Agak disayangkan juga sih sampai akhir cerita Konomi-sensei tetap menjadikan tiga orang ini tokoh "pinggiran"… padahal sepertinya mereka menarik untuk dibawa ke tengah lapangan. Er, tapi ini fungsinya fanfic kan? Memuaskan ketidakpuasan. Hehehe.
Oh ya, sekadar mengingatkan, mungkin teman-teman sudah lupa dengan mereka. Kachiro adalah anak dengan rambut berbentuk baskom (maafkan aku, Kachiro, tapi begitulah kenyataannya ^^), Katsuo adalah anak berambut… eh, nggak berambut ding, alias botak. Lalu Horio adalah anak dengan model rambut paling keren di antara ketiganya, tapi wajah dan perangainya mirip dengan Suneo di Doraemon (dan apakah ini mengandung konotasi yang negatif? :P). Sudah ingat sekarang? Selamat membaca :)
We Are the Princes of Tennis!
The Prince of Tennis © 1999 by Takeshi Konomi
Rating: K
Genre: Friendship
Summary: Aku yang hanya seorang anak biasa hari ini mendapatkan dua orang teman baru yang sangat luar biasa: Katsuo yang kalem tapi matanya bersinar oleh bara semangatnya dan Horio yang periang juga mudah mengatakan "hebat" untuk apapun (termasuk untuk dirinya sendiri).
Geniuses 1
Aku, Katsuo, dan Horio
Hari ini mentari yang cerah tanpa malu-malu meradiasikan panasnya kepada kami berdua, aku dan Katsuo, teman sekelasku yang sama-sama ikut klub tenis. Tapi panas pun tak mampu membuat kami menyadari bahwa sudah setengah jam kami duduk-duduk mengobrol di pinggir lapangan. Mengobrol apa saja. Mulai dari pengalaman kami bermain tenis, sekolah kami sebelumnya, hingga guru Matematika yang beberapa jam sebelumnya membuatku suntuk dengan rumus-rumus super sulitnya.
"Aku ingin sekali bisa menjadi petenis pro," ungkap anak itu ketika akhirnya topik perbincangan kami merambah ke cita-cita masa depan.
Aku tersenyum, "Hee… hebatnya. Aku sih hanya ingin seperti ayahku saja"
"Ayahmu?" tanyanya ingin tahu. Matanya berbinar-binar penuh semangat, aku suka mata itu.
"Ayahku pelatih klub tenis," kataku sambil tersenyum. Sulit untuk tidak merasa bangga kalau melihat pandangan dengan kekaguman yang tulus ditujukan kepadamu.
"Waah, pelatih! Hebat sekali!" wajah Katsuo tampak begitu bercahaya, "Kau pasti jago bermain tenis!"
Aku mengangkat bahu, berusaha ceria meskipun ada sesuatu yang gelap menyergapku, membuatku urung tersenyum, "Sayangnya tidak tuh, sepertinya aku tidak berbakat…"
Katsuo tersenyum hangat, "Jangan begitu. Orang bilang 99% itu dari usaha, sedangkan bakat hanya berperan 1%!"
"Begitu, ya…" Aku menatap Katsuo tanpa berkedip. Aku yakin, maaf kalau aku terdengar sombong, anak ini sebetulnya tidak mahir bermain tenis. Mungkin pemula. Tapi aku setengah mati dipesonakan oleh semangatnya hari ini, dan mungkin hari-hari selanjutnya…
"Waah! Seigaku memang top! Lihat lapangannya!"
Kami berdua sontak menoleh ke pemilik suara yang memutus keheningan yang sesaat menggantung di antara kami. Seorang anak berambut acak-acakan, yang seingatku sekelas denganku, melangkah dengan congkak. Dia mengamat-amati setiap detil lapangan Seigaku, dan aku yakin saat ini dia sedang menghitung lampu di sisi-sisi lapangan itu – kurang kerjaan! Setelah sibuk berceloteh sendiri membanggakan lapangan Seigaku yang jelas bukan miliknya, akhirnya dia menyapa kami berdua. "Oh, hei… kalian sekelas denganku kan?" tanyanya riang.
Aku tersenyum sopan, "Begitulah… aku Kachiro, ini Katsuo, kau?"
"Aku Horio!" senyumnya merekah lebar. Wah, dalam satu hari aku dipertemukan dengan dua orang yang senyumannya secerah matahari. Tapi Horio ini, sekali lihat saja langsung bisa kusimpulkan sebagai orang yang sombong, berbeda dengan Katsuo yang low profile. Lihatlah gaya berjalannya yang seakan memiliki seisi bumi dan raket yang ditenteng-tentengnya dengan bangga seolah ingin memproklamirkan ke seisi dunia bahwa dia bisa bermain tenis. Menyebalkan sekali.
"Hari ini kakak-kakak kelas tiga dan kelas dua sedang ada pertandingan," aku menjelaskan alasan mengapa aku dan Katsuo hanya duduk mengobrol di pinggir lapangan, meski dia tidak menanyakannya. Ups, rupanya itu hal terakhir yang ingin didengarnya, karena sekejap saja wajah Horio yang cerah berubah murung. "Er… pendaftaran ulang sementara ini ditunda sampai besok" aku menambahkan dengan hati-hati.
"Oh… begitu" terdengar gumam seorang anak lagi, yang baru kusadari bergabung dengan kelompok kecil kami. Anak itu tingginya tidak berbeda jauh denganku yang sebetulnya tergolong pendek untuk seusiaku. Tapi berbeda denganku yang berpenampilan biasa-biasa saja, wajah anak itu… tampan. Ya, kalau seandainya aku tidak memiliki kromosom Y dalam susunan kromosomku, mungkin aku akan jatuh cinta padanya. Eh, tapi jangan salah artikan maksudku, ya. Bukannya aku menyukainya seperti itu, hanya saja, yaa… kau tidak bisa bilang dia tidak tampan kalau kau melihatnya. Dia tampan, dengan cara berjalan dan berbicara yang juga mendukung ketampanannya. Berbeda dengan Horio yang kesombongannya menyebalkanku, anak yang sebetulnya terlihat lebih sombong dari Horio ini malah membuatku segan. Rasanya, dia begitu… apa ya… ningrat?
"Selamat siang! Kau ikut klub tenis juga?" sapa Katsuo ramah.
"Mungkin, ya" jawabnya singkat dengan ekspresi datar sebelum akhirnya berbalik memunggungi kami bertiga dengan cueknya.
"Aku mau pulang deh kalau begini!" tiba-tiba Horio berseru dengan kesal, membuatku dan Katsuo mengalihkan perhatian kami padanya. Gawat deh, hari pertamaku masuk klub tenis, aku harus mendiamkan anak kecil yang ngambek. Kutatap wajahnya yang semakin kusut. Huh, dia tidak tampak menyenangkan lagi seperti sebelumnya, apalagi dia terus-terusan menggerutu, "Padahal kan aku sudah sangat siap hari ini, aku bahkan membeli raket baru. Bayangkan! Raket baru dengan grip…" Aku tidak lagi mendengar ocehannya karena aku sendiri tertular kekesalannya. Benar ya, emosi seseorang itu dapat menular. Sebelumnya aku ikut semangat karena Katsuo yang penuh semangat. Akan tetapi, setelah mendengar keluhan Horio, aku pun jadi ikut-ikutan mengutuk senpai-senpai yang sedang pergi saat itu. Bagaimana ini? Masa hari pertamaku harus kacau balau?
Katsuo menepuk bahuku pelan. "Kita main pukul-pukulan di sana saja, yuk" dia menunding lahan kosong di samping lapangan dengan raketnya, kemudian menoleh ke arah Horio, "Kau mau ikut?"
Wajah Horio perlahan berubah cerah, senyumnya kembali terukir. "Boleh deh" dia mengangguk bersemangat kemudian mengikutiku dan Katsuo. Aku sedang berjalan ketika teringat sesuatu: anak yang tadi bersama Horio! Diam-diam ku tatap punggung anak lelaki yang semakin menjauh dari kami itu. Apakah hanya perasaanku saja atau memang dia dilahirkan dari dunia yang berbeda dengan kami bertiga? Sayang sekali. Aku bahkan belum tahu siapa namanya…
"Namanya Echizen Ryoma"
Aku melirik Horio. Anak itu sudah tersenyum riang lagi. Hebat sekali pengaruh emosi positif yang diberikan oleh Katsuo. "Ooh…" aku mengangguk-angguk, mencerna informasi yang baru saja kuterima. Hmm… pantas saja aku pernah melihatnya di kelas. Dialah anak yang baru masuk sekolah pagi tadi, padahal tahun ajaran baru sudah mulai sejak dua hari yang lalu.
Pikiranku sedang sibuk berkelana sebelum akhirnya Katsuo membuyarkannya dengan mengambil alih pembicaraan, "Kau bisa main tenis, Horio?"
Aah, Katsuo ini! Bodoh sekali dia menanyakan pertanyaan seperti itu pada Horio yang jelas-jelas akan menyombong. Tuh, lihat saja, dia kembali bercerita dengan pose andalannya: dagu terangkat dan dada membusung. Persis ayam jantan yang hendak memikat betina. "Tentu saja! Aku sudah dua tahun ini ikut klub tenis!" katanya bangga. Huh, memangnya dengan dua tahun bermain tenis seseorang sudah menjadi petenis pro?
"Oh ya? Hebat sekali…" Katsuo tersenyum tulus. Aduh ya ampun, dia itu benar-benar bodoh atau bagaimana ya? Kalaupun memang itu hebat, sebaiknya dia tidak mengatakannya karena Horio semakin lama semakin menyebalkan. "Aku sendiri baru mulai bermain tenis" ungkapnya jujur, kemudian menunding ke arahku, "Kachiro juga sepertinya sudah bermain tenis sejak dulu. Ayahnya kan pelatih tenis"
"Eeh… benarkah?" Horio menatapku dengan kekagetan berlebihan. Kupikir dia akan menyombong soal ayahnya yang juara tenis atau bagaimana, tapi tidak. Senyumnya merekah lebih lebar, "Hebat sekali! Aku mau dong dilatih ayahmu"
"Boleh saja sih," aku tersenyum, berusaha menyembunyikan keherananku atas tanggapannya yang tidak sesuai dugaanku. Ternyata dia tidak semenyebalkan yang kuduga. Eh, mungkin, kami bertiga bisa cocok… Ya, mungkin…
Pendek, ya? Err… review?
