Titik-titik air dari helai kehitaman menetes pelan, merembes membasahi handuk putih yang disampirkan di leher dan juga membentuk jejak turun sepanjang torso berotot berwarna putih nyaris pucat. Levi Ackerman menggosok pelan rambutnya dengan ujung handuk sembari membuka pintu kulkas. Sebotol air mineral oksigen yang masih baru diambil dari rak kedua dari atas di sisi kulkas. Sinar dari dalam kulkas tampak mencolok menerangi ruang apartemen yang remang-remang.
Ponsel layar datar yang diletakan di atas meja makan bergetar pelan dan alunan nada instrumental mengalun mengisi kesunyian ketika Levi baru saja meneguk air dari dalam botol. Mengerutkan dahi, Levi meraih ponselnya dan mengecek caller ID. Nama Erwin Smith tampak di layar.
Malas-malasan Levi mengusap layar ponselnya dan lalu mendekatkannya ke telinga.
"..."
"Kau selalu tidak pernah menyapa dengan 'halo' di telepon, Levi?"
"Apa maumu?" tanya Levi. Satu tangan berkacak pinggang sekalipun Levi tidak sedang berbicara langsung dengan Erwin. Entah apakah Erwin memang tidak peka atau apa, yang jelas Levi tidak pernah suka mendapat teleponnya di luar jam kerja. Karena jika sampai terjadi demikian, maka artinya ada pekerjaan tambahan. Dan Levi bukan pekerja yang sebegitu berdedikasinya untuk bersedia menerima tugas tambahan, kecuali bayarannya benar-benar sesuai.
Sayangnya dengan sistem pembagian honor di tempatnya bekerja, Levi tidak pernah merasa bayaran dari kerjanya cukup memuaskan.
"Kurasa kau sudah tahu apa mauku."
Levi mendecakan lidah kesal. Pria berambut sehitam arang itu menghempaskan tubuhnya ke sofa. "Pekerjaan apa lagi? Kukira aku masih punya jatah cuti sepuluh hari lagi sebelum aku kembali bekerja..."
"Ini penting, Levi. Hanya kau satu-satunya yang kurasa cocok untuk pekerjaan ini. Aku membutuhkanmu segera untuk bertemu klien kita."
"Lantas apa jadinya sisa jatah cutiku?"
Dari seberang telepon Erwin terdengar berdeham pelan. "Kurasa kau bisa memakai sisa harinya untuk libur akhir tahun nanti..."
"..."
"Aku bisa pastikan pekerjaan ini bayarannya memuaskan, Levi..."
"Untuk kalian. Tidak untukku..."
"Tiga puluh lima persen untuk kami pun dan kau tetap akan bisa hidup mewah jika kau jadi menerima tawaran ini."
"...Enam puluh lima persen untuk pendosa seperti aku? Heh? Tentu saja kalian merasa sangat dermawan bukan?"
Levi tidak heran ketika Erwin hanya tertawa kecil dari ujung sambungan telepon. Ketenangan pria pirang yang satu itu seolah membuatnya imun dari segala macam bentuk provokasi namun sebaliknya membuatnya mampu meprovokasi orang lain sedemikian rupa sesuai kemauannya. Manipulator brengsek, pikir Levi.
"Kalau kau sudah mengerti, pastikan kau muncul di kantor besok pagi. Ah... Armin kau sudah bangun? Sebentar, aku sedang menelpon..."
Levi berdecih. "Kau tidak punya hak memerintahku..."
"Tapi negara ini punya..." jawab Erwin kalem. "Sampai bertemu besok jam sepuluh, Levi."
Dan telepon pun ditutup.
.
.
PROTECTION
Disclaimer: Shingeki no Kyojin by Hajime Isayama.
This is only a fan works. Non-profitable one.
—Prolog—
.
.
Erwin tengah mengecek ulang dokumen yang baru saja dicetak dan dibawakan asisten pribadinya, Armin Arlelt. Dua sosok berambut pirang itu duduk berhadapan dalam keheningan. Hanya terdengar suara kertas dibolak-balik sesekali ketika telepon dalam ruangan Erwin berbunyi. Erwin menekan tombol putih di atas perangkat tersebut dan suara sekretaris sekaligus sebagai penerima tamu baginya yang bernama Petra Ral terdengar.
"Mr. Ackerman sudah tiba..."
"Suruh dia langsung masuk saja..."
Tak berapa lama, Erwin dan Armin mendengar suara pintu terbuka. Wajah Levi jelas tampak malas dan kesal. Jasnya rapi dan licin, namun pria berambut hitam itu tidak mengenakan dasinya. Dua kancing kemeja teratasnya dibiarkan terbuka—sangat kontras dibandingkan Armin dan Erwin yang berpakaian sangat formal.
"Pagi, Levi..."
Enggan berbasa-basi, Levi lekas menghampiri meja Erwin, menarik kursi dengan gerakan cepat sampai menimbulkan bunyi berdecit, dan duduk dengan satu kaki terangkat di atas kaki lain dan tangan disilangkan di depan dada.
"Tidak perlu basa-basi, Erwin... Apa yang harus kulakukan?" tanya Levi enggan.
Erwin hanya tersenyum sabar sebelum mengibaskan tangan pada Armin yang meresponnya dengan anggukan. Pria pirang yang lebih muda itu memberikan amplop coklat bersegel pada Levi lalu tersenyum.
"Ini detail mengenai klien baru kita..."
.
.
Eren Jeager, tujuh belas tahun, pekerjaannya adalah siswa SMA sekaligus pelukis dan penulis. Memiliki warna mata yang unik—campuran hijau dan biru, kadang bisa terlihat keemasan di bawah cahaya. Rambutnya coklat dan dipotong pendek. Fitur wajahnya kuat namun sekaligus juga lembut. Pipi yang tampak penuh walaupun setelah menganalisa data bisa dipastikan pemuda ini tidak gemuk sama sekali membuatnya tampak sedikit kekanakan.
Levi menghembuskan asap dari rokok menthol yang baru saja dihisapnya. Kabut putih dengan bau yang khas melayang di udara dan lekas lenyap setelah ditiup angin di geladak kapal. Aroma laut asin tercium sementara angin lembut menerbangkan helaian-helaian lembut hitam di kepala Levi. Pria itu bersandar pada pagar pembatas kapal sambil menghisap dalam rokoknya.
Pekerjaan kali ini mudah, Levi hanya perlu menjaga klien muda bernama Eren Jeager ini sampai pemuda bermata hijau kebiruan itu berulang tahun yang ke delapan belas.
Perkaranya sangat klasik; warisan, sampai rasanya Levi ingin tertawa ketika menerima tugas ini. Menjaga pewaris saja sampai mengeluarkan uang begitu banyak pada Erwin. Apa keluarga klien barunya ini bodoh? Erwin bahkan tidak perlu lagi bernegosiasi soal harga—benar-benar tidak seperti biasanya. Harga pembukaan yang ditawarkan Carla Jeager, ibu dari sang calon ahli waris sudah demikian fantastis. Belum lagi ditambah iming-iming segala fasilitas yang akan didapatkan selama bertugas.
Tidak heran Erwin sampai memanggilnya untuk menangguhkan cutinya yang masih tersisa sepuluh hari lagi. Klien yang seolah menjadi pundi-pundi uang untuk Erwin dan segenap staf kantor mereka sudah tentu harus diberikan yang terbaik. Yang terbaik kebetulan adalah Levi.
Dan juga, ini pertama kalinya mendapat tugas dengan masa kerja demikian panjang. Sekitar lima bulan dia harus bekerja menjaga tuan muda dari keluarga Jeager ini.
Geladak kapal di sore hari tampak penuh dengan sosok-sosok berpakaian serba hitam. Hari ini adalah hari dimana abu dari jenazah Grisha Jeager akan ditebarkan di atas laut alih-alih dikebumikan di pemakaman keluarga. Tampaknya itu adalah permintaan terakhir almarhum, untuk mendapati dirinya kembali menyatu dengan laut alih-alih tanah. Levi tidak pernah bisa mengerti pemikiran orang kaya. Apa bedanya dikembalikan ke bumi dengan cara dimakamkan ataupun dikremasi?
Dan konyol sekali membuang uang banyak untuk sebuah pelayaran terakhir almarhum yang inti kegiatannya hanya menabur abu. Katakan pendapatnya tidak berperasaan tapi Levi memang tidak peduli.
Sosok tuan dan nyonya berpakaian serba hitam, berkumpul. Panggung kecil di geladak kapal segera menyita perhatian ketika Carla Jeager, istri almarhum berdiri di depan mikrofon. Matanya tampak bengkak. Andaikata sinar senja tidak menyoroti wajahnya dan membuat Levi kesulitan membaca warna matanya, pria itu yakin bagian putih dari bola beriris coklat itu pasti sudah sangat memerah. Berapa banyak air mata yang sudah tertumpah dari dia yang ditinggalkan oleh pria terkasihnya—belahan jiwanya.
Grisha Jeager adalag kurator museum terkenal, pemilik gallery, pebisnis handal, dan juga seorang ayah yang baik. Pria yang rasanya terlalu bagus untuk jadi kenyataan. Mungkin itu sebabnya ia diambil begitu cepat dari sisi keluarganya. Bukankah pepatah berkata "Yang terbaik seringkali dijemput lebih awal"?
Levi melemparkan sisa puntung rokoknya ke asbak terdekat. Cukup tahu diri untuk tidak membuangnya ke laut yang kini menjadi tempat perhentian terakhir Grisha Jeager di bumi, walau hanya abunya saja.
Suara wanita itu sedikit serak namun tetap tenang, berkebalikan dengan anaknya yang ada di sisi kanannya dan membawa pigura foto wajah ayahnya. Levi memerhatikan tuan muda yang kini menjadi tanggung jawabnya. Pemuda tersebut mengenakan setelan hitam mahal dan pantofel hitam berkilat. Wajahnya menunduk sehingga Levi tidak bisa dengan jelas melihat wajahnya. Dari foto, tuan muda ini tampak manis—alih-alih tampan, tapi mungkin itu hanya karena dia belum mencapai kedewasaan.
Dari sekedar melihat, Levi menilai Eren Jeager adalah epitome sempurna tuan muda yang polos dan tidak mengenal dunia. Tipikal bocah rumahan yang tahunya hanya bersenang-senang dan kini terpukul luar biasa karena ditinggalkan sudah oleh sang ayah.
Tipe yang tidak terlalu disukai Levi.
Levi sudah diminta ikut mengawal Eren dan juga Carla di pelayaran terakhir untuk menghormati Grisha Jeager ini, tapi Carla memintanya menunggu sampai ia bisa memperkenalkan Levi resmi sebagai bodyguard dari Eren. Anaknya tampak masih sangat terpukul dengan kematian ayahnya, jadi Carla menunda pertemuan mereka.
Matahari semakin condong ke barat. Abu ditebarkan di atas laut. Levi diam dan memerhatikan. Dari tampak samping, Levi dapat melihat air mata Eren meleleh. Selama sambutan terakhir dari sang ibu, Eren tampaknya sudah berusaha tegar menahan tangis. Namun kini dengan abu jenazah sang ayah ditebarkan di atas laut, Eren tampak mencapai batasnya.
Levi masih diam memerhatikan. Carla dan Eren merangkul satu sama lain sembari memandang ke laut luas. Cahaya oranye membias di wajah Eren yang tengah berusaha menghapus air matanya dengan ujung lengan kemejanya.
Ada suatu emosi tersendiri ketika Levi melihat wajah yang mati-matian dibuat tabah itu. Tapi Levi hanya diam saja. Mungkin simpati semata, pikirnya. Dia mengerti benar perasaan ditinggalkan oleh orang terkasih, oleh keluarga.
Beberapa tamu tampak menyusut air mata mereka juga. Keharuan dan empati menyatu menjadi suatu gelombang tak kasat mata yang menggantung di udara. Membuat sesak dan tak nyaman.
"Senja adalah hal yang paling disukai papa, Eren..." Carla berujar sembari menggenggam tangan putranya. "Dia pernah berkata dia tidak akan menyesali apapun jika dia bisa kembali ke bumi ini ke tempat dan di waktu yang paling disukainya..."
Suara Carla bergetar. Eren merasakan tangannya sakit oleh karena genggaman Carla yang sangat kuat, namun remaja itu diam dan bertahan. Dia juga tidak dalam keadaan lebih baik, jadi ia hanya memeluk sang ibu dengan satu tangan yang lain. Dibiarkannya Carla menyandarkan kepalanya di bahu Eren.
Malam menjemput dengan segera. Levi dapat merasakan kapal berbalik arah kembali menuju pelabuhan. Suasana malam ini sangat tenang. Lampu-lampu yang dipasang di kapal mulai dinyalakan satu persatu.
Tamu-tamu dipersilahkan masuk ke dalam kapal. Ke ruangan luas dimana jamuan malam telah disediakan agar segera setelah kembali ke pelabuhan, para tamu dapat dipersilahkan pulang tanpa perlu merasa kelaparan.
Levi tidak tertarik berbaur dengan keramaian para pelayat Grisha Jeager, tapi kini mengamati Eren Jeager adalah bagian dari pekerjaan yang tidak bisa ditawar. Agar tampak natural, Levi mengambil sedikit makanan mengikuti Eren. Di sudut ruangan tanpa selera ia menghabiskan makanan di piringnya, matanya tak lepas mengamati Eren yang juga menyantap makanannya dengan wajah tidak berselera.
Suara para pelayat berbincang—dengan banyak yang berbisik-bisik menggunjingkan harta kekayaan Grisha Jeager—membuat Levi mau tidak mau mendengarkan. Tampaknya Grisha Jeager dan Carla Jeager adalah tokoh berpengaruh di masyarakat. Levi jarang mengikuti perkembangan berita, apalagi yang mengenai sosialita. Dia hanya menyimak berita-berita politik sesekali jadi wajar saja dia tidak tahu sepenting apa kliennya sekarang ini.
Pertanyaan muncul di benaknya. Jika memang ini hanya perkara warisan biasa, apa perlu mempekerjakan Levi seperti ini? Harga yang dibayarkan bahkan dua kali lipat jika dibandingkan dengan harga biasa yang Levi terima. Eren Jaeger tampak seperti tuan muda kaya yang biasa. Grisha juga hanya konglomerat biasa. Kenapa perlu bersusah payah seperti ini?
Tampaknya tuan muda Jeager juga tidak mau berlama-lama bercengkrama dengan para tamunya. Levi dapat melihat pemuda itu dengan kalem memisahkan diri dan keluar dari kerumunan menuju geladak kapal. Levi mengikuti dengan diam-diam. Langkahnya tidak bersuara sama sekali. Di balik bayang-bayang gelap Levi bersandar di salah satu dinding koridor kapal dan mengamati.
Eren menatap laut yang kini hanya hitam. Ombak tenang sekali-kali menampar badan kapal yang kokoh dan pecah menjadi gelombang yang lebih kecil, menimbulkan bunyi yang entah bagaimana cukup menenangkan. Bulan purnama tampak besar dan terang malam ini. Pantulan cahaya dari benda langit tersebut memberikan penerangan yang cukup untuk Levi memerhatikan wajah Eren.
Levi tidak punya ketertarikan unik atau apapun yang bisa disebut fetish, tapi entah bagaimana menyaksikan Eren Jeager menahan tangis dan dengan segera mengusap titik-titik air mata yang menggantung di sudut mata membangkitkan minatnya pada anak ini. Mungkin di luar selubungnya sebagai tuan muda dari keluarga kongomerat ternama, Eren Jaeger punya sisi lain yang rapuh—sisi yang entah bagaimana membangkitkan simpati bahkan dari seorang Levi yang mengira dirinya sudah cukup imun terhadap berbagai emosi.
Suara langkah kaki lain terdengar mendekati geladak. Levi menajamkan pendengarannya. Namun hembusan angin laut yang menipu persepsinya membuatnya salah langkah dan perhitungan. Bayangan pria hitam dengan pakaian formal dan wajah ditutup topeng sudah menyalip Levi dari sisi kiri kapal, mendekati Eren.
Topeng yang dikenakan sosok tersebut menutupi seluruh wajahnya. Dengan pakaian hitam-hitam serupa dengan tamu-tamu lain, sulit bagi Levi untuk mengidentifikasi siapa sosok ini. Tamu resmi keluarga Jeager atau hanya sekedar penyusup?
Perbedaan waktunya mungkin hanya sekian nano detik. Tapi sekian detik adalah hal yang menentukan nyawa dalam pekerjaan yang digeluti Levi.
Eren Jeager tampak sama terkejutnya dengan kehadiran sosok hitam itu. Jika Levi saja sudah menyebut dirinya lambat beraksi, Eren bisa dikatakan sangat terlambat. Pemuda itu bahkan tidak sempat melakukan perlawanan ketika sosok hitam itu mencengkram batang lehernya, mencekik dan mempersempit saluran nafasnya.
Pandangan Eren mengabur. Krisis pasokan udara membuat paru-parunya seperti terbakar.
Levi bergerak cepat, berlari ke arah Eren. Dengan sikutnya ia menghantam bagian belakang tengkorak kepala sosok bertopeng tersebut. Suara keras benturan tulang dan tulang terdengar. Pukulan Levi membuahkan teriakan dari sosok bertopeng yang refleks melepaskan Eren.
Eren yang terlepas dari cengkraman sosok bertopeng tersebut kehilangan keseimbangan. Tubuh setinggi seratus tujuh puluh senti itu menghantam pagar kapal dan punggungnya yang membusur membuat berat tubuh bertumpu pada torso atas. Eren limbung ke belakang dan kakinya kehilangan kekuatan. Tubuhnya jatuh ke air, menimbulkan bunyi ombak terpecah yang cukup keras.
Suara Eren jatuh ke air memecahkan konsentrasi Levi. Sosok bertopeng sempat memberikan perlawanan. Tinju dilayangkan ke depan dengan mantap dan tanpa ragu-ragu, mengincar wajah Levi. Dengan mudah Levi menahan tunju tersebut; hanya perlu satu tangan. Ia melayangkan tendangan ke arah perut dengan lututnya. Levi hendak menarik topeng tersebut untuk mengetahui siapa jahanam yang menyerang kliennya ketika ia mendengar Eren berteriak minta tolong.
Kepala coklat itu sesekali timbul tenggelam. Membuat suaranya pasti tidak dapat didengar orang lain yang tidak berada di geladak kapal. Levi mengutuki Erwin dalam hati yang tidak memberikannya data bahwa Eren Jaeger tidak bisa berenang.
Menyadari Levi terdistraksi, sosok bertopeng mencoba melawan. Levi—tanpa berpikir dua kali lekas menarik lengan sosok bertopeng tersebut dan dengan gerakan membanting seperti dalam judo melemparkannya ke laut. Suara tulang belakang berbenturan dengan pagar besi kapal terdengar. Dan tanpa berpikir dua kali juga, Levi membuka jasnya cepat dan melemparkannya ke lantai kapal. Dasi dilonggarkan dan dengan segera ia menceburkan diri ke arah laut yang ia perkirakan dekat dengan posisi Eren.
Levi memunculkan kepalanya sekali ke permukaan dan menarik nafas dalam-dalam lalu menyelam. Permukaan air saja sudah gelap dan hitam, namun dengan penglihatan yang terlatih sekalipun di dalam gelap, Levi dapat dengan segera menemukan Eren di dalam air. Tubuh Eren sudah terbenam di dalam air, tampaknya cekikan yang sebelumnya ia terima membuatnya kesulitan sekalipun hanya untuk bertahan mengambang di permukaan. Matanya terpejam dan tubuhnya kaku.
Levi berenang cepat mendekati tubuh Eren dan memeluknya sebelum menggerakan kakinya ke atas. Seharusnya pantai sudah tidak terlalu jauh. Dia harus segera membawa Eren ke permukaan.
"Fuwah!" Begitu kepalanya mencapai permukaan, Levi segera meraup oksigen serakus mungkin. Namun begitu Levi memunculkan tubuhnya ke atas air, yang menyambutnya bukan hanya udara segar melainkan juga pukulan di kepala. Rupanya sosok bertopeng yang sebelumnya Levi lempar ke laut itu juga mengincar Eren.
Pukulan tersebut bisa dipastikan bisa melumpuhkan seorang pria dewasa namun Levi Ackerman bukan orang biasa. Tubuhnya kuat dan terlatih. Pukulan seperti demikian memang cukup membuatnya kaget namun tidak menjadi lumpuh sesaat.
Dengan sosok Eren tidak sadar dalam pelukannya, dan pergerakan yang agak terbatas di dalam air, Levi mendapati gerakannya melambat. Namun ia berhasil melayangkan tinju keras yang agaknya sudah cukup mematahkan tulang hidung dari sosok bertopeng ini. Bahkan topeng plastik tersebut rusak dan pecahan plastikanya melukai buku-buku tangan Levi, menggores kulitnya yang pucat. Di dalam air, Levi sulit melakukan tendangan, namu untungnya ini pertarungan jarak dekat. Walaupun sulit mengukur kekuatan, akan tetapi Levi bisa menendang sisi perut sang pria bertopeng.
Ombak yang bergulung cepat, seolah menolong Levi dan Eren, menelan sang pria bertopeng. Levi mendecih. Dia belum sempat melihat siapa gerangan yang mengincar Eren namun memanfaatkan gelombang Levi berenang lebih cepat. Satu tangan membelah air sementara satu tangan lagi memeluk erat tubuh Eren.
Dua ratus meter sampai mencapai pantai, itu perkiraan Levi. Dan syukurlah gelombang sebelumnya membantunya dan Eren mencapai pantai lebih cepat.
Dengan nafas agak terengah, Levi mencapai pantai. Sepatu pantofelnya sudah hilang dua-duanya terbawa air laut dan dalam aksi pertarungan singkat di air barusan tapi Levi masa bodoh. Kemeja hitamnya basah dan terasa menempel di kulit, begitupula celana bahan hitamnya, ketika ia menggendong Eren dan berjalan lebih jauh ke pantai, ke tempat yang tidak terjangkau sapuan ombak.
Merasa tidak nyaman dengan kaus kaki hitamnya yang sama basahnya, Levi menariknya lepas dengan kasar dan membuangnya sembarangan. Pasir pantai terasa lengket di kaki telanjangnya yang basah, tapi Levi terus berjalan.
Dengan cepat begitu ia mencapai daerah yang kering, ia menurunkan Eren dari gendongannya. Dibaringkannya tubuh Eren di atas pasir dan diarahkannya telapak tangannya ke dekat hidung Eren.
Tidak ada nafas.
Sialan.
Levi menggulung lengan kemeja hitamnya asal-asalan, berlutut di sampingnya dan melakukan pijat jantung untuk Eren. Tanpa ragu ia menarik dagu sang pemuda, membuka celah di antara dua bibir sang Jeager yang sudah sangat pucat dan menghembuskan nafas baginya.
Levi sekarang tidak lagi mempertanyakan kenapa ia dibayar sangat mahal untuk pekerjaan ini. Tampaknya tuan muda yang menjadi tanggung jawabnya ini adalah magnet masalah—sebab mengapa bisa seperti itu akan Levi cari tahu lebih lanjut nanti.
Levi mengulangi prosedur yang sama beberapa kali. Membagi nafasnya dengan Eren dan menekan tulang dadanya.
Eren dapat merasakan nafas hangat yang perlahan-lahan mengembalikan kesadarannya. Air asin yang tertelan juga terpompa keluar dari dalam tubuh dengan pertolongan pertama yang diberikan Levi.
"UHUK!"
Suara terbatuk dan air asin yang keluar dari mulut Eren membuat Levi lega. Kelopak mata itu mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya menyipit curiga. Dengan suara lemah Eren bertanya. "Si...a..pa?"
Levi yang lelah sekaligus lega lekas duduk dengan dua lutut ditekuk dan tangan disangga di atas kedua lututnya. Pria berambut hitam itu menunduk dan menghembuskan nafas lega. Eren Jaeger masih hidup. Akan sangat buruk bagi reputasinya jika dalam kurun waktu belum sampai dua puluh empat jam dia sudah gagal menjalankan tugas.
"Ackerman..." ujar Levi pelan. Tangannya menyisir poninya yang menempel di dahi ke arah belakang. "Levi Ackerman..."
Eren yang masih sesekali terbatuk ikut mendudukan diri. Banyak hal yang ingin ia tanyakan, namun pada akhirnya dia hanya bisa mengulang kata-kata Levi dengan nada bodoh. "Mr. Ackerman...?"
"Ya," Levi menatap Eren yang memasang ekspresi bingung. "Penjagamu yang baru. Salam kenal, bocah..."
.
.
TBC
.
.
