Happy Reading~

TAKE ME OUT

DISCLAMER: MASASHI KISHIMOTO

STORY BY N.A-SHOKUN

PAIR: SASUHINA

RATED: UNTUK SEMENTARA DI T DULU

WARNING: OOC, AU, TYPO, HUMOR NGGAK JELAS, BERANTAKAN GILA GEGARA RUSH TYPING, DLL

DON'T LIKE DON'T READ

.

.

.

"Hanabi ini tidak lucu!" Hinata menatap garang pada Hanabi yang sempat-sempatnya terkikik geli melihat tampang murka Hinata. Tidak ada lagi kalimat terbata-bata yang keluar dari bibir Hinata. Mengerang frustasi, Hinata mengacak-acak rambutnya yang tersanggul tinggi diatas kepalanya. Sampai beberapa anak rambutnya jatuh menempel pada lehernya yang basah karena keringat.

"Nee-chan-"

"Aku tidak percaya kau melakukan ini." Nada yang dikeluarkan Hinata terdengar mengambang diudara. Mata lavendernya mengerjap-ngerjap beberapa kali untuk memastikan bahwa rangkaian huruf hiragana dan katakan yang tertoreh pada secarik kertas digenggamannya tidak salah ejaan, coretan, maupun spasinya. Hinata terlihat berpikir keras, berkali-kali memeriksa kata-kata yang terangkai dan berharap bahwa rangkaian kata tersebut akan berubah disetiap kedipan matanya.

"Gila-" Gumamnya pelan sambil memijat pelipisnya yang tiba-tiba kedutan. Sekonyong-konyong dirinya seperti mendapat surat seperti itu. Hinata malah lebih berharap mendapat surat kredit dari bank langganannya ketimbang menerima surat dengan stampel "Itachi's Entertaiment" tersebut.

"Nee-chan, itu tidak gila. Itu brilliant-" Seru Hanabi tak mau kalah ketika Hinata menyangsikan idenya tersebut. Bersunggut-sunggut Hanabi berjalan seraya menghentak-hentakan sepatu sneakers-nya menghampiri Hinata yang hendak melemparkan kertas yang sudah diremas menjadi bola itu ke tempat sampah. "Sudah lima tahun ini kau berkencan dengan pekerjaanmu. Saatnya mencari the real hottie babe, Nee-chan." Saran Hanabi merebut remasan kusut kertas yang berada digenggaman Hinata.

"Jangan pakai kosa-kata asingmu itu, Hanabi." Berusaha merebut kertas itu kembali, Hinata sedikit bangkit dari tempat duduknya walau akhirnya kembali terhempas jatuh karena gerakan refleks Hanabi yang menghindarinya. "Aku tidak berminat." Hinata melipat kedua tangan didadanya, mendengus malas Hinata akhirnya berusaha mengacuhkan kehadiran Hanabi dan kembali berkutat dengan laptop didepannya.

"Hey-hey! Listen to me sis!" Kuliah dijurusan sastra inggris membuat sang adik yang merupakan cetak biru ayahnya sering kali melontarkan kata-kata asing didalam percakapannya. "Aku tahu kau berusaha memajukan perusahaan ini setelah lima tahun yang lalu perusahaan milik ayah ini mengalami kebangkrutan dan kita harus kembali memulainya dari nol seperti ini. Tapi-" Hanabi menelan ludahnya berusaha menghilangkan duri kasat mata yang menyumbat tenggorokannya. "Kau seperti kehilangan dirimu-"

Mata lavender Hinata melebar sebesar pisin yang menjadi alas cangkir kopi dimejanya. Apa yang barusan dia dengar? Dia berubah? Oh bagus! Ucapkan terima kasih pada hidupnya yang-berubah-keras sehingga tanpa sadar Hinata kehilangan jati dirinya yang anggun, lemah lembut, penuh pengertian menjadi orang yang arogan, tidak mau kalah, dan satu hal yang Hinata anggap positif dari perubahannya ini, dia sudah tidak gagap lagi! Great!

"Tapi aku tidak tertarik." Hinata mendesah pasrah selagi tangannya sibuk mengeksekusi beberapa lembar kerja dihadapannya. "Laki-laki itu- err- menakutkan!" Hinata bergidik ngeri membayangkan manusia-manusia lawan jenisnya itu. Sambil menggidikan bahunya pelan, Hinata kembali menatap Hanabi yang menatap skeptis didepannya. "Kita batalkan saja, ya?" Hinata memohon pada Hanabi dengan melancarkan tatapan mata puppy eyesnya. Merasa tak mungkin melawan pancaran cahaya yang menguar dari mata Hinata, Hanabi memalingkan wajahnya agar pendiriannya tidak goyah mendengar bujuk-rayu Hinata.

"No!" Hanabi berteriak spontan membuat Hinata meloncat sepersekian detik dari kursinya. "Aku sudah menandatangani kontrak dan menerima uangnya." Mulut Hanabi meracau terlalu banyak. Gelagapan, Hanabi mulai membekap mulutnya sendiri. Semoga Hinata tidak mendengar perkataannya tadi, terdengar seperti Hanabi yang akan menjual kakaknya sendiri bukan?

"Kau menjualku?" Rasanya Hanabi ingin membenturkan kepalanya pada tiang batu raksasa untuk mengutuki bibirnya yang bocor seperti kran terbuka. "Hanabi!" Hinata kembali murka, sungguh dia butuh penjelasan yang masuk akal sekarang.

"Bu-bukan begitu Nee-chan-"

"Kalau bukan begitu apa namanya, hah?" Hinata menaikan nada bicaranya. Hal yang cukup membuat Hanabi tersentak karena Hinata yang dia kenal tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Mundur beberapa langkah, Hanabi bersiap meraih handle pintu ruang kerja Hinata dan kabur secepatnya. Terlambat! Dengan kaki jenjang berlapiskan stocking seharga 1000 yen tiga, Hinata memblokir semua akses jalan Hanabi menyisakan satu jalan keluar yaitu dengan cara melompati jendela lantai sepuluh kantor Hinata yang pasti sudah ditolaknya mentah-mentah karena Hanabi masih ingin hidup.

"Te-tenang dulu Nee-chan-"

"Bagaimana bisa tenang?!" Hinata meraung-raung kesal mengeluarkan suaranya dalam satu sentakan keras membuat tenggorokannya sedikit sakit. "Kau-kau Hanabi, kau menjual-KU!" Mendesis marah Hinata membuat gerakan menunjuk-nunjuk Hanabi dengan tatapan mata penuh amarah. Mari salahkan Hanabi sehingga hari ini Hinata sangat Out of Character. "Sebaiknya kau cepat jelaskan ini padaku, kalau tidak-" Hinata membuat satu gerakan melintang dramatis menggunakan tangannya dilehernya dengan mata penuh intimidasi membuat Hanabi mendadak merasa Hinata akan membeleknya kapan saja kalau dia tidak bisa menjelaskan maksud dan tujuan kelakuannya seperti menjelaskan maksud dan tujuan skripsinya dengan akurat, tepat, dan tidak ada satupun tatanan EYD yang salah.

.

.

.

"MONSTER!"

Satu garis siku-siku tergambar jelas didahi lebar milik Hanabi.

"SINTING!"

Dua garis, membentuk huruf T simetris terbalik.

"BAKA!"

Satu, dua, tiga, kini Hanabi berdiri dari kursinya dan beranjak menghampiri sang author yang masih asyik menyusun kata-kata very OOC yang akan dilampirkan pada dialog milik Hinata.

"BRENG-"

Dan sebelum sempat menyelesaikan ketikannya tiba-tiba author merasa lehernya dicekik oleh tangan-tangan semulus sutra milik Hanabi disertai dengan sosok mirip medusa yang membuatnya mengurungkan niatnya untuk lebih menghancurkan karakter milik Hinata.

"Nee-chan! Aku minta maaf!" Hanabi akhirnya berbaik hati, melepaskan sang author yang hampir megap-megap ditanyai lima perkara. Berbalik kembali pada kursinya, Hanabi menghenyakkan punggung mungilnya pada sandaran kursi sambil melipat kedua tangannya. "Sungguh, aku tak bermaksud-" Perkataannya terhenti mendapati Hinata menatapnya dengan pandangan kesal dan bibirnya masih terlihat komat-kamit mengumamkan sesuatu.

"Semuanya untukku!" Ujar Hinata lamat-lamat. Mengambil sebuah pena dan selembar kertas dimeja kerjanya, dengan cepat Hinata membubuhkan tinta hingga kertas yang putih menjadi hitam penuh coretan angka. "Ini bagianku!" Hinata menunjuk angka 99,999999999-% dikertasnya. "Dan ini milikmu!" Penuh tekanan Hinata menunjuk ke tempat yang berbeda bertuliskan sederet angka nol sesudah koma dan berakhiran satu sebelum akhirnya berlubang terhujam penanya.

Hanabi membulatkan matanya, tak disangka-sangka bahwa kakak perempuannya yang dia kira akan kembali mendampratnya habis-habisan ternyata malah membuka topik bagi laba bersama.

"Cho-chotto!" Hanabi menginterupsi Hinata sebelum Hinata terlalu asyik menghambur mencari kalkulatornya dan terbang ke lala-land. Hinata menoleh, satu alis tipisnya yang melintang diatas mata levendernya terangkat naik berusaha merespon panggilan Hanabi melalui gesture tubuhnya. "Nee-chan sudah tidak marah padaku?" Gugup, Hanabi memainkan ujung jaket tebalnya. Sepertinya Hanabi tertular kebiasaan gugup Hinata, padahal sang pemiliknya sendiri sudah meninggalkan kebiasaan buruknya itu.

"Why?" Tanya Hinata innocent, sepertinya dia lupa akan amukan dahsyatnya sendiri. Matanya memandang polos pada Hanabi membuat Hanabi ingin sekali melemparkan sepatu sneakers coklatnya menghantam wajah tanpa cela Hinata. "Kalau kau bilang daritadi berapa bayarannya aku tentu tidak akan menolaknya! Yah walaupun aku masih kesal karena kau mendaftarkannya secara diam-diam." Bersungut-sungut, Hinata merapikan beberapa rambutnya yang jatuh menempel pada leher basahnya.

"Yang tadi berteriak-teriak akan dijual siapa?" Hanabi bertanya sakartis yang hanya dibalas sedikit ulasan senyum canggung Hinata.

"Ma-maaf-" Sahut Hinata terbata sambil menyembunyikan sebagian wajahnya pada lembaran kertas yang dibawanya. "Aku benar-benar tidak menyangka bahwa berpartisipasi menjadi peserta acara seperti itu ternyata menghasilkan uang yang lumayan. Bisa kupakai untuk menutupi kekurangan penyewaan kantor!" Tersenyum sumigrah, Hanabi baru menyadari bahwa corat-coret berupa angka yang tertera dikertas itu bukan coretan tak berarti, sepertinya saat itu Hinata sedang menerka-nerka, berapa banyak yang dapat dihasilkan kemudian dikeluarkan dalam waktu bersamaan sehingga setidaknya masih bisa menghidupi dirinya dan adiknya yang tinggal diflat kecil belakang kantornya.

Hanabi terhenyak, hatinya seperti dipukul godam mendengar pernyataan Hinata. Lagi-lagi seperti ini, kenapa sih Hinata senang sekali menyimpan masalahnya sendiri. Kenapa Hinata tidak bilang kalau perusahaan kecil warisan kedua orangtuanya yang telah tiada lagi-lagi mengalami kesulitan finansial. Hampir saja Hanabi menjadi adik yang durhaka karena hendak memanfaatkan Hinata ditengah hinadina kesusahan kakak semata wayangnya. Mengutuki dirinya sendiri, Hanabi kembali angkat bicara untuk meminta maaf.

"Maaf-"

"Sudahlah! Tidak apa-apa! Terima kasih!" Balas Hinata cepat membuat gerakan tangan melambai di udara, Hinata tidak suka melihat raut wajah adiknya berubah sendu seperti itu. Toh, masalah perusahaan cukup dia yang memikirkannya, jangan sampai adik perempuannya terseret-seret siklus rumit macam mengurus perusahaan advertising kecil milik keluarga Hyuuga. "Jadi bisakah kau jelaskan padaku, apa ini? Seperti biro jodoh?" Hinata bertanya dengan hati-hati, membaca surat yang disodorkan Hanabi tadi setidaknya itulah yang Hinata tangkap dari maksud isi suratnya.

"Ya ampun Nee-chan!" Hanabi terpekik kaget, tak menyangka bahwa kakaknya masih menanyakan hal seperti itu padahal jelas-jelas maksud dan tujuan acara tersebut sudah tertera menggunakan huruf bold dicapslock pada bagian suratnya. "Kau tidak pernah menonton televisi?"

Hinata menggeleng pelan, membuat sang adik berfacepalm-ria. Oh, sungguh! Ini abad 20 nona! Zaman seperti ini tidak pernah up to date trend terbaru maka dirimu akan tertinggal jauh dibelakang. Baru saja Hanabi ingin melayangkan statment manusia primitif kepada Hinata, tetapi itu semua urung dilakukannya kala Hinata kembali memperdengarkan alasannya.

"Kerjaanku banyak dan aku tidak punya waktu untuk itu." Hinata menunjuk beberapa map warna-warni yang tersusun tinggi diatas meja kerjanya yang berantakan. Memijat lehernya yang kaku, Hinata mengapai cangkir kopi hitamnya yang sudah dingin dan menyesapnya pelan. "Wanita karir, Hanabi. Terlalu sibuk dengan bisnisnya." Menyunggingkan senyum mirisnya, Hinata berpaling untuk mendapati adiknya menatapnya dengan pandangan penuh sesal. "Hey! Sudahlah Hanabi, jangan menatapku seperti itu!" Berusaha memperbaiki keadaan Hinata menyadarkan Hanabi dari lamunannya.

"Nee-chan, aku menye-"

"Ssssstt! Sudah-sudah, aku tidak apa-apa. Aku sudah memaafkanmu. Nah, sebaiknya kau segera menjelaskan padaku bagaimana teknis acara ini. Seperti yang dikatakan disurat ini, seperti biro jodohkan? TAKE ME OUT? Apa itu? Kau bisa menjelaskannya padakukan?" Berbeda dari pribadinya yang dulu, kini Hinata pandai meracau. Bekerja di bidang advertising membuatnya harus berkali-kali mempresentasikan rancangan iklannya pada klien yang mengontraknya, lambat-laun Hinata belajar untuk meracau dan inilah hasilnya.

Hanabi mengangguk, memasok pasokan udara dalam paru-parunya sebelum akhirnya mulai berkelakar menjelaskan duduk permasalahannya dari A-Z. Dan sekarang, author mempunyai kesempatan untuk membubuhkan dialog -bukan-Hinata sebelum Hanabi sempat mencekiknya lagi.

"Gi-"

.

.

.

"-La!" Satu suku kata yang beresonansi senada dengan kata-kata yang akan dilontarkan Hinata terdengar mengalun cukup dramatis dari dalam kantor bertuliskan Presiden Direktur. Mata tajam onyx milik sang pria terlihat menghujam tepat seakan-akan bisa melukai sang lawan bicara yang masih memasang senyum sejuta maksud didepannya. Melempar kertas yang sedari dipegangnya, sang pria bernama-Uchiha Sasuke- dengan beringas menanggalkan dasinya yang terasa mencekik.

"Kenapa? Bukankah ini menarik?" Sang lawan bicara a.k.a Sai masih sempat-sempatnya memasang senyum topeng nohnya sementara didepannya Sasuke sudah meradang gara-gara surat ngawur milik Itachi yang diperuntukan bagi Sasuke melalui kurir Deidara dan diantarkan oleh-okay, ini terlalu membingungkan. Yang perlu kalian tahu bahwa sebenarnya Sasuke sudah ingin mencabik-cabik surat itu sekarang juga. Tetapi karena author masih sangat-coret- menyayangi Sasuke maka sang author pun haram merusak karakter Uchiha-banget-nya.

Sasuke mengeram, memaksa seluruh emosinya untuk tertekan dalam titik nadi paling dalam. 'Sialan' Rutuknya dalam hati, apa maksudnya Itachi mengiriminya undangan untuk mengikuti acara perusahaan entertaiment miliknya yang jelas-jelas menjadi ajang pengadaian lajang paling HOT-CTAR-MEMBAHANA-BADAI seantero Konoha sekelas Uchiha Sasuke ini? Sudah seenaknya kabur dari tanggung jawab menjadi pewaris tunggal Uchiha Corp dan malah mengurusi cabang perusahaannya yang bergerak dibidang hiburan macam Itachi's Entertaiment yang dibelikan Uchiha Fugaku setelah Itachi berkoar tentang pentingnya perusahaan yang bergerak dalam bidang pertelevisian sebagai usaha cuci otak dan jangan lupakan sponsor tunggalnya tentu saja Uchiha Corp yang bebas memasang iklan kapanpun dan dimanapun mereka mau. Licik! Ayah anak sama saja. Ah! Siapa itu yang barusan wawancara abang Syahrono? Kenapa tadi trademarknya mampir kefanfic ini? Ok ini random.

"Ikuti saja, siapa tahu ada yang cocok. Bukankah Itachi juga mengirimimu calon-calon pesertanya?" Bergaya kalem, Sai menyondorkan seberkas map tebal berisi data-data calon wanita yang akan menjadi jomblo beruntung dengan iming-iming didaulat Sasuke sebagai kekasihnya.

"Seperti aku sudi saja." Sasuke mendecih, saling menggeretakkan gigi-gigi ratanya tanda kesal level over 9000.

"Ini juga untuk memperbaiki nama baikmu, Sas."

"Siapa itu Sas? Jangan memenggal nama orang seenaknya." Protes Sasuke tidak nyaman dengan panggilan anehnya. "Dan apa maksudnya dengan memperbaiki nama baikku? Apanya yang perlu diperbaiki? Ngelindur hah? Hush! Balik tidur sana!" Racau Sasuke kesal bukan kepalang sambil melambaikan tangannya mengusir Sai dari ruangannya.

"Ada yang bilang kalau kau HO-"

"JUST SHUT UP YOUR FUCK-"

"Sasuke!" Teriakan histeris dari dari ambang pintu menghentikan sumpah serapah yang hendak Sasuke lontarkan. Berlari lebay sang peneriak yang sukses membuat Sasuke dan Sai hampir tuli mendadak menghampiri Sasuke terpogoh-pogoh seraya menggotong-gotong beberapa kantong plastik ditangannya. "Kau meninggalkan ini diapartemenku!" Sekali lagi dia berkata lantang dan mengangsurkan beberapa kantong plastik berisi baju dan beberapa celana da-. "Tolong jangan lupakan barang-barangmu lagi ditempatku. Ah, selamat pagi Sai." Sapanya riang pada Sai yang masih berhadap-hadapan dengan Sasuke.

"Pagi Naruto." Sai membalas memasang senyum topengnya sebelum akhirnya kembali bertanya. "Kemarin dia menginap lagi diapartemenmu?"

"Yup, dia menyusahkan dan tidak memberiku kesempatan untuk tidur!" Aku Naruto sambil menggembungkan kedua pipinya tanda kekesalannya akan makhluk absurb didepannya.

Oh tidak! Pernyataan Naruto yang kelewat tidak disaring dan penuh ambigunitas itu sontak membuat Sasuke membeku dengan tatapan Sai yang seakan berkata 'sudah kuduga'. Dan Sasuke tahu kemana arah pemikiran Sai yang menatapnya dengan pandangan simpatik. Terima saja Sasuke, sesayang-sayangnya sang author padamu ternyata dia tetap menjatuhkan reputasimu juga. Sabar ya, demi berjalannya fanfic ini. GO FIGHT WIN!

.

.

.

'Like the hell I would care!' Sasuke menggerutu dalam hati sambil memilah-milah berkas-berkas ditangannya. Kali ini bukan kertas hvs berisi print-an pekerjaan yang dia kerjaan melainkan kertas berisi foto-foto calon pasangannya yang mungkin akan memilihnya dalam acara konyol milik Itachi. Yah, walau dia sendiri yakin bahwa pasti tidak akan ada yang -tidak- memilihnya dan pastinya semua keputusan akan berakhir ditangannya.

Lembaran pertama, foto wanita cantik dengan pose duckface-nya. Coret! Sasuke masih sayang nyawa, bisa-bisa dirinya disosor setiap hari kalau berpasangan dengan wanita seperti itu. Bergumam pelan, Sasuke meletakkan kembali lembar pertamanya secara acak di atas meja kerjanya yang mulai terlihat berantakan.

Lembaran kedua-err- okay ini apa?! Foto wanita dengan gaya khas victory yang sudah ketinggalan zaman? Umurnya berapa sih? Hah, 41 tahun? Haduh tante inget umur dong. Komat-kamit membaca do'a dalam hati agar sang tante segera diberi pencerahan, Sasuke segera menyingkirkan foto yang terlewat nista itu dari tangannya.

Lembaran ketiga, alis Sasuke mulai bertaut. Dilihat dari fotonya saja sudah kelewat penuh editan disana-sini. Jangan-jangan pakai magic sotoshop ya biar jadi cantik seperti ini? Menghela nafas Sasuke segera mengeliminasi sang wanita dari daftar wantednya. Sasuke maunya yang cantik alami, bukan karena oplas instan pakai perkembangan teknologi apalagi oplas beneran.

Lembaran keempat, demi Uchiha Madara yang lagi adem-ayem disurga, Sasuke segera membuang lembaran kertas itu jauh-jauh. Okay, Sasuke ngeri dengan foto seorang wanita atau pria ya? Dengan rambut helm, make up tebal, alis tebal melintang dan senyum gigi sehat ala pepsodent seraya mengacungkan jempolnya ke arah kamera. Oh Itachi! Demi Jashin! Sebenarnya acara apa yang sedang kau produseri?

Mengelus dada, rasanya Sasuke harus bersabar dengan segala macam rintangan suka-duka perjalanan ini. Habis mau bagaimana lagi, pernyataan Naruto yang kelewat absurb mencemari nama baiknya sebagai bujang most wanted para calon mertua. Gara-gara kehadiran pemilik rambut duren tersebut, mau tidak mau Sasuke harus menelan mentah-mentah anggapan Sai yang mengatakan bahwa dia adalah penyuka sesama jenis. Padahal Sasuke berani sumpah, dia masih doyan perempuan!

Lembar selanjutnya dan seterusnya semuanya normal. Setidaknya dengan begitu sang Uchiha bungsu ini dapat bernafas lega. Jangan-jangan empat orang pertama itu hanya untuk lelucon diacara tersebut ya? Kan nggak seru kalau reality show tanpa kejutan didalamnya. Tetapi, mata onyxnya tetap terlihat bosan, sejauh ini belum ada yang menggetarkan hatinya. Semuanya sama saja, tidak menarik dimatanya.

Tersenyum miris, Sasuke menerawang memandang langit-langit tinggi kantor mewahnya. Ingatannya kembali pada masa-masa kuliah-nya. Dimana dia pernah merasakan apa itu yang namanya cinta. Walau akhirnya pupus tanpa pernah menyatakan cintanya. Yah, salah dia sendiri sih karena terlalu mengagungkan gengsi Uchihanya sehingga terlalu naif untuk mendekati sang wanita pujaan. Parahnya lagi, sepertinya sang gadis pujaannya itu tidak pernah peka terhadap perasaannya. Sudah tahu sang pangeran kampus diam-diam naksir padanya, bukannya membalas, dia malah sibuk mengejar-ngejar sang cowok berambut coklat tua penyayang binatang yang sampai kapanpun hanya menganggapnya sebagai sahabat karib.

Bertopang dagu, Sasuke mengamati foto sang calon terakhir. Ya-ya sang gadis persis seperti ini. Rambut indigonya yang panjang terurai apik membingkai wajah bulatnya dengan deretan poni rata yang rapi. Hidung mungilnya yang mancung. Bibir pinknya yang mengulas senyum malu-malu. Dan rona merah yang tidak pernah absen dari pipinya. Tanpa sadar tangan Sasuke terjulur meraba-raba sosok yang ada didalam foto itu. Menatapnya penuh damba, onyx Sasuke mencoba mencari siapa gerangan sang wanita yang mempunyai sosok mirip bagai pinang dibelah dua dengan cinta pertamanya. Cinta pertama yang tak pernah bisa dilupakannya hingga akhirnya menyandang status jomblo sampai sekarang ini.

"Hinata Hyuuga-" Gumamnya lirih memandang deretan huruf yang tercetak rapi dikolom bertuliskan 'nama'.

"Hi-na-ta?!" Ucapnya ulang terbata-bata begitu sadar apa yang barusan terbaca oleh mata onyxnya. Lambat laun senyum serigainya mulai terpatri pada bibirnya yang naik beberapa centi. Mengambil ponsel disaku jasnya, Sasuke segera menggunakan speed dialnya agar tersambung langsung ke nomor pribadi kakaknya.

"Baka-Aniki! Aku terima tawaranmu."

.

.

.

Keep or Delete?

Mind to RnR?