Suara nyaring itu terdengar kembali dalam beberapa detik setelahnya. Suara denting pangkal bambu mengenai batu kehitaman keras yang terus menjaganya ketika ujungnya jauh lebih ringan dari sang pangkal. Ketika lawannya terisi penuh, pangkal bambu terangkat lagi, dan ketika kawannya ringan lagi, dia kemudian jatuh menghantam batu yang sama kembali. Dan selama di bawah, dia hanya menunggu sang ujung terisi penuh air yang mengalir dari buluh bambu yang lain yang jika sudah tak ada ruang lagi di ujungnya, dia terangkat lagi demi membuang air yang memenuhi tampuknya. Dan ketika telah kosong, dia jatuh kembali. Menghantam batu lagi. Merasakan kesakitan lagi, dan menambah goresan luka di bagian tubuhnya kembali. Hal itu terjadi berkali-kali tanpa henti, terkecuali jika air dari buluh bambu tidak lagi mengalir, yang pangkal bambu sendiri pun tak tahu kapan hal itu akan terjadi. Dengan tanpa mengeluh pangkal bambu menunggu dalam kesakitan, membiarkan ujungnya mendongak, menantang langit sembari menerima berkah yang berupa sumber kehidupan segala makhluk yang ada di muka bumi ini. Dan menghantarkannya ke bumi, bumi tempat segala makhluk itu diciptakan dan dimusnahkan oleh Yang Maha Kuasa.

TAK

Suara itu membelah sunyi, diikuti bisikan-bisikan lembut dedaunan karena digoda oleh angin yang memberikan kelembutan sesaat kepada siapapun yang ia temui di setiap perjalanannya. Sang angin menentang panas, memberikan kesejukan, melahirkan ekstasi nyaman bagi siapapun dan apapun. Keberadaannya dianggap salah satu hikmah, hadiah dari Sang Pencipta karena merupakan sarana yang mampu menerbangkan segala duka dan nestapa. Tapi, benarkah begitu?

Empat orang terdiam di salah satu ruangan yang terbuka pintu-pintunya. Hanya satu orang yang merasakan dan menikmati keheningan juga alunan nyanyian alam kala itu. Tiga orang lainnya diam. Duduk saling berhadap-hadapan dengan punggung yang kaku serta pikiran-pikiran mereka yang sibuk membayangkan satu dan beberapa hal. Sebuah gulungan terhampar di depan keempat orang tersebut, menuliskan kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat dan disetujui oleh dua lelaki dan satu wanita yang ada di sana, disaksikan oleh seorang murid yang masih belia, yang duduk tepat menghadap pintu terbuka. Menghadap langsung danau kecil dengan pangkal bambu yang malang. Semalang nasib dua insan yang belum mengenal kehidupan dunia untuk saat ini. Kemalangan karena, kebebasan dan masa depan mereka sudah diatur sedemikian rupa oleh dua orang tua mereka. Mereka yang sudah harus menerima catatan hidup mereka sebagai seseorang yang dikorbankan demi sang ujung. Agar sang ujung selalu berada di atas. Menerima berkahNya. Berada di puncak dan dihormati oleh yang lain tanpa memedulikan kesakitan yang dirasakan pangkal-pangkalnya.

.::.

Dia tak bisa mengatakan apapun lagi. Sebagai seorang ibu dan sekaligus seorang wanita, dia sangat ingin melihat anak kandungnya sendiri tumbuh dewasa dengan dicurahi berbagai kebahagiaan dan warna cerah dari ibu, orang tua, lingkungan, dan dunia. Wanita itu hanya ingin anaknya bebas dan tidak terkekang aturan apapun. Dia muak dengan segala urusan politik yang sudah membutakan mata hati ayah ibunya, hingga suaminya sendiri. Wanita itu tak ingin anaknya harus turut merasakan kutukan yang turun temurun mendarah daging dari jaman nenek moyang.

Namun sebagai seorang istri, dia tak bisa menolak permintaan suaminya. Perintah yang diujarkan mulut lelaki yang menikahinya merupakan hal mutlak yang harus dia lakukan meskipun dia harus menangis darah sekalipun. Setiap malam ia selalu menangis di samping suaminya yang tertidur pulas. Membisikkan ujaran yang sama, yang tak pernah bosan ia katakan sejak hari pertama suaminya memiliki pikiran gila itu. "Haruskah kita melakukan ini pada anak kita? Anak pertama kita? Tidakkah ini terlalu kejam? Dia bahkan tidak tahu apa-apa."

Ia hanya bisa memprotes di belakang suaminya. Ia hanya bisa menangis pilu tanpa kesadaran dari suaminya. Ia hanya bisa merintih tanpa ingin membangunkan suaminya.

Tangisan bayi didengarnya dari kamar sebelah, namun baik ia maupun suaminya tak pernah mau beranjak untuk menengok rengekan bayi di tengah malam itu. Ia tak mau menghadapi keperihan jauh lebih lama, dan suaminya selalu berpikir bahwa bayi itu akan diam selama pelayan yang ia bayar mengurusnya. Jika sudah begitu, tangis wanita itu semakin deras, bahkan hingga berkali-kali memegangi perut dan mulutnya sekaligus agar rintih perih itu tidak mampu terdengar lelaki penuh kuasa di sampingnya. Perutnya selalu terasa bungkas setiap kali ia mengeluarkan kepedihan malam harinya. Menusuk-nusuk seolah ususnya bergejolak mengikuti amarah dari hatinya. Naluri keibuannya tak pernah mampu mengalahkan naluri seorang istri yang ada di dalam jiwanya.

.::.

Pria itu mengusap wajahnya dengan dua tangannya. Ia tarik napasnya dalam-dalam dan ia hembuskan dengan nyaring. Matanya tersembunyi di balik jemarinya dan dahinya berkerut luar biasa. Istrinya masih terus meraung di depannya, memeluk bayi mereka. Teriakan penolakan yang selama ini hanya berupa bisikan malam hari menyaring di tengah hari. Tak ada suara kedamaian air mengalir, bunyi shishiodoshi, dan bisik lembut dedaunan yang mampu menenangkan ratapan itu.

"Kenapa bisa begini?"

"AKU YANG SEHARUSNYA MENANYAKAN ITU!" raung sang wanita. Tangis jabang bayi turut bersaing dengan rengekannya. "Aku tak mau berpisah dengan anakku. Tidak. Aku tidak mau."

"Aku juga tak menyangka akan jadi begini."

"Tak menyangka, katamu?" tanya itu bernada mengejek. Tatapan kemarahan penuh air mata itu menatap tajam sang suami. "Kau yang memulai perjudian, ini, brengsek!"

Untuk pertama kalinya ia mengatakan hal kasar pada suaminya. Untuk pertama kalinya ia mengecam penuh kebencian pada suaminya. Untuk pertama kalinya ia tidak menaati aturan yang sudah ditanamkan oleh orang tuanya sejak ia kecil, bahwa sebagai seorang istri dia harus ini dan itu. Tidak, semuanya terlanggar untuk kali pertama di hari itu.

"Ini juga untuk kebaikan kita," sang pria berujar dengan sabar. Ia tak ingin menghadapi kemurkaan wanitanya dengan amarah jua. Ia harus mampu berkepala dingin. "Kita lakukan plan B, ya?"

Wajah cantik nyonyanya memerah sejak tadi dan makin merah seiring bertambah amarahnya mendengar ujaran sang suami. "Plan B, kau bilang? Aku sudah katakan aku tak mau berpisah dengan anakku."

"Ini untuk kebaikan kita," ulang prianya. Ia mendekati istrinya dan memegangi kedua pundak perempuan itu. "Juga untuk kebaikannya—" ditatapnya bayi yang terus menangis di pelukan sang ibu, "—jika kita membatalkan perjanjian dengan Uchiha hanya karena masalah sepele ini, kita bisa jadi miskin sama sekali. Aku takkan punya posisi di sini lagi. Kau mau hidup susah di desa?"

"Kau katakan masalah sepele?" tatapan itu menyiratkan ketidakmengertian. "Teganya kau mengatakan hal itu! Iblis! Manusia setan! Kau mengorbankan anakmu sendiri hanya untuk pangkat sialanmu itu?!" raungan itu mengeras dan semakin menyayat pilu. Urat-urat leher, dahi, hingga di tangan lembutnya mengeras dan mengaku, tercetak jelas di kulit putih bersih putri tunggal yang dulunya pun merupakan korban perjodohan politik tersebut. Pelukannya makin mengencang, makin menyakiti tubuh bayinya, makin mengiris udara dengan ringkik tak mengerti bayinya.

Dan sang pria kembali menghembuskan napasnya dengan nyaring. Ia berdiri dan memanggil salah dua pelayan lelakinya. Menyuruh ambilkan bayi yang dipeluk istrinya, melepaskan ikatan keduanya dengan sekali sontak keras orang bayaran sang ayah yang merasa bahwa dia tidak memiliki pilihan lain selain melakukan hal itu. Membiarkan istrinya terus meraung dan menyerbu pelayan yang membawa pergi anak tunggal mereka bersama sang suami. Kuasa seorang ibu kala menjaga anaknya luar biasa melampaui batasan kemampuannya sebagai perempuan, namun ia masih belum bisa menandingi kekuatan cengkraman pelayan lelaki untuk tetap berada di tempat. Wanita itu terus meratap, mengumpat, menyerapahi suami dan segala pemikiran tololnya dan nenek moyangnya yang semakin menjauhinya.

-bersambung

Disclaimer: Animanga Naruto merupakan karya hasil jerih payah Masashi Kishimoto.

A/N: Cuman cerita mainstream tentang perjodohan kok. Saya kasih spoiler nih, ceritanya bakalan klise abis. Untuk chapter ini sengaja belum dimasukin karakter selain Sasuke karena rahasia mau bikin dia jadian sama siapa :p

Gak perlu repot nge-follow, ceritanya klise, kok. Gak usah ditungguin. Ini karya sampah kuadrat.