A Beautiful Life

Ku langkahkan kaki ku memasuki ruangan kantor. Seperti biasa, dokumen penting menumpuk di atas meja kerjaku, menungguku untuk menandatangani atau sekedar membaca kertas-kertas bertinta yang seakan tak ada habisnya. Tak lupa secangkir cappuchino panas dan sepotong roti berisi daging bertengger di meja besar berlapis kaca itu. Sekertarisku selalu meletakkannya di sana setiap pagi sebelum aku datang―cappuchino dan roti daging.

Namaku Wu Yifan, lelaki berdarah China-Amerika. Seorang eksekutif muda yang bisa dibilang cukup sukses―kelewat sukses untuk lelaki berusia 22 tahun―berwajah tampan, bertubuh tinggi, pintar dan berkarisma.

Sempurna.

Begitulah pendapat orang-orang di sekelilingku. Mungkin bagi mereka aku terlihat sangat sempurna. Tampan, kaya raya dan juga pintar. Aku juga tak memiliki masalah dalam urusan percintaan, aku hanya perlu melirik dan tersenyum sedikit, maka wanita yang kuincar pasti akan mendekat dengan sendirinya. Tapi tidak. Aku tidak melakukan hal itu. Aku tidak begitu tertarik untuk merasakan cinta. Menurutku menjalin hubungan sebagai kekasih dengan orang lain akan membuat sebuah masalah.

Lihat saja, berapa banyak orang yang menangis setiap hari karena cinta?

Berapa sering orang yang bunuh diri karena cinta?

Dan berapa banyak orang yang menjatuhkan harga diri mereka karena cinta?

Cinta.

Aku tidak butuh itu. Tidak, bukan tidak butuh, tapi belum. Aku belum membutuhkan cinta dari orang lain sebagai kekasih seperti yang orang-orang bilang. Cukup sudah cinta yang diberikan oleh kedua orang tua serta kedua saudaraku, serta para sahabatku. Aku sangatlah cuek dengan keadaan di sekitarku, kecuali jika keadaan itu bersangkutan dengan orang-orang terdekatku, atau keadaan itu menjadi tanggung jawabku.

Dan aku tidak begitu menyukai keramaian. Kenapa?

Tentu saja karena setiap aku berada di tengah keramaian, akan ada banyak pasang mata yang menatapku dengan tatapan yang membuatku risih. Well, kembali pada aktifitasku pagi ini. Aku sudah terlalu banyak menjelaskan tentang diriku.

Pagi ini tak banyak berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Aku duduk di balik meja kerjaku, membaca dan menandatangani setumpuk dokumen sambil sesekali menyesap cappuchino. Pukul 9 aku menemui rekan bisnis, membicarakan masalah investasi dan penanaman saham sampai pukul 11. Aku tak perlu repot-repot pergi ke cafetaria kantor ataupun keluar untuk membeli makan siang, karena sekertarisku sudah menyiapkan makan siang di ruang kerjaku. Pukul 2 aku sudah kembali ke rumah, karena meeting yang diadakan ternyata dibatalkan.

Bagus. Aku bisa bersantai sejenak.

-ooo0000ooo-

Ku belokan mobilku memasuki halaman sebuah sekolah. Suasana sekolah sangat ramai, karena ini memang jam pulang sekolah. Kuparkir mobilku di bawah sebuah pohon dan menunggu dongsaengku.

"Hyung!" Sehun melambaikan tangannya ke arahku sambil berlari kecil menghampiri mobilku.

"Lama sekali." ucapku pada Sehun yang kini telah duduk manis di sampingku.

Adik bungsuku itu tersenyum. "Tadi aku harus mengembalikan bola dulu ke gudang." Jelasnya.

"Oh." Balasku sambil menyalakan mobil dan mulai menjalankannya.

Sepanjang perjalanan Sehun terus bercerita tentang kejadian yang dialaminya hari ini di sekolah. Dia bercerita tanpa henti, sesekali aku berucap menanggapi ceritanya. Rasanya jarang sekali aku menghabiskan waktu bersama adikku ini. Sehun adalah adik bungsuku, adikku satu-satunya. Namanya memang nama Korea, karena dia bukanlah adik kandungku, melainkan adik tiri dari ayahku yang sekarang. Ayah tiriku adalah orang Korea, jadi aku memanggilnya appa dan Sehun pun memanggilku hyung. Aku pertamakali mengenalnya tiga tahun yang lalu, saat dia masih berumur sepuluh tahun. Aku masih ingat dengan jelas betapa buruk kelakuannya dulu. Namun sekarang dia sudah banyak berubah dan dia sudah mau menerima kami sebagai keluarga barunya.

"Tumben Yifan-hyung yang menjemputku.." ucap Sehun membuyarkan lamunanku.

"Meeting siang ini dibatalkan, makannya hyung mampir menjemputmu sebelum pulang ke rumah." Balasku disambut dengan anggukan-anggukan kecil Sehun.

"Hyung aku lapar. Kita mampir makan ne?"

"Boleh. Kau mau makan apa Hunnie?"

"Steak!"

Aku tertawa kecil mendengar jawaban bersemangat Sehun. "Ok, let's eat some steak."

"Let's go!"

-ooo0000ooo-

Lelaki itu tampak tengah berbaring di rerumputan, kedua matanya terpejam, sedangkan kedua earphone terpasang di telinganya, entah melantunkan apa. Ku hampiri lelaki berambut coklat itu dan membungkuk di atasnya, menghalangi sinar matahari sore yang menerpanya. Kelopak mata itu membuka perlahan, menampakkan sepasang mata berwarna zamrud, warna mata yang dimiliki ayah.

"Oh. Kau sudah pulang Yifan," Lengkungan senyum menghiasi wajah manis Luhan, kakak kandungku.

"Jangan berbaring disini ge. Kau bisa demam."

Luhan-gege bangkit duduk dan menepuk tanah di sampingnya, memintaku duduk di sana. Ku hempaskan tubuhku di samping Luhan-gege dan menatap pemandangan indah di depan kami.

"Senja yang cantik bukan?" ucap Luhan-gege tanpa mengalihkan pandangannya dari langit senja.

Aku mengangguk. "Cantik sekali ge." Jawabku.

Selama beberapa saat keheningan menyelimuti kami. Membiarkan kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Keheningan yang menenangkan. Aku menyukai saat-saat seperti ini, duduk diam menatap keindahan alam, melupakan sejenak kepenatan hidup.

"Kau pulang cepat hari ini. Apa meetingmu dibatalkan?" tanya Luhan-ge.

Aku mengangguk. "Ne.. Pemilik saham yang satu ini sepertinya orang yang seenaknya.. Bayangkan saja ge, ini sudah yang ke empat kalinya dia membatalkan meeting." Ucapku.

Luhan-gege tertawa renyah. "Kau harus sabar menghadapi rekan kerja yang seperti itu, bagaimana pun orang itu tetap memberi pengaruh yang besar pada saham perusahaanmu."

"Aku mengerti gege.. Kau ini benar-benar seperti ayah."

Luhan-ge menepuk bahuku pelan. "Kau juga seperti ayah." Balasnya.

"Luhan-gege!" Sehun muncul dan langsung memeluk Luhan-gege dari belakang.

"Kenapa kau memanggilnya dengan panggilan gege sedangkan kau memanggilku dengan panggilan hyung?"

Sehun memiringkan kepalanya dan menatapku, senyuman jahil menghiasi wajahnya yang manis. "Karena wajah Luhan-gege lebih seperti orang China."

Aku mengerucutkan bibirku mendengar jawaban Sehun. Otak adik bungsu kami ini memang sedikit aneh. Jelas-jelas semua orang mengatakan aku memiliki wajah China yang khas, sedangkan orang-orang mengira Luhan-ge adalah orang Korea. Tapi biarlah.. yang penting dia menganggap kami berdua sebagai kakaknya.

"Gege, tadi aku diajak Yifan-hyung makan steak.. Aku menyuruhnya membungkuskan satu untuk mu, tapi dia malah menghabiskannya di jalan."

Aku mendelik mendengar perkataan Sehun. "Yah! Bukankah kau yang daritadi menyuapi ku di dalam mobil? Aish kau ini…"

"Wuaaaa! Hyung!" Sehun berlari menghindariku yang mengejarnya.

Luhan-ge tertawa melihat tingkah kami.

"Sehun, cepat ganti seragammu! Luhan masuklah, hari sudah mulai dingin! Yifan, teman-temanmu sudah datang!" terdengar suara eomma dari dalam rumah. Ku tangkap tubuh Sehun dan menggendong adik tiriku itu masuk ke dalam, Luhan-hyung berjalan di belakang kami sambil tetap tertawa.

Indah bukan?

Hanya saja,semua memiliki waktu. Aku merasa aku tak akan kehilangan itu semua. Tapi perasaanku itu salah. Aku belum sepenuhnya menjalani kehidupanku, bisa dibilang aku baru mulai benar-benar menjalaninya, benar-benar merasakan arti kehidupan yang sebenarnya.

Hidupku baru saja akan dimulai.

Akan dimulai, ketika semua hal indah yang ku punya tak lagi ada…

"SEHUNNIE!"

teriakan panik itu memulai segalanya…

SEHUNNIE!#apa min?(Sehun nonggol didepan admin#mimpi kali kao)

Kelar sudah prolognya. Dilanjut nggak nih enaknya?