A/N : Terinspirasi dari novel Icarus Girl. I repeat ; terinspirasi. Jadi saya tidak menjiplak atau meniru karyanya. Apalagi jalan ceritanya nggak bakalan sama.
Saya tahu chapter satu ini pendek, tapi come on, it's just a prologue.
Ini juga pertamakalinya saya nulis fanfic AU. Dan yang harus diingat, saya juga bukan bidan atau dokter, jadi mohon maaf jika ada kesalahan pada chapter ini.
I do not own BoBoiBoy
Friends of Another Dimension ; Prologue
"Selamat." Si dokter kandungan -seorang pria paroh baya- menjabat tangan seorang pria muda yang sedang duduk bersebrangan dengannya dari meja kerja. "Hasil USG menyatakan bahwa istri anda beserta para bayinya dalam keadaan sehat."
Si pria muda itu tampak tersenyum cerah. Tak lama kemudian, seorang wanita berumur dua puluhan keluar dari sebuah kamar yang ada diruangan dokter kandungan itu ; kamar yang hanya dibatasi oleh sehelai tirai putih bersih. Perutnya buncit besar. Tak diragukan lagi, ia lah wanita hamil yang merupakan istri dari pria muda yang kini sedang berdiskusi dengan si dokter. Walaupun usia kehamilannya baru mencapai 4 bulan, namun ukuran perutnya lebih besar daripada yang seharusnya.
"Tapi," si dokter menambahan ketika wanita itu duduk disamping suaminya. "Saya berharap nyonya akan lebih memperhatikan keadaan kesehatan karena hamil kembar lima akan sangat beresiko untuk melahirkan secara premature. Perbanyak konsumsi zat besi dan susu serta …"
Si dokter kandungan terus berbicara, menjelaskan bahaya yang sering terjadi pada kandungan yang memiliki quintuplets atau lima janin. Resiko terjadinya solution plasenta pun tak luput dari penjelasannya.
.
.
.
3 bulan kemudian
.
.
.
Suara tangis bayi yang baru lahir memecah ketegangan di depan ruang bersalin. Si suami yang sedang menunggu dengan cemas segera menempelkan telinganya di pintu dengan tidak sabar. Suara tangis itu baru saja mengurangi perasaan cemasnya. Bayi pertamanya baru saja lahir.
Sudah hampir 30 menit berlalu. Pria itu mengerutkan kening. Seharusnya ia sudah dapat mendengar suara tangis yang lain. Tapi walaupun sudah setengah jam berlalu, hanya suara tangis dari anak pertamanya sajalah yang bisa ia dengar.
limabelas menit berikutnya, pintu ruangan terbuka. Salah seorang petugas medis wanita yang tadi ikut membantu proses persalinan mendekati pria itu dengan wajah yang berduka. Para pengunjung lain dapat melihat petugas itu membisikkan sesuatu padanya. Dan yang terjadi kemudian adalah ; pria itu nampak shock dan menghambur masuk kedalam ruang persalinan.
Anak pertamanya lahir dengan selamat walaupun kemudian harus segera mendapatkan pertolongan segera karena mengalami kekurangan suplai oksigen ke jantung. Namun, keempat bayi lainnya tidak bernasib baik. Mereka sudah dipanggil Tuhan sebelum sempat merasakan pahit-manis kehidupan serta kasih sayang dari kedua orang tua yang sudah menanti kehadiran mereka selama tujuh bulan.
.
.
.
.
.
Si wanita dan pria muda itu tersenyum melihat tingkah laku bayi mereka yang menggemaskan didalam keranjang bayi. Tangan wanita itu terulur, membelai pipi tembem anak pertamanya yang berusia satu bulan.
"Dia cantik sekali." Si pria berkomentar.
"Kau tahu kalau bayi kita ini laki-laki, kan?" tanya sang istri, masih sibuk bermain dengan anaknya.
"Ya, kurasa dia akan menjadi anak yang sangat tampan kalau sudah besar nanti."
Sebulan sudah berlalu sejak pemakaman keempat bayi yang meninggal sesaat setelah dilahirkan itu. Namun, rasa duka mereka langsung sirna takkala menatap satu-satunya anak mereka yang selamat tertawa untuk pertamakalinya. Rasanya, bayi mungil lucu itu sudah menjadi obat pelipur lara bagi siapa saja yang melihatnya. Ia mewarisi kulit putih dan rambut hitam tebal dari ayahnya sementara irisnya yang berwarna kecokelatan didapat dari ibunya.
"Apakah kau tidak akan mengganti nama bayi kita?" si istri bertanya sambil mengendong anaknya keluar dari keranjang. "Kurasa nama Gempa tidak cocok untuknya."
"Tapi kita sudah sepakat." Si suami sedikit membantah. Jemarinya digunakan untuk mengelus kepala bayinya dengan penuh rasa cinta. "Bahwa kita akan menamai semua anak kita berdasarkan elemen yang ada dibumi?"
Si istri mendesah pelan. Mengingat keempat bayinya yang meninggal adang membuatnya sedih. "Tapi itu sudah tidak berlaku lagi. Lagipula nama Gempa terkesan seperti sebuah … bencana alam."
Si suami mengangguk pelan. Matanya masih memandangi wajah bayi lelaki dalam gendongan itu. "Jadi, kau ada ide lain?"
Si istri tampa berpikir. "Bagaimana kalau Hans?"
"Terlalu kebarat-baratan."
"Shickroft?"
"Nama apa itu? Kita harus mencarikan nama yang mudah diingat oleh orang."
"Pakjo?"
Si bayi tiba-tiba menangis.
"Kelihatannya dia tidak suka nama itu."
"Cup, cup, cup." Si wanita muda menenangkan bayinya dalam gendongan. "Anak ibu kenapa?" ia mencoba mengajaknya berbicara, yang mana hanya mendapatkan jawaban berupa tangisan yang lebih keras.
Si suami mengambil alih. "Sini, biar aku nyanyikan nina bobo."
Gendongan pada bayi berpindah. Sang ayah menyanyikan sebuah lullaby terkenal yang dapat menidurkan anaknya. Ajaibnya, bayi itu langsung kembali tenang.
"Boboiboy!" si istri berseru. "Nama yang bagus, bukan?"
"Boboiboy?" si suami mengulang nama itu sabil berpikir keras. "Kurasa aku menyukainya. Tapi, kenapa?"
"Aku mengambilnya dari judul lagu yang kau nyanyikan." ia tersenyum. "Bagus kan?"
Sang ayah kini bertanya pada bayinya. "Bagaimana denganmu? Apa kau suka dipanggil Boboiboy?"
Bayi itu tertawa.
