we're good, we're solid, we're gold

.

Haikyuu © Furudate Haruichi

.

.

Chapter 1: in a world full of heartache seems like everyone's burning out

.

.

Ia melihat sosok itu tengah menunggu di dekat gerbang sekolah, satu tangan menggenggam tali tas sementara bahunya yang kurus nampak bersandar ke pilar gerbang. Kei memelankan langkah begitu jarak mereka tinggal beberapa meter, sadar bahwa sebelum ini ia sedikit berlari.

"Kau tidak perlu menungguku." Ia berhenti di samping Yamaguchi, kontan mengerutkan kening.

Atas sapaan itu, Yamaguchi mendongak. Kentara sekali ia tengah melamun dan tak mengantisipasi kedatangan Kei.

"Tsukki!" Senyumnya lalu menyusul, perpaduan kecanggungan dan kelembutan yang sangat familiar—kendati Kei tahu bahwa Yamaguchi juga sedang menahan diri untuk tidak bertanya terlalu banyak; oh, betapa Kei bisa melihat semua rasa penasaran itu dari mata Yamaguchi yang agak memicing, dari jemarinya yang memilin tali tas dalam gerakan ragu-ragu. Kini Yamaguchi memindahkan bobot tubuh dari satu kaki ke kaki lainnya, kelihatan tak nyaman seakan merasa terjebak di balik kulitnya sendiri. "Um, kau sudah selesai…?"

"Sudah."

"Oh." Yamaguchi lalu bergumam tak jelas sebagai respon, dan kepalanya masih tertunduk ketika mereka mulai berjalan. Kei menyamakan irama langkah dengan sahabatnya itu, membiarkan headphone-nya tersampir di leher dan untuk beberapa saat ia juga tak mengatakan apa-apa. Ia ikut tertunduk, seolah dengan itu ia bisa mengetahui bagian mana dari aspal jalanan yang dianggap menarik oleh Yamaguchi. Dan setelah dua menit yang penuh rasa bosan, Kei mengangkat dagu lagi. Ia melirik Yamaguchi, menatap sahabatnya lekat-lekat, memperhatikan matanya yang muram, menyadari dirinya diam-diam menghitung berapa kali Yamaguchi menghela napas semenjak tadi.

Ia tahu tak ada gunanya bertanya 'kenapa'. Karena Yamaguchi hanya akan menggelengkan kepala sebagai jawaban; karena ia sudah lebih dulu tahu jawabannya.

"Aku menolaknya." Kei tahu-tahu bergumam. Pelan, sangat pelan. Jemarinya menutup dan membuka di sisi tubuh, kebiasaan ketika ia sedang merasa sedikit gugup. (Untuk apa gugup? Kei tidak ingin, belum ingin mengakuinya.) "Kau tahu, aku tidak tertarik dengan hal-hal seperti itu."

Yamaguchi mengerjap. Bibir pemuda itu terbuka seakan hendak mengatakan sesuatu, tetapi segera dirapatkan kembali—dan selagi Yamaguchi memperpanjang kebisuannya, Kei memalingkan pandangan, merasa wajahnya sendiri sedang agak menghangat. Setelah itu mereka berjalan sambil ditemani keheningan, hanya ada suara klakson mobil dan denting bel sepeda yang menyela sesekali. Secara ganjil, tidak ada satupun dari mereka yang memulai obrolan. Kei jauh lebih terbiasa dengan Yamaguchi yang tak ragu-ragu berceloteh di sampingnya sehingga menit-menit selanjutnya ia habiskan dengan berpikir keras, bertanya-tanya dalam hati kesalahan apa yang tak sengaja ia perbuat. Namun baru saja ia hendak bersuara, Yamaguchi tiba-tiba menoleh.

"…kau tidak membuatnya menangis, kan, Tsukki?"

"Sepertinya tidak." Kali ini Kei yang tanpa sadar menghela napas. Lega. Ia pikir Yamaguchi akan mendiamkannya lebih lama dari ini. "Entahlah. Sepertinya memang tidak."

"Baiklah." Yamaguchi mengangguk dan Kei tidak mengerti apa makna dari 'baiklah' itu. Tetapi ia tahu bahwa setelah ini mereka akan beralih ke topik lain, akan berhenti mempertahankan topik yang begitu tak menyamankan ini (tentang seorang gadis dan pernyataan cintanya, tentang surat beramplop merah muda yang disodorkan pada Kei tepat ketika ia baru keluar dari ruang kelas—Kei tidak tahu apa yang bisa dikatakan penting dari itu). "…baiklah." Yamaguchi mengulang kata-katanya, kali ini lebih perlahan.

"Kalau kau terus menunduk, kau bisa menabrak tong sampah di depanmu."

Setidaknya, Yamaguchi terkekeh canggung atas kelakar tersebut. "Mm. Maaf, Tsukki." Ia mengusap tengkuk, berjalan menghindari tong sampah yang berada di pinggir trotoar, dan Kei tidak melewatkan lirikan singkat yang ditujukan Yamaguchi padanya.

"Kenapa?"

"U-Uh, tidak. Bukan apa-apa."

Jangan berbohong.

"Ya sudah." Alih-alih memastikan sekali lagi, Kei pada akhirnya hanya mengedikkan bahu, sementara jemarinya memainkan kabel headphone yang menggantung di dekat lehernya. Sulit untuk mengenyahkan rasa tidak nyaman itu dari benaknya sekarang. Kenapa Yamaguchi memasang ekspresi semurung itu? Apa lagi-lagi ini salahnya? Karena semalam ia tidak membalas pesan LINE terakhir dari sahabatnya itu gara-gara tak sengaja tertidur, atau karena ia datang sedikit terlambat ke tempat perjanjian mereka tadi pagi? Tidak, Yamaguchi sudah terlalu lama menjadi sahabatnya sehingga tak pernah keberatan untuk menoleransi semua itu. Ah, mungkin karena—

"…ng, Tsukki?"

Menghentikan lamunannya, Kei mengangkat sebelah alis, tanda bahwa ia tengah menunggu Yamaguchi melanjutkan pertanyaannya. "Hm?"

"Tadi, ada gadis lain yang menitipkan surat untukmu." Ia melihat Yamaguchi membuka risleting tas untuk mengeluarkan selembar—tidak, tiga lembar amplop yang masing-masing punya warna berbeda. Yamaguchi menggenggam ketiganya dengan kedua tangan, menatap permukaan amplop dengan kening berkerut dalam-dalam. Lantas pemuda itu tertawa pelan seolah mendadak menemukan humor dari tumpukan surat tersebut. "Tsukki terkenal sekali, ya."

"Mereka menitipkan itu padamu?"

"Begitulah. Seperti biasa."

Meski Yamaguchi menyatakan itu dengan ringan, dengan cengiran lebar di wajah, ada yang tak Kei sukai dari nada bicara Yamaguchi.

"Bukan mauku, kan."

"Memang." Yamaguchi menyetujui, menyodorkan tiga lembar surat itu pada Kei. "Aku juga heran, seseorang yang sesinis dirimu bisa-bisanya populer di antara para anak perempuan."

Kei ikut tersenyum walau tipis. Ia tak menyambut surat di tangan Yamaguchi. "Kau boleh membuangnya."

"E-eh, kenapa?"

"Karena aku tidak akan membacanya?"

"Tidak boleh begitu, Tsukki!"

Berpura-pura bodoh, Kei menatap kosong jalanan di hadapan mereka. "Kenapa?"

"M-mereka sudah repot-repot menulis untukmu, kan. Setidaknya kau bisa membacanya dulu…"

"Walau pada akhirnya aku tidak akan mempertimbangkan apapun yang mereka tulis di sana?"

"Walau pada akhirnya kau akan tetap menolak mereka."

Kei merapatkan bibir. Ia melirik Yamaguchi lagi setelah beberapa saat, dan sedetik kemudian ia merasa telah mengambil keputusan yang salah—karena ia tahu bahwa ia hanya sedang berhadap-hadapan langsung dengan salah satu kelemahannya. Ya, Kei tidak menyukai raut wajah muram itu—tidak menyukai bibir Yamaguchi yang mengerucut kecil seakan-akan yang Kei lakukan adalah membakar ketiga lembar surat tersebut tepat di hadapan para pengirimnya.

Menghembuskan napas terang-terangan, Kei mengambil ketiga amplop itu dari tangan Yamaguchi. Ia memasukkan semuanya ke dalam tas lewat satu gerakan cepat. Lagi-lagi Kei yang kalah.

"Aku akan membacanya di rumah." Dan ketika ia mendapati raut murung itu masih bertahan di wajah Yamaguchi, Kei menghela napas lagi. Kadang ada saat-saat ketika tahun-tahun panjang persahabatan mereka terasa percuma. Ia masih kesulitan memahami Yamaguchi yang bertingkah seperti ini. "Jangan berwajah seperti itu."

Yamaguchi nampaknya begitu bersikeras untuk tak membalas tatapan Kei. "Seperti itu? Apa maksudmu?"

Tak menjawab (sekaligus berpura-pura melewatkan sindiran dalam kalimat Yamaguchi), Kei hanya mengangkat bahu. Ia kemudian mengulurkan tangan untuk mengambil tas Yamaguchi. Mengabaikan tatapan penuh tanya dari sahabatnya tersebut, ia menenteng tas itu di salah satu bahunya, sehingga kini ia menyokong beban dari dua tas sekolah mereka. "Kau kelihatan seperti sedang tidak enak badan." Ia berkomentar singkat (omong kosong lagi, tentu saja) selagi tangannya membenarkan posisi tali tas di bahu. Dan sesungguhnya ini bukan masalah besar bagi Kei. Ini yang biasa ia lakukan—hanya ini yang bisa dilakukan Kei jika ia tahu Yamaguchi sedang menyimpan kejengkelan padanya.

Ya. Kejengkelan.

(Kau benar. Hubungan yang ada di antara ia dan Yamaguchi Tadashi sama sekali tak bisa dinamakan dengan persahabatan. Karena Kei tahu mereka lebih dari itu. Karena Kei tahu ia dan Yamaguchi tak sebegitu bebalnya; mereka tak sepayah Hinata dan Kageyama. Kapan Yamaguchi memiliki nyali untuk mengakuinya? Kapan Kei bisa berhenti bersikap pengecut?)

Dan setelah beberapa blok perumahan yang dilewati, setelah menit-menit lain yang mereka lalui dalam kesenyapan, Kei kembali buka suara.

"Sepertinya aku tahu cara agar surat-surat seperti ini berhenti menggangguku."

Kali ini, ia berhasil membuat perhatian Yamaguchi teralihkan lagi padanya. Yamaguchi seketika melupakan misinya untuk mengabaikan Kei; sekarang pemuda itu menatap Kei dengan heran. "Apa maksudmu?"

Kei menghabiskan lima detik penuh untuk membisu. Lalu ia menaikkan kacamata dengan sebelah tangan. Berusaha mempertahankan wajah jemunya yang biasa. Berusaha. Karena, ayolah, ini sama sekali bukan perkara besar— "Kau bisa berpacaran denganku."

Tepat di akhir kalimatnya, Kei berhenti melangkah. Yamaguchi juga. Napas Kei kini terasa membeku di tenggorokan; ia hampir-hampir yakin bahwa dunia akan berhenti berputar jika ia berani-beraninya bernapas.

Lalu Kei berdeham, memecah dinding es di antara mereka, hanya dapat berharap wajahnya tak memanas terlalu lama. "…maksudku, berpura-pura berpacaran denganku."

.

.

to be continued

.

.

a/n: please tell me you'll stay belum kelar, tapi saya malah bikin fic multichapter lagi, maafkaaaan orz sayang idenya kalau nggak direalisasikan, soalnya. Dari kapanan saya udah gemes pengen bikin Tsukkiyama fake/pretend relationship, dan saya seneng banget dikasih kesempatan buat nulis prompt itu sekarang :'') rencananya sih nggak bakal panjang-panjang, mungkin fic ini bakal sepanjang 3-4 chapter aja. Tadinya mau saya jadiin one-shot tapi kayaknya bakal terlalu panjang orz. Btw judul fic dan judul chapter © Simple Plan – Boom. Terima kasih telah membaca ya, dan tentu saja saya menerima feedback/kritik/komentar untuk fic ini, hehehe :'')