Pair: Akakuro

Warning: OC, OOC, yaoi, typos, possibly-mpreg, bad english, fluff, etc...

Disclaimer: Fujimaki Tadatoshi, i gain no profit from this fiction.

Summary: Cemburu, Tetsuya mengasingkan diri menuju Capri yang biru.

Fic ini untuk membalas gambar-gambar Akakuro buatan Kina Arisugawa-san.

Sankyuu! Gambarnya membuat doki-doki, ahahaha! ^_^

.

Secret Escape (Part 1 of 2)

.

I will dance with the breeze, and sing to the infinite sea...

.

Ketika bangun, ia mendapati angin pagi menerbangkan juntaian gorden berwarna krim dan beige, lewat sebelah daun jendela ganda yang terbuka. Garis-garis cahaya matahari mencipta bias keemasan pada setiap sudut ruangan tempat ia berada. Cuaca cerah di luar sudah pasti berbanding terbalik dengan suasana kelabu di hatinya.

(Karena badai itu belum mau reda juga. Mereka seperti masih ingin terus mengoyak hati Tetsuya—entah sampai kapan, mungkin sampai tak lagi bersisa.)

Desah malas meluncur keluar, setengah mati ia bangkit dari posisi nyaman dalam gulungan selimut layaknya pupa. Tetsuya terduduk di atas ranjang dengan mata sayu dan perut bergemuruh lapar. Ia ingin merajuk atau meminta agar diambilkan sarapan segera, tapi sayang, tidak ada satu orangpun bersamanya sekarang. Ah, semalam ia ingat hanya sempat melahap sepotong kecil tiramisu ditemani dua teguk plain milk hangat, dan langsung tertidur tanpa peduli lagi pada ritual sikat gigi malam.

Seluruh sistem gerak Tetsuya terpaksa menyerah setelah diajak menempuh ribuan mil jauhnya. Depresi dan jetlag bisa jadi kombinasi sempurna untuk merobohkan pertahanan manusia. Dan ia benar-benar sudah tidak sanggup lagi untuk menahan semua, begitu remuk tubuh bertemu dengan empuk ranjang di depan mata.

Tapi... mulai hari ini sampai minggu depan, Tetsuya bakal berusaha untuk membersihkan jiwa dan raga dari hal-hal nista. Trip kali ini memiliki tema self healing dan upaya untuk melupakan cinta pertama.

Yaah, Tetsuya akan berusaha...

'Good morning world...'

Dengan caption simple, ia menyapa dunia lewat postingan selfie pagi di akun instagrram pribadi. Posenya sama-sama sederhana: mata setengah terpejam, bibir mengerucut lucu karena menahan lapar, ditambah sejumput bed-hair biru muda yang mengintip dari balutan selimut tebal. Walaupun penampilan Tetsuya kusut masai—belum mandi plus berwajah pucat tanpa riasan—ternyata ia tetap saja tampak manis dan menggemaskan.

Tanpa menunggu para follower mengomentari postingan tadi, ponsel langsung saja dilempar ke tengah ranjang. Tetsuya memutuskan akan terlebih dulu mandi sebelum menggunakan jasa room service untuk sarapan. Mengawali pagi dengan sepiring salmon asap, gundukan salad, dan minum perasan lemon segar hasil kebun penduduk pribumi, sepertinya terdengar sangat sempurna di telinga. Ia akan meminta staff menata menu sarapannya di balkon saja.

Walau bahasa Inggris Tetsuya memang masih suka terbata, tapi dia lumayan lancar melafalkan mereka dengan lidah Nippon-nya. Mudah-mudahan ia tidak cacat bicara, hingga para staff hotel bakal mengerti maksud Tetsuya. Kalau tidak, ummhh, ia tinggal pakai bahasa universal seluruh umat manusia di dunia saja: isyarat tangan ala tarzan. Sandi itu adalah jalan keluar paling jitu, dan ini terbukti sanggup memecahkan kendala bahasa di semua negeri yang pernah ia tuju.

Sekilas, ujung mata Tetsuya menangkap kelebatan warna biru lewat ambang jendela. Juntaian gorden masih terbawa embusan angin beraroma garam, mereka melambai ringan seakan merayunya untuk melongok ke luar barang sebentar saja. Kaki-kaki telanjang tanpa aba-aba menapaki keramik berlapis karpet lembut, dan tangan Tetsuya segera menggeser pintu kaca menuju area beranda. Ia berjalan mendekati pagar pembatas di bawah kanopi, menumpu tubuh di sana, dan membiarkan sinar matahari menyentuh kulit tak tertutup tipis kain kemeja.

Langit memang benar-benar cerah. Sejauh mata memandang, hanya rona lazuardi dan safir yang terpindai oleh retina. Permukaan tenang Laut Mediterania di bawah kaki dan hamparan langit tanpa gumpalan kumulus di atas kepala, seolah menyatu tanpa batas pada ujung cakrawala. Semua bagaikan permata dengan gradasi warna-warna biru yang berkilau ketika cahaya matahari menimpa. Samar, terdengar hiruk-pikuk kegiatan manusia dari teluk dekat tebing dimana lokasi penginapannya berada.

Teluk Marina Piccola tidaklah sesibuk Marina Grande di daerah utara. Marina Grande—sebagai pelabuhan utama Capri—terlalu ramai oleh ferry-ferry pengangkut yang selalu siap bolak-balik membawa turis dari Sorrento, Amalfi, dan daerah sekitarnya.

Di sini lumayan tenang, dan view penginapan yang ia dapat sungguh setara dengan setiap sen yang Tetsuya keluarkan dari pundi uangnya.

Legenda pernah mengatakan jika teluk tempat Marina Picolla berada kini adalah tempat di mana para siren—makhluk berwujud setengah duyung setengah manusia—menggoda pelaut-pelaut menuju kematian tragis mereka. Mendengar nyanyian merdu para siren, kapal mereka bakal tergoda untuk datang dan berakhir karam karena menabrak batu-batu besar. Sungguh sebuah kisah penuh ironi memang, tapi sekarang sudah tidak ada lagi hal semacam itu.

Marina Piccola adalah titik paling terang di seantero pulau sewaktu siang, dengan pantai atau laguna-laguna biru berair jernih dan hangat di sepanjang tahun walau musim dingin datang mendera.

Formasi batu-batu besar Faraglioni—Tetsuya biasa melihat mereka pada lembaran brosur wisata—mencuat dengan begitu gagah dari dasar laut. Layaknya karang raksasa, mereka berdiri tegak menantang, tak peduli pada terjangan ganas angin maupun gerusan gelombang. Belum lagi lanskap perbukitan hijau juga tebing-tebing berisi deretan villa mewah milik selebriti dan pengusaha. Atau rumah-rumah penduduk yang temboknya dicat warna pastel sederhana, bahkan sampai mencolok mata. Semua terlihat bagai gores lukisan surealis karya agung tangan Tuhan Sang maha Kuasa.

Tetsuya menyaksikan perahu-perahu bermesin pencari ikan milik nelayan, satu persatu mulai kembali dari melaut. Mereka tertambat di dermaga dan segera mengosongkan muatan berupa limpahan hasil tangkapan seafood segar. Beberapa yacht mewah, jetski, atau kapal dengan layar putih terkembang tampak hilir mudik mengarungi birunya air. Bahkan tour boat dari Marina Grande yang penuh berisi turis asing maupun domestik, seringkali melintasi area teluk di selatan. Kapal-kapal wisata dengan jasa tur itu sibuk menjelajahi perairan jernih di sekeliling pulau, terus begitu sampai jam operasional mereka usai ketika sore tiba.

Ini terasa bagai mimpi. Apa alam bawah sadar Tetsuya merefleksi latar belakang dalam dunia fantasi? Ia baru saja mencubit diri sendiri dan merasa kesakitan setelahnya. Semua pemandangan ini jelas bukan ilusi, mereka nyata dan tersaji di depan mata.

Bersamaan nyaring jerit camar di kejauhan, kedua tangan Tetsuya otomatis terangkat ke udara. Ah, ia merasa bebas! Begitu besar keinginannya untuk melompat dari atas sini, jatuh tanpa halangan, terus meluncur ke bawah sampai dirinya melebur dengan semua warna biru yang ada.

(Tetsuya tidak ingin kembali. Ia ingin lari dari semua masalah yang membebani. Ini adalah saat-saat dimana ia butuh waktu untuk menyendiri...)

.

.

Hampir dua jam berjalan di bawah terik matahari, Tetsuya kini mulai merasakan efeknya. Niat menggebu terkadang memang tidak pernah selaras dengan keadaan fisik maupun realita. Ini benar-benar di luar ekspektasi Tetsuya. Inginnya sih menggunakan tenaga sendiri untuk menjelajahi seluruh titik wisata. Tapi lanskap pulau yang bagai 'mendaki gunung lewati lembah' ini, membuat Tetsuya terpaksa menyerah juga. Baru berjalan sebentar saja, dan Tetsuya berubah renta secara tiba-tiba.

Tapi meski melelahkan, mata Tetsuya nyatanya tidak pernah bosan dimanjakan oleh pemandangan di sekitar rute tempat ia berjalan. Deretan kafe mungil, restoran, atau toko-toko unik menjajakan barang dagangan mereka dalam berbagai rupa. Harum rempah masakan, aroma manis gelato, dan gurih roti-roti berkulit renyah kecoklatan yang baru diangkat dari pemanggang, tercium di sepanjang rute perjalanan.

Rumpun bebungaan aneka warna menghias halaman depan bangunan-bangunan mungil dengan tembok bata atau batuan padas. Mereka tumbuh cantik dalam pot-pot tanah liat, sebagian lagi dibiarkan liar merambati pagar-pagar kayu dalam gradasi warna menarik. Kuning cerah, magenta, merah muda, ungu tua, biru pudar, sampai nila.

Penduduk asli dan turis berbaur santai menikmati suasana layaknya keluarga bahagia. Hari mereka terisi oleh senyum ramah dan tawa, meski tengah menjalani rutinitas seperti biasa di bawah terik matahari musim panas Italia.

(Ia jarang sekali menemui pemandangan semacam ini di jantung Tokyo—kota itu terlalu berjejal teknologi, metropolis, dengan manusia-manusia terprogram setara robot yang seakan selalu saja diburu oleh waktu. Dan memang tidak bisa dipungkiri, jika kebiasaan Tokyo yang semacam itu telah mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari Tetsuya.)

"Grazie."

Diraihnya satu cone gelato dari sodoran tangan seorang wanita di balik meja counter. Setelah menerima uang kembalian, kamera Tetsuya masih sempat mengabadikan barisan gelato warna-warni dalam wadah stainless di balik kaca etalase. Ia melangkah keluar bangunan dan segera ambil duduk pada satu dari tiga kursi besi di halaman depan gelateria yang teduh.

Tetsuya baru saja menyambangi Giardini di Augusto—atau The Garden of Augustus yang terletak pada salah satu tebing di Capri. Tempatnya dibangun bak sebuah teras terbuka di ketinggian yang langsung menghadap ke arah laut lepas Mediterania. Kebun botani mungil itu penuh dengan bunga-bunga mekar saat musim panas seperti sekarang, kebanyakan dari jenis geranium atau dahlia. Dan Tetsuya bisa menyaksikan hampir separuh keindahan pulau dari atas sini tanpa kendala.

Semua sama spektakuler seperti pemandangan milik kamar di mana ia menginap. Terlalu sureal untuk dianggap nyata. Apakah surga nantinya bakal seindah ini juga?

Dan setelah puas mengabadikan seluruh pemandangan dalam berbagai angle, ia bergegas turun, lalu memutuskan untuk mampir pada satu bangunan gelateria yang ramai oleh antrian pengunjung.

Angin sepoi membelai kedua pipi mulus Tetsuya. Helaian rambut biru lembut hampir terlepas dari selipan rapi di belakang telinga, namun mulut Tetsuya tetap asyik menjilati gelato dalam pegangan tangan dengan rasa vanilla. Berbagai pemikiran segera terbawa bersama keramaian di depan mata.

Ah, andaikan mereka masih bersama, Tetsuya mungkin tidak perlu menikmati semua ini sendirian saja. Mereka mungkin bakal mengawali pagi dengan sarapan di balkon beratap luasnya angkasa, lalu menjelajah habis jalanan dan objek menarik lain di pulau ini seraya bergandengan tangan bak idiot dimabuk asmara. Mungkin juga mereka akan mencari spot sepi untuk berenang-renang berdua saja di laguna, dan akhirnya menghabiskan malam dengan sesi bercinta—yang panas, liar, dan penuh gairah—hingga pagi tiba...

Semburat merah gelap merayapi pipi menuju dua telinga. Tetsuya segera menggelengkan kepala kuat-kuat demi mengusir jauh pikiran tadi dari otak sucinya.

"Untuk apa memikirkan dia sekarang? Belum tentu juga dia peduli padaku... dan juga, sudah tidak ada relasi lagi di antara kami..."

Buang jauh-jauh nama orang itu dari otakmu, Tetsuya! Kau melakukan perjalanan—pengasingan ini karena ingin melupakan dia 'kan?! Kau harus konsisten, jangan lagi termakan oleh omong kosong bernama cinta pertama! Kau harus bisa melupakan dia untuk selama-lamanya,hahaha!

Tadi itu adalah kalimat sinis milik setan merah bertanduk dalam hati Tetsuya. Meledak-ledak, mem-provokasi, penuh amarah, dan sulit dijinakkan. Kemana perginya malaikat berwajah lembut dengan halo bercahaya di atas kepala yang selalu membawa damai di muka bumi? Huh, mungkin dia mendadak mati sejak tahu kalau dirinya patah hati karena jelas-jelas dikhianati.

Jika mengingat lagi peristiwa krusial itu, dada Tetsuya mendadak sesak, jantungnya serasa diremat terlalu kuat, dan ia yakin kalau kematian dapat menjemput hanya lewat satu penyakit bernama... lovesick.

Bah, sakit cinta? Omong kosong macam apa itu?

(Tuhan, Tetsuya benar-benar lelah. Ia ingin menyerah.)

Mata Tetsuya masih menatap dalam diam lalu-lalang orang-orang di hadapan, sementara otak berpikir cepat mengenai rencana apa yang bakal ia lakukan selanjutnya. Apa tetap meneruskan berjalan, atau memilih opsi kedua, yaitu menggunakan kendaraan.

Apa besok ia menyewa saja taksi atap terbuka untuk berkeliling area? Tapi Tetsuya ingin menjadi bocah petualang tanpa bantuan siapa-siapa... Hei, menyewa skuter untuk berkendara sepertinya oke juga...

Dua kaki diluruskan santai mengikuti lekuk kursi taman besi tempat ia duduk sekarang. Tetsuya mencari teduh dari bayangan sulur-sulur anggur lebat yang membentuk jalinan rumit di atas kepala. Mereka tumbuh subur merambati susunan rangka kayu berpetak hingga menyerupai semak rimbun layaknya atap hijau dedaunan. Beberapa tangkai buah berisi bulir-bulir besar anggur yang masih muda, menggantung bebas dengan penuh goda—ya, godaan untuk mengulurkan tangan, dan memetik satuuu saja... Mereka sepertinya sengaja ditanam pemilik gelateria di sebelah kiri halaman depan tokonya untuk mengurangi gersang saat musim panas datang.

Tetsuya buru-buru menghabiskan sisa cone gelato dalam sekali suap. Great, level energinya sudah lumayan terisi setelah menikmati dinginnya dessert manis tadi. Jemari diusap asal pada bagian bawah kain button down untuk menghilangkan noda—ha, kebiasaan buruk satu ini memang sulit dihilangkan, dan ia terkadang mendapat cerca oleh orang-orang terdekat karenanya.

Lensa sudah fokus membidik, shutter lalu ditekan mantap, dan... voila! Anggur-anggur cantik langsung masuk dalam galeri gambar kamera milik Tetsuya.

"Yosh! Aku akan melanjutkan perjalanan. Ganbatte kudasai..."

Baiklah, ia masih sanggup meneruskan perjalanan pada hari ini. Anggap saja sebagai ajang membakar kalori sekaligus menjaga bentuk tubuh agar tetap sempurna, karena ia hanya akan banyak makan dan tidur saja. Penjelajahan ini tidak ada apa-apanya dibandingkan program khusus milik trainer pribadi Tetsuya, sewaktu ia mengikuti kelas gym terkemuka di ibukota. Itu baru neraka namanya. Tetsuya bergidik ngeri membayangkan lagi suara menggelegar Nebuya-san bergaung di telinga.

Karena terlalu fokus memperhatikan gambar-gambar dalam galeri kamera sambil berjalan, Tetsuya sampai tidak sadar ketika langkah kakinya telah memasuki teritori milik orang lain. Tubuh mungil terhentak kasar, sewaktu ia bertumbukkan dengan satu pria kaukasia tinggi besar berperawakan mirip beruang.

"What the fu...?!"

Pria itu nyaris mengumpat kasar saat bagian depan kausnya mendadak jadi dingin dalam sekejap akibat tumpahan limoncelo dari gelas plastik yang ia bawa. Terkejut, jelas-jelas tergambar pada tatapan membelalak bak terkena mantra pencabut nyawa.

Button down milik Tetsuya juga terkena imbas cipratan, meninggalkan jejak-jejak kuning pudar pada serat-serat kain berwarna biru translusen tersebut.

Mata hijau emerald si Pria asing menyorot tidak suka. Dua temannya ikut berhenti berjalan, dan memasang wajah prihatin. Salah seorang malah berkomentar dalam bahasa asing seraya tertawa geli dengan maksud untuk mencairkan suasana. Namun ketika malah ekspresi masam yang didapat, dua temannya langsung memilih untuk diam.

"Gomen, oh tidak, sorry sir..., mi scusi..." ketika tersadar atas apa yang menimpa, mulut Tetsuya otomatis langsung berucap penuh penyesalan. Terbata, ia mengucapkan semua kata maaf dalam bahasa ibu, bahasa inggris, sampai Italia.

Peristiwa kecil ini mengundang perhatian orang-orang di sekitar. Beberapa menatap bingung, sementara yang lain hanya menoleh sekilas lalu kembali mengurusi kesibukan masing-masing.

Pria itu mendesah keras. Ia mengibas-ngibaskan bagian depan kaus dengan harapan cetak besar noda yang tercipta bakal hilang dalam seketika. Tapi naasnya tidak. Noda besar serupa warna cerah kulit lemon tersebut malah semakin terserap ke dalam material kaus.

Setelah menunduk dalam penuh penyesalan—Tetsuya lupa kalau ini bukan di Jepang, baka— ia bergegas mengaduk-aduk isi ransel untuk mencari selembar kertas tissue atau saputangan. Sedikit sangsi—jika saja pria besar itu bermaksud mendamprat atau melayangkan tinju karena termakan amarah—diserahkannya lembaran tissue diiringi permintaan maaf lain dalam bahasa inggris yang agak tergeragap. "Please, uh... please forgive me, sir... i-i didn't mean to... umh, to..."

Kalimat Tetsuya terpaksa berhenti saat sebelah telapak tangan berukuran besar terangkat tanpa aba-aba di depan wajah. "Hey, stop your rambling, dude!" Ia berseru kencang namun sebenarnya berniat untuk menenangkan. Mungkin pria itu malah jadi merasa kasihan saat melihat kegugupan terpancar di sepasang mata biru Tetsuya. Setelah menatap sekeliling, ia yakin kalau pemuda mungil ini hanya seorang diri tanpa siapapun di sisi. "Damn,i just wanna have fun, but it looks like someone has been ruining my plan already. Great, what a great day..." ia berkata seraya mengamati penampilan Tetsuya. "At first, ia wanted to be angry, but suddenly, i don't have the heart to be angry at you..."

Tetsuya hanya mencerna kata 'angry' yang berarti marah dalam kamus bahasa inggris ala kadar milik otaknya. Gawat sekali, apa dia begitu murka hanya gara-gara kausnya terkena tumpahan air lemon? Ugh, kenapa insiden ini mengingatkan Tetsuya pada sifat absolut milik seseorang di seberang lautan sana. Hanya karena hal sepele, mereka seringkali beradu argumen sampai nyaris pecah perang dunia ketiga. Ada saja hal yang dijadikan bahan perdebatan, dan tingkah mereka yang seperti itu tidak pernah absen membuat pening orang-orang di sekeliling.

"Well, saya tidak sengaja! Saya, uh, saya akan mengganti kerugian anda, how... how much do i have to pay, sir?"

"What? Diganti uang? Kamu kira saya materialistis, apa?!" Lagi-lagi ia menghardik dalam bahasa inggris tanpa mengecilkan volume suara.

Niat Tetsuya sebenarnya mulia, tapi malah terjadi salah paham di antara mereka. Atau... ini hanya akal-akalan si Pria bule saja untuk menggoda pemuda mungil itu setelah menyadari kalau sosok Tetsuya ternyata sangat memikat mata. Wajah asianya sungguh mirip boneka, dengan bulu-bulu lentik menyentuh pipi setiap kali ia mengerjapkan mata. Atau tubuh molek-berlekuk-menggiurkan itu, yang hanya terbalut button down biru nyaris transparan dan hotpants denim berwarna ivory.

"Lalu anda ingin saya berbuat apa? Kalau memang tidak mau menerima ganti rugi, saya akan melanjutkan perjalanan saya. Good bye. Arrivederci." Putus asa, ia malah gantian menaikkan intonasi di setiap kalimat yang terucap saat menyadari tatap mesum pria tersebut. Tetsuya benar-benar kesal dan berniat akan pergi saja dari tempat kejadian perkara sebelum semuanya terlambat.

"Hey! Wait a minute!"

Belum sempat Tetsuya melangkah pergi, lengan atasnya keburu dicekal erat.

"Apa-apaan anda ini?" Ia berseru tidak suka. "Saya sudah minta maaf, dan anda sendiri mengatakan, anda mengatakan tidak ingin mendapat ganti rugi, jadi..., tolong lepaskan saya!"

Kedua rekan si pria memutuskan untuk bertindak lebih lanjut dan mencegahnya berbuat onar di negara milik orang lain, karena mereka hanya mampir setengah hari di Capri. Tapi sepertinya percuma. Ia malah semakin erat mencengkram lengan Tetsuya seraya mempermanis kata-katanya.

"Tunggu, tunggu sebentar saja, oke?! Kita bisa minum-minum atau makan siang bersama. Dan kita bisa membicarakan masalah ini untuk selanjutnya, bagaimana?"

Huh?!

Pelipis Tetsuya berkedut kencang pertanda kesal setengah mati. Andai saja ia mengikuti saran milik Daiki untuk mendaftar di dojo karate tempat si pria muda berkulit hitam itu mengasah kemampuan beladiri, mungkin Tetsuya sudah menghadiahkan satu teknik pukulan di tengkuk atau tendangan maut di selangkangan si pria menyebalkan ini. Lalu Tetsuya bakal kabur seraya memberi juluran lidah atau boleh juga jari tengah.

"Tidak, sekarang lepaskan saya..."

"Ayolah, hitung-hitung ganti rugi atas perbuatanmu tadi, eh—"

Mereka terlalu larut dalam adu argumen sampai-sampai tidak menyadari seseorang telah berjalan mendekat dan langsung bertindak secepat kilat.

Pergelangan tangan si Pria besar gantian dicekal kasar, lalu dihentak sampai terlepas dari cengkraman bak parasitnya di lengan atas Tetsuya.

"Ouch! Aww, aww, aww!"

"He told you to release him, right?"

Jerit kesakitan lagi-lagi menarik perhatian beberapa orang di sekitar. Mereka akhirnya mendekat dan coba bertanya permasalahan apa yang tengah dihadapi dengan tujuan untuk melerai.

Lain si Pria besar yang kini tengah mengusap tangan dengan ringis kesakitan di wajah, lain pula Tetsuya yang hanya sanggup melongo dengan tampang komikal saat menyadari siapa sosok yang mendadak ikut campur dalam kejadian barusan.

(Demi apa..., ini hanya ilusi 'kan? Seseorang tolong tonjok wajah Tetsuya sekarang!)

"How much do you want? A hundred?" Bariton seksi mengintimidasi lagi-lagi bergema, mengucapkan bahasa asing dengan logat sempurna tanpa cela. "Ah, not enough? Okay, three hundred then..." sosok itu tidak mengindahkan balasan si tersangka yang masih mengasihani nasib pergelangan tangannya. Ia lalu merogoh saku celana washed denim putih selutut untuk mengeluarkan lembaran Euro dari dalam dompet kulit mulus keluaran salah satu rumah mode ternama.

Tiga lembar uang kertas Euro yang masih crisp, bernominal masing-masing seratus dijejalkan di antara jemari kapalan, tanpa beban. Meski tidak menatap langsung—karena terhalang oleh sunglass trendi menutupi mata—pria yang baru saja dengan berani menggoda Tetsuya itu kini merasakan tengkuknya meremang hebat. Aura ini, kenapa ia merasa bagai tengah menghadapi dewa kematian?

"Take this, and leave us alone." Kalimat itu terdengar final dan mengancam, serupa perjanjian berdarah, dimana jika si Pria kaukasia melanggar, maka kematian menyakitkan akan langsung menghadang di depan mata. "Kalau kau berani menyentuh pacarku lagi, jangan harap kau masih bisa menjejak bumi. Camkan kalimatku."

Dua rekan si Pria yang cukup syok menyaksikan drama serupa televisi tadi, berupaya menyeret temannya sambil tergeragap melayangkan permintaan maaf pada Tetsuya. Mereka pergi dengan terburu, namun keluhan dan pernyataan kesal dari mulut pria brengsek itu, masih saja berkumandang di kejauhan.

Orang-orang yang berkumpul segera membubarkan diri setelah masalah usai, dan setelah pria muda tampan yang baru saja menyelamatkan Tetsuya tadi meyakinkan mereka kalau semua baik-baik saja.

Bak tersadar dari jerat mantra, dua mata Tetsuya mengerjap cepat demi mempercayai penglihatannya. Kepala Tetsuya tidak terbentur 'kan? Dan ia juga tidak sedang mabuk alkohol atau kebanyakan makan gula. Lalu, kenapa ia diberi ilusi kualitas super macam begini?! Apa tadi ia pingsan dan sekarang tengah bermimpi? Otaknya hampir overload demi berusaha mencerna kejadian yang baru saja menimpa.

Satu masalah usai, dan masalah lain kini datang menghampiri.

"Tetsuya."

Selamat Kuroko Tetsuya, kau baru saja mendapat jackpot besar...

"He-eh?!" Satu jeritan tertahan di batang tenggorok. "A-apa yang kau lakukan di sini, eh... Sei-Seijuurou-san?!"

Teriakan tadi mungkin akan terdengar ke seluruh benua, saking terkejutnya Tetsuya...

.

.

TBC~

A/N: Hai-hai, saya kembali dengan cerita baru... (tadinya mau dipost pas ultah Seijuurou, tapi sekarang aja-lah ya, hehehe...) Ini ide selingan di samping mengerjakan serpent chapter 5 yang tinggal seperempat bagian beres, kalau gak ada kendala mudah-mudahan fic itu bisa diposting secepatnya, maaf lama... *bersimpuh*

Ide ini muncul pas gak sengaja nemu blog tentang Pulau Capri di Italia. Trus akhirnya survei yutub en malah jadi kepingin nulis... ^_^ maafkeun kalau idenya pasaran, english yang kacau, banyak fakta gak sesuai, dan plot-nya yang seakan tanpa beban. Cuma dua chapter kok, gak banyak, chapter depan beres. Saya nulis ini sambil dengerin lagu-lagu bertema pantai, macam Emma Bunton yang Take My Breath Away—sooo jadul, atau Jonas Blue yang Perfect Stranger en By Your Side, ajeb-ajeb, ahahaha...

Kay then, see ya on next chapter and ciao!