Selamat malam, readers! Senang bertemu kalian lagi. lama tidak nongol, tiba-tiba bikin cerita baru. Padahal masih hutang chapter epilog cerita sebelumnya. Hehehe. Maaf.

Kali ini author datang dengan cerita yang lebih terfokus pada masa lalu Yayoi. Kuputuskan untuk memakai sudut pandang Jun, karena buatku, itu lebih mudah. Author suka memainkan karakternya yang kompleks.

Baiklah. Selamat membaca. Jangan lupa review ya! Terima kasih sebelumnya. :D

Captain Tsubasa Fanfiction

Captain Tsubasa© Yoichi Takahashi

I own nothing but this fanfict

-What's Left Behind-

Chapter 1

Golden week. Aku berada di dalam bullet train tercepat di Jepang. Lebih dari lima ratus kilometer harus kulalui untuk mencapai daerah paling utara pulau Honshu. Pertama kali. Sendirian.

"Aomori?"

Pukul dua belas siang, satu setengah jam yang lalu. Aku nekat berpamitan. Dan mama, memulai ceramahnya.

"Kenapa tiba-tiba mau kesana? Jam segini? Yang benar saja. Mama tidak akan memberi ijin!"

"Ma! Aku sudah 16 tahun. Aku bisa jaga diri."

"Tidak!"

"Ini tidak jauh!"

"Tidak boleh!"

"Yayoi menungguku di stasiun. Aku tidak sendiri!"

Tawar-menawar seperti biasa, setiap kali hendak meninggalkan rumah. Tidak mudah menaklukkan sifat overprotective-nya. Hanya ada satu cara. Sedikit kebohongan akan membuatnya diam.

Aku tertawa dalam hati.

Seharian ini, handphone tidak berbunyi. Biasanya, sesekali Yayoi mengirim email, mengingatkan aku untuk makan atau meminum obat. Dia tahu aku sering mengabaikan kesehatan karena kesibukan. Memilih dan berhasil diterima di Musashi High School Attached Medical University rupanya dibayar mahal dengan banyaknya tugas sebagai santapan harian. Memulai liburan dengan matematika, bahkan biologi dan anatomi memang bukan ide yang bagus.

Kuletakkan pulpen di atas tumpukan kertas yang kini hampir setebal 1 senti. Menghela napas panjang, menempelkan kepala pada meja. Tugas masih setengah rampung, dan aku menyadari ada sesuatu yang lebih penting.

Handphone yang dua per tiga bagiannya tertutup sobekan kertas dan notebook kecil, kuraih dengan malas. Ah…. Yayoi mungkin juga sibuk, pikirku. Pada akhirnya, kubuat keputusan untuk menelepon sebentar. Kutegakkan badan kembali.

"Halo?" Suaranya dari seberang.

"Yayoi. Dimana sekarang? Sibuk tidak? Mau kemari sebentar?"

Mungkin berkata blak-blakan adalah salah satu kelebihanku.

Yayoi lama menjawab.

"Kau di rumah, kan? Hei, kenapa tidak kirim kabar? Dari semalam pun kau tidak menelepon. Kemarilah! Aku mau ketemu. Ah! Kusuruh Hideki menjemput ya?"

"Maaf…." Suaranya tiba-tiba. Lirih.

"Eh?"

"Aku sedang di kereta."

"!"

"Menemui ayah di Aomori."

Bukan cuma blak-blakan. Rupanya aku juga idiot.

Tiba-tiba teringat. Awal Mei, setiap tahun, Yayoi selalu pergi kesana. Momen yang sudah tentu tidak akan dia lewatkan. Dan aku baru saja mengajukan pertanyaan paling bodoh sedunia.

Kali ini, mungkin demi kepentinganku, dia merasa tidak perlu memberitahu keberangkatannya. Sehari yang lalu cuma bilang padaku sambil tersenyum, "Jangan terlalu memaksakan diri untuk belajar! Nikmatilah liburanmu walau sebentar!"

Seharusnya aku tahu hari ini. Atau mungkin aku terkena amnesia temporal? Bodohnya!

Aku meminta maaf di ujung telepon. Kalau bisa, akan kutarik ulang semua yang telah kuucapkan. Dan aku yakin saat ini, di tengah perjalanannya, Yayoi memberiku senyuman. Benar. Dia bilang tidak apa-apa. Khas dirinya. Pemaaf.

Aku sudah terlanjur menyesal.

Kulihat jam digital di atas meja. Masih banyak waktu. Kutelepon tempat tinggalnya. Sebenarnya tidak jauh dari sini. Neneknya menjawab panggilanku. Segera, kudapatkan sebuah alamat. Dan aku memulai cerita liburanku yang sebenarnya.

####

"Jun…?"

Sesaat setelah membuka pintu depan, Yayoi memandangku seperti sedang melihat hantu. "Bagaimana bisa?" Menyeret ucapannya, masih belum percaya.

Tidak berkedip untuk beberapa detik, tiba-tiba menyentuh lenganku. Matanya melebar.

"Apa yang kau lakukan? Pergi ke tempat sejauh ini sendirian!"

Aku seperti sedang menghadapi mama.

"Menemuimu," ucapku dengan kepala tertunduk.

"Hah? Kau punya hobi baru? Berpetualang? Kau belum pernah ke kota ini sebelumnya, bukan? Bahkan kau tidak terbiasa naik kereta. Bagaimana kalau nyasar? Bagaimana kalau terjadi sesuatu?" Ia bertambah cemas.

"Dengan ini kau bisa tenang?" memotong ucapannya, kuangkat lengan kiriku, kutunjukkan benda di pergelangan tangan tepat di depan matanya.

"Eh?"

"Aku akan aman selama memakai ini."

Yayoi terdiam.

Medical bracelet. Suatu hari mama menyadari bahwa aku membutuhkannya. Dia belikan satu untukku. Sebuah gelang logam yang tampak mahal. (Memang iya). Dibanding kesan mewah yang ditawarkan, fungsi utama benda ini jauh lebih penting. Plat logam yang sepintas tampak keren, pada bagian depan terukir sebuah logo seperti lambang kedokteran, dan tulisan berukuran kecil 'See other side'. Begitu dibalik, kalian akan temukan tulisan lain, dengan huruf jelas dan besar.

JUN MISUGI. HEART PATIENT. CALL 119

Singkatnya, benda ini akan menggantikanku bicara, ketika sesuatu yang buruk terjadi padaku.

"Kau memakainya? Tumben." Yayoi meraih pergelanganku, dipandangnya gelang itu seperti ia jarang melihatnya.

Benda ini…. Aku tidak pernah suka. Jarang kupakai. Kupikir, orang-orang jaman sekarang sudah luas wawasannya. Benda mencolok seperti ini, tidak mungkin tidak menarik perhatian mereka. Yah…. Itu memang kegunaannya sih.

Memakai benda ini sama saja seperti mengekspos kelemahanku pada dunia. Tidak ada pilihan lain. Ketika pergi sendirian, aku harus membawanya serta.

Aku tidak mau mati sia-sia, kau tahu?

"Bagaimana? Cocok denganku?" Kuajukan pertanyaan iseng. Ucapan spontan. Dengan wajah tersenyum pula.

Yayoi mendongak, melihatku, tersenyum kecil. "Bukan gayamu."

"Begitukah? Tidak cocok?"

Yayoi mengangguk, sedikit menggoda.

"Baiklah. Tidak kubutuhkan lagi." Kulepas gelang itu, kumasukkan ke dalam saku.

"Eh?"

"Sudah ada Yayoi." Aku tersenyum lagi.

"Dasar! Tapi, Jun…. Setidaknya kau beritahu aku kalau mau kesini."

Satu lagi segi positif gelang itu. Meredakan amarah Yayoi. Entah bagaimana. Hahahaha.

"Percuma. Kau akan melarangku. Iya kan?"

"Itu sudah pasti kan!"

"Hm. Lagipula, aku yang salah." Aku menunduk kembali.

"Eh?"

"Maaf…. Seharusnya aku tahu. Hari ini…."

Yayoi menggeleng, tersenyum. "Tidak apa-apa. Aku mengerti. Pelajaran yang sulit rupanya telah menyita sebagian memori otakmu ya?"

"Eh?"

"Aku bercanda. Tidak apa-apa. Jangan merasa bersalah! Sejujurnya, kau tidak perlu sampai kemari untuk meminta maaf. Seharusnya kau selesaikan dulu tugas sekolahmu, kan?"

"Tolong kita hilangkan sekolah dari pembicaraan ini, bisa?"

"Eh?"

"Aku tahu kau mementingkan kepentinganku di atas semua. Alasan kau tidak memberitahu keberangkatanmu mungkin karena kau pikir aku akan ikut kemudian melupakan tugasku. Begitu kan? Dan aku akan benar-benar melakukan itu, kalau saja aku tidak hilang ingatan tentang hari ini."

"…."

"Aku juga…. Ingin menemui ayahmu."

"Jun…."

"Dan nanti, aku harus minta maaf padanya." Menyelesaikan kalimat dengan raut wajah menyesal. Yayoi memberiku senyuman lagi.

"Terus terang, aku senang Jun datang."

"Benarkah?"

"Hm. Ayah juga…. Pasti senang melihatmu."

Aku pun tersenyum.

"Yayoi, siapa di luar?"

Tiba-tiba, tante muncul dari dalam rumah, bersama Satoshi-kun, adik laki-laki Yayoi yang berusia 12 tahun. Kini, setelah ketiganya berdiri di depan mataku, aku menyadari adanya kesamaan kostum. Yayoi dengan dress hitam berhias renda. Tante dengan rok dan blazer yang juga berwarna hitam, membawa sekeranjang bunga di tangannya. Satoshi-kun dengan kemeja putih dan celana hitam. Aku…. Celana hitam dan kemeja biru tua. Tidak buruk.

Jelas, mereka akan pergi ke suatu tempat. Untuk sesaat, aku merasa bersyukur. Aku tidak terlambat.

"Jun-kun? Kenapa disini?" Tante bertanya heran begitu melihatku.

Aku memberikan penjelasan ketika di perjalanan.

####

Lima belas menit berada di bis, kami telah sampai di sebuah lokasi, tempat ratusan orang tertidur panjang. Yayoi dan aku duduk di atas rumput, dipayungi pohon besar yang sesekali menjatuhkan daun-daunnya begitu terusik angin. Pandangan mata kami sama-sama tertuju pada dua figur. Tak jauh dari kami, tante bersimpuh di depan nisan seseorang. Di sampingnya, Satoshi-kun, menunduk dan membisu.

"Setiap tahun, di hari ini, mama akan menangis tak terkendali." Yayoi bertutur, bernada melankoli.

"Inilah momen ketika ia bisa mencurahkan perasaannya, apa saja, dengan leluasa." Ia tersenyum tipis, menatap sayu ibunya.

Kadang, aku tidak benar-benar mengerti Yayoi. Di depanku, ia mencoba menjadi gadis ceria. Namun, yang tidak kutahu darinya adalah…. Tentang perasaan kehilangan seseorang yang berharga dalam hidupnya.

"Sudah lima tahun. Rasanya waktu berjalan sangat cepat." Ia berucap lagi. Kudengarkan baik-baik.

Gadis ini menjadi yatim ketika berusia 11 tahun. Suatu hari bercerita padaku. Namun, tak banyak yang kutahu tentang sosok seperti apa ayahnya, juga penyebab kematiannya. Tak mungkin kutanyakan. Dan Yayoi tak terbuka hanya mengenai hal ini.

"Jun tahu? Bulan-bulan pertama setelah ayah pergi, waktu seperti tidak berjalan. Semuanya bagaikan mimpi buruk." Menoleh sedikit padaku, tersenyum lagi. "Hampir tidak bisa percaya, kami bertahan sampai sejauh ini."

"Hmm…."

"Kalau bukan karena sifat mama yang kuat, entah apa jadinya kami."

Ditinggal kepala keluarga dalam usia yang masih cukup muda, pasti memberi pukulan pada kehidupan mereka. Aku bisa mengerti.

"Mungkin hanya hari ini, ia boleh menjadi lemah. Menangis seperti itu."

Kulihat tante kembali, banjir air mata.

Tak berapa lama, tiba giliran Yayoi berdoa. Tante menghampiri kami, tersenyum. Namun, wajahnya tak mampu menyembunyikan kesedihan. Satoshi-kun tak berucap barang satu kata. Yayoi berdiri, merapikan bajunya. Kemudian menarik tanganku.

"Eh?"

Kutatap heran wajahnya. Namun, lagi-lagi, dia memberiku senyuman.

"Kau bilang ingin bertemu dengannya. Ayo!"

Dia menggandeng tanganku, berhenti di tempat yang ditinggalkan tante. Kini, di depanku, bisa kubaca jelas nama seseorang di atas sebuah batu. Nobuyuki Aoba.

Yayoi melepaskan genggamannya, mulai berdoa. Cukup lama dan khusyuk. Aku melakukan hal yang sama. Begitu selesai, ia memulai monolognya. Bukan. Maksudku…. 'dialog'.

"Ayah, aku datang." Ia tersenyum.

"Maaf, kali ini lebih sore dari biasanya. Kami mengunjungi nenek lebih dulu. Bibi Atsuko bilang beliau sedang sakit, makanya…. Tidak apa-apa, kan?" Bertutur lembut, mengalir begitu saja. Seolah-olah sang ayah benar-benar ada di hadapannya.

"Ayah mungkin sedikit bingung ya? Kali ini Tsubasa-kun tidak datang bersama kami."

Kaget. Tiba-tiba ia menyebut nama pria itu.

"Ayah tahu? Sekarang, dia tidak berada di Jepang. Jadi, kupikir tahun ini dia tidak bisa menemui ayah."

Apa ini? Baru saja aku tahu bahwa datang kemari setahun sekali adalah kegiatan rutin mereka.

Ah, bodoh! Bukan saatnya untuk cemburu, Jun Misugi!

"Tsubasa-kun…. Kini sudah terbang tinggi. Sesuai namanya. Anak laki-laki kecil favorit ayah, yang dulu tidak bisa apa-apa kecuali sepakbola akhirnya benar-benar pergi meraih impiannya." Masih tersenyum.

"Dia begitu hebat. Di usia yang masih sangat muda, ia mulai merintis karir sebagai pemain sepakbola profesional. Dia benar-benar melakukannya. Ayah ingat? Tsubasa-kun dulu selalu bilang akan pergi ke negeri impiannya, Brasil. Setiap hari, sampai membuatku bosan. Kini, dia sudah disana. Gerakannya cepat sekali, bukan? Aku jauh tertinggal di belakang. Hehehe." Yayoi menyeringai.

Namun, hei, Yayoi! Sadar tidak? Jika kau membicarakan laki-laki lain, walaupun momennya seperti saat ini, itu tidak akan membuatku nyaman.

"Tapi, ayah jangan khawatir! Aku tidak akan mencoba meraih Tsubasa-kun. Yayoi akan tetap seperti ini saja. Tidak masalah jika harus berjalan lambat." Tiba-tiba meraih tanganku kembali, digenggamnya erat.

"Karena sekarang, Yayoi punya pria ini."

! Apa maksudnya?

"Ayah pasti sudah tahu semuanya. Di atas sana, selalu mengawasiku, bukan? Tapi, meski begitu, akan tiba waktunya aku harus membawa dia menemui ayah. Ah, bukan! Sebenarnya hari ini dia datang karena inisiatif sendiri. Bagaimana? Dia pria yang baik, bukan? Juga cakep."

Tiba-tiba memujiku seperti itu. Sial! Pipiku mulai panas.

"Ah. Itu…." Mencoba bersuara.

"Ayah…. Tsubasa-kun benar-benar terbang tinggi. Dia pasti bahagia sekarang. Aku juga…. Akan mencari kebahagiaanku sendiri. Ah, itu bukan berarti selama ini aku tidak bahagia. Aku bahagia. Selama ada mama, Satoshi, nenek, saudara yang lainnya, juga ayah yang selalu mengawasi kami, aku sangat bahagia."

"…."

"Pria ini juga adalah kebahagiaanku. Jun-kun…. Ayah juga harus memanggilnya seperti itu. Jangan khawatir! Dia tidak pernah berbuat jahat padaku. Jika misalnya ayah membawa ribuan pria untuk dijodohkan denganku, maka tidak akan ada yang seperti dia. Dia sangat istimewa. Sangat berharga bagiku."

"…."

"Dia juga…. Pasti akan terbang tinggi seperti Tsubasa-kun. Jauh lebih tinggi. Akan jauh lebih bersinar. Aku yakin. Eh? Aku? Hmph. Jangan khawatir! Jika orang yang sangat kusayangi bersinar, maka aku juga."

"…."

"Nah ayah, cukup untuk hari ini. Tahun depan aku akan datang dengan cerita yang jauh lebih menarik. I love you."

Yayoi membungkukkan badan untuk terakhir kali, sementara aku tetap membisu. Begitu ia berbalik, giliranku memberi hormat. Kubungkukkan badan dalam-dalam di depan peristirahatan sang ayah. Dalam hati, kuperkenalkan diri, meminta maaf, juga meminta ijin untuk selalu bersama putrinya.

####

"Geez…. Kau benar-benar kelewatan memujiku."

Petang hari. Perjalanan pulang ke rumah lama Yayoi, kami duduk bersebelahan.

"Eh? Kenapa?"

"Yah…. Kau katakan pada ayahmu hal-hal yang meragukan."

"Meragukan? Yang mana?"

"Tentang terbang tinggi dan bersinar…. Kau pikir aku akan seperti itu?"

"Ya. Kau seperti itu."

"Eh?"

"Pegang ucapanku! Kau akan bersinar. Benar-benar bersinar sampai membuat semua orang silau walau pakai kacamata hitam sekalipun. Tidak ada yang meragukan!"

"Hmph. Yayoi pandai berbicara ya. Seperti biasa." Aku tersenyum.

"Aku serius!"

"Ya ya. Aku mengerti. Terima kasih."

"Dengar ya! Aku tidak bicara omong kosong, atau sengaja menyanjungmu, atau menghiburmu. Aku hanya tahu kau bukan orang yang pesimis. Makanya aku sangat yakin."

"…."

Yayoi…. Dia tahu aku jauh lebih banyak daripada diriku sendiri.

"Begitukah?"

"Ya."

"Kalau begitu kau juga ya! Jangan kalah dariku!" Kutepuk kepalanya pelan.

"Hm. Tentu saja!" Dia berikan aku jawaban optimis.

Aku tenang sekarang.

"Oh ya, Jun…. Aku baru menyadarinya…."

"Eh? Apa?"

"Kau benar-benar tidak membawa barang lain kecuali yang menempel di badanmu?"

"Hah?"

"Aku tidak melihatmu membawa tas, koper, atau…."

"Aku mana sempat memikirkan hal semacam itu. Aku buru-buru kemari, kau tahu?"

"Eh? Jadi…."

"Jangan khawatir! Tentu saja aku bawa uang dan obatku."

"Ah. Syukurlah…. Tapi, masalahnya sekarang, di rumah, tidak ada baju yang seukuranmu…."

"Oh. Itu…. Tidak usah dipikirkan. Aku…."

"Kau tidak berencana pulang ke Tokyo dengan kereta malam, kan?"

"Eh?"

"Kalau itu yang akan kau lakukan, tidak akan kuijinkan!"

Wah wah. Apa ini sebuah tawaran untukku…?

"Tidak tidak. Aku akan pulang besok. Aku bisa cari penginapan atau…."

"Menginap saja!"

Tiba-tiba tante yang duduk di belakang, mencondongkan kepala ke arah kami. Ia tersenyum ramah.

"Eh?"

"Iya Jun-niichan. Yayoi-neechan pasti senang." Satoshi-kun menggoda kakaknya.

"Apa maksudmu Satoshi?" Dalam sekejap, wajah Yayoi sudah memerah. Aku suka.

"Begitukah?"

"Hm hm." Ibu dan anak bungsu mengangguk.

"Yayoi? Bagaimana menurutmu?" Aku sengaja bertanya padanya.

"Hmm…. Yah…. Menginap akan jauh lebih aman…. Bagimu." Dia hampir mencapai tahap blushing maksimal. Aku tersenyum.

"Baiklah. Terima kasih. Maaf merepotkan."

"Ya ya. Jangan sungkan Jun-kun!"

"Hm. Terima kasih."

Menginap bukan termasuk rencanaku. Tapi…. Sepertinya akan sangat menyenangkan.

Kutolehkan kepala pada Yayoi kembali. Dia menunduk, seperti gelisah. Atau mungkin masih tersipu? Manisnya! Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ia sedikit berdiri, memencet bel untuk turun.

"Eh?"

Aku melihat ke luar jendela. Kami masih belum sampai. Saat aku menoleh ke arahnya lagi, tanganku tiba-tiba ditariknya.

"Kami berhenti disini." Ia bilang, mulai berjalan menuju pintu keluar, menyeretku.

"Tu-tunggu dulu!"

"Kau butuh baju ganti, kan? Di depan sana ada banyak toko." Ia berucap pelan.

"Eh? Yah…." Bingung, aku menoleh kembali ke tempat tante duduk. Bukannya ikutan heran, ia malah tersenyum sambil melambaikan tangan.

"Selamat bersenang-senang. Hati-hati di jalan dan jangan pulang kemalaman!"

Hah? Apa-apaan reaksi itu?

Turun dari bis, Yayoi masih menarik tanganku, dibawanya masuk ke dalam sebuah toko.

####

"Hei…. Kau tidak perlu membelikanku baju juga, kan?"

"Eh?"

Yayoi dan aku berjalan berdampingan. Semenjak keluar dari toko dan enam menit di bis, itulah kalimat pertamanya.

"Bahkan untuk mama dan Satoshi juga. Sadar tidak, sih? Kau ini tamu!" ia menggembungkan pipinya. Antara sebal dan sungkan. Manis!

"Lalu kenapa? Aku tidak mungkin membiarkanmu membayarnya."

"Tapi kan…."

"Sssshhh!" Cepat-cepat kutempelkan telunjukku di bibirnya.

"Jangan mencemaskan hal yang tidak penting! Anggap saja itu ucapan terima kasih dariku. Beres, kan?"

"Ya. Tapi…."

"Oh ya. Ngomong-ngomong, berapa lama lagi kita sampai?" Mencoba mengalihkan perhatian. Aku sendiri tahu jawabannya. Ini jalan yang sama dengan yang kulewati ketika berangkat tadi.

"Eh?"

"Sepi sekali ya. Tidak seperti di Tokyo."

Baru jam 7 malam, dan jalanan ini tak banyak orang. Jarak antar rumah sedikit berjauhan. Yang dominan justru ladang dan tanah kosong. Lampu jalan pun tak banyak.

"Hm. Ya…." Yayoi tiba-tiba menempel padaku, mencengkeram erat lenganku.

"Eh? Kenapa? Kau takut?"

Dia mengangguk, menunduk.

"Hahaha. Ya ampun. Apa yang kau takutkan? Tidak ada apa-apa."

"Ta-tapi…."

"Tidak ada hantu disini. Yang benar saja. Hal seperti itu-"

"Orang Tokyo mana mungkin percaya."

"Eh? Jadi, Yayoi pernah melihatnya?"

Ia menggeleng. Masih menempel padaku.

"Tuh, kan. Kenapa harus takut?"

"Mau bagaimana lagi. Aku sudah terlanjur jadi penakut."

"Hah?"

"Waktu kecil, Tsubasa-kun sering menakutiku. Dia bercerita banyak hal seram, termasuk di tempat ini. Makanya…."

"Astaga…. Jadi, karena itu?"

Yayoi mengangguk.

"Cih. Akan kuberi pelajaran kalau dia balik ke Jepang!"

"Eh?" Gadis ini mengangkat wajahnya. Akhirnya menatapku juga.

"Bercanda." Aku tersenyum.

"Tidak apa-apa. Beri saja dia pelajaran! Dia pikir jadi penakut itu tidak menyusahkan?"

"Hmm. Serius? Tidak apa-apa?" Aku menggodanya.

"Tentu saja."

"Meskipun dia cinta pertamamu?"

"Jun!"

"Ahahaha. Iya iya. Lupakan!" Kuusap kepalanya, memanjakannya sebentar.

"Ugh…." Perlahan, wajah cemberutnya memudar.

Kami terus berjalan.

"Ah. Sungai itu…."

Dari kejauhan, aku melihat kilauan air. Di sekelilingnya tampaknya rerumputan. Cukup bidang.

"Oh. Itu di desa sebelah." Yayoi berucap, lebih santai. Walau begitu, ia masih bergelayutan di lenganku.

"Hmm…. Kau sering main kesana?"

"Ya."

"Bersama Tsubasa-kun?"

"Hm. Bersama teman yang lain juga. Kadang, Satoshi juga ikut."

"Hmm…. Menyenangkan ya."

"Tidak juga."

"Eh?"

"Aku pernah hampir tenggelam disana. Juga, kejadian anjing besar."

"Oh. Yang itu?"

"Hm."

"Tapi, menurutku tetap saja menyenangkan."

"Eh?"

"Bersama cinta pertama, apapun kejadian buruk yang pernah dialami, pasti akan lupa."

"Jun!"

Berseru dan cemberut lagi.

"Ahahaha. Aku cuma bercanda."

"Tidak lucu!"

"Wajahmu menakutkan kalau sedang ngambek. Hentikan itu!"

"Tidak mau! Biarin!"

"Oh. Ya sudah. Aku jalan duluan." Menyadari Yayoi telah melepaskan lenganku, aku mengambil kesempatan.

"Eh?" Dia masih tak bergerak di tempatnya, sementara aku berjalan semakin menjauh.

"Hati-hati di belakangmu!"

"E-eeeeh?"

"Dagh~" Kulambaikan tangan. Tersenyum puas.

"Tu-tunggu….! J-jun!" Ia berlari mengejar, menyambar lenganku lagi.

Aku tertawa.

"Dasar penakut!"

"Ugh…. Biarin!"

"Cemberut lagi, kutinggal!"

"Tidak ketika aku menguncimu rapat-rapat. Weeek~" Dia menjulurkan lidahnya, sementara lenganku benar-benar tidak bisa bergerak sekarang.

Aku menghela napas. "Oke. Kau menang."

Yayoi tersenyum, menyandarkan kepala di bahuku.

Kami terus berjalan.

"Eh? Kau mau kemana? Rumahku belok ke kiri."

Sampai di perempatan, aku melangkahkan kakiku lurus saja. Ada sesuatu yang menarik perhatianku.

"Tunggu! Itu…. sekolah bukan?" Aku menunjuk sebuah bangunan yang bisa kulihat dari jarak 100 meter.

"Iya."

"Sekolahmu?"

"Ya. Kenapa sih?"

"Kesana yuk!"

"Eh?"

"Sebentar saja!"

Kugandeng dia, mulai berlari mendekat.

"Jadi…. Ini sekolah Yayoi dulu ya?" Aku berdiri di depan gerbang, tersenyum takjub.

"Ya. Ini yang terdekat dari rumahku sih."

"Hmm…." Aku mulai memanjat pagar.

"Apa yang kau lakukan?"

"Masuk ke dalam."

"Jangan bodoh! Turun sekarang juga!" Yayoi menarik kemejaku.

"Apa yang kau pikirkan sih? Orang Tokyo begitu antusias melihat sekolah kecil seperti ini?"

"Eh? Bukan itu…." Aku menapaki tanah kembali.

"Aku cuma ingin tahu tempat seperti apa sekolah Yayoi dulu."

Penasaran dengan tempatmu dan pria itu sering menghabiskan banyak waktu.

"Apa itu memberimu keuntungan?"

"Eh?"

"Ayo cepat pulang! Sudah jam makan malam."

"…."

"Lagipula, sekolah di malam hari sangat menyeramkan. Walau kau memohon padaku sambil berlutut pun aku tidak akan pernah mau masuk ke dalam. Mengerti?"

Lagi-lagi….

"Ya ampun. Memikirkannya saja aku sudah merinding. Ayo cepat pergi dari sini!" dia menyilangkan lengan, diusapnya sering-sering. Benar, dress itu belum cukup tebal untuknya.

Aku tersenyum. Kuambil jaket yang baru kubeli di dalam shopping bag, segera memakaikannya padanya.

"Eh?"

"Aomori dingin ya."

"Eh? Itu…. Kalau begitu…. Jun saja yang pakai." Dia bersiap melepas jaket itu. Tak kubiarkan.

"Bodoh! Aku tidak apa-apa."

"Tapi…."

"Walaupun kau tumbuh disini, aku tidak percaya kau kebal udara dingin. Ayo pulang." Refleks, kugandeng tangannya. Ah. Kebiasaan.

Sambil berjalan, Yayoi menurunkan pandangannya, melihat ke arah tangan kami yang bersatu.

"Eh? Kenapa?"

"Ah. Tidak…." Ia tersenyum, balas menggenggamku. Erat.

"Begitu sampai rumah, akan kubuatkan minuman hangat."

"Eh?"

Ah! Begitu ya? Baru saja aku menyadarinya.

Saat ini, Yayoi pasti…. Merasakan tanganku yang hampir sedingin es.

Ugh. Tidak seharusnya kugandeng dia. Sangat tidak keren untuk tuan sok pahlawan.

-To be continued-

Next, chapter 2! :D