ONE PIECE

DESERT RAINSTORM

Pairing: Luffy x Vivi

Disclaimer: Haah, aku rasa 'dah ga perlu lagi nulis ini. Oda 'lah... :D

A/N: Betewe, fic ini didedikasikan khusus buat temen2 RDF yang beberapa dari semuanya dah nunggu tulisan pairing LuVi-ku. Tadinya aku juga mau buat puisi tentang LuVi, jadi mungkin akan di apdet setelah yg ini selesai, ok?

enjoy


Matahari terik ini terasa begitu akrab oleh ke-enam, tidak, tujuh kru topi jerami. Thousand Sunny akan menepi di kota pelabuhan Nanohana, kerajaan Arabasta sebagai tujuan mereka berikutnya di perairan Grandline yang mereka arungi untuk kali keduanya. Pemandangan di kota itu sudah sangat tidak asing di mata beberapa kru, tentu saja. Karena di pulau inilah petualangan besar mereka yang lalu benar-benar dimulai.

Apabila kau berbicara udara terik, yang paling menyedihkan tentu saja Chopper. Seperti dulu ketika mendarat di pulau ini, Chopper sedari awal selaluuu mengeluh akan panasnya negeri ini. Chopper yang malang, ujar Sanji, mengibas-ibaskan kipas kecil ke seluruh tubuh rusa remaja yang basah kuyup oleh peluh itu.

"Aku belum pernah ke pulau yang... super panas ini," ujar Franky, melapkan tangan robot raksasanya di kening.

"Yohohoho, panas ya?" sahut Brook, tertawa riang. "Seandainya aku punya kulit… aku iri, yohohoho!"

Nami turun dengan beberapa kardus berisikan beberapa perkakas kerjanya dari tangga kabin ruang makan, menuju dek rumput tempat kru lain berkumpul. "Em, baiklah, Brook. Di telingaku, kau tidak terdengar iri sama sekali," ujarnya, tersenyum dan terkesan meledek balik si tengkorak hidup. "Tolong pasangkan tenda di dek depan, Brook; aku mau menggambar peta selanjutnya di sana. Dan, oh, tolong bawakan ini juga."

Nami melempar kardus di kedua tangannya kepada Brook, yang untungnya dapat ditangkap si tulang walau harus sampai membungkuk kesusahan. "Yohohoho, kasihanilah kakek tua ini, Nami-san."

Mereka berdua berjalan ke muka kapal, dan Nami harus mau tak mau mendengarkan lelucon super garing dari Brook sepanjang perjalanan.

Usopp kembali membuka pertanyaan di tengah keheningan. Sniper perkasa itu celingukan ke kanan dan ke kiri. "Ok, teman-teman… um, kalian tidak berpikir kru kita ada yang menghilang, 'kan? Atau itu hanya aku saja?"

Zoro yang sedang menyenderkan tubuhnya ke tepian kapal, menatap pelabuhan yang sebentar lagi akan mereka singgahi itu. Dia kembali menatap Usopp. "Mungkin dia rindu akan 'nakama' yang dulu ditinggalkannya di sini?"

"Maksudmu Luffy mau membawa Vivi ikut bersama kita?" tanya Usopp, lumayan riang. Zoro pun hanya bisa mengangkat kedua bahunya, siapa yang tahu; maksud gerakannya.

Terdengar desahan lelah dari Sanji. Dia berdiri di sisi Chopper yang masih menjulurkan lidahnya dengan tubuh penuh keringat di badan. "Kalian, mau sampai kapan tidak mengerti Luffy, 'sih?" ujarnya, terkekeh congkak. "Dan, kau Usopp. Aku tidak tahu kau punya pacar gadis dokter itu!"

"E—eh… Kaya itu temanku dari kecil, jadi," jawabnya kelabakan.

Sanji mengangkat alis matanya. "Kau tahu, Usopp? Kau 'pembohong' terburuk setelah Luffy." mendengar itu, para rekan tertawa terbahak-bahak. tidak terkecuali Zoro dan Robin.

"Aku juga masih ingat ketika Sanji-san dan Usopp menodongkan ketapel dan revolver-nya padaku," ujar robin, tersenyum ramah.

"Oh, Robin-chan-ku sayang~~," lanjut Sanji, menggombal. Dia menghampiri tempat Robin berdiri dan merangkulnya di pundak. "Kalau saja aku tahu niatmu saat itu, aku lebih baik menembak kepalaku sendiri daripada menyodorkan pistol ke kepalamu,"

"Dan kau akan mati." potong Usopp, seperti berbisik. Sekali lagi, para kru tertawa dengan riang.

"Tapi kau benar-benar musuh kami waktu itu. Sebagai tambahan saja." potong Zoro di tengah-tengah tawa riang.

Robin hanya tersenyum tipis. Namun ia menandakan kalau tak ada hubungan apa-apa lagi pada saat itu, dengan dirinya yang sekarang. "Ayolah, marimo. Kau benar-benar tipe orang perusak suasana, ya?" ketus Sanji, datar dan memasang wajah mengajak berkelahi.

Daripada meladeninya, Zoro malah menutup satu matanya yang lain. "Tapi, yang lalu biarlah tetap di masa lalu. Kau juga tahu, 'kan aku ini orang yang seperti apa, alis lingkar?"

Suasana kembali tenang, tentu saja. Franky kemudian berjalan ke sebelah Zoro di tepian kapal dek rumput. "Lalu, memangnya puteri padang pasir ini… ada apa dengannya?"

Usopp ikut maju juga. Akhirnya Zoro harus sedikit menyingkir ke tepian, membiarkan kedua pria berotot itu berbicara di tepian kapal, sambil melihat kota nanohana jauh di sana. "Kau tahu, Luffy dan hormon remaja-"

Dengan cepat, Sanji memotongnya. "Kau juga begitu, 'kan Usopp? -Usopp dan dongeng sahabat masa kecilnya." selaknya, diikuti tawa sombong.

"Ya. Tapi aku tidak tinggal dengan para pria-pria menyeramkan itu di restoran terapung," jawab balik Usopp dengan semrawut merah, dan dengan gerakan tangannya yang seperti menggambarkan 'kapal di atas air'.

"Oh, asal kau tahu saja, mereka yang terbaik di lautan." selak balik Sanji, mengikuti tantangan Usopp. "Lagipula siapa yang peduli dengan para 'keparat' itu selama aku punya Robin-chwan dan Nami-"

"Baiklah—baiklah, nona-nona." potong Nami dari dek depan kapal, mengangkat satu lengan ramping nan mulusnya. "Aku butuh ketenangan di sini; dan lelucon basi Brook sudah lebih dari cukup untuk membuatku kesal, oke?"

"Yohohoho, nona-nona-" gelak kecil si tengkorak hidup, tak tertahankan. "Itu… yoho- lucu sekali, yohohoho…"

"Baik, Nami-swaaaaan!" Sanji memutar-mutarkan tubuh ramping dan elastisnya ke tempat Nami berada, dan lalu menawarkan gadis berambut jingga gelombang itu cemilan.

"Lupakan saja si bodoh itu. Franky aku akan menurunkan jangkar, kalau kau tak keberatan." tukas Zoro, berjalan ke dek atas juga.

"Tidak apa. Asal jangan patahkan lagi tuasnya."

"Aku tahu!" sahut Zoro, dengan wajah angry comic-nya.

"Intinya, ya Franky… Luffy itu sangat dekat dengan Vivi. Bisa jadi karena sifat mereka yang hampir-hampir mirip. Begitu 'deh." usai Usopp.

"Hmm, begitu."

"Kau penasaran, Franky?" Robin memangkukan lengannya satu sama lain, dan berdiri santai. "Bukankah itu cinta?"

Wanita berambut raven itu menutup mulutnya dan tertawa kecil dengan geli. "Aha!" seru Franky. "Akhirnya Luffy kita puber juga, hahahaha!"

Usopp 'pun ikut tertawa mendengar itu.

-o0o-

Sulit dipercaya. Ya. Luffy, 22 tahun, melewati enam rumah makan begitu saja dan terus berlari melintasi padang pasir menuju istana kerajaan di kota Alubarna. Di benak pria itu, sebelum kembali pergi berlayar, dia berniat untuk bertemu satu nakama-nya sekali lagi. Dan diam-diam, dia memang ingin mengajaknya ikut berpetualang juga.

Tapi, naas. Biarpun dia sudah dapat berpikir secara dewasa, ke-naif-annya belum berkembang sedikitpun. Luffy, tetaplah Luffy. Berpikir naïf bukanlah kekurangan, tapi satu kelebihan Luffy. Dia melihat satu masalah dari sisi positifnya, tapi dia hanya kurang peka terhadap dirinya sendiri; kalau mau jujur. Asalkan itu demi orang lain, dia tidak akan memperdulikan dirinya sendiri.

Kurang lebih begitulah Luffy di usia 22-nya.

Kedua kaki dan tangannya bergerak lincah memanjati dinding-dinding istana tanpa terlihat oleh siapapun. Dan, akhirnya ia sampai di satu jendela di lantai teratas bangunan istana.

Luffy mengintip ke seluruh sisi kamar dan langsung mendapati sosok berambut biru panjang membelakanginya. Gadis itu baru saja menutup almari pakaiannya, dan hendak keluar sebelum satu suara yang sudah tidak asing memanggilnya dari belakang.

"Vivi,"

Awalnya sang puteri mahkota tidak menyadari si pemuda sedikitpun, karena rambut si pria yang cukup panjang itu. Rambutnya menutupi kedua kuping, yang namun masih tercukur rapih di belakang kepala bagian bawah. Hampir saja Vivi berteriak minta bantuan penjaga, kalau saja cengiran super lebar itu tidak dikeluarkan Luffy. Belum lagi codet di bawah mata kiri itu.

Oh, luar biasa bahagia. Vivi menahan dengan begitu keras air matanya yang mengalir jatuh. Ia segera berlari, melompat, dan merangkul tubuh Luffy yang duduk di tepian jendela.

"Whoaaa, Vivi…! Kita bisa jatuh!"

Untunglah berkat tangan panjang Luffy—secara harfiah; mereka kembali ke dalam kamar dengan selamat. "Fyuuh, itu bahaya sekali Vivi…"

"Luffy-san!" Vivi melepas rangkulan eratnya. "Kapan kau sampai? Kenapa tiba-tiba 'sih? Aku belum menyiapkan apapun! Bagaimana keadaanmu? Yang lain dimana? Aduh, aku kangen dengan Chopper dan Nami-san. Zoro-san, Sanji-san, dan Usopp-san bagaimana keadaannya? Nico Robin juga. Oh, lalu kalian memiliki robot dan tengkorak hidup, bukan? Oh, itu pasti menarik!"

Senyuman lebar Vivi masih terbuka, dan kedua tangannya masih menggenggam pundak Luffy dengan riang; tapi si pemuda hanya bisa menyengir dan menatap balik wajah ayu Vivi. Perlahan, kerutan terbentuk di perbatasan kedua alis Luffy. Lalu kemudian matanya mulai menerawang seisi kamar, nampak begitu blank. "Emm, jawab yang mana dulu, ya Vivi?" tanyanya polos.

"Oh, ya ampun. Haha, maafkan aku Luffy-san… Haha, ini bodoh, aku terlalu senang malah membuatmu bingung." Vivi mendadak berubah malu, dan mengetuk kepalanya pelan dengan jari. "Ma-maaf, Luffy-san. Mari,"

Vivi membimbing Luffy ke teras kamar pribadinya, dan duduk bersantai di sana. Kanopi melindungi mereka dari sengatan sinar UV matahari, dan menciptakan kesan damai dimana angin kering padang pasir berhembus dengan hangat melewati kulit mereka berdua.

Luffy duduk di kursi santai yang sudah disediakan Vivi, dan selagi sang puteri mahkota menuangkan secangkir teh es dingin ke gelas si bajak laut, Luffy terus memperhatikan wajah Vivi.

"Kau semakin besar, Vivi." ujarnya, polos.

Mendengar itu, Vivi sedikit terkejut namun juga secara reflek tertawa mendengarnya. "Tentu saja, Luffy-san. Aku sudah 21. Terakhir kali kita bertemu ketika aku 16, bukan? Silahkan." Vivi memberikan secangkir teh dingin kepada Luffy.

"Aa, terima kasih." si bajak laut langsung mengambil, menyeruputnya, dan "Mm, enak" sekali tenggak, ludes sudah teh tersebut.

"Ahaha, Luffy-san benar-benar seperti Luffy-san yang dulu," tidak tertahankan, Vivi kembali tertawa dengan manis.

Sesaat, Luffy yang masih menenggak sisa teh tersebut tenganga melihat tawa Vivi yang begitu menghanyutkan itu. Apa yang dilihat Luffy? Yang jelas, gelas di tangannya terjatuh, dan butuh sedikit usaha keras si bocah bertopi jerami untuk berhasil menangkapnya sebelum membanting ke lantai dan pecah berserakan.

Si pemuda meletakkan cangkir itu kembali di meja, dan menatap sang puteri mahkota. Luffy terus memperhatikannya sampai ia ragu-ragu membuka, "Vivi, ada yang aneh di wajah-Eh…!" kejut Luffy di akhiran dengan tiba-tiba. Dengan cepat, Luffy menutup mulutnya dengan kedua tangan, takut kelepasan.

"Ya, ada apa, Luffy-san?"

~Momentary Flashback~

"Luffy bodoh. Jangan sekali-sekali mengucapkan kata-kata yang tidak seharusnya pada wanita. Ketimbang kau menggunakan kalimat 'ada yang aneh di wajahmu, Nami'; seharusnya kau bisa lebih bijak lagi menggunakan 'wajahmu semakin cantik, Nami'. Ya, aku paham kau mengerti. Kau hanya kesulitan merangkai 'kata-kata yang kurang akrab' denganmu itu. Ingat Luffy, kau itu sudah menjadi seorang pria berumur 22 TAHUN. Astaga. 22 tahun, demi Tuhan, kau dengar? Kau harus lebih peka terhadap wanita!"

Sanji melipat kedua tangannya di depan dada, dan memperhatikan ekspresi bertanya-tanya Luffy yang nampak seperti akan meledak kapanpun juga. "Aa…" Luffy membuka mulutnya. "Wajahmu semakin cantik, Sanji…"

"Bukan aku! Tapi Nami-san, bodoh!" teriak Sanji histeris, disusul tawa kecil Usopp dan Robin yang berada di dekat Sanji memberikan kuliah pada Luffy.

"Iya, tapi wajahmu juga berubah… lihat," Luffy menunjuk wajah si koki. "Janggutmu semakin lebat."

"…Itu dan ini lain, bodoh!"

"Iya, tapi maksudku 'kan memang ada yang berubah di wajah Nami dan Sanji," sahut balik Luffy, berusaha membela diri.

"Baik, baik, Luffy. Kupikir bagaimanapun juga… kau tetap HARUS menggunakan instingmu seperti biasa. Ok, Luffy? Kau mengerti?"

"Ok." jawab Luffy mantap.

Sanji mengeluarkan sepotong pisang, dan menggantungkannya di depan wajah Luffy. "Kau – akan – membangkitkan – instingmu – di – depan – Vivi, Luffy—"

"Iya—" ujar Luffy, dengan mata setengah sayu, mengikuti gerakan pisang. Di belakang hanya terdengar suara terkekeh Usopp dan Robin. Tapi tidak, seluruh tawa nakama mereka terdengar, minus Nami tentu saja.

~End of Flashback~

"Luffy-san?"

"Oh, ah... Vivi,"

"Ya,"

"Kau jadi semakin… dewasa,"

"Ahaha, tentu saja, Luffy-san. Kau juga," balas vivi, manis.

Luffy menggeleng pelan. "Bukan… Mm," Luffy menggerakkan matanya ke atas, dan nampak berpikir. Tidak lama, dia teringat akan sesuatu; bibirnya mengembang tak terkira, kelihatan begitu senang dan bangga berhasil menemukan kata-kata yang tepat. "Kau semakin cantik, Vivi!"

Cengiran Luffy belum kunjung memudar, dan kedua matanya memicing dengan raut yang sangat riang.

Tak perlu menunggu lama, kepulan uap seperti menguap dari kedua pipi merona Vivi. Sang puteri sendiri nampak kelabakan, iapun mengalihkan pandangan dari Luffy.

Dari dulu, sosok si kapten memang nampak selalu berkarisma. Hingga kini pun (yang walau masih nampak konyol), sifat alami Luffy itu belum menghilang sedikitpun dari dirinya. "L-Luffy-san… kenapa tiba-tiba begitu," ujarnya.

"Vivi! Siapa di sana!" terdengar hardikan dari arah pintu kamar Vivi. Kedua teman lama itu menoleh ke sana, dan dengan serta merta Vivi berdiri menghampirinya.

"Kohza, tunggu!" seru Vivi, kepada Kohza yang memegang senapan di kedua tangannya. "Ini Luffy-san. Kau ingat, 'kan?"

Pria itu masuk lebih dekat ke balkon, dan bertemu dengan sosok yang 5 tahun lalu menyelamatkan negeri ini. Luffy berdiri dan menjulurkan tangannya kepada si pria bercodet di kening dan menggunakan kaca mata itu. "Kohza," ujar Luffy, tersenyum.

Kohza melebarkan tangannya ke kiri dan kanan. "Luffy!" dia dengan serta merta memeluk tubuh Luffy yang relatif lebih kecil darinya.

Luffy 'pun membalas rangkulan itu. Begitu dilepas, Kohza memegang bahu Luffy. "Aku berharap memiliki waktu lebih untuk berterima kasih padamu dulu, kau tahu? Tapi sekarang kau datang setelah membuat kehebohan yang luar biasa di dunia luar sana."

"Ahaha," tawa Luffy. Tapi entah kenapa, tawa itu terasa begitu setengah hati. Ada yang lucu di sini, pikir Luffy dengan otak tumpulnya. Kohza, mantan tentara pemberontak, bukan? Kenapa dia bisa seenaknya masuk ke kamar Vivi. Aku juga 'sih, lanjut pikir Luffy. Apa dia bajak laut juga sekarang?

"Luffy-san," himbau Vivi, memecahkan keheningan si kapten bajak laut. "Ini Kohza, sahabat masa kecilku. Dan, suamiku."

Senyuman Luffy membeku. Cahaya seperti menghilang dari matanya untuk sepersekian getaran, seirama dengan detak jantungnya yang tiba-tiba berhenti sekelebat.

Senyuman itu masih terpaku tanpa ekspresi berlebihan pada sosok Vivi. Napasnya seperti sesak sesaat sebelum dapat berkata lagi. Luffy memaksakan suaranya keluar namun terdengar sedikit serak. "Oh. Jadi Vivi sekarang sudah menjadi Ratu, ya?" tanyanya, datar.

"Iya sama dengan Luffy yang sudah menjadi Raja bajak laut, bukan?" jawab Vivi riang, merangkul lengan suaminya.

Kohza mengambil alih perhatian Luffy dengang mengundangnya makan malam di aula ruang makan istana. "Bagaimana, Luffy? Paduka Cobra dan Igaram pasti akan sangat senang menyambut kau dan rekan-rekanmu."

Baru pada saat inilah Luffy tersadar dari 'sengatan sekejap'-nya. "Boleh." sahutnya riang. "Teman-teman pasti akan sangat senang bertemu dengan Vivi lagi."

Luffy meninggalkan istana dengan berjalan kaki. Dia hanya merasa sedikit malas berlari dengan kedua kakinya. Untuk semenit mungkin, dia membalikkan wajahnya, dan menatap kediaman di belakangnya itu. Wajahnya biasa saja. Tapi, Luffy merasa ada yang aneh dengan dadanya.

~Thousand Sunny

"Teman-teman!" sorak Nami dari haluan utama. "Akan ada badai satu jam dari sekarang. Naikkan layar, dan turunkan jangkar! …Zoro, gerakkan bokong malasmu itu, cepat!" Zoro hanya bisa menggumam dan menyumpah kecil karena kena omel Nami lagi. Memang apanya yang salah membersihkan katana, dasar wanita.

"Baik, Nami-swaaaan!"

"Bukan kau, Sanji bodoh," celetuk Usopp.

Zoro terdiam sejenak, ketika telah selesai menurunkan jangkar dan bersiap turun ke dermaga bersama yang lainnya. Dia menatap di kejauhan, tempat awan hitam berkerumun.

"Oi, kepala landak, mau turun tidak?" tanya Sanji, sarkastik.

"Badai akan datang…"

Sanji mengangkat satu alisnya dan menatap ke arah kota di kejauhan padang pasir sana. "…Badai?"

Desert Rainstorm Continued to the next chapter soon

-o0o-

Bingung mo nulis apa di sini, yang jelas aku mau minta maaf ke semuanya yang udah aku janjiin fic LuVi. Tapi jadinya malah abal gini, dengan diksi yang kurang dan korelasi kata2 yang kurang pas. Jujur aja, aku kurang puas dengan outcome kali ini...

Dan, ya, insting Zoro dan Sanji mulai bermain di akhiran tadi :D

Thanks for reading, and every critics and suggestions are very welcome :)