Disclaimer: Dean and Sam Winchester bla… bla…. Bla…. Well, you know what I mean.
CHAPTER 1
Sam menatap gadis di hadapannya, gadis remaja akhir belasan tahun yang meringkuk di kursi kayu tua, tempat ia seharusnya duduk dengan benar. Daster putih lusuh dan cardigan coklat tipis ditarik menutupi seluruh tubuh, seolah ia berusaha menyembunyikan diri dalam pakaian itu. Tapi Sam tahu gadis itu juga menatapnya, mata birunya tampak waspada di balik rambut kelabu kusut yang nyaris menutup seluruh wajah.
Sam berdeham. "Hey, Courtney," sapanya canggung.
Gadis itu tidak menjawab, tapi Sam melihat bahunya menegang. Ia menarik lututnya lebih dekat ke dada, meringkuk lebih dalam melindungi diri.
"Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padamu," kata Sam tanpa basa-basi, mengabaikan firasat bahwa Courtney tidak akan mau bekerja sama. "Aku ingin tahu apa yang terjadi malam itu, ketika kau dan teman-temanmu berkemah di………"
Courtney menjerit sebelum Sam sempat menyelesaikan kalimatnya. Sam terkejut dengan reaksi yang tiba-tiba itu. Tubuh gadis malang itu jatuh dari kursi lalu mulai berguling-guling sambil menangis histeris tak terkendali. Sam tidak bisa melakukan apa-apa selain berteriak minta bantuan.
Dibutuhkan empat perawat untuk meringkus Courtney dan membawanya ke luar ruangan. Sam masih mendengar jeritannya di sepanjang lorong asylum, sebelum menghilang di balik suara bantingan pintu besi. Perawat lain, seorang wanita paruh baya gendut dengan rambut disanggul ketat, menghampiri Sam.
"Apakah Anda mendapat sesuatu, Officer Steele?"
"Tidak," jawab Sam, menggeleng putus asa.
"Kami menyesal tidak bisa membantu. Sampai saat ini kami belum berhasil mengorek keterangan apapun darinya, anak malang itu," kata si perawat, menatap sedih ke pintu.
"Tidak apa-apa, dia pasti masih trauma dengan peristiwa itu," kata Sam.
"Kami akan berusaha sebisa mungkin untuk memperoleh informasi darinya. Kasus ini harus dipecahkan."
Sam mengangguk mengiyakan.
* * * *
"Bagaimana?" Tanya Dean, sekaligus sebagai ucapan sambutan bagi adiknya yang baru saja masuk kamar.
Sam menggeleng. "Nihil. Courtney Wales sama sekali tak membantu."
Dean menghela nafas, bibirnya berkerut. Well, sebenarnya ia sendiri sudah menduga peluang keberhasilan usaha ini tak lebih dari sepuluh persen, tapi tetap saja ia kecewa. Ini berarti mereka kehilangan satu-satunya informasi akurat dari satu-satunya saksi hidup.
"Sepertinya kita menemui jalan buntu," gerutu Sam, menghenyakkan diri di samping Dean. Diraihnya satu dari beberapa koran yang terlipat di atas meja. Koran-koran itu, demikian juga semua koran lokal yang bisa ditemukan kedua Winchester, memuat headline yang sama: camping berujung maut tiga pelajar High School.
Sam sudah hafal betul isi berita itu, saking seringnya mengulang-ulang membaca. Namun tetap saja ia mengecek sekali lagi, berharap ada detail yang terlewat. Peristiwa itu terjadi di sebuah kota kecil yang namanya bahkan tak tercantum di peta. Tiga orang remaja, David Mainway, Sarah Owner, dan Courtney Wales pergi camping ke hutan untuk menghabiskan akhir minggu mereka. Penduduk setempat bahkan tidak mendengar suara-suara. Teriakan, jeritan….. tidak ada. Suasana hutan begitu senyap malam itu. Hingga selang empat hari kemudian, ada tiga orang masing-masing bermarga Mainway, Owner dan Wales datang ke kepolisian setempat menanyakan keberadaan anak-anak mereka yang, menurut keterangan, belum kembali dari camping dan tak bisa dihubungi.
Pencarian dilakukan. Setelah enam jam, mereka menemukan tiga remaja itu. David tewas. Sarah dan Courtney koma. Hasil forensic – yang sulit dilakukan mengingat kondisi jenasah David – menunjukkan bahwa pemuda delapan belas tahun itu tewas karena serangan jantung. Sementara itu, Sarah dan Courtney mengalami ketegangan saraf, yang bisa memicu kematian dengan cara serupa.
Courtney sadar satu minggu setelah ditemukan. Perawat mendapati ranjangnya kosong dan mencari-carinya dengan panik, hingga akhirnya mendapati gadis itu berdiri di samping ranjang Sarah, yang tewas dengan sebuah pisau menancap di dadanya. Courtney Wales menikam sahabatnya sendiri, ia mengakui hal itu. Ia mengalami gangguan jiwa akibat pengalaman traumatis. Berita terakhir yang beredar, putrid tunggal keluarga Wales itu dikirim ke Mental Institute untuk menjalani perawatan lebih lanjut.
Bagi sebagian orang, mungkin peristiwa ini hanya menjadi kisah tragis tiga bersahabat yang sudah bersama-sama sejak di Primary School. Namun insting pemburu Winchester bersaudara mengatakan lain. Ada sesuatu di hutan itu. Sesuatu yang begitu menakutkan hingga membuat jantung David berhenti begitu melihatnya, dan Courtney sampai tega membunuh teman masa kecilnya.
Awalnya Dean dan Sam mengira Sarah kerasukan. Teori yang paling sederhana sekaligus masuk akal. Sarah, dengan kekuatan demonnya, mudah saja menghentikan detak jantung David dan menakut-nakuti Courtney. Ketika Courtney terbangun, ia jelas mengira Sarah adalah monster dan tanpa pikir panjang langsung membunuhnya.
Namun gagasan sempurna itu langsung runtuh begitu Sam menyadari sesuatu: Sarah Owner juga koma. Ia juga menderita tegang saraf. Sejauh pengalamannya, orang yang kerasukan tak merasakan apa-apa. Mereka bahkan tidak ingat perbuatan mereka. Sam pernah dirasuki – sebuah pengalaman yang lebih dari tidak menyenangkan – jadi ia tahu betul hal itu.
"Kurasa kita harus terjun ke lapangan," kata Dean, "kita cari informasi langsung di tempat kejadian."
Untuk kedua kalinya hari itu, Sam mengangguk mengiyakan perkataan seseorang.
* * *
Dua orang pria berlari tergopoh-gopoh menembus hujan dari mobil Chevy Impala, kepala mereka tersembunyi di balik tudung jaket. Lonceng di atas pintu berkelinting ketika mereka masuk ke kedai kopi terdekat. Pelayannya tampak tak keberatan ketika dua orang basah kuyup itu melintasi ruangan, meninggalkan becek dimana-mana. Mungkin ia sudah terbiasa.
"Coffe black, dua," kata salah satu di antara mereka, yang berambut cepak dan bermata indah. Si pelayan sampai terpana sebelum akhirnya tersenyum salah tingkah dan buru-buru membuatkan pesanan. Dua pria itu duduk di pojok, sejauh mungkin dari jangkauan pendengaran siapa pun.
"Kuharap aku salah, tapi bukankah ini masih bulan Juli?" desis Dean marah pada Sam, seolah hujan lebat di luar adalah kesalahannya.
"Oh well, wajar kan," jawab Sam, mengangkat bahu. "Kesan pertama yang kau dapatkan ketika sampai di sini adalah basah. Begitu kata orang-orang."
Dean bersandar di kursi dengan kesal. Matanya tertuju ke jendela, tapi toh ia tak melihat apa-apa. Hujan sial ini menutupi semua yang bisa dilihat mata dalam radius satu meter. Ia heran kenapa bocah-bocah itu mau saja camping di tempat macam ini. Kalau kotanya, pusat peradabannya saja sudah basah, Dean tidak bisa membayangkan bagaimana hutannya.
"Kita menempuh dua puluh jam perjalanan dan ini hasilnya?" gerutu Dean.
"Tiga jam, kalau kau tidak keberatan naik pesawat," ralat Sam kalem.
Dean langsung memutuskan, setelah Lawrence, tempat ini adalah kota terakhir yang mau ia kunjungi.
* * *
Sam dan Dean melangkah dengan hati-hati. Hujan lebat tadi pagi memang telah berhenti, dan kini matahari bersinar – tidak cerah, namun setidaknya ada cahaya menembus di balik pepohonan, membuat hutan tak terlalu suram. Malah bisa dibilang indah, andai tanahnya tidak luar biasa berlumpur, licin, dan tertutup semak lebat. Belum lagi makhluk penghisap darah bernama lintah yang selalu tampak menempel di kulit Sam dan Dean tiap kali mereka mengangkat kaki. Membebaskan diri dari lintah-lintah itu membuang-buang waktu dan mengurangi efisiensi kerja.
"Makhluk keparat! Menyingkir dari tubuhku!" umpat Dean murka sambil untuk kesekian kalinya menarik lintah-lintah gemuk dari balik celana jeans-nya. Biasanya Dean bukan tipe orang yang gampang terpengaruh cuaca, tapi cuaca di kota ini begitu ekstrim hingga ia jadi sangat moody dan bawaannya marah melulu.
"Berhenti menggerutu Dean, kau mulai membuatku muak," kata Sam tanpa repot-repot menoleh pada si kakak yang berjarak beberapa meter di belakangnya.
Bukannya berhenti, Dean malah makin menjadi. Ia mengumpat segala sesuatu: Lumpur, semak, pohon, matahari yang tidak cukup panas, makhluk yang sedang diburunya…. Sam hanya geleng-geleng kepala dan berjalan lebih cepat. Di saat seperti ini, menjauh dari Dean adalah keputusan paling bijak. Jika tidak ia akan kena semprot juga untuk hal-hal sepele seperti caranya membawa senapan dan semacamnya.
Tak lama berselang, tiba-tiba Sam mengacungkan senapan ke arah rumpun perdu lebat. Dean yang sibuk memaki langsung berhenti melihat sikap adiknya. Cepat-cepat ia menjajari Sam.
"Ada apa?" bisiknya.
"Sssshhhh!!!" desis Sam mengangguk ke arah perdu.
Dean menajamkan telinga. Terdengar sesuatu. Ranting berkeretak. Rumput gemeresak. Seseorang, atau sesuatu, berjalan mendekati mereka. Dean ikut mengacungkan senapan. Mereka menunggu. Perdu itu mulai bergerak, tanda sesuatu telah menyenggolnya. Sebentar lagi, makhluk apapun itu, akan muncul di hadapan mereka.
"Hitungan ketiga," bisik Dean. Sam mengangguk.
"Satu….."
"Dua……"
Dan muncullah ia. Makhluk coklat jelek dengan tangan terjulur. Ia berjalan terseok-seok mendekati kedua cowok itu…..
"Tiga!" seru Dean, menarik pelatuk.
Tembakan pertama meleset. Bukannya mendarat di kepala monster itu, peluru malah nyasar ke pohon di belakangnya. Makhluk itu menjerit.
"Stop! Stop! Jangan tembak!"
Suara itu. Suara yang sangat familiar bagi Dean maupun Sam. Mereka berdua saling pandang. Mungkinkah…….?
"Siapa kau?" Tanya Dean keras, masih mengacungkan senapan ke arah makhluk yang kini berlutut di semak, kedua tangannya melintang membentuk perisai.
Perlahan, makhluk itu menurunkan tangannya. Dean bisa melihatnya dengan jelas sekarang. Tak salah lagi. Meski wajahnya tertutup lumpur, Dean mengenali orang itu.
"Jo?" kata Sam heran, menatap cewek di hadapannya.
Jo Harvelle berdiri perlahan. Penampilannya parah, seperti habis mandi lumpur dan tanah selama dua hari dua malam. Jo mengusap sedikit lumpur di matanya, mengerjap satu-dua kali, lalu berkata, "Winchesters? Sedang apa kalian di sini?"
"Sedang apa kau di sini?"
"Hunting."
"Dengan semua lumpur itu di tubuhmu? Atau kau memang sedang menyamar?"
Jo memelototi Dean. Walau demikian, ia tampak nyaris mati karena malu ketika bergumam, "aku terperosok ke kubangan lumpur." Ia beruntung. Tanpa lumpur di wajahnya, kedua Winchester tentu akan menyaksikan mukanya membara.
Sam menyamarkan tawa dengan batuk-batuk. Dean tidak mau repot bersopan santun. Ia nyengir lebar.
"Yeah, ketawa saja Dean, akan kuhajar kau nanti," geram Jo.
"Yeah, tentu. Setelah kau bersihkan tubuhmu dari lumpur dan itu," kata Dean, menunjuk pipi Jo.
Jo meraba pipinya. Menarik benda lonjong yang melekat di situ. Jo memandanginya. "Lintah! Aaarrrrrggghhh!"
* * *
Setelah membantu Jo mensucikan diri dari vampir alam di seluruh tubuhnya (sebenarnya hanya Sam yang membantu. Jo tidak mengijinkan Dean memegang-megang dirinya), Dean dan Sam mengikuti cewek itu keluar dari hutan. Menurut keterangan Jo, yang disampaikan dengan sedikit nada sombong, ia sudah menelusuri bagian hutan itu sejak pagi – ketika Dean dan Sam bahkan baru saja sampai – dan tidak menemukan apa-apa. Sebenarnya Sam dan Dean tidak yakin dengan hasil yang diperoleh Jo. Mereka ingin menelusuri hutan sendiri, tapi kemudian hujan mulai turun dan mereka bertiga tak punya pilihan selain kembali ke kota.
Dean terperangah melihat mobil Jo. Dulu, waktu pertama kali bertemu keluarga Harvelle di Roadhouse, Dean mengendarai mobil norak berdecit-decit yang membuatnya merasa seperti ibu-ibu. Tapi mobil Jo – sebuah van tua berwarna kuning dan bercorak pink, jenis mobil yang membuat Dean malu bahkan untuk berdiri di sampingnya – sukses membuat van ibu-ibu itu jadi tampak keren. Dean sampai heran kenapa ia tidak melihat benda ajaib itu tadi. Baru saja ia membuka mulut untuk melontarkan komentar sarkastis, Jo sudah menyalakan mesin. Suaranya menggelegar bagai petir di tengah badai, diiringi geruman-geruman aneh seperti orang mendengkur. Komentar sarkastis segera berubah menjadi hinaan sadistis.
"Tutup mulut atau kugilas kau bersama mobilmu yang cantik," ancam Jo sekaligus sebagai sindiran. Dean cuma menyeringai.
Mobil mereka berbaris melintasi jalan (Jo di depan) dan bersama-sama berhenti di sebuah motel. Dean memilih motel itu karena paling dekat dengan hutan, dan kelihatannya sih, merupakan satu-satunya motel murah yang ada di kota. Alasan yang sama dengan Jo, tapi tetap saja cewek itu protes.
"Apa kalian tidak bisa cari tempat lain?" teriaknya sambil menggedor kaca Impala.
Dean menurunkan kaca driverseat. "Sayangnya tidak," sahutnya, menyeringai. Kelihatannya moodnya jadi lebih baik setelah menemukan orang yang bisa digoda. "Tapi kau boleh masuk duluan. Lagipula, kami akan menunggu hujan sedikit reda dulu. Dan omong-omong soal hujan, sebaiknya kau cepat masuk sana. Nanti kau basah kuyup dan semakin mirip monster lumpur."
Jo membuka mulut dengan marah, tapi tidak jadi menyembur. Dean benar. Sekarang tubuhnya kotor, basah kuyup dan kedinginan. Ia menggerung marah dan masuk motel. Dean terkekeh.
"Anak yang lucu, dia itu," katanya pada Sam.
Sam memutar bola mata. "Whatever."
* * *
Seperempat jam kemudian, hujan mulai reda. Dean dan Sam memutuskan untuk masuk motel. Ternyata Jo masih berdiri di depan meja resepsionis, tampangnya seolah siap mengganyang apa saja.
"Kami tidak tahu kau menunggu kami, Jo," goda Dean.
"Bukan kau yang kutunggu, tapi pemilik motel tuli," gerutu Jo. Ia lalu menekan bel di sampingnya berkali-kali. Tetap tak ada orang yang muncul. Marah, ia memukul bel itu penuh emosi. Terdengar bunyi ping! Nyaring, dan Jo menurunkan tangannya. Ekspresi Jo tampak biasa, tapi Dean dan Sam tahu ia menahan sakit yang timbul gara-gara menekan bel terlalu keras.
Seorang pria gendut berambut acak-acakan dan berkantung mata muncul dari balik pintu di belakang meja resepsionis. Kentara sekali ia baru bangun tidur, dilihat dari kuapnya yang selebar kudanil dan matanya yang masih setengah terpejam.
"Yeah?" tanyanya malas.
"Aku mau check-in," bentak Jo habis sabar.
Si pria menatap Jo sejenak, mungkin kaget dengan penampilannya yang berlumur lumpur, tapi tak berkomentar apa-apa. Ia mengambil buku tamu besar dari laci dan bertanya lagi, "nama Anda?"
"Vivian Ward."
Dean mendengus geli. Jo meliriknya galak.
"Berapa hari?"
"Untuk saat ini, sampai besok."
"Tunai? Kredit?"
"Kredit."
Jo menyerahkan sebuah kartu. Si pria menggesek lalu mengembalikannya bersama kunci kamar. "Nomor 13."
"Thanks," kata Jo dan melengos pergi ke kamarnya.
"Check-in juga?"Tanya si pria, menatap Dean dan Sam bergantian. Sam yakin bibir pria itu berkedut sedikit.
"Yeah."
"Nama Anda?"
Belum sempat Dean menjawab, Jo sudah kembali ke ruangan itu. "Tidak ada kamar nomor tiga belas," protesnya.
"Masa?" kata si pria, tampak terkejut. Kemudian ekspresinya berubah. "Oh benar. Tidak ada. Sudah kujadikan gudang, maaf. Tolong tunggu sebentar, akan kucarikan kamar lain."
Jika pandangan bisa membunuh, pria itu pastilah sudah tewas mengenaskan di bawah tatapan Jo. Cewek itu menarik nafas untuk menenangkan diri dan bersidekap menunggu si pria melayani Winchesters.
"Maaf, nama Anda?"
"Lewis. Edward Lewis."
Ekspresi dongkol Jo ketika mendengar nama samaran Dean langsung berubah jadi seringai kemenangan saat si pria bertanya, "satu king size bed?"
"Tidak. Two beds. Kami kakak adik," jelas Sam buru-buru sambil menunjuk dirinya dan Dean.
"Oh, maaf," kata si pria tanpa penyesalan. Setelah Dean membayar, ia menyerahkan kunci. "Kamar sembilan. Dan Anda Ma'am…." Si pria memberikan satu kunci lain pada Jo. "Nomor sepuluh."
"Apa?! Apa tidak ada kamar lain?"
"Tidak ada, maaf."
Jo menyambar kuncinya dengan kesal dan berjalan cepat mendahului dua cowok di belakangnya. Dean bisa mendengarnya mengutuk motel itu pelan, dan diam-diam Dean setuju. Ia sendiri heran bagaimana motel dengan pelayanan seperti itu bisa tetap bertahan. Tapi… yah, itulah keuntungan menjadi satu-satunya motel ekonomis di daerah yang sering dilintasi backpacker.
Ternyata kamar mereka berseberangan. Dean langsung memanfaatkannya untuk menggoda Jo lagi. "Kalau butuh sesuatu, katakan saja, Lady Vivian."
Jo membanting pintu.
* * *
Paginya Jo menemui Dean dan Sam.
"Aku mau bicara," katanya kaku.
Mereka bertiga pergi ke diner terdekat untuk sarapan sekaligus membicarakan apa pun yang ingin Jo katakan. Rupanya ia keberatan Winchester bersaudara berburu di kota itu. Ia menganggap tempat itu sudah menjadi teritorinya, mengingat ia yang lebih dulu sampai – meski hanya selang beberapa jam.
"Ini wilayah perburuanku. Kalian cari tempat lain sana," ujar Jo gusar.
"Kau kedengaran seperti singa jantan, tahu tidak," seringai Dean.
Jo melotot tapi memutuskan untuk tidak menanggapi. "Kalian bisa ke Utah, kudengar di sana ada Nymph yang mengganggu. Atau ke Clendin dan mengejar mothman."
Tawaran bagus. Kebetulan Dean memang ingin sekali meninggalkan kota lembab ini. Tapi ia tidak mau kalah dengan Jo. "Kami memutuskan untuk berburu di sini. Kalau mau kau saja yang pergi."
"Ayolah, jangan konyol. Aku datang ke sini lebih dulu, tahu."
"Cuma selang beberapa jam, dan toh kau juga belum menemukan apa-apa kan?"
Mereka menghabiskan pagi itu untuk berdebat. Pada akhirnya Jo kalah. Winchesters mengungkit-ungkit masalah profesionalitas dan pengalaman, hal-hal yang jelas lebih banyak dipunyai mereka. Mereka menganggap Jo belum mampu menangani kasus ini sendirian, mengingat mereka berdua saja kesulitan mencari informasi. Sangat berbahaya, kata Sam dengan lagak menceramahi anak kecil, mengejar makhluk yang bahkan tidak kau ketahui wujudnya, bagaimana cara membunuhnya, apalagi Jo sendirian dan bisa dibilang masih amatir. Dean dan Sam menawarkan agar mereka bekerja sama, tapi Jo merasa sangat terhina. Ia pergi meninggalkan diner. Dean dan Sam mendengar derum van-nya, makin lama makin jauh.
"Satu masalah beres," celetuk Dean.
"Sejujurnya aku merasa tidak enak pada Jo," kata Sam pelan, "lagi-lagi kita merebut kasusnya."
"Ini lebih baik baginya, dan bagi kita, kau tahu itu," sahut Dean, "cewek keras kepala itu hanya menyusahkan saja. Nanti dia tertangkap makhluk itu dan setelahnya akulah yang bakal dihajar Ellen."
* * *
Menjelang tengah hari Dean dan Sam kembali ke hutan. Pertama-tama mereka pergi ke bagian hutan yang sudah disusuri Jo kemarin. Dia benar. Tak ada apa-apa di sana. Kemudian mereka menyadari bahwa hutan itu terlalu luas untuk dijelajahi dalam satu hari kalau mereka tetap bersama, maka keduanya pun berpencar. Dean ke selatan, Sam ke utara. Mereka sepakat untuk saling memberi sinyal saat menemukan sesuatu.
Dean melangkah hati-hati, menajamkan seluruh inderanya. Terkadang ia mendengar suara gemeresak, tapi setelah diteliti, ternyata itu hanya tupai. Selain itu tak ada suara asing, hanya kicauan burung di kejauhan dan langkahnya sendiri. Bayangan-bayangan yang terkadang berkelebat mengejutkan pun, setelah diperhatikan hanya burung yang terbang dan terkena cahaya. Hutan begitu damai, namun justru kedamaian itulah yang menakutkan. Kau tidak tahu kapan makhluk tidak alamiah mengendap-endap dan menerkammu.
Lebih jauh ke dalam hutan, Dean mencium bau harum yang sangat memikat. Ia mencari sumber aroma itu dan menemukan sebuah pohon yang dipenuhi tanaman rambat. Bau harum itu berasal dari bunga-bunganya yang mekar penuh dan tampak sangat cantik ditimpa cahaya matahari yang menerobos masuk dari celah dedaunan. Beberapa bahkan telah menjadi buah yang sama harumnya. Dean tidak pernah tertarik pada tanam-tanaman, tapi kali ini seolah ada magnet yang menariknya ke arah bunga yang berbentuk seperti bunga cherry itu. Saat tanganya terjulur untuk memetik satu, jarinya tergores duri.
"Ouch!" peik Dean kaget, secara spontan menghisap darahnya.
Lalu ia melihatnya.
Seorang wanita muncul dari balik dedaunan tanaman rambat. Cahaya matahari dari belakangnya menimbulkan tipuan, sehingga wanita itu seolah memancarkan sinar bagai bidadari dari langit. Rambut pirangnya tergerai, senyumnya begitu hangat. Dean menahan nafas. Tidak mungkin…….
"Mom?" bisik Dean tercekat.
Wanita itu berjalan mendekati Dean semenatara ia sendiri berdiri mematung. Tidak, ada yang salah. Mary Winchester sudah meninggal. Ia tidak mungkin berada di sini, di tengah hutan tempat sebuah peristiwa tragis terjadi. Apapun yang sedang mendekatinya sekarang, itu bukan ibunya. Itu makhluk lain. Dean sadar betul akan hal itu. Tapi kenapa ia tak bisa menarik pelatuk dan memberi tanda pada Sam?
"Dean, my boy," kata Mary lembut, tangannya terjulur meraih pipi Dean.
Dean mundur selangkah. "Don't touch me," kata Dean waspada.
"Kenapa?" Mary tersenyum. Senyum yang sangat Dean rindukan. Ada dorongan gila dalam hatinya, sebagian kecil dari dirinya memintanya percaya bahwa wanita di hadapannya itu benar-benar sang ibu. Dean menguatkan cengkeraman ke pistol untuk menjaga kewarasannya.
"You're not my mother," kata Dean parau. Tidak disangka, ia sulit sekali mengatakan hal itu.
Mary kembali mendekat. "Are you hurt, honey?" tanyanya halus, menatap jari Dean yang berdarah. Sebelum Dean menghindar, ia telah menarik tangan Dean.
Terjadinya begitu saja. Ketika Mary menyentuhnya, Dean mendadak melihat kilasan peristiwa malam itu. Malam terburuk dalam hidupnya, saat ia menyaksikan kematian ibunya. Ingatan itu terus menerus berkelebat dalam benaknya, begitu nyata, begitu menakutkan. Dean berusaha menarik lepas tangannya, tapi tak bisa. Cengkeraman Mary terlalu kuat. Susah payah akhirnya Dean berhasil mengangkat pistolnya dan menarik pelatuk. Suara ledakan memecah keheningan hutan.
* * *
"Dean!"
Sam berlari menghampiri kakaknya. Ia langsung berbalik mencari Dean begitu mendengar suara tembakan, dan mendapatinya tengah berlutut di depan sekumpulan tanaman rambat.
"Dean, are you alright?" panggil Sam sambil mencengkeram pipi Dean. Ia bisa merasakan keringat dingin di wajah itu.
"Sammy?' Tanya Dean bingung, nafasnya terengah-engah.
"Dean, what happened? Did you find it?"
"No," jawab Dean sementara Sam membantunya berdiri. Tapi kepalanya yang menengok kesana-kemari mencari sesuatu membuat Sam penasaran.
"What is it?"
"I…. I thought I saw….." gumam Dean sambil terus mencari. Ia tak menemukan tanda-tanda ada orang lain selain mereka berdua.
"What, Dean? What did you see?"
"Nothing," kata Dean, menggeleng. "Let's go back to the motel, Sam."
"Nothing…. Dean! Stop playing that 'nothing' craps! Tell me what happened!" tuntut Sam sambil bergegas menjajari Dean yang berada beberapa meter darinya.
Dean berbalik, Sam terkejut melihat ekspresi marah di wajahnya. "I didn't see anything, okay? It's just…. Some stupid light illusion!Let it go!" kata Dean gusar dan berjalan cepat mendahului Sam.
* * *
Dean sengaja tidur lebih awal untuk menghindari berbagai pertanyaan dari Sam. Mereka berdua tidak saling bicara selama perjalanan pulang dari hutan, juga sepanjang sore. Dean menolak memberitahu Sam apa yang dilihatnya, dan ini membuat Sam jengkel. Ia pun pergi keluar untuk menenangkan diri, sementara Dean memilih tinggal di motel, menikmati sedikit privasi.
Malam sudah larut ketika Dean kembali terjaga. Hembusan nafas pelan dari ranjang sebelah menandakan bahwa Sam sudah pulang. Bertanya-tanya jam berapa sekarang, Dean berbalik untuk melihat weker kecil di meja kecil di samping tempat tidur.
Jam satu dinihari.
Tiba-tiba pintu berderit perlahan. Dean terkejut dan menoleh. Seketika tubuhnya terasa kaku, sensasi yang sama seperti saat ia melihat sosok ibunya siang tadi. Tapi yang muncul dari balik pintu kali ini sama sekali bukan ibunya. Sosoknya bahkan tidak manusiawi. Makhluk itu berwujud seperti orang tua dengan tubuh luar biasa kurus, berkulit putih mentah, wajahnya tersembunyi di balik rambut kotor yang lebat. Ia berjalan merangkak seperti laba-laba raksasa ke arah tempat tidur Dean.
Dean berusaha meraih pistol yang tergeletak tepat di samping bantalnya, tapi tubuhnya tidak bisa bergerak. Seolah ada tali tak terlihat yang mengikatnya erat. Ia mencoba memanggil Sam, tapi mulutnya terkunci. Tak ada hal lain yang bisa dilakukannya selain mengawasi makhluk itu naik ke temapt tidurnya, merangkak ke dadanya, dan mendekatkan kepalanya yang penuh rambut ke wajah Dean.
Kengerian merambat di sekujur tubuh Dean. Bayangan itu terlintas lagi saat mereka bertatap muka. Bayangan kematian ibunya, peristiwa kebakaran itu, bahkan kali ini, rasanya seluruh mimpi buruk yang pernah dialaminya muncul, otaknya bagai memutar film-film horror paling menakutkan yang pernah ia lihat. Lalu Dean merasakan tubuhnya perlahan jatuh ke kegelapan, ia berteriak, tapi tak seorang pun mendengar.
* * *
Sam bangun pukul sepuluh pagi, saat membingungkan yang membuatmu berpikir akan pergi sarapan atau makan siang. Ia menggosok matanya yang masih berat oleh kantuk. Ia menoleh ke ranjang sebelah dan mendapati Dean masih tidur, kepalanya menghadap pintu. Sam bangkit, berjalan terhuyung-huyung ke kamar mandi dengan mata setengah terpejam, kakinya menabrak lemari di sebelah pintu kamar mandi, mengumpat, sebelum akhirnya masuk untuk menyegarkan diri.
Setengah jam kemudian, Sam keluar dengan wajah cerah, nafas harum, rambut tersisir (walaupun kesannya masih berantakan) dan pakaian rapi. Tinggal makan, dan ia pun akan siap melakukan research lagi. Sedangkan Dean, ia masih saja tidur.
"Oi Dean! Mau tidur sampai kapan?" seru Sam.
Tak ada reaksi. Dean bahkan tak bergeming, padahal Sam yakin suaranya lumayan keras.
Sam mendekati ranjang Dean. Ini aneh. Dean adalah seorang light sleeper yang bakal terusik oleh suara sekecil apa pun, teristimewa suara Sam. Tiap kali mendengar adiknya berteriak, Dean akan langsung melompat bangun dengan senjata di tangan, siap melindungi Sam dari bahaya yang mungkin mengancam. Memang kadang-kadang ia tidur nyenyak, tapi itu karena tidak tidur semalaman atau di bawah pengaruh painkiller. Sedangkan seingat Sam, waktu dia pulang jam sebelas saja Dean sudah ngorok – dan ia juga tidak sedang terluka sampai harus minum Tylenol.
"Dean?" panggil Sam hati-hati, memegang tangan Dean.
Sam menarik tangannya dengan terkejut. Tubuh Dean sedingin es. Dengan panik Sam mengguncang-guncang tubuh kakaknya. "Dean! Wake up! Dean!"
Tapi Dean tetap tak menjawab. Kepalanya yang menghadap pintu kini terkulai hingga Sam bisa melihat wajahnya. Sontak hatinya mencelos. Wajah itu pucat pasi, seolah tak ada darah mengalirinya.
"Dean, what's wrong with you?" teriak Sam, mengguncang bahu Dean begitu keras sampai kepalanya terkulai ke sana kemari seperti boneka rusak. "Dean, wake up! Come on, man! Please wake up! DEAN!"
TBC
