"..chan.. Hime-chan~"

"Engh," gadis itu mendesah dan reflek memanggil nama pemuda itu di sela desahannya saat tidur panjangnya terusik oleh panggilan mesra dari pemuda di sampingnya.

"Kamu jangan mengerang gitu dong, aku jadi terangsang.. sayang," ucap pemuda itu, membisikkan kata terakhir dengan intonasi yang tak biasa serta senyum menggoda.

Iris jernih sang gadis sontak muncul dari balik kelopaknya lalu reflek terduduk saat mendengar kalimat pefert itu. Ia kemudian berbalik untuk melihat pemuda yang mengajaknya berbicara sejak tadi. "Bi..bicara apa sih!" rajuknya, merasa kesal karena pemuda itu telah membuatnya merona pagi ini. Akan tetapi, toh gadis itu akhirnya tersenyum juga—dengan wajah yang masih merona tentunya.

Pemuda itu hanya terkekeh sambil menahan hujaman tangan kecil yang mengarah ke dada bidangnya. "Hei..hei.. sudah.. baiklah..aku minta maaf," ujar pemuda itu di sela-sela tawanya.

"Kau tidak terdengar seperti meminta maaf," rajuk si gadis sambil melipat tangan di dada lalu memunggungi pemuda itu, berpura-pura marah.

Pemuda itu kembali terkekeh geli. "Oke, oke," ia berusaha berhenti tertawa. "Gomenasai Hime," ucapnya sambil mengelus rambut bak sutra sang gadis.

Gadis itu berbalik, mengembungkan pipi chubbynya—yang membuatnya semakin manis di mata sang pemuda—kemudian tersenyum. "Aku memaafkanmu, Anata," tuturnya dengan wajah bersemu.

Si pemuda mengangkat alisnya mendengar 'Hime'nya itu memanggil malu-malu dirinya dengan sebutan mesra yang membuatnya sedikit merona. Kemudian dengan gemas dia mencubit pipi porselen sang gadis lalu menarik tubuh gadis itu untuk masuk ke dalam pelukannya.

Gadis itu terkejut dan tidak sempat merespon apa-apa sampai si pemuda membaringkan tubuhnya sendiri, membuat tubuh sang gadis yang sedang didekapnya ikut terbaring. Rona merah tak dapat lagi dicegah, dan dengan jahilnya merembes mewarnai pipi mulusnya.

Ia tak punya daya lagi untuk melawan, dayanya telah diserap habis hanya untuk menolong jantungnya yang sedang kritis agar dapat memompakan darah ke seluruh tubuh seperti biasa. Selain itu, kehangatan dan harum maskulin yang menyeruak dari tubuh si pemuda memesonakannya, ia merasa nyaman berada di atas dada bidang pria yang dicintainya itu.

"Hime sayaa~ng," keheningan pecah oleh sebuah suara menggoda baritone khas lelaki dewasa.

"Hmm?" suara lain mengalun lembut namun terdengar bergetar.

"Berhubung ini hari Minggu, dan hari ini adalah hari terakhir bulan madu kita," ia menyeringai, namun tak terlihat oleh sang gadis karena ia tengah membenamkan wajahnya di dada bidang si pemuda. "Bagaimana kalau.. kita.. ekhem.. melanjutkan.. yang.. 'waktu itu'?" lanjut si pemuda dengan beberapa jeda.

"Eh? Wa..waktu itu?" si gadis sedikit mengadah untuk menatap wajah sang pemuda.

Pemuda itu mengangguk kuat. "Ya! Aku yakin, kali ini pasti lebih sukses daripada yang kemarin!" serunya tanpa dosa. Lama mereka bertatapan, dengan dua wajah yang berbeda—yang satu menyiratkan antusiasme, yang lain memperlihatkan keterkejutan yang kentara bila dilihat dari warna wajahnya yang berubah drastis.

Pluk!

"Uwaaa kau kenapa? Tidaak, kumohon jangan pingsan dulu Hime-chaan!" terlambat, gadis itu sudah tak sadarkan diri sekarang.

"Ngh."

"Ohayou."

Mata itu terbuka, memperlihatkan warna alaminya yang bersinar. "O..ohayou. Ki..kita ada dimana?"

"Jalan menuju rumah. Aku baru ingat kalau masa inap kita habis siang tadi, lalu karena kau tak kunjung sadar akhirnya aku putuskan untuk pulang saja."

"Oh, begitu. Go..gomenasai," si gadis menunduk kecewa

"Tidak perlu minta maaf. Lagipula aku yang salah karena berlebihan menggodamu," pemuda itu terkikik sendiri mengingat kejadian tadi pagi, sesekali ia melirik ke arah gadisnya kemudian kembali fokus menyetir.

Si gadis hanya merespon dengan gerak tubuhnya. Kemudian mereka kembali bungkam selama perjalanan yang lumayan panjang itu. Satu jam bukanlah waktu yang cukup untuk mereka sampai ke rumah. Mereka harus melewati beberapa kota dan perdesaan sebelum akhirnya sampai di Konoha, dimana rumah mereka yang baru dibeli pemuda itu dengan hasil jerih payahnya berada.

"Lihat, sebentar lagi kita akan melewati sungai Aoi yang terkenal itu. Lalu jika kita memasuki perdesaan dan berjalan sekitar satu jam setengah kita akan sampai di air terjun Harui yang terkenal indah pada musim semi—seperti namanya. Mereka bilang tempat itu sangat mengesankan dan sangat cocok untuk pasangan baru seperti kita," terang pemuda itu memecah keheningan.

"Benarkah? Kalau begitu, ayo ke sana!" ujar sang gadis dengan mata berbinar, tak terasa ia menepuk kedua telapak tangannya saking girangnya ia.

Pemuda itu tersenyum singkat, kemudian mendesah kecewa. "Tapi sekarang sedang musim gugur, anginnya sedang tak bagus pula, jadi arusnya sangat deras. Selain itu daun-daun yang berguguran mengurangi keindahannya dan tidak cocok untuk tempat rekreasi," ia melirik ke sampingnya, dilihatnya wajah sang gadis yang menyiratkan kekecewaan.

"Tapi tenang saja, aku berjanji akan mengajakmu ke sana musim semi nanti!"

Gadis itu memutar kepalanya cepat dengan senyum mengembang di wajahnya. "Janji?"

"Janji!" jawab pemuda itu mantap mengucapkan janjinya.

Ya.. janji terakhirnya...

_...Breathe..._

.

.

"Anata doko desuka."

.

.

Story by

Oryko Hyuuzu (Ory-chan)

.

.

"Anata ogenki desuka."

.

.

Disclaimer

Masashi Kishimoto-sama

.

.

"Dare ni kikeba ii nodesuka."

.

.

Rated

T+

.

.

"Ne, korewa anata no yakusoku towa chigaimasuyo—"

.

.

Main Chara

Hinata Hyuuga

Naruto Namikaze

.

.

"—sorewa naze desuka."

.

.

Another Chara

Sakura Haruno

Kushina Namikaze

Sasuke Uciha

Hanabi and Neji Hyuuga

Tsunade

Etc.

.

.

"Kokoro kara kimi no koto wo aishiteru."

.

.

Genre

Mistery/ Tragedy/ Romance

.

.

"Oyobi, kimi wo eien ni aisuru to kami ni chikaimasu."

.

Warning

Cerita ini membutuhkan 10% logika 90% perasaan.
MissTypo, OOC, EYD masih cetek, de el el.

.

.

"Aitai—"

.

.

Story Detail

Full of mistery, tragedy and romance.
Multi Chap. Update
on second Sunday each month
English/Japanese a few translate.
Don't like, don't read, don't lie, don't FLAME.

.

.

"—Naruto-kun."

.

.

Happy reading!

.

.

.

_...Breathe..._

"HAH!" desah seorang gadis yang baru saja bangun dari tidurnya itu, mimpi itu lagi, batinnya. Mata lavendernya melirik jam oranye yang tergantung di dinding. Melihat warna jam dinding itu membuat lavendernya meredup seketika. Namun ia tidak ingin larut terlalu dalam pada warna bernada cerah itu, bisa-bisa ia menangis lagi seperti yang ia lakukan kemarin, kemarin dan kemarinnya lagi. Pandangannya kembali terfokuskan ke arah jarum jam yang menunjuk ke angka dua dan enam. 2.30, masih terlalu pagi untuk beraktivitas, namun tidak baginya.

"Otou-sama, bagaimana?" ucapnya langsung saat sukses menekan tombol di permukaan ponselnya dan menempelkan speaker ke telinganya yang terhalang rambut. Namun ternyata belum ada jawaban dari sana, tentu saja, batin gadis itu merutuki kebodohannya. Ia mendesah panjang sambil menunggu seseorang di seberang sana mengangkat teleponnya, apakah ayah sudah tidur? batinnya khawatir.

"Moshi-mo—."

"Otou-sama!" sembur Hinata tak sabaran.

"Hinata? Kenapa kau menelpon dini hari begini? Kembalilah tidur," respon suara berat dari seberang sana.

"Bagaimana, Otou-sama?" tanya Hinata tanpa memperdulikan suruhan ayahnya.

"Belum ada perkembangan, tapi kami masih berusaha dan kau tau kami akan terus berusaha di sini."

Hinata menahan butiran bening di pelupuk matanya. "Begitukah?"

"Percayalah padaku, Musume," balas pria itu menyadari perubahan suara anaknya. "Sekarang kembalilah tidur, jika aku melihat kantung hitam di sekitar matamu maka aku akan melarangmu ke sini," ancam pria itu tegas.

"Go..gomenasai Otou-sama. A..arigatou," ucapnya pelan.

"Daijoubu. Douita. Jaa, oyasumi, tidurlah dengan tenang. Serahkan saja semuanya pada kami."

"Ha..hai Otou-sama, o..oyasumi," Hinata memutuskan panggilan lalu meletakkan ponsel itu di sampingnya. Lututnya menekuk, dengan perlahan ia peluk lututnya untuk mengatasi guncangan yang ia rasakan karena isakan yang keluar dari mulutnya tanpa bisa dicegah. Ia menangis dalam diam.

"Hinata-chan," panggil seseorang dari ambang pintu.

Gadis itu sedikit mengangkat kepalanya, mendapati seorang wanita berambut merah panjang berdiri di ambang pintu. "Boleh aku masuk?" tanya wanita cantik itu sambil menyunggingkan sedikit senyum.

"Douzo, Kushina-sama," jawab Hinata berusaha membalas senyumannya

"Panggil aku Okaa-san, Hinata-chan," ucap Kushina dengan mimik keibuannya. Ia melihat Hinata mengangguk malu-malu kemudian melanjutkan. "Kenapa kau terbangun dini hari begini?"

Hinata menatap Kushina untuk beberapa saat kemudian kembali menunduk. "A..aku.. bermimpi," ia menggantungkan kalimatnya.

"Tentang... Naruto?" tebak Kushina pelan, tak kuasa menyebutkan nama anak semata wayangnya yang tengah hilang dalam kecelakaan beberapa hari yang lalu.

Hinata mengangguk pelan, ia semakin mempererat pelukan ke lututnya. "Aku yakin dia masih hidup, Okaa-san, Naruto-kun masih hidup! Dia berjanji sesuatu padaku!" ucap Hinata setengah berteriak.

"Ssh ssh ssh," Kushina mengusap lembut rambut kobalt panjang Hinata. "We hope so Hinata-chan, we all hope so."

Hinata memeluk Kushina erat, tangisnya pecah di sana. "Kenapa Naruto-kun belum pulang Okaa-san? Kenapa Naruto-kun menghilang? Kenapa kecelakaan itu harus terjadi? Kenapa harus Naruto-kun yang terjatuh? Kenapa bukan aku saja?" tanya Hinata bertubi-tubi dengan isakan-isakan memilukan di sela-sela kalimatnya, suaranya pun terdengar tercekat.

"Hinata, tenanglah nak. Aku yakin ayahmu dan anak buahnya akan menemukan Naruto secepatnya. Dia anak yang tangguh, dia pasti masih hidup," Kushina kembali mengusap rambut Hinata dengan sikap keibuannya. "Ditambah lagi ia memiliki istri yang sangat berharga sepertimu, dia pasti merindukanmu dan akan segera pulang."

"Benarkah?"

"Ya. Sekarang kembalilah tidur, aku akan menemanimu disini."

Hinata menurut, lalu kembali masuk ke dalam selimutnya. Ia bergeser agak ke tengah untuk memberi ruang untuk Kushina. Kushina tersenyum lalu masuk ke dalam selimut untuk menemani menantu kesayangannya itu.

"Oyasumi Hinata-chan."

"Oyasumi," balas Hinata. Kushina memandangi Hinata yang mulai memejamkan matanya. Terlihat jelas bahwa kedua mata indah itu kini bengkak dan memerah karena terlalu sering mengeluarkan air mata.

Kasian sekali kau Hinata, pada hari dimana kau dan Naruto seharusnya bahagia dengan kehidupan baru kalian, justru tragedi itu menimpa kalian. Batin Kushina, ia beralih pada foto di dinding yang menampilkan sepasang muda-mudi.

Di dalam foto itu, sang pemuda merangkul si gadis sedangkan tangan sebelahnya mengangkat telunjuk dan jari tengah ke arah kamera dengan senyum lebar dan sedikit menyipitkan mata kiri ocean bluenya. Kemudian si gadis meremas ujung kausnya sendiri dengan wajah yang bersemu merah dan senyum manis yang terlihat sekali dikeluarkan untuk mengatasi kegugupannya pada waktu itu. Kushina tersenyum menerka-nerka apa yang terjadi di hari dimana foto itu diambil. Beberapa saat kemudian senyumnya memudar.

Apa kata-kataku tadi benar? Atau yang kukatakan tadi pada akhirnya akan sama saja dengan memberi harapan kosong padanya? Batin Kushina lagi. Ia melirik Hinata yang sudah tertidur di sampingnya, menghela nafas kemudian memejamkan matanya. Berusaha untuk tertidur.

Tak terasa butiran bening jatuh bebas dari kelopak matanya.

Naruto.. pulanglah..

_...Breathe..._

Minggu yang cerah di musim gugur. Namun tidak bagi keluarga Hyuuga, dapat dipastikan kalau ini adalah Minggu tersuram mereka, khususnya gadis berambut kobalt yang tengah bersender di sebuah ayunan panjang, ia terduduk sendu di sebuah ayunan kayu di halaman belakang kediaman utama keluarga Namikaze.

Tatapannya kosong ke depan, bibirnya yang biasanya berwarna kini pucat dan sedikit retak akibat kekeringan. Matanya bengkak, kelereng lavender di dalamnya pun semakin redup seiring berjalannya waktu. Sudah lebih dari satu jam ia duduk di situ tanpa bersuara, bahkan terisak pun tidak. Ia hanya diam, solah tak ada gairah hidup sama sekali.

"Sejak pulang dari pemakaman di terus saja di situ, seperti itu," ucap sebuah suara yang sepertinya telah mengalun sedari tadi, berkata dengan nada sendu. Suara itu terdengar cukup jelas karena pekarangan itu sedang sepi sore ini. "Hiburlah dia, mungkin hanya kau yang bisa menghiburnya Sakura-san."

Disamping wanita berambut merah itu, berdiri seorang gadis yang sedikit lebih pendek dengan rambut merah muda sebahunya. Gadis itu menunduk, ia kaget juga mendengar penuturan Kushina barusan. Ia sudah mengenal Hinata sejak lama—sejak masih di taman kanak-kanak bahkan. Dan ia tahu, tidak ada yang bisa menghiburnya selain satu orang, dan ia tau orang itu sudah tidak ada di dunia ini.

Sakura putus asa dalam hati, namun ia tak ingin mengecewakan wanita di sampingnya yang notabenenya adalah mertua Hinata—sahabatnya. "Akan kucoba, Kushina-san."

Setelah mendapatkan senyum tipis dari Kushina, Sakura berjalan pelan menghampiri Hinata dan duduk di sampingnya. Ia ikut bersender di ayunan itu sementara kepalanya ia tolehkan ke samping—ke arah sahabatnya yang tengah diam membatu. Beberapa saat ia terdiam, sesekali mulutnya membuka namun ia kurungkan, Sakura tak tahu harus memulai darimana.

"Hinata," akhirnya Sakura mengeluarkan suaranya, "aku tahu persis bagaimana kau mencintai Naruto.. dan.." ia mengambil jeda sesaat.

"..dan bagaimana Naruto yang juga mencintaimu. Dia tidak akan senang melihat kau begini, Hinata. Hatinya akan terasa nyeri bila melihat keadaanmu yang seperti ini.. kau tahu, kau nampak.." Sakura merendahkan suaranya, "..kacau."

Sakura bergeming, menunggu respon dari sahabatnya itu. Namun Hinata tetap bungkam, ia tetap menatap rerumputan di bawahnya dengan tatapan kosong. Sakura mendesah. "Dia tidak akan tenang di alam sana kalau—"

"Dia masih hidup," potong Hinata, tegas. Sakura memutar kepalanya ke kanan,ia melihat Hinata masih menunduk.

"A—apa—"

"Naruto-kun masih hidup, aku yakin itu!" Sakura terbelalak mendengar penuturan tegas sahabatnya yang sedang berduka itu. "Aku bisa merasakannya, Sakura. Nafas dan detak jantungnya masih terasa olehku."

"Ta—tapi Hinata—"

"Dattebayo," potong Hinata lagi, ia menoleh menatap Sakura dan menyunggingkan sedikit senyum. "Believe it, Naruto-kun selalu berkata seperti itu, ne?"

"Hinata, tapi dia baru saja di kebumikan tadi. Kau melihatnya sendiri bukan?" tutur Sakura

"Dia bukan Naruto-kun."

"Eh?"

"Mayat itu. bukanlah. Naruto-kun," ulang Hinata dengan penuh penekanan.

"Tapi darimana kau tahu?" tanya Sakura dengan rasa penasaran yang amat sangat.

Hinata menyerongkan posisi duduknya, ia berhadapan dengan Sakura sekarang. Mata lavendernya menatap tajam emerald di depannya. "Dengarkan analisisku ini Sakura-chan. Naruto-kun terjatuh ke dalam sungai dan di perkirakan terbawa arus. Pencarian sudah dilakukan selama lima hari tanpa henti, namun Naruto-kun belum juga ditemukan."

"Dan pada hari ke enam, Otou-sama bilang kalau dia dan anak buahnya menemukan Naruto di dasar sungai. Untuk catatan aku tidak ada di sana waktu itu."

"Ayolah, jasad yang mati seharusnya mengambang—semua orang tahu itu. Tapi yang satu itu bisa disangkal—jasad itu tersangkut ganggang, misalnya—namun analisisku yang kedua, kau pasti takkan bisa menyangkalnya."

"Kemarin saat aku menemui mayat itu di rumah sakit, aku menyatakan keraguanku secara spontan. Aku melihat perubahan mimik Otou-sama, lalu saat aku meminta tes DNA beliau tampak semakin panik. Tapi pada akhirnya tes itu tidak jadi dilakukan karena aku memang hanya ingin melihat perubahan ekspresi Otou-sama saja."

"Bisa kau pikirkan secara logika, Sakura? Sebuah tubuh manusia, terendam selama enam hari di dalam sungai yang dalam dan tentunya berpenghuni—predator atau semacam dekomposer misalnya dan—"

"Utuh," lanjut Sakura, ia mengakui keakuratan analisis sahabatnya yang memang jenius ini. Hinata mengangguk. "Tapi, mungkin saja kau benar. Maksudku mungkin saja Naruto sudah.. err.. di dalam sungai itu," tutur Sakura dengan suara rendah, takut menyinggung hati sahabatnya yang sedang rapuh itu.

Hinata tersenyum manis. "Tidak Sakura-chan, aku yakin. Aku 'kan sudah bilang padamu, I can even feel his breath and his heartbeat, aku merasakannya dengan jelas Sakura-chan. Di sini," Hinata menunjuk dada kirinya.

Sakura menghela nafas, sebenarnya pikiran mereka sama. Sakura juga berpikir bahwa Naruto masih hidup, namun ia tahu ia tak seyakin Hinata. "Hinata, yakinilah—itu hakmu. Tapi aku berharap tidak akan terjadi apa-apa nantinya.. kalau.. well.. kau tahu, if the reality is not happen just like what you wanted."

Hinata mengangguk sambil tersenyum. "Aku tahu resikonya, Sakura-chan. Semakin tinggi harapanmu— jika itu tak terwujud—maka semakin besar kekecewaan yang kau rasakan. Begitu juga sebaliknya, jika itu terwujud maka semakin besar rasa senang yang kau rasakan," Hinata tersenyum yakin.

Sakura ikut tersenyum, sejak berhubungan dengan Naruto percaya diri Hinata meningkat berkali lipat—dalam artian yang positif, tentunya— ia juga yakin kalau kata-kata barusan ia kutip dari pemuda bermata safir itu.

Senyum Hinata perlahan memudar. "Ngomong-ngomong, soal Outo-sama," ia menggantungkan kalimatnya. Cukup lama untuk membuat Sakura mengomandokannya untuk melanjutkan.

"Kenapa?" tanya Sakura penasaran

Yang ditanya tersenyum pahit. "Aku kira.. Otou-sama mencoba membohongiku, Sakura-chan."

Sakura tersentak. "Ma..masa'?"

Hinata mengangguk. "Ta..tapi apa alasan beliau melakukan itu semua?"

Mereka sama-sama diam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Berulang kali Hinata mengerjap untuk mencegah air matanya agar tidak keluar, sementara Sakura sibuk memutar waktu.

"Alasan ayahmu melakukannya," Hinata langsung memandang Sakura saat gadis berkulit putih itu memecah keheningan. "Ini untuk kebaikanmu Hinata, mereka tak ingin kau terus memikirkan Naruto yang notabenenya berstatus hilang. Kau ingin melihat Naruto—hidup atau mati—dan mereka tidak bisa memenuhi keinginanmu secara real maka dari itu mereka membohongimu, semata-mata agar kau percaya bahwa Naruto sudah meninggal dan kau tidak akan mempermasalahkannya lagi," terang Sakura panjang lebar, mata emerald-nya sengaja tak didaratkan ke kelereng amethyst Hinata. Ia terlalu ragu untuk menatap mata itu.

Hinata sedikit menganga mendengar penuturan sahabatnya. "Jadi... Kami-sama kenapa tak terpikirkan olehku? Otou-sama dan.. mungkin Okaa-san juga—"

"Aku tidak yakin Kushina-san terlibat dalam semua ini," potong Sakura cepat, menyuarakan pikirannya.

"Firasat seorang ibu itu kuat, Sakura-chan. Okaa-san pasti tahu kalau jasad itu bukanlah jasad Naruto -kun," ucap Hinata sedikit emosi.

"Berpikirlah jernih Hinata, mana ada ibu yang rela orang lain menempati nisan anaknya?" Hinata terdiam mendengar balasan sahabatnya itu, ia menggigit bibir bawahnya. "Semua ini semata-mata adalah demi kebaikanmu."

Hinata menunduk, masih menggigit bibir bawahnya. Sungguh, ia menghargai mereka semua—Kushina dan Hiashi, dan yang lainnya—ia sangat menghargainya. Namun ia tidak suka dibohongi, ia tidak ingin dibohongi. Sedari dulu ia lebih menyukai kejujuran, kebenaran, walaupun itu akhirnya hanya akan membuat dadanya sakit.

Sama seperti saat Naruto jujur padanya perihal pembatalan janji kencan mereka saat mereka masih menjadi sepasang kekasih. Memang saat itu Hinata menangis, ia menangis saat tahu kekasihnya lebih memilih mengantarkan gadis lain dibanding berkencan dengannya. Namun ia sangat menghargai itu, ia lebih menyukai kejujuran sesakit apapun itu. Karena ia benci pembohong, Naruto tahu itu.

Hinata mengangkat wajahnya, lalu melirik ke arah gadis di sampingnya. "Kau mendukung jalan yang dilakukan Otou-sama? Berbohong?" sindirnya ketus. Sakura berpaling, ia tidak ingat kapan terakhir kali Hinata bersikap ketus seperti ini, tidak pernah mungkin. Namun ia dapat memaklumi perubahan drastis pada emosi Hinata, ia sedang tertekan. Ditambah lagi ini perihal bohong membohongi, sahabatnya itu paling sensitif tentang kebohongan.

"Tidak," jawab Sakura tegas.

Hinata tersenyum manis. "Jadi, kau percaya padaku 'kan?"

Sakura tertawa kecil lalu memeluk sahabatnya. "Tentu saja. Lakukanlah yang terbaik Hinata, aku selalu mendukungmu."

"Arigatou, Sakura-chan."

_...Breathe..._

.

.

TBC

.

.

Chap 2

"Arigatou."

"Aku belum terlambat, kan? Eh? Hime-chan?"

"Kau bicara dengan siapa, Hinata?"

"Ta..tapi.."

Bagaimanakah kisah selanjutnya?

AN:

Yosh! Fix juga keyakinan Ory untuk nge-publish fict ini setelah sekian lamanya merenungi masa depan tentang cerita ini (?) Chapter ini memang agak pendek karena masih perkenalan situasi gitu loh. Yap yap yap, ini multichap pertama Ory karena sebelumnya complete semuaaaaa. Sebenernya nggak pede sih nge-publish cerita ini, tapi hajar ajalaah #plak!

Rencananya kalau reviewersnya cuman dikit Ory hapus aja cerita ini daripada nyampah+malu maluin-_- kasihan paak, kasihan buuuk *pose pengemis review*

Kelanjutan kisah yang bersumber pada otak encer #plak Ory ini bergantung pada para readers dan reviewers sekalian. Mohon di beri masukan dan saran mau sad ending apa happy ending? Mau slow motion apa fast motion (?) mau Narutonya masih idup apa nggak? #ditaboknarutolopers mau Naruhina ending apa Orynaru ending #bletak! intinya mau dibaa~wa kemanaa~ cerita inii~? *nyanyi pake shower (?)* dan pertanyaan terakhir...

Tertarik nggak sama cerita ini? *puppyeyes no jutsu*

R

E

V

I

E

W

3

Translate:

"Anata doko desuka." "Dimana kau?"

"Anata ogenki desuka." "Bagaimana kabarmu?"

"Dare ni kikeba ii nodesuka." "Kepada siapa aku harus menanyakannya?"

"Ne, korewa anata no yakusoku towa chigaimasuyo—" "Hei, ini tidak seperti apa yang kau janjikan!"

"—sorewa naze desuka." "—mengapa begitu?"

"Kokoro kara kimi no koto wo aishiteru." "Aku mencintaimu dari dalam lubuk hatiku."

"Oyobi, kimi wo eien ni aisuru to kami ni chikaimasu." "Dan aku bersumpah akan mencintaimu selamanya!"

"Aitai—" "Aku rindu—"

"—Naruto-kun."