Disclaimer : Naruto dkk adalah milik Kishimoto-sensei, saya hanya meminjam mereka.


+ Fall For You +

Prologue: Nightmare from the Past



Pagi hari itu, gerimis yang turun rintik-rintik membasahi sebuah rumah besar bergaya modern dengan dinding putih bersih dan halaman luas yang dikelilingi pepohonan rindang. Dari balik dinding-dindingnya, terdengar suara dentingan lembut piano yang dimainkan oleh seorang pria berusia sekitar awal tiga puluhan.

Di bangku piano tersebut, duduk di samping pria itu, ialah putri semata wayangnya yang paling ia sayangi. Gadis kecil berambut merah muda itu memejamkan mata dan membiarkan tubuhnya sedikit berayun ke kiri dan ke kanan mengikuti alunan lembut musik ayahnya.

Ketika lagu itu akhirnya selesai, anak berusia tujuh tahun itu bertepuk tangan gembira.

"Lagunya indah sekali, Ayah!"

"Terima kasih Sayang," ayahnya menepuk-nepuk puncak kepala gadis kecil itu sambil tersenyum. "Ini lagu kesukaan Ayah,"

"Benarkah? Maukah Ayah mengajariku?" pintanya dengan pandangan mata berbinar penuh harap.

"Tentu saja," pria itu tertawa pelan. "Tapi nanti ya…"

"Eeh? Kenapa?" baru saja gadis kecil itu mulai memprotes ketika pintu ruangan tempat piano itu berada terbuka dan seorang wanita melongokkan kepalanya kedalam.

"Aah, di sini rupanya kalian berdua…" ibu dari si gadis kecil tersenyum. "Ayo, sarapannya sudah siap."

Sang ayah muda bangkit berdiri dan mengecup dahi putrinya sebelum berjalan ke arah wanita yang berdiri di sisi pintu dan mengecup pula istrinya itu.

"Maaf ya, tapi Ayah tidak bisa ikut sarapan," ia tersenyum sedih kepada mereka, matanya terlihat menyesal. "Ayah ada janji bertemu seseorang."

Rupanya itulah alasan dari penampilannya yang sudah rapi walaupun saat itu masih pk 09.00 pagi.

"Oh, janji bertemu soal pertukaran dan pembagian saham dengan perusahaan milik Hyuuga itu?"

Pria bertubuh tinggi itu mengangguk dan kembali tersenyum minta maaf kepada istrinya.

"Tapi Yah, ini kan hari Sabtu!" putri kecilnya memprotes dan melipat kedua tangannya dengan sebal di depan dada. Air matanya tampak siap tumpah bercucuran.

"Sakura…" ayahnya kembali melangkah menghampiri dan berlutut didepannya hingga mereka berdua saling bertatapan. "Ayah minta maaf, tapi pertemuan ini sangat penting, Sayang…" ia mencoba menjelaskan dengan sabar.

"Ayah selalu lebih pilih pekerjaan daripada aku." Sakura kecil mengacuhkan perkataan ayahnya dan membuang muka.

"Sakura-chan…" ibunya memperingatkan dengan lembut.

Ayah Sakura menghela napas dan kembali tersenyum.

"Hei Sakura, itu adalah partitur untuk lagu favorit Ayah tadi…" ujarnya lembut seraya menunjuk beberapa lemba kertas yang bertumpuk rapih di atas piano berwarna putih mereka. "Mau tidak kamu berlatih sambil menunggu Ayah pulang? Nanti saatnya Ayah pulang, kamu mainkan untuk Ayah ya?"

Sakura kecil yang masih lugu mau tidak mau teralih juga perhatiannya. Ia memandangi kertas-kertas partitur itu sejenak sebelum kembali menatap ayahnya.

"Janji ya, pulang cepat? Terus nanti main lagu itu sama aku." katanya sambil mengacungkan jari kelingkingnya yang mungil.

"Janji," ayah sakura tersenyum puas dan mengaitkan jari kelingkingnya sendiri dengan jari putrinya. Mengesahkan perjanjian kecil mereka berdua.

Ibu Sakura memandang keluarganya dengan lembut dari arah pintu. "Ayo, ayo… Nanti Ayah terlambat lho," ia mengingatkan sambil tersenyum.

"Ah! Iya… sampai nanti ya?" Pak Haruno bergegas berlari ke teras rumah setelah kembali mengecup dengan cepat pipi istri dan anaknya. Di depan teras, sebuah sedan hitam mengilap beserta supir pribadinya sudah menunggu untuk segera mengantarkan beliau menuju tempat pertemuan bisnis tersebut.

Dari dalam ruang piano tadi, Bu Haruno menggandeng tangan putrinya yang kecil menuju meja makan untuk menikmati sarapan yang sudah tersedia bersama-sama.


Hari sudah mulai sore, namun hujan gerimis itu tak kunjung berhenti. Sakura mulai gelisah menungu kepulangan ayahnya dan berjalan mondar-mandir di kamar. Ia sudah mencoba memainkan lagu ayahnya sesiangan tadi, tapi lagu itu terlalu sulit bagi dirinya, terutama karena jemarinya yang masih kecil tidak mampu menggapai not-not yang terlalu berjauhan. Ia juga belum cukup cekatan untuk memainkan nada-nada cepat, sehingga jelas sekali Sakura membutuhkan bantuan ayahnya untuk berlatih lagu itu. Dan ia tidak mau menunggu terlalu lama. Sakura paling tidak suka menunggu.

Sejenak ia memandang keluar jendela, memperhatikan halaman depan rumahnya yang masih juga dihujani tetes-tetes air dari langit yang kelabu. Namun masih tidak ada tanda-tanda akan kepulangan ayahnya. Kembali ia berjalan mondar-mandir membentuk lingkaran di dalam kamar bernuansa putih miliknya.

Kening Sakura berkerut, dan perasaannya tidak bisa tenang. 'Dimana Ayah?'

Sakura hampir terlonjak setengah meter ke udara ketika pintu kamarnya menjeblak terbuka dengan tiba-tiba. Dari baliknya, tampaklah sang ibu yang terlihat panik dan kebingungan.

"Sa-Sakura!" serunya terbata-bata. "Ayo! Cepat ikut Ibu!"

"Kenapa Ibu?"

"A-Ayah..!" Bu Haruno kehilangan kata-kata. Wajahnya pucat pasi seperti mayat hidup. Pandangan matanya penuh teror dan kengerian.

"Ada apa Ibu? Ayah kenapa?" Sakura, melihat keadaan ibunya ygan sedemikian rupa, menjadi ikut panik.

Tanpa bicara lagi, Ibu Sakura menggandeng tangan putrinya dan segera menariknya menuju mobil. Dengan terburu-buru ia memutar kunci kontak hingga terdengar bunyi mesin yang meraung menyala dan langsung ia menginjak gas. Melaju dengan kecepatan tinggi ke jalan raya.

"Ibu? Ibu, kita mau kemana?" gadis kecil itu bertanya dengan cemas.

"Kita ke rumah sakit, Nak. Ayah di rumah sakit," Ibunya menjawab cepat sembari menembus lampu merah di perempatan yang ramai. Memancing makian dan sumpah serapah dari pengendara mobil dan motor lainnya.

"Tapi Ayah kan tidak sakit?" Sakura bertanya tidak mengerti.

Ibu Sakura hanya melirik sekilas penuh kecemasan kearah putri tunggalnya. Ia mengusap rambut gadis cilik itu dengan perlahan. "Ibu harap juga begitu, Sayang," bisiknya lirih. "Ibu harap juga begitu…"

Sakura yang takut dan bingung tidak mengatakan apa-apa lagi. Sepanjang perjalanan yang terasa begitu lambat— walau pada kenyataanya sangat cepat, melihat bagaimana Bu Haruno mengemudikan kendaraanya tanpa mempedulikan semua peraturan lalu lintas— ia hanya diam di dalam kepanikannya. Hingga akhirnya ia digendong oleh ibunya turun dari mobil dan bergegas memasuki rumah sakit tempat ayahnya saat kini berada.

"Dimana suami saya? Bagaimana keadaanya!?" ibu Sakura bertanya panik di meja resepsionis. Membuat suster yang sedang duduk dibalik meja itu terlonjak dan ikut kelabakan.

"Nama dari—"

"Haruno!" potongnya dengan cepat.

"Umm, eh," gumamnya seraya membaca cepat daftar pasien yang terjepit di clipboard yang terletak di atas mejanya. "Bapak Haruno saat ini sedang ditangani di Unit Gawat Darurat No.2. Ibu tinggal ikuti koridor itu sampai ujung, lalu masuki pintu pertama sebelah kanan." suster itu menunjuk ke arah sebuah lorong tak jauh dari tempat mereka berdiri.

Setelah mengucapkan terima kasih dengan terburu-buru, Ibu Sakura segera berlari ke arah yang ditunjukkan suster tersebut sambil tetap menggendong putrinya. Segera setelah mereka mencapai ujung koridor, ia membuka pintu UGD di sisi kanan dan memasuki ruangan tersebut.

Pada detik yang sama saat Sakura dan Ibunya memasuki ruangan dengan tergesa-gesa, salah seorang dari tiga dokter yang ada disana menggelengkan kepalanya perlahan dan menutup kedua mata Ayah Sakura yang terbaring di salah satu kasur rumah sakit di ruangan itu.

Bu Haruno memandang tidak percaya dan berjalan perlahan dengan langkah gemetar ke sisi tempat tidur suaminya.

"Ayah kenapa?" Sakura kecil yang tidak mengerti bertanya kebingungan. "Ayah tidur?" ia menggeliat turun dari gendongan ibunya dan memanjat tempat tidur ayahnya.

"Ayah?" dengan lembut Sakura mengguncang pelan tubuh yang telah terbujur kaku dihadapannya itu. 'Kenapa Ayah tidak bangun-bangun?' pikirnya heran.

"Ayaaah?" dengan panik ia mulai memukuli dada ayahnya yang tidak juga kunjung terbangun. Biasanya, hanya dengan sebuah kecupan di pipi, ayahnya akan segera terbangun dan tersenyum lebar kearahnya. Saat ini jelas ada yang aneh dengan sang ayah. Sakura terus memukul-mukul ayahnya sampai ia merasakan bahwa tangannya menjadi lembab. Dengan kebingungan ia memandang kedua telapak tangannya yang basah.

Merah.

Kedua tangannya yang mungil bersimbah dengan cairan merah yang berbau seperti besi. Kedua tangannya berlumuran darah. Darah ayahnya.

'Darah Ayah.'

Wajah Sakura kecil memucat. Matanya melebar penuh kengerian. Setelah kabut kebingungan lenyap dari matanya dan ia melihat kembali tubuh ayahnya dengan seksama, barulah ia menyadarinya. Ia memekik pelan. Kedua tangannya gemetaran hebat.

Ayahnya berlumuran darah.

Kemejanya yang tadi pagi putih bersih dan rapi kini dipenuhi bercak-bercak besar berwarna merah dan sobek di beberapa bagian. Begitu pula wajahnya yang terbilang masih muda dan tampan, bersimbah oleh darah segar.

"Ayah kenapa!? Bangun Ayah!!" pekik Sakura. "BANGUN!!!" jeritnya histeris sambil terus memukuli sisi ayahnya dengan tangan terkepal.

"Sakura!" Ibunya tiba-tiba memeluknya dengan erat dari belakang. "Hentikan Sakura, Ayah sudah pergi,"

Sakura dapat merasakan bulir-bulir air mata Sang Ibu terjatuh membasahi tengkuknya yang dingin.

"Tapi…" Air matanya sendiri mulai mengalir deras menuruni wajahnya. "Tapi Ayah sudah janji!" ia berteriak dan berusaha melompat ke arah ayahnya. Meronta dari dalam pelukan sang ibu yang erat.

"Ssst, tidak apa-apa, Sakura-chan. Kamu masih punya Ibu. Jangan menangis, nanti ayah sedih…" Bu Haruno berbisik pelan ke telinga putri kecilnya, berusaha menenangkan gadis kecil itu. Walaupun ia sendiri sangat hancur menghadapi kepergian suaminya, ia harus kuat. Ia harus kuat demi Sakura. Demi putri semata wayang mereka.

Sakura tidak menghiraukan perkataan ibunya. Ia tetap meronta dan berteriak-teriak histeris dalam keputusasaan dan kebingungan.

'Kenapa Ayah tidak mau bangun?'

'Ayah jahat!'

Pikiran-pikiran itu tidak bisa berhenti berputar di dalam kepalanya. Baru pagi ini mereka bermain piano bersama-sama. Baru beberapa jam yang lalu ayahnya memberikan senyumnya yang penuh kasih sayang. Kecupan hangatnya yang penuh cinta masih terasa di pipinya yang kini basah oleh air mata.

'Kenapa Ayah pergi?'

Sekarang Sakura telah kehilangan ayahnya. Tidak ada lagi pelukan-pelukan hangat dari sepasang lengan yang kokoh itu. Tidak ada lagi usapan lembut dari tangan besar yang menenangkan pada helai-helai rambutnya yang merah muda itu. Tidak ada lagi kecupan-kecupan pada dahi dan pipinya setiap pagi hari dan sebelum tidur. Tidak ada lagi yang akan melemparkannya tinggi ke udara dan menangkapnya sesaat sebelum ia jatuh. Tidak ada lagi yang memainkan lagu-lagu indah di piano kesayangan mereka. Semuanya sudah tidak ada. Semuanya hanya tinggal kenangan.

Di sore hari yang kelabu oleh mendung dan gerimis yang tidak juga berhenti itu. Dari dalam sebuah ruangan di sebuah Rumah Sakit, terdengar jeritan penuh kepedihan dan kehilangan oleh seorang gadis kecil. Jeritan menyayat hati dari gadis kecil yang telah ditinggal pergi oleh ayahnya. Untuk selama-lamanya.


"Kecelakaan mobil?"

"Padahal masih sangat muda…"

"Anak perempuannya masih kecil,"

"Kasihan ya,"

"Perusahaannya itu sedang di puncak kesuksesan."

"Terguling di jalan tol?"

"Katanya sih remnya mati,"

"Malang sekali…"

Sakura kecil menggelengkan kepalanya kuat-kuat untuk menyingkirkan gumaman-gumaman orang-orang dewasa itu dari dalam kepalanya. Ia mempererat gandengan tangannya dengan sang ibu. Matanya yang sembab memandang kosong foto mendiang ayahnya yang sedang tersenyum dalam pigura hitam. Aroma dupa menguar di sekitar makam tempat pembaringan terakhir ayah yang sangat ia sayangi.

Tangan kirinya— yang tergantung lemas di sisi tubuhnya — menggenggam erat ujung rok hitam yang ia kenakan di acara pemakaman tersebut. Sakura sudah berjanji, ia tidak akan menangis lagi. Ia akan menjadi kuat. Demi ibunya, dan juga supaya ayahnya tidak perlu khawatir dan dapat beristirahat dengan tenang di dalam surga.

Ketika tiba saatnya bagi semua orang untuk memejamkan mata dan berdoa, Sakura memandangi seorang pria seumuran ayahnya yang berdiri pada barisan orang tidak jauh dari barisan tempat ia berdiri saat ini.

Pria itu menundukkan wajahnya, tapi… ada yang aneh. Pria itu terlihat sedang tersenyum? Senyum yang mengerikan. Penuh kepuasan akan sesuatu yang tidak Sakura mengerti. Dahi gadis kecil itu berkerut. Ini adalah pemakaman ayahnya, tidak seharusnya paman aneh itu tersenyum. Seharusnya semua orang bersedih!

Beberapa saat kemudian saat acara doa selesai, banyak orang— sanak saudara, sahabat, dan rekan-rekan kerja — datang menghampiri Sakura dan ibunya untuk menyampaikan rasa belasungkawa.

Waktu tiba giliran si paman aneh yang tadi tersenyum mengerikan, Sakura semakin bingung dengan sikap orang itu.

"Saya sungguh menyesali kepergian mendiang dengan sedalam-dalamnya, Nyonya Haruno…" ujar pria itu dengan nada penuh kesedihan sembari mengulurkan tangannya ke arah Ibu Sakura.

Wanita itu terkejut saat melihat pria yang menghampirinya dan beringsut mundur. Menarik Sakura ke balik punggungnya, dan menahan gadis kecil itu di sana. Seakan hendak menyembunyikan Sakura dari pria itu. "Te-terima kasih Pak Sabaku…" Ibu Sakura yang mendadak gemetaran, memaksakan seulas senyum ragu di wajahnya yang pucat dan menjabat lemah uluran tangan pria berambut coklat itu. Matanya bergerak-gerak gelisah, enggan menatap balik sorot mata yang tajam dan misterius dari sang pria bertubuh tinggi yang berdiri dihadapannya.

Sakura kecil hanya mengintip dari balik sang ibu. Memperhatikan ketika paman yang aneh itu memandang wajah ibunya dengan tatapan tajam selama sepersekian detik yang penuh keheningan, sebelum akhirya memutar arah dan pergi meninggalkan mereka. Memberikan kesempatan pada para tamu yang lain untuk mengucapkan belasungkawa mereka pada keluarga yang telah ditinggalkan.

Sementara Nyonya Haruno mengucapkan terima kasih kepada satu persatu orang yang datang berkabung, pandangan Sakura terus mengikuti kemanapun si pria aneh— 'Paman Sabaku' jawab ibunya pelan waktu ia bertanya siapa nama orang itu — melangkah. Sampai akhirnya Paman Sabaku pergi ke balik pepohonan di ujung areal pemakaman tersebut bersama tiga orang lain. Sakura yang merasa penasaran pun mengikutinya dan bersembunyi di semak-semak dekat situ.

"Kerja bagus, kawan-kawan… Pekerjaan kalian memang rapi dan tidak terdeteksi." Pak Sabaku kembali tersenyum tipis mengerikan, membuat Sakura menggigil ngeri.

"Hah! Cuma otak-atik rem mobil gitu sih, kerjaan anak kecil!" salah satu dari tiga orang itu tersenyum mengejek.

"Benar. Kenapa tidak langsung saja kau suruh kami menghabisi orang itu?" salah seorang lagi yang sedang menyalakan rokoknya menimpali.

Pak Sabaku mendengus pelan.

"Tidak, tidak. Kematian si Haruno itu memang harus kita buat seperti kecelakaan. Pekerjaan kalian sudah sangat sempurna."

"Hah. Apapun lah." Orang ketiga yang mengenakan kaca mata hitam meludah. "Yang penting, mana bayaran kami?"

Direktur perusahaan ternama Sabaku Group. itu memandang penuh jijik kepada orang ketiga sebelum melemparkan segepok uang kearahnya.

"Terima kasih untuk kerja kalian. Tapi ingat, kalau sampai ketahuan banwa kematian Direktur Utama Haruno & Co. ini merupakan suatu pembunuhan terencana…" nada bicaranya rendah dan penuh ancaman, membuat ketiga orang didepannya berdiri dalam diam. Ia membuat gerakan mengiris lehernya sendiri dengan tangannya, sebuah ancaman yang sama sekali bukan main-main.

Ketiga orang itu hanya mengangguk diam setelah menelan ludah dengan susah payah. Kemudian keempatnya pergi dari tempat tersembunyi itu. Tidak ada yang menyadari akan kehadiran seorang gadis kecil yang bersembunyi di semak-semak, mendekap mulutnya penuh ngeri sementara matanya membara penuh kemarahan.

Hanya satu pikiran yang ada di kepalanya.

Ayahnya bukan meninggal karena kecelakaan, melainkan pembunuhan.

Ayahnya telah dibunuh.


+ to be continued +


Okee.. saya akui, prologue ini panjang dan kurang menarik (saya sendiri aja bosen nulisnya. percaya deh.. -_-; ) tapi walaupun terkesan sepele, chapter ini merupakan kunci utama yang menjelaskan hal-hal penting di chapter-chapter kedepan, jadi mau nggak mau harus ditulis.. huff.. Chapter berikutnya akan langsung lompat beberapa tahun kedepan, waktu Sakura udah dewasa. Jadi tenang saja. hehe.

Jadiii, buat orang-orang yang udah tahan baca prologue sepanjang 8 hlaman ini, saya ucapkan selamat dan terima kasih sebanyak-banyaknya!! :D iyeeiy!!

Mohon Read and Review yaaa :)

08/06/2009


Halo.. err, saya nggak tau mau memulai dengan kalimat seperti apa. tapi yang jelas, saya tertarik untuk melanjutkan kembali fic yang sempat terbengkalai ini. tapii, ada perubahan plot yang cukup masif dibanding plot awal, makanya ada beberapa hal yang harus saya ubah pada prologue ini.

Selesai mengupload kembali prologue, saya akan langsung mengetik ulang draft chapter 1 yang sebelumnya saya tulis di buku tulis butut saya. hahaha, mungkin chapter 1 bisa saya upload sore ini (kalau lagi rajin) atau besok siang (kalau agak ngaret). yang jelas, saya mohon dukungannya yaaa =)

26/3/2010

.haru.