A NARUTO FANFICTION
"I WILL WAIT YOU, NARUTO"
NARUTO U. / SASUKE U.
RATED : T
DISCLAIMER : MASASHI KISHIMOTO
BOYS LOVE, SHONEN AI, OOC, TEARS, MUSIM TYPOS, DEELEL DEH
BY. GingerJelly
.
.
YOOO JELL BALIIKKKK *lambai cantik* ^^/
Karena kemarin ytm menuai banyak prokontra /? Hehe akhirnya jell apdet ff baru nihhh ciyee ciyeee… and always narusasu dong… tapi ini bukan sequel dari ytm loh ya.
Jelly bawa ff baru masih sama genrenya hurtie gurtie gitu dan main charanya jell bikin nelangsa *smirk*
Wokaii langsyyyuungg syyaajahhh ya ^^ don't be forget to give your review at last.
Happy reading…
.
.
Summary : Janji tetaplah janji, yang harus kau tepati. Sejauh ini aku bertahan dalam rasa sakitku demi untuk melihatmu memenuhi janjimu Naruto. Meski aku harus merasakan deritaku karena kebodohanku untuk selalu menunggumu, tapi Naruto… aku akan tetap menunggumu. NARUSASU.
.
.
Chapter 1
"Yang memakai baju hitam itu siapa namanya? " tanya seorang laki-laki dengan nada tertarik.
"Naruto, dia sepuluh tahun. Apa Iruka-san tertarik padanya?" giliran seorang wanita berambut hitam panjang bertanya. Iruka menatap istrinya.
"Aku suka dengannya. Kelihatan sangat menggemaskan" ujar istrinya tanpa diminta.
Iruka menatap anak bernama Naruto tersebut, anak laki-laki tersebut tengah bermain dengan teman-teman sebayanya. Bermain ayunan di taman belakang. Iruka tak melihat gurat kesedihan di dalam mata biru Naruto meski kini anak itu sendirian.
"Baiklah, akan kuambil Naruto. Bagaimana kalau besok aku bawa dia?" tanya Iruka pada Kurenai –si wanita berambut hitam- dan istrinya.
"Ah! Tentu sayang! Aku sangat setuju, aku tidak sabar untuk pulang bersama Naruto" jawabnya dengan semburat bahagia dalam kata-katanya.
Sedangkan Kurenai tersenyum lantas mengangguk menyanggupi ucapan laki-laki dan perempuan berusia matang tersebut. "Akan kupersiapkan semuanya Iruka-san, Ayame-san. Pukul berapa kalian akan menjemput Naruto besok?" tanyanya sembari melangkah kembali ke kantor bersama pasangan tersebut.
"Pukul sepuluh kami akan kemari. Mohon bantuannya Kurenai-san". Iruka membungkuk sopan pada wanita yang lebih muda darinya.
"Aku mengerti. Serahkan padaku" jawabnya saat Iruka dan Ayame masuk ke dalam sebuah mobil coklat. Dan mereka pun berlalu menyebabkan Kurenai menghela napas. 'Aku harus siap-siap'.
.
.
.
I Will Waiting For You © GingerJelly
Naruto © Masashi Kishimoto
NARUSASU.
.
.
Naruto Sarutobi adalah anak berusia sepuluh tahun yang telah tinggal di sebuah panti asuhan sejak dia masih bayi. Tidak ada identitas sedikitpun ketika Naruto ditemukan tergeletak tak jauh dari sebuah mobil yang terbakar. Orang-orang menemukannya menangis dengan kencang saat itu, membuat anak tersebut akhirnya diserahkan pada panti asuhan Sarutobi. Dan suami Kurenailah yang memberikan nama Naruto pada anak tersebut.
Naruto tidak pernah bertanya tentang bagaimana dan mengapa dia berada di panti tersebut selama ini. Dia selalu bahagia ketika bersama teman-teman sebayanya di sana, merasakan apa yang mereka rasakan. Meski tidak bersama kedua orang tua kandungnya, tapi Naruto dan teman-temannya menyayangi Kurenai dan suaminya karena mereka yang merawat anak-anak yatim piatu tersebut. Baru-baru ini Naruto mendapat 'adik' baru di panti asuhan.
Seorang anak laki-laki lima tahun keturunan dari Uchiha. Namanya Sasuke. Baru 5 bulan disana, setelah diserahkan oleh orang tua angkatnya ke panti asuhan Sarutobi. Anak kecil itu menangis saat orang tua yang telah mengasuhnya tersebut 'membuang'nya ke panti asuhan. Meski baru 5 tahun, Sasuke mengerti jika mereka bukan orang tua kandungnya, tapi setidaknya selama ini ia selalu merasa aman dan nyaman tinggal bersama mereka berdua. Sasuke tak mau berhenti menangis sampai saat makan malam, membuat Kurenai bingung, ia hampir menelpon kedua orang tua angkat Sasuke kala itu.
Dan di saat itulah, Naruto menenangkan kesedihan dalam hati Sasuke. Orang pertama yang mengusap air mata di pipinya. Orang pertama yang mengelus lembut puncak kepalanya, dan orang pertama yang tersenyum memberinya semangat.
Awalnya memang Kurenai menilai jika Sasuke sulit bergaul jika disana tidak ada Naruto. Dia anak yang pendiam dan tidak banyak membantah. Jika diperintah A maka dengan patuh akan dikerjakan A. Dia tidak mau menunjukkan apa yang dia rasakan –selain dengan Naruto di dekatnya- pada orang lain. Meski begitu, wajah manisnya membuat Sasuke disenangi oleh orang banyak, termasuk beberapa biarawati di gereja dekat panti. Mereka sering memberinya buah apel, yang akan dibaginya dengan Naruto. Hanya dengan Naruto.
Apa yang menjadi milik Sasuke adalah milik Naruto, begitu pula sebaliknya. Meski tidak pernah diucapkan dari mulut berisik Naruto, anak laki-laki itu menunjukkan keposesivannya pada bocah yang 2 tahun lebih muda darinya.
'Kita akan selalu bersama. Kau dan aku. Oke?' ucap Naruto saat Sasuke memilih sekamar dengannya. Malam itu Sasuke merasakan memiliki orang yang berarti baginya, bahkan terasa lebih dari orang tua angkatnya –atau orang tua kandungnya yang tak ia kenal siapa.
.
.
"Naruto, kaachan ingin bicara denganmu. Boleh?" kepala Naruto menoleh menatap Kurenai yang datang ke beranda panti.
"Iya, tentu saja kaachan. Ada apa?" tanya Naruto menggeser duduknya mendekat ke arah Sasuke.
"Mmm...Sasuke-chan, boleh kami bicara berdua?". Mata hitam Sasuke berkedip beberapa kali
"Ke-kenapa kaachan?" Naruto tanya.
Kurenai tersenyum lembut pada keduanya.
"Tidak apa-apa, hanya saja kaachan ingin bicara sedikit pada Naruto. Sepertinya Sasuke juga sudah mengantuk, pergilah untuk tidur sayang" Kurenai mengusap kepala Sasuke dengan lembut, tanpa nada mengusir.
Tubuh kecil anak Uchiha tersebut turun dari kursi dengan boneka beruang coklat di dekapannya. Ia bergantian menatap Naruto dan Kurenai.
"Hehe...Suke-chan masuk saja dulu, nanti akan kususul"
Naruto mengacungkan jempolnya pada Sasuke hingga anak tersebut benar-benar berjalan menuju koridor kamarnya.
"Mmm...ada apa kaachan?"
"Kau sangat dekat dengan Sasuke ya" katanya sambil menerawang langit mendung di musim gugur. Naruto menggumam sebentar, menjawab dengan anggukan.
"Tadi siang ada keluarga dari kota yang menanyakanmu"
Mata biru anak tersebut mengerjap kaget.
"Be-benarkah itu kaachan!?"
Kurenai mengangguk. Ia mengalihkan pandangannya pada Naruto, wajah anak itu menunjukkan rasa senang dan sedih.
"Apa kau tidak senang?"
"Mmm...aku senang. Tapi kaachan..." kepala pirang Naruto menunduk.
"...nanti Sasuke bagaimana?" suaranya menghilang di ujung.
Kurenai menghela napas.
"Suatu hari dia pasti akan menemukan keluarga sendiri sayang"
"Tapi, aku yakin dia akan sedih saat aku tinggal" tangan halus Kurenai mengusap rambutnya, Naruto melirik dan wanita itu tersenyum.
"Kau kan masih bisa bertemu dengannya, berkunjung kemari kalau ada waktu"
"Kenapa Sasuke tidak ikut saja denganku kaachan?" suara Naruto sedikit memohon.
"Maaf Naruto, tapi keluarga yang ingin mengadopsimu hanya ingin kau"
"Tapi nanti Sasuke akan sendirian! Dan aku tidak mau itu terjadi!"
Kurenai menatap mata Naruto dan melihat kesungguhan dalam mata sedalam lautan itu. Sisi tidak ingin kehilangan dari Naruto kembali muncul, dia ingin bersama Sasuke, dan Kurenai tahu kalau Sasuke juga ingin terus bersama Naruto. Sekali lagi dia menghela napas.
"Maaf. Ini sudah malam, tidurlah. Besok pukul sepuluh mereka akan menjemputmu. Ayo masuk!"
Kurenai mengusap lengan atas Naruto.
Anak itu menggembungkan kedua pipi dengan kumis tipis.
.
.
Dan pagi datang dengan sangat cepat untuk Naruto. Hatinya senang akan mendapatkan keluarga yang akan merawatnya, tapi sebagian lagi tak terima saat harus meninggalkan Sasuke sendirian. Mengingat anak itu menangis di hari pertama di panti membuatnya merengut tak senang.
"Hahh..."
Naruto menghela napas, mata birunya menatap ke samping kanannya. Sasuke masih tertidur.
"Aku tidak tahu apa yang aku rasakan Sasuke. Aku tidak ingin pergi, tapi aku harus pergi" desaunya menatap wajah Sasuke yang pulas.
"Kau sudah aku anggap sebagai adik, dan aku seperti memiliki tanggung jawab untuk melindungimu" kalimat tersebut menggantung.
"Hahh...maaf ya Suke-chan, aku harus meninggalkanmu"
Usai mengatakan hal tersebut, Naruto lantas menuju kamar mandi untuk mulai mengepak barang-barang yang menurutnya penting.
.
.
Naruto memeluk tubuh kecil Sasuke, matanya terpejam erat saat memikirkan jika mulai hari ini dia akan tinggal terpisah jauh dari adik tersayangnya itu. Badan Naruto bergetar merasakan sesuatu yang menyakitkan meremas dadanya.
"Maaf Suke-chan...hiks...ak-aku harus pergi" ucapnya gemetar.
Sasuke sama sekali tidak merespon ucapan tersebut, merasa tidak perlu.
Wajah manis itu terlihat tanpa ekspresi, dengan pandangan mata kosong.
"Suke...?" panggil Naruto mencoba mengalihkan perhatian Sasuke.
Sasuke tidak mengertia apa yang ada di hatinya, rasa sakit yang melebihi ketika orang tuanya menyerahkannya ke panti. Sasuke menggigit bibir bawahnya saat rasa sakit itu hampir tak bisa dia tahan.
"Suke...maafkan aku, aku sayang padamu. Sungguh"
Naruto menangis di bahu kecil Sasuke dengan teman-teman, Kurenai dan suaminya, serta calon kedua orang tuanya menatap mereka. Atmosfir kesedihan mengudara bebas di sekitar mereka semua. Teman-temannya menangis saat akan kehilangan sosok kakak, adik maupun teman sebaya yang dianggapnya sangat baik dan penuh kejutan. Mereka akan kehilangan sosok periang itu.
"Aku mohon, jangan sedih ya Suke..."
Naruto melepaskan pelukan tersebut, dan memandang mata Sasuke yang memerah –meski tak menangis. Tangan tannya melepas dua buah kalung dengan permata hijau, dan mengalungkan satu kalung pada leher Sasuke yang putih.
"Bisa kau jaga ini untukku?"
Mata mereka bertemu namun mata anak 5 tahun itu tetap kosong.
"Aku akan menyimpan satunya untukku. Dan kau harus berjanji untuk menyimpan yang satu untukmu, Suke-chan"
Kata Naruto dengan suara semakin bergetar menahan rasa sesak. Namun, Sasuke tak bereaksi sama sekali.
Kembali mereka berpelukan.
"Aku janji padamu kalau aku akan menjemputmu, kita akan bersama Suke. Dan berjanjilah padaku agar kau selalu berjuang dengan semua yang akan kau hadapi. Aku yakin kau akan menemukan keluarga baru yang menyayangimu. Aku akan sangat merindukanmu. Sangat Sasuke..." suara itu kembali sumbang saat air mata berderai dari balik kelompak matanya.
Dan Naruto dapat merasakan tubuh Sasuke mulai bergetar, namun tak juga anak itu menangis. Dia hanya menggigit bibirnya dengan raut wajah datar, mata dan hidung memerah, dan pandangan kosong.
Tak ada yang mengetahui apa yang dirasakan Sasuke, kecuali ia sendiri. Rasa sakit di dadanya kembali membuat matanya meradang. Baru beberapa bulan yang lalu ia kehilangan, dan sekarang akan terulang lagi. Orang yang ia sayangi, dan berarti baginya akan pergi darinya lagi. Sasuke sungguh ingin menangis saat itu, meraung dan tak membiarkan Naruto-nya dibawa pergi orang lain, tapi bahkan tangan-tangannya tidak mampu bergerak untuk membalas pelukan terakhir Naruto.
"Selamat tinggal"
.
.
.
Air mata itu menuruni pipi tirus Sasuke. Tidak ada isakan ataupun sesenggukan yang keluar dari sela-sela bibirnya yang terbuka. Hanya gerakan bibir pucatnya, sebuah nama yang selalu dia ucapkan tanpa suara selama lebih dari 14 tahun.
Naruto. Naruto. Naruto.
Dan hanya Naruto yang ia sebutkan dalam sehari-harinya, seolah nama itu membuatnya kenyang dengan tubuh kurusnya, membuatnya bisa bernapas dengan dadanya yang selalu sesak, membuatnya bahagia meski dengan 'kesendiriannya'.
Nama itulah yang membuatnya bertahan selama ini, selama 14 tahun ditinggal pergi oleh Naruto. Sasuke kembali diadopsi oleh seseorang. Sebuah keluarga dengan seorang anak perempuan –sebagai anak kandungnya. Sebuah keluarga yang harusnya merawat dan melindunginya justru merusak dan menyiksanya. Fisik maupun psikis Sasuke. Tubuh yang dulunya kencang dan mulus, sekarang harus memiliki ruam dan beberapa luka sobek.
"Aku janji padamu kalau aku akan menjemputmu, kita akan bersama Suke. Dan berjanjilah padaku agar kau selalu berjuang dengan semua yang akan kau hadapi. Aku yakin kau akan menemukan keluarga baru yang menyayangimu. Aku akan sangat merindukanmu. Sangat Sasuke..."
Suara itu mengisi kembali kekosongan pikiran dan hatinya. Menyelipkan luka yang menyakitkan di dada Sasuke.
"Naruto..."
Suara baritonnya yang lelah dengan mata hitam yang serupa lelahnya menampakkan keadaannya yang mengenaskan.
"Aku janji padamu kalau aku akan menjemputmu, kita akan bersama Suke...'
"Hiks...kau bodoh! Hikss...hikss sakit sekali! Hiks...hiks...Naruto"
Sasuke menggulung badannya yang lebam, menenggelamkan wajahnya yang memiliki lingkaran bogem kehitaman di rahang kiri. Bergetar sendirian di sudut kamarnya yang remang-remang. Mencoba menghilangkan rasa sakit yang semakin menggerogoti hatinya karena sosok Naruto-nya yang tidak kunjung menjemputnya.
"Suke...maafkan aku, aku sayang padamu. Sungguh"
Jemari pucat Sasuke meraba kalung yang Naruto pasangkan 14 tahun yang lalu ke lehernya. Leher yang dulu jenjang putih mulus, sekarang harus berhiaskan garis merah kecoklatan yang melintang, seolah habis diikat kuat-kuat oleh sebuah tali.
Dan ia mendapatkannya ketika tanpa sengaja menabrak anak kandung orang tua angkatnya dengan sepeda.
"Kenapa...? Hiks..."
Kucuran air mata itu semakin deras membasahi wajahnya. Memberikan efek perih pada lukanya.
"...kau bodoh! Idiot! Hiks..hikss..Naruto...kau...hiks...Naruto..."
Napas Sasuke mulai tersenggal-senggal. Sulit sekali mengutarakan apa yang selama ini terpendam dalam hatinya. Menyakitkan sekali.
"SASUKE!"
.
.
"DASAR ANAK TIDAK TAHU DIUNTUNG!"
BUGHH–
"KEPARAT KAU! ANAK PUNGUT SIALAN!"
BUGHH–
Rasa pening mulai menghinggapi Sasuke yang masih berdiri di dekat anak tangga setelah mendapat pukulan-pukulan telak di pipi dan pelipisnya oleh ayah angkatnya. Tapi, dia mencoba tetap berdiri.
"KAU MEMBUAT SHION MENANGIS LAGI HARI INI!"
BUGHH–
"Ughh!" erangnya saat rasa nyeri menghampiri perutnya.
"APA KAU MAU KUHANCURKAN HAH?! DASAR RENDAHAN! SEHARUSNYA KUBUANG SAJA KAU DI TEMPAT SAMPAH! KAU BENAR-BENAR TIDAK TAHU DIRI! CUIH"
Satu tendangan telak mengenai dada Sasuke setelah ayahnya itu meludahinya. Punggungnya menabrak anak tangga dengan suara bedebam yang kencang. Ia tidak melawan atapun menjawab, membiarkan tubuhnya kembali menjadi samsak yang tak ada artinya itu setiap tinjuan dan tendangan laki-laki paruh baya tersebut.
'Naruto..' nama itu kembali berdesau dalam hatinya.
PLAKK–
"MATI SAJA KAU!"
'Naruto'
BUGH–
Ulu hatinya berdenyut kencang.
'Naru..to'
'Naruto...Nar..'
"TERKUTUK KAU MANUSIA RENDAH!"
BUGHHH BUGHH–
'...ruto...'
.
.
Tubuh berdarah itu tetap berjalan, tidak tahu akan kemana langkah kakinya berayun. Otaknya telah ditumpulkan oleh Naruto dan rasa sakit yang selama ini ia tanggung. Kenapa hanya demi janji mulut kecil Naruto ia mau bertahan untuk hidup dengan penderitaan seperti sekarang ini?
Karena rasa sayangnya pada Narutolah yang mengantarkan pemuda 19 tahun tersebut untuk ikhlas mendapat rasa sakit itu. Dia sudah berjanji di hari perpisahannya dengan Naruto di panti dulu, dan dia harus memenuhinya.
"Ughh–" Sasuke membungkukkan badannya saat merasa rasa getir memenuhi rongga mulutnya. Rasa seperti karat itu membuatnya pening.
Hingga dengan cepat, darah segar mengalir dari bibirnya. Rasa panas di ulu hatinya mengalahkan rasa panas di kedua bola matanya. Dia ingin bertahan. Sungguh ingin, demi melihat Naruto lagi –yang sekarang entah dimana. Pemuda itu membuang seluruh cairan memualkan tersebut ke sungai dari atas jembatan tempat ia berdiri sekarang. Setetes air menjatuhi keningnya yang halus.
Sasuke mendongak dan melihat malam kelabu pekat. Akan hujan dan dia tidak tahu harus kemana. Dan tidak lebih dari setengah menit hujan membesarkan volumenya. Bulir-bulir tersebut menghujam tubuh rapuh Sasuke dengan kejamnya, membiarkan tubuh itu basah kuyup dalam keadaan nelangsa. Air hujan menyamarkan air mata Sasuke. Ia ingin air hujan menghanyutkan segala kesedihan di dalam hatinya, meluruhkan segala rasa sakitnya yang tak terperikan.
Dia ingin hujan menyampaikan keinginannya, mungkin untuk yang terakhir kali.
"Jemput aku Naruto"
.
.
.
"Apa dia sudah bangun Ayame?"
Wanita berambut coklat lembut itu menggeleng perlahan. Dan dengan hati-hati mengusap wajah kotor Sasuke dengan handuk hangat.
"Tubuhnya penuh lebam, apa kita telepon Tsunade-san saja?" tanya Ayame penuh permintaan.
Iruka menatap jam dinding, sudah pukul 10.30 malam.
"Aku yakin Tsunade-san bisa datang sayang, aku tidak ingin terjadi apa-apa pada anak ini"
Iruka menghela napas dan lantas mengeluarkan ponselnya.
"Tsunade-san, maaf mengganggumu malam-malam begini. Apa kau bisa kerumah ku sekarang?"
"..."
"Ah tidak-tidak. Kami sehat, hanya saja, kami menemukan seseorang yang terluka"
"..."
"Bukan, tapi, lukanya sepertinya cukup serius. Ayame khawatir dengan keadannya"
"..."
"Tentu Tsunade-san, maaf merepotkanmu" sambungan tersebut terputus ketika Ayame memandang suaminya tersebut.
"Dia bisa datangkan?"
"Ya, mungkin setengah jam baru sampai, di sana hujan lebat" dan wanita berusia 42 tahun itu mengangguk mengerti. Ia kembali memandangi wajah Sasuke yang –Ya Tuhan, terlihat mengerikan.
Baik Iruka maupun Ayame, sama sekali tidak mengingat siapa Sasuke, meski pada hari mereka memutuskan untuk mengadopsi Naruto. Anak berwajah manis tersebut duduk di samping Naruto.
Iruka dan istrinya hanya iba saat melihat tubuh Sasuke yang penuh luka pingsan di tengah hujan badai. Ayame memaksanya membawa ia pulang saat menemukan pemuda tersebut pucat pasi.
.
.
"Aku sudah memberinya pengurang rasa sakit dan penurun demam. Dia sudah tidak apa-apa, tidak perlu khawatir" tandas dokter keluarga Iruka bernama Tsunade.
Ayame terlihat mengelus dadanya setelah mendengarnya.
"Jadi, sebenarnya siapa pemuda itu?" tanya Tsunade menatap Iruka ingin tahu.
"Aku tidak tahu siapa dia"
"Kami menemukannya sepulang dari apartemen Naruto di bawah hujan. Aku tidak mau terjadi apa-apa, jadi aku memaksa Iruka untuk membawanya pulang, aku takut dia kenapa-kenapa" wanita itu mendekati ranjang Sasuke.
"Ya, istriku sangat mengkhawatirkannya jadi aku menelponmu. Maaf merepotkan kalian" kali ini ia membungkuk pada Jiraiya –suami Tsunade.
"Ahaha...tidak apa-apa Iruka-san, ini sudah tugas istriku"
"Aku akan memberinya obat penambah darah dan vitamin, jadi tolong minumkan ini setelah dia sadar" jelas Tsunade sambil menyerahkan sebuah botol berwarna hijau dan tak berwarna.
Iruka menerimanya dengan senang hati, ia mengantarkan dokter tersebut dan suaminya agar sampai ke mobil di bawah selasar rumah.
.
.
Pagi datang sedikit lambat hari ini, musim gugur memasuki masa akhir untuk masuk ke musim dingin. Ditambah awan tebal yang sejak semalam menggantungi langit Konoha membuat sinar matahari sulit mencapai lantai tanah.
"Apa aku harus memberitahu Naruto tentang hal ini Iruka?" Ayame menata sarapan untuk pemuda yang ditemukannya semalam.
Iruka meletakkan cangkir kopinya lalu menatap istrinya.
"Kurasa tidak perlu Ayame, aku takut hal ini justru membuat konsentrasi kerja Naruto menurun, dia sedang merintis karir sekarang"
Ia bangun dan meraih tas kerja serta mantel hangatnya, Ayame mengantarkan suaminya menuju depan pintu.
"Kabari aku kalau terjadi apa-apa" dan mereka memberikan ciuman singkat.
.
.
Kelopak mata Sasuke menggeletar beberapa saat sebelum akhirnya membuka. Mata hitamnya yang bulat menatap eternit kamar dengan kernyitan nyeri di dahi. Mata bola tersebut menyapu keadaan sekitar, ia menemukan mangkuk dengan segalas susu putih di nakas lampu. Sinar matahari yang redup masuk melalui pintu kaca di kiri ranjang. Sasuke menggerakkan tubuhnya yang terasa remuk, dan melihat jam sekarang pukul 10 pagi.
"Uhh" ringisnya saat menolehkan ke arah mangkuk berisi makanan.
Tangan kurusnya mencoba meraih benda itu dengan pelan, meminimalisir rasa nyeri di dada dan perutnya. Matanya menatap isi dalam mangkuk tersebut, sup jagung.
'Aku lapar sekali' pikirnya sedikit bimbang.
Sasuke ingin makan sup tersebut, tapi rasa kikuknya berada di kamar seseorang asinglah yang membuatnya ia menahan untuk segera menyantapnya.
"Hahh..." ia memejamkan matanya.
Pintu coklat di hadapannya terbuka pelan dan kepala perempuan menyembul dari baliknya.
"Ah, kau sudah bangun ternyata. Bagaimana keadaanmu?" tanya wanita itu.
Sasuke menatapnya tanpa menjawab.
"Aku Ayame, aku menemukanmu semalam tergeletak di jembatan saat hujan badai, jadi aku membawamu pulang untuk mengobati lukamu"
Sasuke menatap kakinya yang terbungkus selimut hitam.
"Kau harus sarapan, makanlah!" dan wanita itu menyerahkan sendok pada Sasuke.
"T-terima kasih" jawab Sasuke menerima sendok tersebut.
Dia menyendok supnya yang telah dingin, rasa pertama di lidahnya sedikit pahit dan manis dari jagung. Namun dia tetap memakannya dengan lahap, rasa laparnya setelah dua hari semalam tak makan menggiring ia untuk menghabiskan sarapannya tersebut. Ayame tersenyum memandangi hal tersebut.
"Jadi, siapa namamu?" tanyanya dengan nada keibuan yang kental.
Sasuke mengangkat kepalanya untuk menatap wanita bernama Ayame tersebut.
"Sasuke" jawabnya singkat.
Ayame mengangguk mengerti.
"Habiskan ya! Setelah habis minum susumu dan juga tolong minum ini, ini agar kau cepat sehat"
Wanita itu meletakkan dua butir pil obat berwarna merah dan kuning di atas nampan makanan Sasuke, dan pria itu hanya memandanginya.
"Terima kasih"
Ayame tersenyum membalas ucapan itu.
"Aku harus pergi sebentar untuk membeli makanan, kau istirahatlah. Sembuhkan saja dulu semua lukamu ya" dan Sasuke mengangguk
.
.
.
Naruto memasukkan ber-cup-cup ramen rasa kari dan daging panggang ke dalam troli yang sudah terisi beberapa bungkus roti, dua karton susu dan sebotol besar jus jeruk. Pemuda yang sebulan lalu genap berusia 24 tahun tersebut sangat semangat mencomot bungkusan ramen untuk dibawanya pulang.
'Sepulang ini akan aku makan yang rasa kari ayam dulu, lalu nanti sore rasa daging panggang'
Pikiran Naruto mulai ileran dengan nikmatnya rasa makanan instan tersebut mengecap lidahnya.
"Naruto?" ia menolehkan kepalanya ketika mendengar suara orang yang ia kenali.
"SAKURA-CHAN!"
PLAK–
"Isshh– kenapa kau memukulku Sakura?" Naruto menuding-uding ujung hidung gadis manis tersebut.
Mata hijau Sakura yang –menurut Naruto- kian memukau, hanya menatapnya malas.
"Suaramu sangat kencang bodoh!"
Dengus Sakura menggerakkan tangan kanannya meraih sebotol selai dari rak. Naruto terkekeh mendengarnya, hati kecilnya sedikit berkata: berarti aku tidak berubah bukan?
"Naruto, kapan kau pulang? Huh tidak mengabariku"
Sakura melirik pemuda tinggi di sampingnya. Ia menggumam sebentar setelah menelan ludahnya untuk bercerita pada sahabat karibnya.
"Kemarin sore. Hehe maaf ya Sakura, aku bahkan kehilangan nomor teleponmu. Rencananya hari ini aku ingin ke rumah Neji lalu mengabari teman-teman yang lain" ucap Naruto sambil menuntun trolinya mengikuti langkah Sakura.
"Wah, kau masih dengan Hinata ya? Romantis sekali" suara gadis berambut sepunggung tersebut agak menggerutu.
Pemuda berkulit kecoklatan tersebut menggaruk tengkuknya sebentar tanpa menoleh pada Sakura. Kedua pipinya agak memerah memikirkan bahwa 6 tahun terakhir ini dia dan pujaan hatinya harus menjalani sebuah hubungan yang terpisah lautan, yang dikenal dengan nama Long Distance Relationship. Pasalnya, Naruto masuk kuliah di Belgia dan ia dikontrak kerja 3 tahun di perusahaan asing di Belgia untuk menjadi konsultan perusahaan.
Iruka dan Ayame senang dengan kabar ini, meski harus tak bertemu selama 6 tahun lamanya, tapi kini kehidupan Naruto jauh lebih mapan ketimbang keduanya. Dalam hal ini Naruto telah membuktikan jika dirinya berhasil membanggakan kedua orang tua angkatnya.
"Apa kau tidak tergoda dengan wanita-wanita bule di Belgia Naruto?" goda Sakura mengambil seikat asparagus dari konter.
Naruto mengikuti kegiatan Sakura. Dua ikat asparagus masuk ke troli.
"Aku ini setia Sakura, tidak seperti kau" Sakura merengut dengan candaan tersebut.
"Tidak perlu sok tahu! Aku sudah tunangan bodoh!"
Naruto melotot tak percaya, dengan cepat bahkan nyaris otomatis, otaknya memerintahkan matanya untuk melirik cincin putih yang melingkar di atas cincin emas di jari kiri manis gadis tersebut. Ia menyeringai melihat ekspresi kaget Naruto.
"Kenapa?" tantangnya.
"Uhh...mm...kapan kau tunangan"
Pandangan mata Naruto terlihat bete menatapnya. Ia mengerucutkan bibir kurung kurawanya dengan mata menerawang.
"Awal tahun lalu. Ufu~" senyumnya palsu!
"UFU!? KAU BILANG UFU?"
PLAK–
"Tidak perlu berteriak!"
Gadis cantik itu mendorong trolinya setelah memasukkan mayonais dan bubuk cabai. Meninggalkan Naruto yang meringis dan tergesa menyusul langkahnya.
"Dengan siapa kau tunangan Sakura!? Dengan Gaara? Atau dengan Sai?"
Naruto serius menatap wajah putih Sakura. Gadis itu bersemu.
"Well, bukan keduanya" jawabnya santai, dia melambai acuh.
"Heeh! Katakan padaku!" dia berdiri di hadapan gadis tersebut menghalangi jalannya.
"Huh, kau benar-benar pemaksa. Tidak kusangka Hinata akan tahan berpacaran dengan makhluk sepertimu Naruto"
Sakura menggeleng-gelengkan kepalanya, memejamkan kedua mata gioknya lalu sedetik yang cepat ia membukanya.
"Ahh~ Ayame-san?"
Naruto menengok dan ibunya melambaikan tangan pada mereka, ia sedikit berlari mendorong troli yang hampir penuh tersebut.
"Kaasan?"
"Selamat siang Ayame-san? Apa kabar?" ia membungkukkan badan semampainya.
Ayame tersenyum lembut.
"Sangat baik Sakura-chan, bagaimana denganmu? Lama tak bertemu" dan Sakura hanya mengangguk dengan senyum simpul.
"Kaasan, Sakura sudah tunangan ya?" Naruto bete.
"He? Kenapa? Kau cemburu?" tanya Ayame polos.
Sakura mendengus menatap Naruto yang menunjuk hidungnya.
"Jadi, kaasan tidak mau menceritakannya padaku?" kedua wanita manis tersebut sweatdrop dengan tingkah idiot pemuda tersebut.
.
.
Masih dalam atmosfer kekesalan yang menggelayut di dada Naruto, dia menyetir Audy hitamnya dengan mulut maju. Padahal ibunya dan Sakura sendiri sudah memberitahu siapa tunangan gadis yang pernah dia taksir itu. TAPI TUHAN! KUTUKAN APA YANG KAU BERIKAN UNTUK SAKURA?
Well, biarpun gadis itu galak dan pernah berpacaran dengan cowok-cowok tampan di SMA dulu, tapi tunangannya kini ternyata laki-laki yang sangat mengerikan –walau dulu teman SMA mereka. Tetap saja, apa mata giok lembut wanita itu sudah dibutakan dengan biseps-triseps yang menonjol?
'Aku juga punya baka yarou!' gerutunya sekilas melirik otot lengannya.
'Aku sudah tunangan dengan Lee'
Naruto menghela napas mengingatnya.
"Dasar selera rendah" dengusnya.
Ayame terkekeh.
"Kau harus cepat-cepat menyusul Sakura-chan ya"
Ia menepuk lengan atas putranya. Lagi-lagi Naruto mengeluarkan napas dari mulutnya. Hatinya benar-benar menyangkal kenyataan yang didapatnya itu.
"Monster hijau itu ternyata bisa mendapatkan gadis secantik Sakura, aku sangat tidak menduganya" suara Naruto berapi-api dengan nada muram.
"Hinata-chan juga cantik. Dia sangat ramah dan baik, kaasan menyukainya kok. Makanya cepat-cepatlah menikah, kaasan kan juga ingin cepat-cepat memiliki cucu-cucu yang menggemaskan seperti Shikaku"
Wanita paruh baya tersebut menirukan gerakan kucing yang imut dan hal itu membuat anaknya menatap kaasan-anda-sehatkan.
"Hahh...aku harus mengurangi uang jajan ramenku kalau begitu" mata cerahnya menatap jalanan yang lengang.
"Hihi...makanya kau harus jadi anak yang baik"
Ayame mengusap surai pirang anak tampan-nya tersebut dengan penuh kasih sayang. Anaknya tak menjawab. Suasana hening untuk waktu yang cukup lama.
Sepi.
Hanya geraman mesin yang menderum lembut di telinga.
"Naruto, semalam sepulang dari apartemenmu, kaasan dan tousan menemukan seseorang"
"Huh? Siapa?"
Naruto mengerling menatap ibunya. Ayame mencari posisi yang lebih nyaman di jok.
"Mmm...dia laki-laki masih muda kelihatannya, tapi tubuhnya penuh luka. Kaasan kasihan melihatnya akhirnya kubawa pulang"
"Dan sekarang masih di rumah?"
Wanita itu mengangguk.
"Heee? Kaasan kenapa membawa pulang orang asing? Bagaimana kalau dia rampok?!
Tangan halus wanita berambut coklat tersebut menggeplak bahu Naruto.
"Jangan berburuk sangka! Kaasan tidak pernah mengajarimu seperti itu" ia kembali mengalihkan pandangannya pada pertokoan dari balik kaca.
"Yaa..apa yang terjadi padanya?" dia sedikit tertarik dengan pembicaraan ini.
"Entahlah. Dia tidak banyak bicara. Hanya saja tubuhnya benar-benar kurus dan banyak luka lebam. Kaasan rasa dia korban perampokan atau semacamnya, kaasan belum tanya banyak tadi pagi"
"Apa cara jalannya normal?"
"A-apa-apaan itu?" wajah Ayame memerah mendengar pertanyaan itu terlontar.
"Siapa tahu dia korban sodomi kan?" Naruto mengangkat bahunya acuh.
"Hahh..."
"Hehe...aku hanya bercanda kok kaasan, aku jadi penasaran. Setelah aku dari rumah kaasan aku akan ke rumah Hinata-chan ya?" Ayame tersenyum lembut dan mengangguk.
.
.
.
Sementara di rumah Ayame, Sasuke hanya duduk bingung di atas ranjang. Setelah makan dan mandi dia hanya duduk tanpa melakukan apapun. Tidak bergerak untuk memplester luka terbuka di pelipisnya yang bengkak. Toh, ia tak tahu dimana tempat P3K. Meski badannya tidak bergerak, tapi otaknya merayap jauh, memikirkan apa yang telah dan akan terjadi pada dirinya selanjutnya. Kesialan apalagi yang harus dia pikul.
"Hahh...payah" gumamnya pelan.
Mata hitamnya menyorotkan rasa lelah dan cemas yang tidak berujung.
Kakinya yang kurus melangkah menuju balkon yang tertutup. Ia menyibakkan pintunya dan melangkah keluar. Angin musim gugur yang sejuk menyapa tubuhnya yang masih tidak enak. Memaksakan diri.
"Bukankah kau pergi saat musim gugur Naruto?" desaunya pada angin.
Sasuke mencengkram pembatas balkon dari besi tempa. Matanya menatap kosong daun-daun hijau yang menguning dan mulai gugur di depannya. Kaki telanjangnya tidak menghiraukan guguran daun yang berserakan di balkon.
"Kapan kau akan pulang bodoh?" matanya terpejam.
Otak Sasuke seolah tidak mengijinkannya untuk beistirahat memikirkan sosok kakak yang dia rindukan itu. Saat usianya 5 tahun, ia belum bisa mengartikan perasaan apa di dadanya saat Naruto memberikan kasih sayang tak bernama tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan sesak yang aneh meletup dalam palung hatinya. Membuatnya bingung dengan dirinya.
'Mungkin aku mencintai Naruto' pikirnya dulu.
Oksigen masuk melalui garba penciumannya, masuk mengisi paru-parunya untuk mengembang menampung benda tak berbentuk tersebut.
Derit pintu terbuka di belakang tubuhnya membuatnya membuka kelopak matanya yang agak menghitam. Mengantuk.
"Udara luar belum bagus untukmu, apalagi tidak memakai baju hangat. Masuklah!"
Suara wanita itu menuntun Sasuke kembali masuk ke kamar dengan penghangat yang hidup. Jantung Sasuke hampir copot! Napasnya tercekat! Dengan mata tersentak kaget!
NARUTO BERDIRI DI DEPANNYA!
"Na- Naru..to..." bisiknya lembut.
Ayame mendengar bisikan tersebut dan menatap Sasuke yang berdiri kaku di dekat jendela menatap putranya dengan pandangan kaget seperti itu
"Kau kenapa Sasuke-san?" tanya Ayame mendekati sosok penuh luka tersebut.
"Sasuke-san?" Ayame menyentuh bahunya.
Mata Sasuke memanas menatap sosok tinggi berambut pirang tersebut. Tangannya bergerak ingin menggapainya, tapi matanya masih betah menatap –tak percaya- pada Naruto yang balik menatapnya biasa-biasa saja.
"Naruto?" kali ini gumaman tersebut sampai pada gendang telinga Naruto.
Sasuke berlari menerjang tubuh Naruto. Sensasi pertama yang dia dapatkan saat tubuh mereka menempel adalah tekstur tubuh Naruto jauh berbeda dengannya.
Pemuda itu begitu tegap dan sangat hangat. Memberikan rasa nyaman dan aman seketika pada Sasuke. Naruto terkejut mendapat 'sambutan' seperti itu dari tamu orang tuanya.
"Naruto..." suara di dekat telinganya bergetar.
Mata Sasuke tak kunjung mengeluarkan air mata, menyebabkan dadanya kian menyesak. Dan dia tak menyukainya. Sasuke sungguh ingin melepas rasa lelah dan rindunya yang menjeratnya tanpa batas pada Naruto yang saat ini ada di depannya.
Entah jalan apa yang Tuhan berikan kepadanya, hingga laki-laki bermata biru menyejukkan itu kini berada di hadapannya.
"Ma-maaf, Sasuke-san. Bisa...kau le-lepaskan?"
Pertanyaan kecil itu menohok mata hati Sasuke. Tidak menyangka hal seperti itulah yang akan didapatnya dari sosok yang sudah meninggalkan 14 tahun lamanya. Kening putih Sasuke mengernyit saat mengenali rasa sakit yang merojok ulu hatinya. Bahkan lebih sakit dari tonjokan ayah Shion "Naruto..." panggilnya lagi.
"Maaf, apa kita saling mengenal?"
Air mata itu berhasil meluncur dari balik bulu mata Sasuke yang tebal. Kenyataan pahit yang membantingnya telak pada jurang gelap tanpa pegangan. Naruto, melupakannya.
Cengkraman tangan Sasuke kian mengencang pada jaket hitam yang dikenakannya. Bahu kecil yang nampak rapuh itu bergetar sejalan dengan suara isakan tertahan dari bibir Sasuke yang terkatup. Rasa kesal yang tak tersampaikan menyumbat kerongkongannya untuk mengeluarkan raungan kelelahan yang menghimpit hidupnya. Selama ini, selama 14 tahun ia ditinggal Naruto, dia mencoba bertahan hidup demi pemuda itu.
Hanya karena ucapan 'Aku janji padamu kalau aku akan menjemputmu, kita akan bersama Suke...'
Hanya karena itulah Sasuke berjuang bertahan dengan siksaan fisik dan psikis yang semakin mengikisnya.
Tapi, rasa percayanya pada Narutolah yang membimbingnya untuk terus berdoa dan menunggu Naruto datang dan mewujudkan janji sepele namun sarat makna tersebut.
"Sasuke-san? Kau tidak apa-apa?"
"KAU BODOH! HIKS..."
Ayame dan Naruto tersentak kaget. Tidak mengerti apa jalan pikiran pria manis tersebut.
"A-Apa maksudmu Sasuke-san?" tanyanya tanpa membalas pelukan penuh kesakitan Sasuke.
"Suke...maafkan aku, aku sayang padamu. Sungguh"
"KAU MENYEBALKAN! KAU BRENGSEK!"
Air muka Naruto sedikit kesal dengan umpatan tanpa arah dari pemuda bertubuh kecil itu. Dia ingin sekali membogem wajah penuh lebam dan ruam itu, membuatnya hingga berdarah-darah, sekarat bahkan mati. Tapi, sesuatu menahannya. Isakannya.
"Hiks...Naruto..."
Isakan Sasuke mengencang kali ini. Rasa sakit yang tertumpuk, sudah tidak mampu ditampungnya, dia membutuhkan seseorang untuk ikut menampungnya. Berbagi dan memberikan rasa sayang yang tulus padanya.
Dia membutuhkan seseorang untuk dijadikannya sandaran. Dia sudah tidak mampu berdiri sendirian. Kali-kali, Sasuke benar-benar merasakan arti membutuhkan yang teramat dalam.
Dia membutuhkan Naruto.
"Maaf Sasuke-san, aku tidak tahu masalahmu, jadi hentikan semua ini"
Naruto mencoba melepaskan lingkaran tangan gemetaran Sasuke, tapi pria itu keukeuh mempertahankannya. Dia masih ingin merasakan kehangatan yang membuatnya aman tersebut, meski sakit terus bersarang dalam dirinya.
"Hentikan...hiks...hikss..ku-kumohon...Naruto...hiks hentikan"
Kepala Sasuke terkulai di bahu kanannya, menempelkan air mata itu hingga tertembus pori-pori Naruto. Sasuke ingin menyerah saat ini juga, menyerah dalam hipotesisnya yang mutlak jika Naruto benar-benar melupakannya, melupakan Sasuke, melupakan janji 14 tahun lalunya, melupakan dan tidak mau menyadari penderitaan yang telah dilalui adik pantinya ini.
Dia belum siap, benar-benar belum siap jika Naruto sempurna akan meninggalkan dia sendiri.
"I-ini aku...hiks...ku-kumohon hentikan Naruto..hiks hiks.."
"Apa sih maksudmu?" agak kasar tangan Naruto menyentakkan tubuh itu hingga lepas.
Sasuke menatap mata biru itu dengan air mata yang mengaburkan pandangannya. Sakit sekali melihatnya.
"Ke-kenapa Naruto? Kenapa hiks... kau lupa pada- hiks..padaku...?"
Sasuke tak berniat menghilangkan air matanya, gejolak di dalam batinnya dangat mengguncang ia. Naruto menatap wajah itu nanar dan bingung, keadaannya sangat memprihatinkan.
"Aku benar-benar minta maaf Sasuke-san, aku benar-benar minta maaf. Mungkin kau hanya pernah mengenal seseorang yang mirip denganku!"
Emosi Naruto melupakan fakta jika pria itu mengetahui namanya.
Sasuke menggeleng lambat, kepalanya sakit sekali kali ini. Seperti hendak meledak.
"Ti-tidak jangan...jangan lupakan aku Naruto-" ini bukan perintah tapi permintaan, dan itu terdengar dari nada suaranya.
Sasuke meraih lengan kiri Naruto yang menahan bahunya, mencengkram lengan tersebut dengan tanpa tenaga, ingin menyalurkan segala beban yang ditanggungnya dalam tangan halus tersebut.
"Hiks...kau pernah berjanji padaku. Hiks...hikss..."
Naruto melihat kepala Sasuke menyandar pada lengannya.
"...aku mencintaimu Naruto" bisiknya sangat putus asa.
Putra Ayame itu mengernyit jijik.
"Jangan bicara omong kosong Sasuke-san! Aku bukan homo!"
PLAK–
Tangan Naruto menampik tangan Sasuke yang mencengkram lengannya. Melepaskan seluruh kontak fisik mereka. Seluruh tubuh Sasuke gemetar, rasa kehilangan bukan lagi menggelayutinya, tapi kini sempurna mengungkungnya dalam bola transparan di sekeliling tubuhnya.
"Naruto!" pekik Ayame melihat Sasuke sedikit limbung.
"Sebaiknya kaasan buang saja laki-laki homo tak tahu diri seperti dia"
Ketus Naruto dan meninggalkan mereka berdua. Ayame memutuskan mengejar langkah Naruto begitu melihat tak ada reaksi dari Sasuke.
Tubuhnya merosot hingga menyentuh karpet kamar. Sasuke menggulung tubuhnya, ingin melindungi tubuhnya dari kejamnya dunia yang tidak berhenti menyiksanya. Hilang sudah semuanya, dia tidak memiliki apa-apa sekarang ini. Tidak memiliki rasa kepercayaan diri sedikit pun, terlebih setelah Naruto mengatainya.
"Hiks..."
Air mata itu berderai di dadanya. Seandainya... Sasuke sedang membayangkan jika saat ini ibu kandungnya, atau ayahnya, atau kakaknya ada di sampingnya, merangkul bahunya atau mengusap puncak kepalanya sembari mengatakan tidak apa, semuanya baik-baik saja. Maka hal itu bisa menjadi oase tersendiri bagi Sasuke yang sangat membutuhkan kasih sayang orang yang membutuhkannya, bukan orang yang memerlukannya.
"...kaasan...hiks..." mencoba meredam tangisannya, ia menggigit bibir bawahnya. Tapi lagi-lagi kalah.
Sasuke mengangkat tubuhnya,berpikir sedikit dan kemudian memutuskan untuk pergi. Berlari cepat menerjang tangga, melewati dapur dimana Ayame dan Naruto duduk berhadapan, menyebrangi ruang tamu, menyentakkan pintu dan gerbang dan berlari menerobos siang hari yang dingin.
"SASUKE-SAN!?"
Teriak Ayame khawatir saat melihat pria itu lari dengan tampang acak-acakan kacau. Dia berlari mengejar Sasuke, tapi pemuda itu sudah tak terlihat saat ia mencapai gerbang rumahnya.
"NARUTO! Kau harus mencarinya!" pekiknya pada Naruto, pria itu mendengus jengkel.
"Biarkan"
"Kau tidak boleh begitu! Dia sedang sakit Naruto!"
"BIARKAN SAJA HOMO ITU MATI DI JALANAN. AKU JIJIK MELIHATNYA!" teriak Naruto frustasi. Dia melangkah bedebam menuju kamarnya yang dulu.
.
.
Lelah sekali hari ini.
Sasuke mengalami hari-hari yang sangat berat di masa remajanya.
Tidak tahu lagi harus kemana setelah seharian ini berjalan. Dia tidak tahu dimana dia sekarang, kepalanya pusing, perutnya lapar dan agak mual. Malam sudah turun sejam yang lalu, dan udara mendingin dengan cepat. Hal ini membuat Sasuke hanya bisa meringkuk di dekat ayunan besi di tempat kecil yang tak dikenalinya. Seharian menangis, seharian berjalan dengan tampang kacau, seharian ini dia bagai orang sinting. Nama Naruto masih tetap keluar di sela-sela isakannya, Sasuke tidak bisa membenci Naruto.
BENAR-BENAR TIDAK BISA.
"Maaf Naruto... hiks...maafkan aku...hiks" tangannya meraih kalung yang Naruto berikan padanya, ia menatap permata hijau itu dalam sunyi, mencoba menghilangkan semua pernyataan pahit Naruto tadi siang.
"Kau bohong. Kau menyakitiku. Kenapa kau lakukan itu..." pantulan wajah kecil Naruto terlihat dalam permata itu.
"...kenapa Naruto? Kenapa kau berjanji padaku? Hiks...sakit sekali Naruto. Kenapa sakit sekali, hiks...hiks...ugh–" Sasuke meletakkan kepalanya pada permukaan tanah, sejajar dengan tubuhnya. Tidak perduli akan kotor nantinya.
"Kenapa kau melupakanku? Kau benar-benar brengsek..." suara Sasuke menghilang di ujung. Ia kesal kenapa tak tega untuk kembali mencaci Naruto, padahal tak ada orangnya.
Semua usahanya 14 tahun ini sia-sia, lebih baik dia mati sejak dulu dalam kesakitan daripada menanggung luka seperti ini. Naruto bagai sudah menggoreskan luka yang sangat dalam, dan ia juga menaburkan garam di atasnya, memaksa agar Sasuke tak bisa menutupnya atau mengobatinya.
"Kau jahat..." senggukan itu tertelan malam dengan sinar biru kehitaman dari bulan pucat.
.
.
.
Dua bulan kemudian.
Berita pertunangan Naruto dengan seorang wanita bernama Hinata tersebar luas sekarang, tak terkecuali Sasuke. Jadi, apa kabarnya Sasuke sekarang?
Dia dikenal sebagai pembokat-nomor-satu di Konoha saat ini. Bagaimana tidak, meski ingin sekali untuk cepat mati, tapi Sasuke tidak bisa menahan rasa laparnya, mendorongnya untuk menawarkan diri kepada orang-orang di Konoha yang memerlukannya. Dan para warga menerimanya dengan sangat senang hati, gaji kecil dengan sepiring nasi untuk kerja sehari penuh. Sasuke mengerti dan sadar jika itu menguras tenaganya dan pikirannya, tapi dia lebih memilih itu untuk jalannya menuju kematian.
.
.
"Ah aku iri sekali dengan Hinata, bisa menikah dengan orang tampan dan kaya seperti Naruto. Andai saja aku yang menikah dengannya"
"Well, lebih baik kau tidak terlalu mengkhayal Karin" Sasuke sedikit menguping pembicaraan mereka berdua.
"Tidak kusangka, el-de-er-an selama enam tahun seperti mereka akhirnya bisa tetap utuh, sekarang akan tunangan, dan besok akan menikah. Oh Tuhan...Hinata sangat beruntung"
Karin nyerocos. Hati Sasuke mengkerut mendengarnya, dia sudah sering mendengar yang itu.
"Hei Anko, menurutmu, apa Naruto benar-benar mencintai Hinata?"
DEG
'Apa maksudnya?'
"Huh? Kenapa kau tanya begitu? Mana mungkin tidak mencintainya kalau sudah pacaran enam tahun hah?" Karin menimbali
"Tapi, wajah Naruto tidak menunjukkan begitu sih"
Anko mengernyit, begitu pula Sasuke. Tangan pemuda itu berhenti di ujung anak tangga dengan mulut terkatup, sedang pendengarannya mendengarkan ucapan Karin dan Anko di ruang tamu.
"Well, kurasa memang dulu iya Naruto mencintai Hinata-nya..." suara Karin menggantung.
"...tapi, akhir-akhir ini anak itu sedikit terlihat tertekan. Mmm... kupikir ada sesuatu yang 'besar'"
Jemari lentik Karin mengutip kata 'besar' dalam ucapannya tersebut. Sementara gadis bernama Anko tersebut menggumam tampak berpikir.
"Menurutmu apa?" tanyanya.
"Aku tidak tahu Anko, hanya saja, Naruto terlihat dingin saja" cerocos Karin agak ngawur, tapi mengena di hati Sasuke.
'Apa itu karena ulahku?' hati kecilnya mencicit di sudut.
.
.
.
"Naruto-kun kau kenapa?"
Tanya Hinata menatap wajah keras Naruto dari samping. Pemuda itu tidak menjawab, hanya menggumam dan menggeleng kecil. Mata tajamnya mencoba fokus ke jalanan yang mengular. Wanita cantik berambut bob panjang tersebut menghela napas, ia sedikit membenarkan posisi kacamata berbingkai besarnya.
"Ada apa sih?" lirihnya.
"Tidak ada apa-apa Hinata-chan" jawab Naruto. Mata lembut Hinata melirik kecil kekasihnya tersebut, yang seminggu lagi akan ia tunangi.
'Naruto berubah. Salah apa sih aku?' batinnya dengan kesal.
Mobil audy tersebut menepi di depan gerbang putih keluarga Hinata, dan pemuda itu tidak mematikan mesin menyebabkan pacarnya menatap bingung.
"Maaf ya..." tangan besar Naruto mengusap kepalanya lembut.
"...aku harus ke rumah Kiba hari ini, maaf aku tidak bisa makan malam di rumah mu Hinata-chan"
Suara Naruto melembut sambil menatap gadis tersebut. Dia menggembungkan pipinya, meski mengangguk mengiyakan permintaan Naruto.
Setelah Hinata menghilang di balik terbang, Naruto menginjak pedal gas dan melaju halus menyusuri jalanan untuk pergi ke suatu tempat –yang juga dia belum tahu mau kemana.
'Lebih baik aku menjernihkan pikiran keruhku'.
.
.
.
Kaleng berisi kopi hangat tersebut diam kokoh saat udara dingin yang kencang musim gugur di Konoha menerpanya. Mata biru Naruto menatapnya sementara pikirannya terbagi jauh. Pria yang ibunya kenalkan bernama Sasuke itu mengusiknya. Selalu masuk ke mimpi-mimpinya. Dia merasa mengenal laki-laki itu. Apakah dia orang yang pernah kutemui di kampus dulu? Apa dia orang yang pernah kutemui saat rapat di Belgia? Apa dia salah satu kliennya? Wajah orang itu selalu samar dalam ingatan Naruto.
"Hahh..." kepala berambut pirang tersebut menunduk menatap aliran air sungai. Ia mengikuti gerakan helai-helai bunga sakura yang terbawa arus kecil.
"Sasuke... sebenarnya kau itu siapa?" tanyanya pada angin malam.
Naruto mendongak melihat ke langit yang menghitam dengan beberapa bintang. Malam ini tidak mendung, tapi hati Naruto sebaliknya selama 2 bulan terakhir ini.
Ucapan 'Aku mencintaimu' dari Sasuke membuatnya kesal. Ada rasa yang Naruto tak sukai dari kata itu. Jengkel. Jijik. Malu. Kaget. Bahkan sampai desiran tak kentara dalam lubuk hatinya.
"My God! Aku yakin kalau aku normal! Aku masih mencintai Hinata. Aku pria dan Hinata wanita, dan memang seharusnya begitu!" umpatnya menatap kota di bawah sungai kecil tersebut. Lampu-lampu kota terlihat berenang, menyelam dengan warna-warna menarik.
"Dan laki-laki itu membuatku hampir sinting. Aku tahu aku normal, dan seratus persen bukan homo menjijikkan seperti dia" mata Naruto terpejam, mengusir lampu-lampu kota yang lama-kelamaan menjadi siluet Sasuke di rumah ibunya.
"Hahhh..." ia menghela napas lagi.
Naruto membuka kaleng kopi tersebut, meneguknya setengah lantas membuangnya di tong sampah dekat kakinya. Ia memilih kembali ke kota.
.
.
"Ah~ tidak apa-apa hanya lecet sedikit kok, sama sekali hal yang biasa untukku" dan tawa berderai di plafon merah.
"Haha jadi kau masih amatiran dalam memukul wajah orang!" tawa kencang pria-pria tersebut kembali bergema. Makin menyesakkan suasana.
"Meski tidak membalas, si pembantu itu tulangnya keras juga"
"Huh! Aku lebih suka menonjok perutnya, karena dengan begitu dia tidak mau makan"
"Dan kita tidak perlu memberinya makan" tawa mereka tambah menggila di klub malam itu. Aroma rokok, alkohol dan keringat menjadi satu di bawah kilatan lampu merah – kuning – biru – merah – kuning – dan seterusnya.
"Masih mau tambah tequilla lagi?"
"Ya" ucapnya parau setelah menenggak cairan beraroma kopi keras itu.
"Kudengar pembantu murah itu sedang bekerja di rumah Mitarashi, kalian tahu kan? Pengusaha di rumah dekat danau Hinto"
"Ya ya ya..."
"Seperginya dari sana aku harus 'memeliharanya' lagi"
"HAHAHA–"
"Aku sudah gatal ingin menonjok muka dan menendang tubuh kurusnya. Hah! Itu menyenangkan saat kalian dapat samsak manusia gratis!" raungan dengan tawa menjijikkan menggelegar di telinga pengunjung lain.
"Ya apalagi dengan dia tidak mau membalas ahahah!"
"Tidak kusangka Sasuke berhasil menjadi pembantu tanpa bayaran di Konoha!"
"AHAHAH!"
Jantung Naruto berdenyut cepat mendengar nama Sasuke terlontar dari mulut pria-pria di sudut klub tersebut. Matanya melirik mereka yang berhura-hura setelah mengungkapkan betapa senangnya bisa menyamsaki wajah dan tubuh kurus Sasuke.
'Apa karena mereka itu luka-luka di tubuhnya?' pikir Naruto mengingat banyaknya luka lebam di Sasuke.
"Hehh mulai tertarik dengan pembicaraan mereka ya?" Naruto mengalihkan matanya pada wanita di depannya.
"Ceritakan Mei-san!" wanita berambut panjang dengan seragam bartender seksi itu menarik kursi di belakang konter pelanggan. Dan menghenyakkan tubuhnya di sana.
"Apa yang ingin kau ketahui?" tanyanya menopang dagu.
"Semua tentang Sasuke"
"Well, aku tidak terlalu tahu tentang pembantu itu, aku juga belum pernah melihatnya. Tapi kudengar dia bekerja dengan sangat baik pada setiap orang jika dia mau mendapat upah"
"Kenapa dengan pria-pria di sana" dagu Naruto menyentak menuding pria di sudut klub.
Mata Mei yang berkilau mengerling pada mereka sedetik dan kemudian beralih pada pemuda tampan di hadapannya.
"Ya, seperti yang kaudengar. Mereka sering memukulnya, kalau dia berbuat salah. Itu yang kutau, aku tidak tahu apa yang mereka lakukan dalam pemukulan itu. Hanya saja, dia tidak pernah melawan saat majikannya memukul" ucap Mei menatap mata biru Naruto yang berkilat.
"Umm... aku tidak tahu banyak Naruto. Kenapa? Kau tertarik untuk memperkerjakannya juga?" godanya melambaikan tangan.
Naruto mendengus menjawabnya.
"Siapa keluarga Mitarashi?" tohoknya.
"Huh? Yaa...mereka yang sedang menjadi majikan si Sasuke itu"
"Apa dia menjadi pembantu selama ini?" wanita tiga puluh tahunan itu agak menerawang dengan mengernyitkan dahi.
"Entahlah, yang kutau dari pengunjung, baru beberapa bulan terakhir ini"
"Kenapa majikannya tidak berbuat baik padanya?" tanya Naruto mencengkram gelas minuman beralkoholnya. Ia sedikit menyesal menanyakan hal itu.
Mei mengendikkan bahunya.
"Mungkin hanya demi bertahan hidup" acuhnya tanpa menatap Naruto.
"Apa maksudmu?"
"Uhh kau bawel sekali!"
"Ceritakan saja!" desak Naruto berkilat menatap Mei.
Wanita itu menghela napas.
"Aku tidak tahu banyak bodoh! Yang sering kudengar dia hanya akan diberi upah kalau dalam sehari dia tidak melakukan kesalahan. Yaa...mungkin mereka hanya mencari-cari kesalahannya agar tidak memberinya upah"
"..." Naruto terdiam mendengarnya.
'Setega itukah?'
"Semua orang terlihat tidak pernah memperdulikannya. Hampir seperti membuangnya, dan mengucilkannya. Kira-kira begitu" tandas Mei.
"..."
"Naruto?"
"..."
"Mmm...ada yang mau kau tanyakan lagi?" Mei agak bangkit dari kursi.
"Beritahu aku rumah Mitarashi!" desis Naruto menggeret gelas tequilla-nya.
Mei melotot.
"Cepat Mei!" dan wanita itu mengalah.
Ia mengambil sebuah buku kecil dari laci dengan bolpoin. Jemarinya bergerak cepat di kertas kuning tersebut, suara sobekan kecil terdengar dan Naruto segera meraihnya.
Dia pergi dari klub tersebut.
.
.
.
Suara televisi mengisi ruang keluarga di samping dapur rumah minimalis tersebut. Terkadang, suara kikikan dan tawa terdengar hingga ke telinga Sasuke di dapur. Pemuda itu diam sambil mengerjakan tugasnya. Kedua tangannya yang terbungkus sarung tangan karet kuning bergerak mengusapkan spons berbusa ke piring dan gelas kotor dalam wastafel. Hening di dapur menyeret Sasuke untuk melirik ke jendela dan gelap menyergap penglihatannya dengan sepotong bulan menggantung di langit malam.
"Ya sebentar!" teriakan ayah Anko membuat Sasuke menoleh ke belakangnya, dia melihat pria tua itu berjalan menuju pintu depan.
Sasuke kembali menyibukkan diri dengan mencuci piring, mengalihkan rasa lapar yang memenuhi perutnya. Hari ini dia tidak makan, ibu Anko mencari masalah dengannya dan berakhir dengan pukulan di sekujur tubuhnya.
.
.
"Siapa kau?" tanya tuan Mitarashi menatap tamunya yang menatap dia dengan pandangan menantang.
"Aku ingin bertemu dengan Sasuke. Dimana dia?" tanyanya langsung.
"Aku tanya padamu bocah, siapa kau?" tuan Mitarashi tak mau kalah.
"Dimana Sasuke?" desis Naruto mulai emosi.
"Apa urusanmu dengan pembantuku?" tanyanya ketus.
"Aku ingin bertemu dengannya!"
"Tidak bisa! Dia sedang bekerja sekarang"
"Aku. Ingin. Bertemu. Dengannya. Sekarang. Juga!" Naruto membentak di ujung kalimat.
Pria itu naik pitam. Dihantamnya daun pintu di samping tubuhnya, hingga terdengar ke dalam.
"PERGI DARI RUMAHKU SEKARANG JUGA BOCAH TENGIK!" teriaknya di muka Naruto.
"Tousan ada apa? NA- NARUTO!?"
PYARR–
"Naruto?" Sasuke menoleh ke belakang di mana istri tuan Mitarashi menyusul suami dan anaknya ke depan.
"DIMANA SASUKE!?"
DEG
"Naruto?" dia melepas sarung tangannya dan membiarkan pecaham gelas berserakan di lantai dapur.
"TOUSAN JANGAN!"
"PERGI DARI RUMAHKU ANAK SIALAN!"
"NARUTO! TOUSAN JANGAN!"
Teriakan Anko meminta langkah Sasuke agar semakin cepat sampai di koridor pintu depan. Sasuke memaksakan kakiknya yang sedikit bengkak.
"DIMANA SASUKE!?"
BUGHH–
Naruto oleng ke belakang setelah satu tonjokan didapatnya di rahang kanan. Dia mendengar wanita muda itu berteriak memanggil namanya. Dia menyentakkan kepalanya dan memandang sengit pria bertubuh gemuk tersebut. Mata mereka bertemu, dalam pandangan yang sama. Sasuke berdiri di belakang sana dengan baju coklat dan celana pendek dengan luka lebam di tubuh kurusnya. Persis seperti yang dikoar-koarkan pria di klub!
Sirine polisi terdengar sayup-sayup mendekat.
"Apa yang kau lakukan Naruto?" tanya Anko.
Pria itu mendengus.
"Aku menelpon mereka, bawa Sasuke padaku!" desisnya menatap keluarga tersebut.
"DASAR BRENGSEK!"
"JANGAN!"
Teriakan tertahan dari Sasuke menghentikan langkah tuan Mitarashi untuk menarik kerah pemuda itu. Sirine sempurna berhenti di depan gerbang rumah bercat biru tersebut.
"T-Tousan?" Anko berdiri ke belakang.
"Bawa mereka Shikaku-san" desis Naruto.
Pria itu menatap keluarga tiga orang itu. Dua anak buahnya masuk menerobos tubuh mereka dan menemukan Sasuke yang mengenaskan –seperti yang Naruto kabarkan.
"Ayo ikut kami" tangan kiri Sasuke digeret keluar rumah.
'Masalah lagi' batinnya.
Keluarga Mitarashi mencak-mencak dan menggerundel dengan umpatan kasar pada Naruto yang menatapnya dari teras atas rumahnya, sedang mereka berdua di bawa beberapa anak buah Shikaku.
"Terima kasih" ucap Naruto.
"Ya. Ini juga harus diselesaikan, bagaimanapun juga ini menyangkut hak asasi manusia" Shikaku menatap Sasuke yang digiring dua anak buahnya.
Naruto menatapnya dan Sasuke menatap balik, dengan sorot mata yang tak berubah sejak 2 bulan lalu.
"Ayo ikut aku!" tanpa memberi penjelasan lanjut, Naruto menggeret Sasuke menuruni tangga menuju gerbang rumah keluarga Mitarashi.
"Tu-tunggu..." Sasuke terseok-seok mengikuti geretan tangan Naruto.
"Na-Naruto! Tunggu!" tangan kanannya menahan lengan Naruto, mencoba menarik perhatiannya. Naruto berhenti.
"Apa?" pria rapuh itu tidak menjawab.
Tapi matanya melirik ke kakinya yang bengkak dengan luka di tulang keringnya.
"Hahh..."
Naruto membimbing Sasuke menuruni anak tangga tersebut. Batinnya ingin agar dia menggendong Sasuke setidaknya sampai mobilnya, tapi otaknya bertindak lain.
.
.
Hanya keheningan yang terjadi di mobil Naruto. Jam di dashboard mobil tersebut menunjukkan pukul sebelas malam. Baik Sasuke maupun Naruto tidak ada yang membuka mulut untuk bicara, hanya diam yang mengungkung mereka di kursi masing-masing. Sejujurnya, Sasuke sangat mengantuk, dia sangat lelah dan lapar, ditambah rasa sakit di tubuhnya memaksa kelopak matanya menutup berkali-kali tapi dia menahannya.
"Tidurlah" ucap Naruto tanpa menatapnya.
Sasuke menoleh padanya dan Naruto diam dengan mata fokus ke jalanan. Lampu mobil yang temaram membuat mata Sasuke semakin berat, tapi dia masih ingin mengamati kebersamaannya dengan Naruto. Tidak mau menyia-nyiakannya.
"Tidur!" kali ini Naruto memerintah.
Kepala Sasuke terkulai di jok dengan wajah menghadap Naruto, ingin melihat wajah tersebut sebelum benar-benar terlelap.
.
.
Malam ini, udara turun drastis. Namun, kali ini Sasuke tidak lagi melewati malam dengan keadaan dingin dan rasa lapar tak terperikan di perutnya. Malam ini Tuhan mengijinkan pemuda itu untuk sejenak lepas dari rasa deritanya.
Sasuke bahkan tidak bermimpi dalam tidurnya, benar-benar pulas. Dan Naruto duduk di sebelah ranjang dengan Sasuke di atasnya semenjak satu jam yang lalu. Jam digital di atas komputer di dekat jendela bertirai menunjukan hampir pukul dua belas malam. Namun, Naruto sama sekali belum merasakan kantuk yang berarti. Tubuhnya sangat lelah, tetapi dia tidak juga beranjak untuk tidur. Pria dewasa tersebut bahkan lupa dengan tunangannya di rumah sana.
"Hahh…"
Naruto mengusap wajahnya yang kebas. Mata birunya yang masih tajam kembali menyapu raut wajah lelah dan tertekan dari Sasuke. Sungguh! Otak pria itu terasa berat sekarang, ia memikirkan siapa sebenarnya Sasuke ini. Apakah ia adalah orang dari masa lalunya sebelum ia kecelakaan dulu? Pasca dia kecelakaan semasa SMP dulu, Naruto total tidak bisa lagi mengingat masa lalunya. Kedua orang tuanya memperkenalkannya secera ulang sebagai seorang Umino. Umino Naruto, putra dari Ayame dan Iruka.
Ia mencengkram rambut pirangnya gusar. Giginya bergemeletuk ketika dia tak mendapatkan jawaban di otaknya. Dia tahu jika dia mengalami gegar otak ketika tabrakannya dulu, tapi apakah setega itukah orang tuanya tidak kembali menjelaskan asal-usulnya?
"Ini membuatku gila. Brengsek!" gerutunya dengan tangan terkepal di dahi.
Naruto bingung dengan dirinya sendiri, dia merasa jijik ketika mengingat ucapan Sasuke. 'Aku mencintaimu' bagi Naruto adalah kalimat setan untuk seorang laki-laki dewasa kepada laki-laki dewasa lainnya.
"God! Aku bukan homo!" erangnya frustasi. Ia kembali menghela napas pasrah dengan mata melirik Sasuke yang bergerak menyamankan tidurnya di balik gulungan selimut hangat Naruto.
Tali hitam itu tertangkap retina Naruto.
Tidak ingin membangunkan Sasuke, dengan berlahan Naruto meraih tali hitam di atas garis bekas lilitan kencang di leher putih pemuda yang sedang terlelap tersebut. Alisnya mengernyit melihat bekas luka itu. Ia tepis segera rasa iba tersebut dengan cepat-cepat mengeluarkan kalung yang dipakai Sasuke. Sebuah permata hijau prisma tergantung sebagai liontin tali hitam tersebut. Mata Naruto terbelalak melihat sebuah kalung yang tergantung di leher pemuda itu.
'Ini… kalung… –ku!?'
TBC
Huaahhh =_= capekkk banget gilaa… kenapa Jell bisa bikin ff abal super ooc beginiiii!? Dan kenapa pula Sasuke jadi malah kek cewek demen mewek begitu!? *ditonjok masasi* Agak melenceng dari yg Jell rencanain sebenernya, but yeah ahahah atmosfer sekitar kan mempengarui juga ._.v
Hheheeh… chap 2 lagi dalam proses ^^ jadi mohon sabar ya readers…betewe, ini kepanjangan ga?._.
Thx buat yg mau baca ff aneh Jelly hohoo, ini ff udah lama mendekam dalam folder dan jell tambah2in dikiiit dan akhirnya selesai juga 33 halaman MSW lohh *gak nanya
Oke,, sampai jumpa chap depan ya :*
dann ya abis ini jell mau hiatus bentar ya buat UN, dan doain jell bisa lulus 0:) the lasttt minta review yaa … review kalian semangat Jelly ! (9'-')9 arigatou gozaimashitaaaa
