Selama ada aku, aku akan melindungimu.

Tanah bergetar, abu vulkanik melayang-layang di udara. Langit menggelap walau matahari belum kembali ke peraduannya. Teriakan ribuan manusia menggema. Tangis mereka membelah langit. Rumah-rumah yang awalnya kokoh kini runtuh rata dengan tanah.

Pemuda itu duduk bersimpuh, bibirnya gemetar, air matanya mengalir deras. Ia hendak berteriak, namun bencana sudah menguras habis tenaganya. Sorot matanya terkunci rapat pada gadis di depannya.

Gadis itu sudah tidak bergerak, kepalanya mengeluarkan darah. Wajah cantiknya ternoda abu vulkanik.

Tidak.. Kumohon!

Selama ini ia tidak mempercayai dewa, namun kali ini ia memohon, hatinya menjerit putus asa. Wanita yang amat ia cintai tidak lagi tersenyum padanya. Membuatnya gila. Ia tidak ingin dan tidak mampu kehilangan gadis biru.

Ambil saja kekuatannya, rampas saja nyawanya. Ambilah apapun yang pantas untuk membuat gadisnya hidup kembali.

Saat ujung jemarinya bersinggungan dengan pipi gadis itu. Pemuda itu semakin yakin dunianya sudah hancur. Bukan karena gunung meletus, atau gempa besar. Tapi karena gadisnya sudah tiada. Meninggalkan dirinya ke dunia yang abadi.

Ajaklah aku bersamamu, Kokomi.

"Kusuo?"

Sinar matahari menembus kelopak matanya, manik violet perlahan terbuka. Gadis bersurai biru menatapnya khawatir. "Kau tidak apa?"

Pemuda itu merasakan bantalnya yang lembab, ia mengerjap beberapa kali dan menyentuh kelopak matanya yang basah. "Aku menangis?"

Kokomi mengangguk. "Apa kau bermimpi buruk?"

Kusuo berbalik memandang gadisnya lekat.

Tadi hanya mimpi. Semua itu tidak nyata.

Tidak. Lebih tepatnya. Belum menjadi nyata.

Pemuda itu bangkit, ia memegang keningnya begitu kepalanya berdenyut. Kokomi segera menahan punggung kekasihnya, dengan penuh kasih sayang wanita itu mengusap peluh di kening Kusuo.

"Badanmu sedikit panas, mau kubelikan obat?"

Saiki menggeleng singkat, ia tersenyum. "Aku tidak sakit, tenang saja." Pemuda itu menyentuh pelan pipi gadis didepannya. Lembut dan terasa hangat. "Berikan aku ciuman selamat pagi, Kokomi."

Kening Kokomi berkerut, wajahnya sedikit merona. "Ada apa denganmu? Aneh sekali." Gadis itu membuang wajah, berusaha menutupi semburat merah di pipinya. "Tumben sekali, kau pasti benar-benar sakit."

Saiki mengulas senyum memelas. "Jadi tidak mau?" Tanyanya dengan suara berat khas bangun tidur membuat darah gadis itu berdesir.

Kokomi menunduk dan mengangguk kecil. Gadis itu perlahan mendongak, memberanikan diri menatap kekasihnya. Matanya perlahan tertutup, memberi isyarat agar pemuda di depannya memberi akses untuk bibirnya.

Saiki tersenyum dan mengecup lembut bibir gadis itu.

Aku menginginkan kebersamaan ini, selamanya.

"Aku sudah meneliti data yang kau berikan."

Kuusuke menyalakan monitor, disana tampak gambaran lapisan tanah gunung vulkanik terbesar di Oshimai. Mimpi yang dialaminya waktu itu bukanlah mimpi biasa, itu sebuah penglihatan masa depan. Cepat atau lambat, gunung itu benar-benar akan meletus. Magma panas akan menghanguskan tanah dan hutan, abu vulkanik mengubur rumah-rumah di perkotaan. Gempa diatas skala 7 akan mengguncang Jepang lebih dari sepuluh kali. Tsunami setinggi 20 meter akan menyapu Jepang sepuluh menit usai gempa terakhir.

Dengan kata lain. Akhir dari Jepang.

"Kau yakin mau menghentikannya?"

Saiki mendongak, menatap kakak laki-lakinya itu. "Tentu saja, nasib ayah, ibu, kakek, nenek dan Kokomi ada di tanganku. Hanya aku yang bisa menghentikannya."

Kuusuke menghela napas, ia menyerahkan selembar kertas hasil rontgen kepala Saiki beberapa hari lalu. "Aku punya berita buruk untukmu. Ini hasil pemeriksaan otakmu beberapa hari lalu."

Saiki memperhatikan gambar itu lekat. "Apa ini buruk?"

"Menghentikan letusan gunung sekaligus tsunami itu tidak salah lagi mengharuskanmu mengeluarkan segenap kekuatan yang kau punya."

Saiki mengangguk. "Itu benar."

"Ada efek samping yang cukup fatal jika kau memaksa mengeluarkan seluruh kekuatanmu. Saraf-saraf di otakmu akan mengalami kerusakan. Akibatnya kau mungkin akan kehilangan ingatanmu selama kau hidup. Kau tidak akan mengingatku, ayah, ibu, nenek, kakek bahkan kekasihmu, Teruhashi Kokomi."

Manik Saiki melebar seketika. "Itu bohong, bukan?"

Kuusuke menggeleng, "aku juga berharap itu bohong, tapi nyatanya tidak. Selain ingatanmu, kau mungkin akan kehilangan kekuatanmu selama-lamanya."

Kusuo menghembuskan napas panjang, biner matanya meredup. Ia tersenyum pedih.

Ternyata kami memang harus berpisah, ya.

"Jadi bagaimana?" Kuusuke menatap adik kesayangannya itu lamat-lamat, pemuda sembilan belas tahun itu berharap Kusuo berkata tidak. Walau hubungan mereka tidak akur selama ini. Tidak dapat di pungkiri bahwa Kuusuke sangat menyayangi adiknya itu.

Tentu ia tidak mau melihat Kusuo terbangun menjadi pemuda seputih kertas. Tidak memiliki ingatan apapun bahkan dirinya sendiri layaknya bayi yang baru lahir.

Saiki tersenyum. Kuusuke tahu benar senyum itu palsu. "Aku tetap akan melakukannya."

Kuusuke tersentak.

"Hanya aku yang bisa menyelamatkan keluarga kita dan juga Kokomi. Maka dari itu, saat ingatanku benar-benar hilang. Bantulah aku, aniki."

Kuusuke melebarkan mata.

"Setidaknya biarkan aku memanggilmu kakak sebelum ingatanku hilang."

Kokomi bersenandung kecil, sesekali ia menghirup aroma kaldu dari panci berisi ramen yang tengah ia masak. Ia melirik jam dinding, dan tersenyum. Seharusnya sebentar lagi kekasihnya datang, ini hari ulang tahunnya. Ia berencana untuk merayakan bersamanya. Gadis itu juga sudah menyiapkan kue dan kopi jeli di kamarnya.

Tiba-tiba aktifitasnya terhenti. "Aku tadi memakai celana dalam warna apa?" Gumamnya kemudian menghela napas lega begitu ingat ia masih mengenakan celana dalam kesukaannya. Pipi gadis merona, jangan salahkan dia. Kan berjaga-jaga itu lebih baik. Toh, bisa saja pesta kecil mereka menjadi suatu malam panas untuk mereka berdua.

Suara bel berbunyi, Kokomi sontak mematikan kompor dan berlari kecil menuju pintu.

"Selamat datang." Gadis itu langsung menhambur manja ke pelukan lelaki di depannya, "aku sudah menunggumu."

Saiki tersenyum tipis. "Ayo kita mulai pestanya."

Aku harus mengatakannya.

Denting gelas bertubrukan, Kokomi meminum jus tomat dalam gelas dan memasang wajah hendak muntah. Saiki tertawa melihat ekspresi gadis di depannya.

"Habiskan, ini perintah raja." Saiki tersenyum miring dan memperlihatkan sumpit bergambar mahkota pada gadis di depannya.

Kokomi mengerucutkan bibir, "Moo.. Kau memang jahat, kau tahu sendiri aku tak suka jus tomat."

"Justru karena aku tahu makanya aku memintamu meminumnya." Saiki menggedikan bahu dan ikut meminum jus tomat sisa dari Kokomi. Pemuda itu menopang dagu. "Padahal rasanya enak."

"Tidak enak, itu menjijikan." Tegas gadis itu tidak terima.

Saiki terkekeh, namun tawanya mereda. Ia memandang gadis di depannya lekat.

Aku harus mengatakannya.

"Nah, Kokomi."

Yang di panggil tersenyum. "Nani?"

"Aku ingin kita putus."

Tubuh gadis itu tersentak, ia menatap pemuda di depannya. Gadis itu tertawa sumbang. "Bercandamu tidak lucu, Kusuo. Carilah lelucon yang lain."

Saiki menggeleng pelan. Ia menatap gadis di depannya lekat, raut wajahnya menyiratkan kesedihan. "Aku tidak bercanda. Aku serius."

Pelipis Kokomi berkerut. "Tapi kenapa?" Tanyanya penuh penekanan.

Saiki menghembuskan napas. "Aku akan pindah ke tempat yang jauh, aku tidak akan bisa menghubungimu lagi, tidak akan kembali."

"Jangan berbohong."

"Aku tidak berbohong."

"Kau hanya membuat alasan, Kusuo. Katakanlah yang sebenarnya?!" Bentak gadis itu.

"Aku tidak membuat alasan!"

"Kau iya!"

Saiki memukul meja, sedang gadis di depannya sudah mulai menitikan air mata emosi. "Aku membencimu, kau gadis manja dan selalu merepotkan. Nada bicaramu seperti jalang. Aku ingin pergi darimu, aku tidak ingin melihat wajahmu lagi! Aku muak!"

Plakk

Saiki bisa merasakan pipi kanannya menanas. Pemuda itu mendongak, ia menatap miris Kokomi yang sudah terhisak. Gadis itu menatap tajam pemuda di depannya. Sorot matanya menusuk.

"Pergi." Ucapnya penuh penekanan.

Saiki bangkit dari duduknya, ia berbalik. "Maaf." Suaranya nyaris seperti gumaman namun Kokomi mendengar apa yang diucapkan mantan kekasihnya itu.

"Pergiiii!" Teriakan gadis itu menggema seantero rumah. Gadis itu jatuh tersungkur, ia memegang dadanya yang sesak, napasnya tidak beraturan. Air matanya terus jatuh. Saiki menggigit bibir, namun langkahnya menyertai tekad awalnya. Ia berjalan menjauh dari gadisnya yang tengah menangis. Menahan diri mati-matian untuk memeluk gadis itu.

Maafkan aku, sungguh.

Bersambung...