… tubuh Rico terjatuh begitu saja. Terhempas langsung tanpa ada yang menahan. Rambut merahnya yang berantakan berkibar perlahan dalam gerak lambat meski semua terjadi begitu cepat. Mata Kowalski tak bisa berpaling dari Object AP-1 yang baru saja mengorbankan diri demi membelanya mati-matian, mengirimkan sentakan rasa dingin yang seketika membekukan tulang belakangnya, membuat otaknya menjerit dalam diam.

Bukankah... bukankah.. bukankah tubuh yang terhempas tak berdaya di depannya itu adalah tubuh yang sama yang telah berbagi kehangatan dengannya saat bulan-bulan terdingin memerangkap mereka dalam tangan kurusnya yang jahat?

Bukankah tangan itu yang selalu menenangkannya saat sepertinya seluruh dunia ingin meledakkan otaknya?

Bukankah itu wajah yang selalu memberinya seringai jenaka kapanpun ia merasa lelah?

Bukankah itu Rico?

"Rico... Rico... Rico..."

Remaja tanggung itu jatuh terduduk, bersimpuh dalam ketidaktahuan tentang apa yang harus dilakukannya. Semua syaraf dalam otaknya berbelit, melilit, menolak untuk memberikan jawaban. Data-data gagal diproses, semua respon gagal dihantarkan, semua refleks gagal menolong. Mata birunya yang pudar hanya menatap nanar, seperti gramofon rusak berulang kali bibirnya menggumamkan sebuah nama. Nama yang bahkan seharusnya tidak eksis.

"RICOOO!"

Satu reaksi. Kali ini bukan hasil olahan analisis dan penarikan kesimpulan dari otak jeniusnya. Sebab sang otak menolak bekerja. Satu reaksi. Hasil dari hatinya yang mendadak tersadar. Paling tidak ia harus menggapai. Meski hanya bisa menggapai...

... sampai beberapa lengan berkekuatan berratus kali darinya menariknya dan menghempaskannya kembali ke dalam kegelapan selnya yang dingin, dan sekarang kosong.

Bulir-bulir air matanya mengalir tanpa henti dari matanya, lurus menelusuri pipinya yang pucat dan jatuh di lantai baja. Berpuluh-puluh tetes hingga beribu-ribu rasanya sudah ia peras demi suatu perasaan aneh yang baru kali ini dialaminya. Kehilangan yang menyesakkan dada tanpa terkontrol.

Satu kali ini otak jenius XP-2 gagal menangani kontrol atas tubuhnya lagi.

Satu kali ini hati nurani XP-2 mendominasi begitu besar hingga terasa akan meledak.

Satu kali ini XP-2 tahu seperti apa rasanya kehilangan, dan bukan hanya sekedar definisinya dalam fisika makro dan mikro, atau dalam kimia lanjutan.

Pertama kali ini XP-2, bukan, bukan XP-2, melainkan Kowalski... ini pertama kalinya Kowalski menangis.

-Dietro Suo Cicatrise-

behind his scar

Meski kosong dan dingin, laboratorium ini, dan sel ini adalah satu-satunya rumah yang ia tahu.

Dan ia tidak ingin direnggut daripadanya.

.

.

.

.

Peneliti yang bertanya hanya menghela napas, meregangkan tubuhnya yang sedari tadi tidak beranjak sama sekali dari belakang meja komputer.

"Memperpanjang kemungkinan hidup mereka... bukan?" gumamnya. Alice mengangguk sedikit, lalu kembali mengalihkan perhatian pada berkas di tangannya.

"Tapi jika yang lebih baik dari mereka berhasil kita ciptakan, maka mereka tak lagi dibutuhkan," lanjut wanita peneliti itu datar tanpa emosi. Ed tersenyum sedih.

"Emosi mereka terlihat lebih positif dari sebelumnya..."

.

.

.

.

"Kau Rico," ia menunjuk AP-1.

"Dan kau Kowalski."

.

.

.

.

"Tidur, K'wolski..." bisik Rico.

behind his scar

begin at 9 September 2010

a/n : judul dalam bahasa Italianya masih diragukan kebenarannya. Ada yang bisa mengoreksi?