Dua orang.

Laki-laki dan perempuan.

Namikaze dan Haruno.

Naruto dan Sakura.

Siapa yang lebih buta di sini?

Siapa yang lebih egois di sini?

Namikaze Naruto atau Haruno Sakura?

Atau mungkin keduanya?

"Naruto, kau menciumku," terucap sebuah kalimat pertanyaan yang lebih mirip dengan kalimat pernyataan.

"Itu berarti kita—"

"Ya, kau adalah kekasihku sekarang," sahut seorang lelaki yang sudah mencium seorang gadis yang baru saja menyebut namanya, tanpa ekspresi apapun di wajahnya.

Naruto © Masashi Kishimoto

Warning : OOC parah, AU, Semi-M, Typo(s), Miss Typo(s), Tata Bahasa Payah, Diksi Ancur, ANEH, GAJE, JELEK, LEBAY, EYD berantakan, Judul gak nyambung sama cerita, Bikin muntah, Gak masuk akal, dll, dsb, dst *dilempar bemo*

Dont Like Dont Read

~Happy Reading~

.

.

.

.

.

"N-Naruto, hentikan..." Suara itu meringkik lemah, namun terdengar cukup jelas di telinga seorang pemuda yang berada di dekatnya, sangat dekat, nyaris tidak ada jarak.

"Sshhh, sabarlah sebentar sayang... aku masih belum puas," bisik seorang lelaki yang bernama Naruto itu tepat di telinga gadis—wanita itu.

"Ukh... kumohon h-hentikan, s-sakit..." Wanita itu merintih kesakitan. Nafasnya terengah-engah. Wajahnya memerah antara malu dan menahan amarah. Amarah? Bukan. Pada kenyataannya wanita yang masih berusia tujuh belas tahun tersebut takkan pernah marah, lebih tepatnya tidak bisa marah pada kekasihnya itu.

Sedikit kecewa, pria blonde itu terpaksa menghentikan aktivitasnya sejenak. Ia menatap mata kekasihnya itu dalam-dalam.

"Kenapa Sakura-chan?" Kau bilang kau mencintaiku, kalau begitu kau tidak akan keberatan kan?" tanyanya seraya tersenyum—lebih tepatnya menyeringai.

Seperti sudah tak memiliki harapan apapun, wanita yang memiliki nama serupa dengan bunga yang menjadi simbol negara Jepang itu hanya bisa mengangguk lemah. Sama lemahnya ketika bibir kekasihnya itu menyerang bibirnya tanpa ampun, menggigitnya cukup keras. Cukup keras untuk membuatnya memerah karena darah. Darah yang sama yang kemudian dihisap oleh lelaki itu, membiarkannya melaju terus hingga melewati tenggorokannya, membiarkannya tertanam dalam tubuhnya seolah itu adalah minuman yang memabukkan.

Lelaki itu melumat habis tubuh wanita itu, seakan hari esok tak akan ada lagi. Seperti wanita berambut soft pink itu hanyalah sebuah mainan baru yang ingin dirusaknya. Yang hanya ingin dirusak tapi tak sanggup dihancurkan. Membuat lelaki beriris blue sky itu sampai ke ujung batas setiap nafsunya. Ia putar, ia balik, ia jilat, ia gigit, ia geser, sampai ia melihat wajah kekasihnya seperti menyerah pasrah dan begitu lelah. Sampai wanita beriris green forest itu merengek untuk berhenti dan membiarkannya meledak. Sampai keduanya benar-benar lelah dan serasa hampir mati.

Ia bergerak perlahan, berputar dan berpaling, membuat wajahnya berhenti di pusarnya. Membuatnya bergerak ke atas mencari wajahnya, mencari asal sebuah rasa yang baru saja ia nikmati. Bergerak ke atas di antara dada putihnya yang menggoda. Ia biarkan hidung mancungnya menghirup sisa-sisa aromanya sebelum ia pergi. Sampai ia kemudian tiba-tiba beranjak pergi seperti sebuah bayangan yang tak sopan. Ia biarkan wanita itu memandang siluetnya yang berjalan perlahan, menghadiahinya sebuah tubuh tegap yang telanjang. Sebuah siluet yang kemudian mengenakan seragam KHS—Konohagakure High School lengkap dengan dasi yang dipakai asal.

Tangannya sibuk mencari pakaian lain di dalam lemari besarnya. Pakaian yang sama seperti yang dikenakannya. Pakaian yang kemudian ia serahkan pada seorang wanita yang masih terduduk di atas ranjang.

"Ini sebagai pengganti yang kurusak kemarin. Pakailah," katanya terdengar bertanggung jawab seraya menaruh seragam itu di atas pangkuan wanita yang masih bergeming menutupi tubuhnya dengan selimut. Walaupun wanita itu sendiri tahu, itu tidak perlu dan tidak berguna. Toh lelaki itu sudah mengetahui semua yang ada dibaliknya.

Merasa tak mendapat respon, pemuda bermarga Namikaze itu kembali menyeringai. "Kenapa sayang? Masih belum puas, eh? Atau kau ingin aku memakaikannya untuk—"

"Aku ingin mandi Naruto, tunggulah di bawah," potong wanita itu cepat. Tak ingin mendengar lebih banyak lagi kata-kata menyebalkan yang keluar dari mulut kekasihnya.

Menghela nafas. "Baiklah," sahut Naruto mengalah sembari meninggalkan wanitanya di dalam kamar. Memberinya kesempatan untuk membersihkan dirinya sebelum bertemu lagi dengan teman-temannya di tempat lain.

Pria itu kemudian menuruni tangga, lalu berbelok menuju dapur. Ramen, hanya ramen yang ada dalam lemari makanannya. Seolah ia tidak pernah bosan, setiap hari hanya itu-itu saja yang dikonsumsinya. Dan wanita itu takkan pernah bisa menolaknya. Apapun yang diberikan lelaki itu, kekasihnya akan selalu menerimanya. Bahkan ketika sudah tak ada yang bisa dimakan pun wanita itu takkan berani memprotesnya.

Naruto mulai menyiapkan dua mangkuk kosong dan dua gelas kosong yang sebentar lagi takkan lagi kosong. Terkadang lelaki itu merasa tak tega memperlakukan Sakura dengan tidak baik. Namun apa daya, setan dalam otaknya terus-menerus meraung-raung meminta lebih dan lebih. Memintanya agar tidak percaya dengan pernyataan cinta wanita itu. Semua itu bohong, semua itu palsu. Cinta hanyalah omong kosong baginya. Sama omong kosongnya ketika ia masih mempercayai cinta. Cinta yang terlontar dari bibir dua orang gadis yang sempat menjadi kekasihnya, dua orang gadis yang amat dicintainya, amat dipercayainya.

Gadis pertama bilang, dia mencintainya, mencintai lelaki itu. Tapi tidak, tiba-tiba saja dia berbalik, memandang lelaki lain yang juga dikenalnya, lalu pergi dengan lelaki itu, pergi meninggalkannya. Tak ingin terpuruk lebih dalam, ia mencoba menjalin kisah cinta baru dengan gadis kedua. Awalnya terasa indah, namun semua itu hanya ilusi. Sebuah ilusi yang kemudian berubah menjadi kebohongan nyata. Gadis kedua itu tak ada bedanya dengan gadis yang pertama. Kedua gadis itu sama-sama mencuranginya, meninggalkannya, mengkhianatinya disaat lelaki itu benar-benar mempercayainya. Membuat pria blonde itu tak lagi percaya akan kata-kata cinta. Membuatnya harus menutup mata juga hatinya.

Dan kini muncul gadis ketiga yang tiba-tiba menjelma menjadi wanita akibat perbuatannya. Wanita yang juga mengatakan cinta padanya sama seperti dua gadis sebelumnya. Wanita yang memiliki pertahanan lebih kuat dari kekasih-kekasih sebelumnya. Wanita yang masih setia dengan status sebagai kekasihnya hingga saat ini. Berbeda dengan dua gadis sebelumnya yang hanya mampu mempertahankan hubungan mereka yang singkat.

Namun kali ini tidak seperti kali yang lain, ia akan memperlakukan wanita itu dengan caranya sendiri. Membiarkan wanita itu melakukan semua yang diinginkannya. Semuanya, termasuk menyakitinya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan wanita itu akan patuh padanya, takkan pernah bisa menolaknya, karena wanita itu begitu mencintainya. Ia hanya ingin bukti dari kata-kata wanita itu sendiri. Wanita itu bilang, dia mencintainya. Dan cinta harus melakukan apapun yang diinginkan oleh orang yang dicintainya.

Ia hanya ingin bermain-main dengan kekasihnya, sebelum wanita itu benar-benar menjelma menjadi iblis yang akan mengkhianatinya suatu hari nanti. Menjadikannya sebuah mainan yang hanya boleh dimainkan olehnya. Dengan begitu ia tidak akan merasa tersakiti, tidak akan merasa kehilangan ketika hari itu tiba, karena ia tidak sungguh-sungguh menganggapnya sebagai kekasih yang layak dimanjakan. Ia hanya ingin wanita itu menerima konsekuensi dari perkataannya sendiri.

Terkadang ia merasa kalau wanita itu memang serius dengan ucapannya. Dia akan senantiasa ada di sisinya. Terkadang ia berpikir bahwa karakter kekasihnya yang ketiga tidaklah sama dengan karakter dua kekasihnya yang sebelumnya. Tidak boleh menyamakannya. Terkadang ia ingin mempercayai kata-kata cinta wanitanya. Berhenti menyakitinya, dan memperlakukannya layaknya seorang kekasih sungguhan. Namun hati kecilnya menolak. Sakura tetaplah Sakura, seorang perempuan yang sama seperti perempuan lainnya. Perempuan lain yang suka mengkhianati hati laki-laki. Hatinya sudah terlanjur tertutup. Yang ada hanyalah raga yang penuh dengan ambisi.

"Shit," bibirnya mengumpat pelan tatkala ia menyadari kulit tangannya bersentuhan langsung dengan benda panas. Dengan hati-hati ia mengangkat benda panas yang berisi makanan favoritnya itu dengan menggunakan kain pengganjal agar tangannya itu tak lagi menjadi korban atas kecerobohannya. Kedua mangkuk yang tadinya kosong kini sudah terisi penuh oleh makanan buatnya. Kemudian ia membawanya di meja makan, lengkap dengan dua gelas minuman hangat kesukaannya dan juga kesukaan kekasihnya—jeruk dan strawberry.

Terdengar bunyi derap langkah kaki lemah yang menuruni tangga. Tanpa menoleh pun ia sudah tahu siapa pemiliknya. Tangannya menarik sebuah kursi, mengisyaratkan agar wanita yang masih menuruni tangga itu bergegas cepat dan bergabung dengannya. Seperti ia adalah seorang pelayan yang dengan sopannya menyiapkan sarapan pagi untuk majikannya, lengkap dengan senyuman yang mengembang di bibirnya.

Wanita berambut soft pink itu berjalan dengan tertatih. Sekujur tubuhnya terasa sakit, terutama di bagian selangkangannya. Pelan-pelan ia mendudukkan pantatnya di kursi yang sudah di sediakan kekasihnya.

"Terima kasih," gumamnya pelan sambil menundukkan wajahnya. Wajah yang sama yang kemudian dipaksa mendongak oleh kekasihnya.

"Apa ini sakit?" tanya pria blonde itu seolah prihatin seraya menyentuh bibir kekasihnya yang terluka.

Wanita itu mengangguk pelan sebagai jawabannya.

"Tapi kau menyukainya kan?" tanyanya lagi memamerkan seringaian yang sudah tak asing lagi di mata wanita itu.

Entah kenapa wanita itu tak heran, seperti ia sudah begitu terbiasa dengan gelagat pemuda itu. Dan sebuah anggukan pasrah baru saja mewakili jawabannya. Sama pasrahnya ketika bibir lelaki itu kembali mengecup singkat bibirnya yang terasa perih sebelum kemudian pria bermarga Namikaze itu kembali ke tempat duduknya semula, di sampingnya.

"Makanlah Sakura-chan, kau pasti lapar," perintahnya terdengar khawatir.

"Iya, terima kasih Naruto," sahut Sakura sembari menganggukkan kepalanya lagi. Lalu tanpa pikir panjang ia menyumpit ramen itu sebanyak yang ia bisa dan memasukkan ke dalam mulutnya yang tak besar. Ia tak bisa merasakan apa-apa. Ia tak peduli dengan matanya yang memanas. Ia tak peduli jika air matanya tiba-tiba jatuh tak terkendali. Sama tak pedulinya kekasihnya itu pada dirinya. Yang ia pedulikan hanyalah menuruti, mematuhi kehendak pemuda Namikaze itu.

Wanita itu memang teramat patuh, terlampau patuh. Bahkan ia hanya bisa menurut ketika pemuda itu mengajaknya tinggal bersama di apartemennya. Membuatnya harus meninggalkan apartemen lamanya yang kini tampak lenggang, berdebu, dan tak berpenghuni mirip seperti rumah horror yang biasa ia tonton entah dimana. Dan orang tuanya, mereka tidak akan tahu, tidak akan peduli. Mereka terlalu sibuk dengan urusannya di luar kota. Yang mereka pedulikan hanya uang, uang, dan uang. Meskipun ia sendiri tahu, mereka melakukan semua itu demi dirinya, demi masa depannya. Masa depan yang mungkin sudah hancur sebelum waktunya. Dan lagi, ia benci kesepian.

Terkadang Sakura merasa kalau lelaki itu memiliki kepribadian ganda. Sebentar baik dan sebentar jahat. Tapi tidak mungkin, hal-hal semacam itu hanya ada dalam sebuah dongeng atau cerita fiksi. Di saat yang sama lelaki itu akan menyakiti fisiknya jika kemauannya tak terlaksana, dan di saat yang sama pula lelaki itu akan menyatakan penyesalannya, penyesalan singkat. Rumit memang, dan sampai saat ini Sakura masih belum bisa memahaminya.

Ada yang telah hilang dari lelaki itu, namun wanita itu masih belum bisa menyimpulkannya. Lelaki itu memang sudah banyak berubah. Dulu dia tak seperti itu. Dulu, sebelum dia menjadi kekasihnya, lelaki itu nampak ceria, selalu bersikap hangat dan ramah pada dirinya, ralat pada siapapun. Namun kini, seolah ada yang merenggut berkeping-keping kebahagiaan dari dalam dirinya hingga membuatnya tak lagi bisa tersenyum, tertawa, melainkan hanya bisa menyeringai. Mata biru sapphirenya semakin nampak sayu setiap harinya, sama sayunya dengan mata hijau emeraldnya.

Terkadang ia berpikir kalau lelaki itu tak mencintainya. Hanya menerima sebagai kekasihnya, lalu tidak memperlakukannya sebagaimana seorang kekasih. Semua itu masih menjadi misteri baginya. Terkadang ia ingin lepas dari pria blonde itu, meninggalkannya begitu saja, agar ia tak lagi merasakan sakit dan mencari kebahagiaan lain. Tapi tak bisa, ia sudah tak memiliki kemampuan. Seperti ia sudah tak memiliki kepercayaan diri untuk mencari cinta baru. Ia sudah terlanjur kotor oleh lelaki itu. Terlebih karena ia begitu mencintai kekasihnya itu.

Ia akan melakukan apapun asal ia bisa melihat iris blue sky itu kembali bersinar seperti dulu. Apapun, meskipun ia harus merasakan sakit di sana-sini setiap harinya. Tak ada yang lebih diinginkannya daripada itu. Ia sudah tak peduli lagi dengan perasaannya. Seolah sebuah cinta telah membutakan mata hatinya. Cinta eh, sebenarnya cinta itu apa? Ada yang bilang cinta itu nafsu, namun ada pula yang bilang bahwa cinta itu adalah pengorbanan. Lalu, apakah yang dilakukannya pada lelaki itu bisa disebut cinta? Entahlah, wanita itu sendiri tak mengerti. Yang ia tahu hanyalah mencintai lelaki itu saja, walaupun ia sendiri tak tahu apa yang membuatnya begitu mencintainya. Ia tak pernah tahu alasannya sampai sekarang.

"Sakura-chan, kau ingin pergi ke sekolah... atau kita akan bermain di kamar saja, eh?" bisik Naruto tepat di telinga Sakura.

Suara maskulin kekasihnya mengacaukan lamunannya. Membuat wanita beriris emerald itu tersentak kaget. Ia merasakan sesuatu yang begitu lembut dan basah menjalari wajahnya. Perlahan-lahan kedua tangannya terulur memegang wajah pemuda yang baru saja menciumi pipinya, berusaha menjauhkannya dari wajahnya meskipun tak cukup jauh.

Tangannya masih membingkai wajah lelaki yang nyaris membuatnya gila. Iris emeraldnya menatap intens iris biru yang juga menatapnya dalam-dalam.

"Kita akan ke sekolah Naruto." Bibir peachnya mengecup singkat bibir tipis kekasihnya.

"Ayo berangkat," lanjutnya seraya menyambar dua tas di kursinya dan di kursi sampingnya. Lalu ia menyerahkan yang satunya untuk Naruto sambil beranjak dari tempatnya duduk.

Kedua insan itu akhirnya meninggalkan kediamannya untuk beberapa waktu. Keduanya berjalan berdampingan menuju sebuah tempat yang dijadikan untuk menuntut ilmu, yang kebetulan tak begitu jauh dari tempatnya tinggal. Tangan wanita itu memeluk erat lengan lelaki di sampingnya.

"Kau tak lupa dengan pesanku kan?" tanya pria blonde itu tanpa menatap kekasihnya.

Sakura melirik sebentar ke arah pria Namikaze itu, sebelum kemudian pandangannya kembali fokus ke jalanan yang nampak lumayan ramai oleh para pejalan kaki dan pengguna kendaraan-kendaraan kecil berlalu-lalang. "Tentu saja, kau tak perlu mengingatkanku," sahutnya menjelaskan.

Lelaki itu tersenyum mendengar jawaban kekasihnya. Sebuah senyuman yang lama-kelamaan berubah menjadi seringaian.

"Baguslah, kau akan tahu akibatnya jika melanggarnya."

~TBC~

Hahaha... *evil laugh* *ditampol berjamaah*
Sekali-kali Rey pengen bikin Saku yang lebih tergila-gila sama Naru di fic Narusaku, bukan Naru melulu. *dishannaro*
Di fic-fic sebelumnya Rey hanya bisa membuat fic bergenre Friendship, Romance. Namun untuk kali ini, Rey akan mencoba peruntungan lain dengan membuat fic bergenre Hurt. Jadi, tolong harap dijadikan maklum kalau feelnya gak ngena sama sekali. Maklum, Rey memang belum berpengalaman. *alasan* *Plakkk!*
Oh iya, untuk masalah Ratingnya itu udah bener kan dimasukin di T? Soalnya Rey gak berani bikin lebih dari itu. *nyengir gaje*

Yosh! Mind to 'REVIEW' please? *dilempar panci*

~Thanks For Reading~