::

["Aku Bella.

.

.

.

Tapi bukan."]

::


:: Zero ::

.

.

Ia adalah anak yang pendiam. Anak perempuan yang sangat, sangat pendiam. Kau tidak akan tahu bahwa kau berdiri di sampingnya hingga kau merasakan bulu kudukmu berdiri karena tatapannya. Ia akan menatapmu dalam diam, dengan pandangannya yang dalam dan kosong.

(Seperti ia menyadari sekelilingnya.

Tapi itu tidak mungkin.

Ia baru berumur 2 tahun.)

Renee selalu mendapati dirinya seperti berhadapan dengan orang dewasa, saat mata cokelat itu —ia tahu, ia sadar—menatapnya dengan tatapan tajam. Mengikuti gerakannya.

(Dan tidakkah itu membuatnya merasa gagal? Karena Renee bisa merasakannya dengan sangat jelas dari dingin menusuk di dadanya saat ia akhirnya menyadari kenapa bulu romanya berdiri saat tatapan tajam —kosong, hampa, sadar— itu terpaku padanya.

Ibu mana yang takut terhadap anak kandungnya sendiri?

... ia merasa sangat gagal.)


:: One ::

.

.

Charlie tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

Moralnya membuat alisnya selalu berkerut saat ia melihat tingkah Renee disekitar anak mereka. Seakan-akan Bella itu hewan buas yang harus ditakuti.

(Balita perempuan, anak yang mereka idam-idamkan.

Setelah sekian lama mereka harus bertahan dengan alasan demi alasan untuk mempertahankan hubungan yang hanya sehelai benang.

Dan kehadiran Bella ternyata hanya mengganti benang tipis itu menjadi tali; hal yang lambat ia sadari.)

Ia tidak tahu sejak kapan perilaku Renee berubah; yang bisa ia pastikan adalah Renee benar-benar takut pada anak mereka.

Ia tidak habis pikir; bagaimana bisa dia meninggalkan anak mereka begitu saja? Bukankah tugas seorang ibu adalah menjaga dan merawat anak mereka? Berapa kali ia harus mengingatkan Renee untuk menyusui Bella? Berapa malam sudah terlewat untuknya bangun dan menenangkan Bella? Mengganti popoknya? Mengingatkan Renee lagi bahwa bayi pun butuh dimandikan?

(Dan bukankah itu ironis saat insting-nya sendiri berteriak—menggema— menyuruhnya untuk segera menyingkir dari tatapan tajam—balita tidak seharusnya memiliki mata sesadar itu—mata putrinya.)

Tapi bagaimanapun juga...

.

.

.

Bella itu anakku.

.

.

Darah lebih kental daripada air. Dan ia tidak akan mengabaikan Bella begitu saja hanya karena anaknya itu abnormal.

(Bahkan jika ia masih bergeming saat tatapan tajam kosong itu tertuju padanya; well, semua itu ada waktunya, kan?)


:: Two ::

.

.

"Bella! Bells! Ayo kita buat kastil pasir bersama-sama!" suara bocah laki-laki menggema dengan ceria di pantai.

Anak perempuan yang berjongkok tak jauh dari bibir pantai menoleh. Mata cokelat susu miliknya menatap datar pada anak laki-laki yang berlari menghampirinya. Wajahnya pun masih datar saat dirinya ditarik oleh bocah itu mendekati bibir pantai dengan pasirnya yang masih basah. Ranting kayu yang daritadi dipegangnya terlepas dari genggamannya.

"Ayo, ayo! Kita bisa membuat benteng dari pasir, oh dan mungkin aku bisa menambahkan parit di sekeliling benteng kali ini! Bagaimana denganmu? Apa kau akan mencoba membuat kelinci pasir seperti janjimu tahun lalu? Kau tahu, mungkin aku akan mencoba membuat orang-orangan di dalam benteng kali ini... Oh! Atau kubuat saja ikan paus untuk penjaga paritnya. Buaya kan sudah terlalu biasa..."

Ia terus mengoceh, tidak menghiraukan tatapan bocah perempuan yang ditariknya ataupun dengan tidak adanya tanggapan.

(Ia sudah terbiasa. Lagipula Bella membiarkan dirinya ditarik, itu sudah merupakan respon positif darinya.)

Sejak awal ia bertemu Bella, ia sudah tau kalau gadis itu berbeda. Ada sesuatu yang... tidak biasa dari sikapnya. Anak perempuan yang lain tidak ada yang mau bermain dengannya. Ia hanya memandang mereka dengan kosong, mata cokelatnya dingin menusuk. Ia tidak pernah bersikap seperti anak perempuan; yang menyukai warna pink, memakai pakaian cantik, bermain boneka. Yang Bella lakukan adalah duduk di suatu tempat dan tidak bergerak, membuat orang melupakan keberadaannya.

Sejak awal Bella itu aneh.

(Tapi ia tidak akan mengganti Bella dengan apapun.)


.

.

.

[... This is Nightmare.

.

.

.

No.

...

This is madness.]

.

.

.


.

.

.

Disclaimer: Not Own.